STIT AT-TAQWA CIPARAY BANDUNG

Rabu, 17 Oktober 2012

RUKUN ISLAM (STUDI ANALISIS TERHADAP PEMIKIRAN AHMAD RIFA’I KALISALAK)

Oleh: Prof. Dr. H. Ghazali Munir, M.A*
I. PENDAHULUAN
Telah diketahui bersama jika realisasi dari pada iman adalah Islam. Orang tidak akan mengetahui bahwa seseorang itu beriman jika tidak direalisasikan dengan amal perbuatan lahiriyah, sehingga terdapat kaitan erat antara iman dengan Islam.
Umat Islam pada umumnya mengakui bahwa rukun Islam ada lima macam, yang sering disebut “buniya al-Islam ‘ala khamsin”.[1] Namun, akan terjadi diskusi jika terdapat pemikir muslim yang tidak menyatakan demikian, seperti menyatakan rukun Islam itu satu.

II. BIOGRAFI
Ahmad Rifa’i (1786-1876), lahir di Desa Tempuran, selatan Masjid Besar Kendal. Ayahnya bernama Muhammad Marhum, anak seorang penghulu Landeraad Kendal bernama R.K.H. Abu Sujak alias Sutjowijojo. Sejak kecil ditinggal ayahnya, kemudian dipelihara oleh kakeknya bernama K.H. Asy’ari, ulama terkenal di Kaliwungu, dan dibesarkan dengan pendidikan agama. Tahun 1833, ia berangkat ke Makkah menunaikan ibadah haji, dan menetap untuk belajar di sana selama 8 tahun. Setelah kembali dari Makkah, ia kembali ke Kendal, kemudian menetap di Kalisalak, lantaran isterinya tinggal di desa itu dan mendirikan pesantren.[2]
Guru-gurunya di Makkah seperti: Syaikh ‘Abdurrahman, Syaikh Abu ‘Ubaidah, Syaikh ‘Usman (guru yang sama dengan Muhammad Salih), Syaikh ‘Abdul Malik, dan Syaikh ‘Isa al-Barawi yang merupakan mata rantai ‘ulama’ Syafi’iyyah menjadi guru as-Sinwani dan sampai pada ar-Rami serta Zakariya al-Ansari penulis Fath al-Wahab. Dan al-Baijuri penulis Syarh Jauharat at-Tauhid.[3]
Menurut Ahmad Nasihun, tokoh Rifa’iyyah (Tarajjumah), karya tulis Ahmad Rifa’i berjumlah 53 berkaitan dengan masalah akidah, syari’ah, dan tasawuf. Menurut Ahmad Syazirin Amin, karya tulisnya mencapai 69 kitab, terdiri dari 62 berbahasa Jawa, dan 7 berbahasa Melayu yang ditulis di Ambon.[4]

Karya tulisnya antara lain: Tanbihat, Husn al-Mitalab, Takhriyah, Abyan al-Hawa’ij, Nazam Arfa’ (koleksi Snouck Hurgronje). Nazam Kaifiyah (koleksi Hazeau). Tasyrihah al-Muhtaj, Nazam Atlab, Nazam Tazkiyah, Husn al-Matalib, Nazam Tahsinah (koleksi DA. Rinkes). GWJ. Drewes mempunyai 4 koleksi, 2 di antaranya berjudul Ri‘ayah al-Himmah, dan dua lainnya berisi 3 kitab yang dikumpulkan menjadi 1, yaitu antara lain: Bayan, Imdad, Takhyirah, Tanbih, dan Kitab Tariqat.[5]
Adapun murid-murid pertamanya antara lain: 1. Ilham, Kalipacung Batang. 2. Maupuro ibn Nawawi, Kranggongan Limpung. 3. Abdul Qahar Bekiking, Anjasari Cepiring. 4. Tubo, Purwosari Patebon Kendal, 5. Muhsin, Cepoko Mulyo Cepiring. 6. Abdul Hamid (mbah Hadis) Karangsambo Wonosobo. 7. Chasan Dimejo, Tangkelan Wonosobo. 8. Mansur, Ngadisalam Wonosobo. 9. Muhammad Ischak, Tangkelan Wonosobo. 10. Abdul Ghoni, Ngadisalam Wonosobo. 11. Abdul Hadi, Dalangan Wonosobo. 12. Muhammad Hasan, Bugangan Wonosobo. 13. Muhammad Thoyib, Kalibening Wonosobo. 14. Abdul Aziz, Tempursari Wonosobo. 15. Mukharrar, Bengek Purworejo. 16. Abu Salim, Paesan Kedungwuni Pekalongan. 17. Ilyas, Sambung Wiradesa Pekalongan. 18. Salamun, Wonosobo. 19. Sri Kasri, Wonosobo. 20. Hasan Muzakir, Wonosobo. 21. Abdul Yahya. 22. Mas Soemodiwirjo, Salatiga. 23. Abdul Saman, Kendal. 24. Hasan Muharram, Limbang Wonosobo. 25. Hasan Imam, Wonosobo. 26. Hasan Munada, Wonosobo. 27. Dolak, Magelang. 28. Mangun Potip. 29. Abdul Jalil. 30. Hasan Wiyanggong, Tirto Pekalongan. 31. Asnawi, Wonoyoso Pekalongan.[6]
Dari para murid pertama ini, ajaran Ahmad Rifa’i tersebar luas di luar wilayah Kalisalak, sehingga di beberapa tempat terdapat konsentrasi pengikutnya hingga sekarang, serta mereka mengisolasi diri dari kebudayaan perkotaan, seperti di Wonosobo, Batang, Pekalongan, Temanggung, Ambarawa, dan sebagainya. Pengikut ini terkenal dengan sebutan Tarajjumah.[7]
Pemikirannya tentang teologi, Ahmad Rifa’i mengakui sebagai pengikut Ahl as-Sunnah wa al-Jama‘ah, tentang fiqh bermazhab Syafi’i, dan tasawuf dapat dipandang sebagai pengikut al-Ghazali, lantaran dalam uraian pelaksanaan ibadah (fiqh) disertai amal batiniyah.[8] Ketiga hal (Usul atau Usul ad-Din, Fiqh dan Tasawuf) diungkapkan menjadi satu, seperti tertera dalam halaman kitabnya berjudul Ri’ayat al-Himmah:
Tanbih ikilah kitab Nazam Ri’ayah al-Himmah namane Terajjumah ‘ilmu syari’at telung perkara usul fiqh tasawuf saking haji Ahmad Rifa’i ibn Muhammad Syafi’iyyah mazhabe ahlu sunni tariqate.[9]
Terjemahnya :
Peringatan, kitab ini namanya Nazam Ri’ayah al-Himmah, terjemah ilmu syari’at tiga perkara, usul (usul ad-Din), fiqh, dan tasawuf dari haji Ahmad Rifa’i ibn Muhammad, mazhabnya Syafi’iyyah dan tarekatnya Ahl as-Sunnah.
Tiga hal (Usul atau Usul ad-Din, Fiqh dan Tasawuf) disebut bersama merupakan penekanan adanya hubungan timbal balik antara ketiganya, sebagai jawaban atas kalangan yang hanya mementingkan satu bidang saja.

III. MASALAH ISLAM
Al-Asy’ari sebagai tokoh sentral dari paham Ahl as-Sunnah wa al-Jama‘ah hanya membahas hubungan iman dengan perbuatan seseorang. Sedang al-Ghazali sebagai salah seorang tokoh dari aliran itu melihat permasalahan iman dan Islam berkaitan erat, lantaran iman adalah pekerjaan hati, dan Islam merupakan pekerjaan anggota badan (al-a‘mal bi al-jawarih). Baginya, iman merupakan gambaran tentang tasdiq yang berada dalam hati dan lisan. Sedang Islam merupakan gambaran tentang penyerahan dan kepasrahan dengan jalan taat kepada Tuhan dan meninggalkan larangan-Nya. Di sini Islam lebih umum dibanding dengan iman, karena dalam Islam sudah mencakup pekerjaan hati, lisan dan amal dengan anggota badan.[10]
Permasalahan kaitan antara iman dan Islam menjadi lebih spesifik lantaran berkaitan dengan unsur-unsur pokok dalam Islam yang lazimnya disebut dengan istilah rukun Islam. Pokok permasalahannya terdapat pada siapa yang telah dianggap sebagai orang Islam dengan segala konsekuensinya dan siapa yang tidak (belum). Rumusan rukun Islam itu berpangkal pada sebuah hadis yang menyatakan bahwa Islam dibangun atas lima hal (buniya al-Islam ‘ala khamsin),[11] dan hadis yang berisi penjelasan atau jawaban Nabi atas pertanyaan Malaikat Jibril ketika bertanya tentang iman, Islam dan ihsan.[12]
Rumusan rukun Islam berjumlah lima macam, dikemukakan dan beredar luas di tengah masyarakat yang berhasil membentuk opini masyarakat sedemikian rupa, sehingga menjadi kata kunci yang paten. Sebutan ini secara mekanistik dimiliki oleh masyarakat muslim sebagai konsekuensi dari penyederhanaan Islam agar mudah dimengerti mereka. Dalam hal ini, pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional mempunyai peran besar dalam proses sosialisasi kata kunci itu (rukun Islam). Kitab-kitab yang beredar di pondok pesantren juga mengajarkan hal-hal yang lebih teknis, seperti rukun salat, rukun haji dan sebagainya sebagaimana tertera pada kitab-kitab Syafi’iyyah.
IV. RUKUN ISLAM AHMAD RIFA’I
Rukun menurut bahasa berasal dari bahasa Arab “rukn”, artinya sesuatu yang menguatkan atau bagian dari sesuatu.[13] Ia merupakan suatu kepastian dari suatu bangunan atau dapat dikatakan sebagai kepastian hubungan antara bagian dengan keseluruhannya. Dengan demikian, Islam terdiri dari lima rukun, sehingga tidak dapat disebut Islam tanpa adanya lima hal tersebut.[14] Dari keterangan ini jika diterapkan secara konsekuen, baik secara harfiyah maupun istilah, kata rukun merupakan bagian dari satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan atau diambil salah satunya.
Oleh karena itu, lantaran kata rukun telah menjadi baku untuk menggambarkan aspek asasi dari keislaman seseorang sebagaimana istilah rukun iman yang berjumlah enam macam yang menggambarkan aspek asasi dari keimanan. Maka ketika muncul istilah yang rumusannya berbeda, wajar jika menimbulkan gejolak, bahkan konflik sebagaimana terjadi pada munculnya rumusan rukun Islam hanyalah satu, seperti dikemukakan oleh Ahmad Rifa’i Kalisalak, yang juga pengikut Ahl as-Sunnah seperti dinyatakan :
Rukune Islam sawiji kinaweruhan
Yaiku ngucap syahadat roro ning lisan.[15]
Terjemahnya
Rukun Islam satu diketahui
Yaitu membaca dua syahadat di lisan.
Dalam kitab lainnya dinyatakan sebagai berikut :
Utawi rukun Islam kang dadi hasil sah Islam ingdalem zahir iku muhung ngucapaken ing kalimah syahadat roro lan ora dadi batal Islame wongiku lamun tinggal saking wajibe salat limang wektu lan Jum’at lan tinggal saking aweh zakat lan puasa Ramadan lan haji.[16]
Terjemahnya :
Adapun rukun Islam yang menjadi hasil sahnya Islam dalam lahiriyahnya hanya mengucapkan dua kalimah syahadat. Dan tidak menjadi batal Islamnya orang itu jika meninggalkan kewajibannya salat lima waktu, serta Jum’at, dan meninggal zakat, puasa Ramadan dan haji.
Dalam kaitan lainnya, Ahmad Rifa’i memberikan penegasannya tentang rukun Islam hanya satu, sebagai berikut :
Utawi rukune Islam kehadiran
Iku sawiji kelaka wus kinaweruhan
Yaiku ngucap syahadat roro ing lisan
Kang wus kasebut ngarep kapartelan.[17]
Terjemahnya :
Adapun kedatangan rukunnya rukun Islam
Itu satu saja telah diketahui
Yaitu mengucapkan dua kalimah syahadat di lisan
Yang sudah disebut di depan secara jelas.
Sebagai suatu analitis, tentang rukun Islam satu dari Ahmad Rifa’i dapat dipandang sebagai upaya untuk memberikan legalitas bagi orang-orang Islam di daerah pedesaan, yang lantaran alasan tertentu tidak dapat melaksanakan ajaran Islam lainnya secara sempurna, seperti salat, zakat, puasa, dan haji. Maka dengan pandangan yang demikian, orang tersebut masih memiliki banyak harapan. Jika istilah rukun Islam diterapkan secara bulat, maka orang-orang yang belum dapat melaksanakan ajaran Islam itu, akan kehilangan harapan lantaran Islamnya telah rusak.
Pandangan itu dalam konteks Kalisalak pada saat itu, merupakan jawaban terhadap situasi santri yang heterogen, yaitu kalangan anak-anak maupun orang tua, dan lemahnya pemahaman agama, serta secara ekonomis kurang menguntungkan akibat kolonialisme Belanda. Pemikiran tentang rukun Islam satu, mempunyai kemiripan karakter dengan pihak Mur’ji’ah dalam konteks keutuhan status keislaman pelaku dosa besar. Dan dalam menciptakan isolasi dari kelompok lain, pemikiran semacam ini memiliki kemiripan karakter dengan pihak Khawarij dengan interpretasi ajaran. Jika Khawarij menggunakan istilah dosa besar sebagai alat isolasi, maka Ahmad Rifa’i menggunakan istilah ‘Alim ‘Adil bagi orang yang sah menjadi pemimpin. Disebutkan ‘Alim ‘Adil sebagai berikut :
Kang dihin ‘alim weruh ing syara’ panggeran
Kapindo ‘adil riwayat kapercayaan
Ora ngelakoni setengah gede dosane
Tan ngekelaken haram cilik tinemune.[18]
Terjemahnya :
Yang pertama ‘alim yang mengetahui aturan syara’
Yang kedua ‘adil dalam riwayatnya
Tidak melakukan sebagian dari dosa besar
Dan tidak membiasakan perbuatan haram kecil
Adapun tentang hadis yang menyatakan Islam dibangun atas lima hal (buniya al-Islam ‘ala khamsin), Ahmad Rifa’i merumuskannya dengan istilah kelakuhane Islam (perbuatan atau perilaku Islam) yang berjumlah lima, seperti dinyatakan :
Utawi kelakuhane Islam iku angucapaken ing kalimah syahadat roro lan anjenengaken salat lan aweh zakat lan puasa wulan Ramadan lan munggah haji ing Bait Allah lamun kuasa ing dalane.[19]
Terjemahnya :
Adapun perilaku Islam itu mengucapkan dua kalimah syahadat, mendirikan salat, memberikan zakat, puasa pada bulan Ramadan, dan pergi haji ke Bait Allah jika mampu perjalanannya.
Jika diperhatikan, lima unsur Islam yang disebut rukun Islam yang harus ada pada keislaman seseorang, pendapat Ahmad Rifa’i tersebut dengan ulama lain yang berpendapat bahwa rukun Islam lima, sebenarnya secara substansial adalah sama. Hanya saja, Ahmad Rifa’i menggunakan ungkapan yang tidak lazim saat itu, yaitu kelakuhane Islam (perbuatan atau perilaku Islam) yang berjumlah lima hal, yaitu mengucapkan dua kalimah syahadat, melaksanakan salat, memberi zakat, puasa Ramadan, dan ibadah haji bagi yang mampu. Sedang ulama lain lazimnya menggunakan istilah-istilah rukun Islam yang berjumlah lima hal yang serupa dengan rumusan dari hadis tentang buniya al-Islam ‘ala khamsin yang unsur-unsurnya sama dengan yang dikemukakan oleh Ahmad Rifa’i dengan ungkapan atau rumusan kelakuhane Islam seperti tersebut di atas.
Jadi perbedaannya terletak pada bahasa yang dipergunakan oleh Ahmad Rifa’i dengan bahasa yang lazim dipergunakan oleh ulama lain, yang secara substansial tidak ada perbedaan antara kelakuhane Islam dengan rukun Islam yang semuanya menyatakan ada lima unsur. Oleh karena itu, tidak perlu ada permasalahan ataupun pertentangan antara pemikiran Ahmad Rifa’i dengan pemikiran para ‘ulama lainnya tentang Islam. Ahmad Rifa’i menyatakan tentang Islam adalah melaksanakan perintah Allah Ta’ala dan menjauhkan larangan-Nya.[20] Hal ini sesuai dengan pemikiran ‘ulama Ahl as-Sunnah wa al-Jama‘ah lainnya, seperti Muhammad Salih as-Samarani yang menyatakan, bahwa Islam adalah perilaku lahiriyah untuk melaksanakan syari’at Allah, seperti dinyatakan :
Utawi ma’nane Islam iku mituruti kawula maring sekabehane hukum syari’at Allah, tegese lakune badan jasmani ngelakoni perintah syari’at kaya salat zakat puasa haji, lan majibaken barang kang wajib-wajib lan ngaramaken barang kang haram-haram.[21]
Terjemahnya :
Adapun arti Islam itu hamba mengikuti kepada semua hukum syari’at Allah, maksudnya perilaku badan jasmani melakukan perintah syari’at, seperti salat, zakat, puasa dan haji. Dan mewajibkan melakukan hal yang wajib-wajib, serta mengharamkan terhadap hal yang haram-haram.

V. KESIMPULAN
Dari uraian tersebut, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Pemikiran seseorang tokoh adalah berkaitan dengan ruang, waktu dan situasi. Ahmad Rifa’i berkaitan dengan masyarakat Kalisalak yang heterogen abad XIX, baik dari aspek pengetahuan agama maupun ekonomi.
2. Pemikiran tentang rukun Islam satu dari Ahmad Rifa’i, dapat dipandang sebagai upaya untuk memberikan legalitas kepada orang-orang Islam pedesaan. Dengan alasan tertentu mereka tidak dapat melaksanakan ajaran Islam secara sempurna, sehingga mereka tetap memiliki harapan untuk masuk surga.
3. Pemikiran tentang kelakuhane Islam lima macam, sebenarnya sama dengan pendapat ulama lainnya dengan rumusan rukun Islam berdasarkan hadis tentang buniya al-Islam ‘ala khamsin. Maka secara substansial pemikiran Ahmad Rifa’i tentang rukun Islam satu dan kelakuhan Islam lima macam, tidak ada perbedaan substantif dengan pemikiran ulama pada umumnya dengan menggunakan rumusan rukun Islam lima macam.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Bantani, Muhammad Nawawi, Syarh Kasyifah as-Saja, Semarang: Taha Putra, t.th.
Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, jil.1, Beirut: Dar al-Kutb al-Ilmiyyah, 2004.
Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum ad-Din, juz 1, Beirut: Dar al-Kutb al-‘Arabiyyah, 2002.
Amin, Ahmad Syazirin, Mengenal Ajaran Tarjumah Syaikh Ahmad Rifa’i, Pekalongan: Yayasan al-Insap, 1989.
Djamil, Abdul, KH. Ahmad Rifa’i Kalisalak: Studi tentang Pemikiran dan Gerakan Islam Abad Sembilan Belas, Yogyakarta: Disertasi Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga, 1998.
Ma’luf, Louis, al-Munjid fi al-Lughat wa A’lam, Beirut: Maktabah asy-Syarqiyyah, 1986.
Muslim, al-Jami‘ as-Sahih, jil.1, juz 1, Beirut: Dar al-Fikr, t.th.
Rifa’i, Ahmad, Nazam Arfa‘, t.k.: t.p., 1261 H.
___________, Ri‘ayah al-Himmah, Pekalongan: Pondok Pesantren Raudlatul Fadilah, 1395 H.
___________, Syarih al-Iman, t.k.: t.p., t.th.


* Prof. Dr. H. Ghazali Munir, M.A., adalah salah satu Guru Besar di IAIN Walisongo Semarang pada Fakultas Ushuluddin, yang mengkaji tentang kaidah-kaidah keislaman, ilmu kalam/tauhid dan lain sebagainya yang berkaitan dengan dunia Islam.
[1]Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, jil.1, (Beirut: Dar al-Kutb al-Ilmiyyah, 2004), hlm. 14.
[2]Abdul Djamil, KH. Ahmad Rifa’i Kalisalak: Studi tentang Pemikiran dan Gerakan Islam Abad Sembilan Belas, (Yogyakarta: Disertasi Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga, 1998), hlm. 47-49 dan 54.
[3]Ibid., hlm. 51-52.
[4]Ibid., hlm. 63.
[5]Ibid., hlm. 64-67.
[6]Ahmad Syazirin Amin, Mengenal Ajaran Tarjumah Syaikh Ahmad Rifa’i, (Pekalongan: Yayasan al-Insap, 1989), hlm. 9.
[7] Abdul Djamil, KH. Ahmad Rifa’i Kalisalak, hlm. 56.
[8]Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum ad-Din, juz 1, (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Arabiyyah, 2002), hlm. 111-dst. Mengemukakan persoalan ibadah dilihat dari segi rahasia yang terkandung di dalamnya, sehingga tidak terkesan hanya membahas masalah ibadah seperti kitab fiqh pada umumnya.
[9]Ahmad Rifa’i, Ri‘ayah al-Himmah, (Pekalongan: Pondok Pesantren Raudlatul Fadilah, 1395 H), hlm sampul. Pernyataan itu juga terdapat dalam kitab lain seperti Syarih al-Iman dan Tabyin al-Islah.
[10]Al-Ghazali, Ihya’, jil.1, hlm. 116.
[11]Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, jil.1, hlm. 14. Muslim, al-Jami‘ as-Sahih, jil.1, juz 1, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), hlm. 34-35.
[12]Muslim, ibid., hlm. 30-31.
[13]Louis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughat wa A’lam, (Beirut: Maktabah asy-Syarqiyyah, 1986), hlm. 278.
[14]Muhammad Nawawi al-Bantani, Syarh Kasyifah as-Saja, (Semarang: Taha Putra, t.th.), hlm. 5.
[15]Ahmad Rifa’i, Ri‘ayah al-Himmah, hlm. 25.
[16]Ahmad Rifa’i, Syarih al-Iman, (t.k.: t.p., t.th.), hlm. 3.
[17]Ahmad Rifa’i, Nazam Arfa‘, (t.k.: t.p., 1261 H), hlm. 4.
[18]Ibid., hlm. 5.
[19]Ahmad Rifa’i, Syarih al-Iman, hlm. 3.
[20]Ibid., hlm. 1.
[21]Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar