STIT AT-TAQWA CIPARAY BANDUNG

Sabtu, 01 Februari 2014

Hadits Tarbawi: REALISASI IMAN DALAM KEHIDUPAN

I. Pendahuluan
Rasulullah SAW diutus oleh Allah SWT sebagai syahidan, mubasysyiran, dan nadziron[1] bagi segenap manusia. Ajaran Islam ad-Din al-Haq yang dibawanya kesemua dasarnya adalah wahyu Allah SWT dalam Al-Qur’an . Sebagai seorang uswat al-Hasanah beliau SAW adalah penyampai, penafsir, dan penjelas firman-firman Allah dalam Al-Qur’an lewat qoul beliau, fi’liyah beliau, dan taqrir beliau SAW.
Islam adalah Rahmat li al-‘Alamin, di dalam ajaran-ajarannya terkandung nilai-nilai cinta kasih yang telah nyata dicontohkan oleh baginda Muhammad SAW lewat akhlak mulia beliau.  Berikut ini adalah sedikit pembahasan berkaitan dengan realisasi iman dalam kehidupan sosial berdasarkan uswah Rasulullah SAW dalam sunah beliau SAW.

II. Pembahasan A.               Cinta sesama muslim adalah sebagian dari kesempurnaan Iman
Cinta adalah sesuatu yang niscaya ada dalam peri kehidupan makhluk berakal seperti manusia baik berbangsa, bernegara, maupun dalam kehidupan beragama. Rasulullah SAW sebagai suri tauladan agung bagi manusia telah menjelaskan tentang betapa pentingnya cinta dan kasih sayang terhadap sesama insan dalam hadits berikut ini:
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ شُعْبَةَ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَنْ حُسَيْنٍ الْمُعَلِّمِ قَالَ حَدَّثَنَا قَتَادَةُ عَنْ أَنَسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَِخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِه ِ)رواه البخاري ومسلم وأحمد والنسائى([2]
.Artinya: “Musaddad telah menceritakan kepada kami, ia berkata bahwa Yahya telah menceritakan kepada kami dari Syu’bah dari Qatadah dari Anas r.a berkata bahwa Nabi saw. telah bersabda : “Tidaklah termasuk beriman seseorang di antara kamu sehingga mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (H.R. Bukhari, Muslim, Ahmad, dan Nasa’i)
Hadis di atas menegaskan bahwa di antara ciri kesempurnaan iman seseorang adalah bahwa ia mencintai sesamanya seperti mencintai dirinya sendiri. Kecintaan yang dimaksudkan di sini termasuk di dalam rasa bahagia jika melihat sesamanya muslim mendapatkan kebaikan yang ia senangi, dan tidak senang jika sesamanya muslim mendapat kesulitan dan musibah yang ia sendiri membencinya. Ketiadaan sifat seperti itu menurut hadis di atas menunjukkan kurang atau lemahnya tingkat keimanan seseorang.

Hadis di atas tidaklah berarti bahwa seorang mu’min yang tidak mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya berarti tidak beriman sama sekali. Pernyataan ُ أَحَدُكُمْ يُؤْمِنَ  لا pada hadis di atas mengandung makna “tidak sempurna keimanan seseorang” jika tidak mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri. Jadi, harf nafi لا pada hadis tersebut bermakna ketidaksempurnaan buka ketidakberimanan.
Prinsip tersebut mengantar kita untuk ikut merasakan apa yang dirasakan oleh saudara sesama muslim yang dalam hadis lain diibaratkan sebagai satu bangunan.
B. Ciri-ciri Seorang Muslim yang Tidak Mengganggu Orang Lain
Seorang muslim yang baik keislamannya adalah orang yang tidak mengganggu orang lain. Artinya setiap gerak dan tingkah lakunya adalah tidak menghalangi hak-hak orang lain, lebih-lebih sampai mendzaliminya. Rasulullah menjelaskan dalam hadisnya sebagai berikut:
حَدَّثَنَا آدَمُ بْنُ أَبِي إِيَاسٍ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي السَّفَرِ وَإِسْمَاعِيلَ بْنِ أَبِي خَالِدٍ عَنْ الشَّعْبِيِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْه. ُ) رواه البخاري وأبوداودوالنسا ئى(
Artinya :Adam bin Abi Isa telah mengabarkan kepada kami, ia berkata bahwa Syu’bah telah mengabarkan kepada kami dari ‘Abdullah bin Abi al-Saffar dan Isma’il bin Abi Khalid dari al-Sya’biy dari ‘Abdullah bin Umar r.a. berkata bahwa Nabi SAW. telah bersabda: “Seorang muslim adalah orang yang orang-orang Islam (yang lain) selamat dari lisan dan tangannya dan orang yang berhijrah adalah orang yang hijrah dari apa yang telah dilarang Allah SWT. (H.R. Bukhori , Muslim dan Ahmad) [3]
Pesan pertama yang tekandung dalam hadis di atas adalah memberi motivasi agar umat Islam senantiasa berlaku baik terhadap sesamanya muslim dan tidak menyakitinya, baik secara fisik maupun hati. Mengingat pentingnya hubungan baik dengan sesama muslim, maka Rasulullah saw. menggambarkannya sebagai ciri tingkat keislaman seseorang. Orang yang tidak memberikan rasa tenang dan nyaman terhadap sesamanya muslim dikategorikan orang muslim sejati. Inilah ciri-ciri muslim yang tidak mengganggu orang lain
Oleh sebab itu, seorang muslim yang sejati harus mampu menjaga dirinya sehingga orang lain selamat dari kezaliman atau perbuatan jelek tangan dan mulutnya. Dengan kata lain, ia harus berusaha agar saudaranya sesama muslim tidak merasa disakiti oleh tangannya, baik fisik seperti dengan memukulnya, merusak harta bendanya, dan lain-lain ataupun dengan lisannya.
Pesan Kedua , secara tekstual hadis di atas menyebutkan bahwa hijrah yang sesungguhnya adalah meninggalkan apa yang dimurkai Allah swt. Pengertian itu pulalah yang terkandung dalam hijrah Rasulullah saw., yaitu meninggalkan tanah tumpah darahnya karena mencari daerah aman yang dapat menjamin terlaksananya ketaatan kepada Allah swt. Oleh sebab itu, orang yang meninggalkan kampung halaman dan berpindah ke daerah yang tidak ada jaminan bagi terlaksananya ketaatan kepada Allah tidak termasuk dalam pengertian hijrah dalam pengertian syariat, meskipun secara bahasa mengandung pengertian tersebut.
C. Realisasi Iman Dalam Menghadapi Tamu, Tetangga, dan Bertutur Kata
Seperti telah disebutkan oleh Sayyidina Ali bin Abi Talib K.w. : “Iman itu ucapan dengan lidah dan kepercayaan yang benar dengan hati dan perbuatan dengan anggota”. Konsekuensi bagi orang yang mengaku dirinya telah beriman Kepada Allah SWT, adalah keharusan untuk membuktikan keimanannya kepada Allah SWT. Rasulullah menyinggung hal ini dalam hadis berikut:
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا أَبُو الأَحْوَصِ عَنْ أَبِي حَصِينٍ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلاَ يُؤْذِ جَارَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ  ضَيْفَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ )رواه البخارى(  [4]
Artinya : Qutaibah bin Sa’id telah menceritakan kepada kami, Abu al-Ahwash telah menceritakan kepada kami, dari Abu Hashin, dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah r.a, ia berkata: Rasulullah saw. telah bersabda: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah memuliakan tamunya; barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah berbuat baik kepada tetangganya, dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah berkata baik atau diam” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Hadis di atas menyebutkan tiga di antara sekian banyak ciri dan sekaligus konsekuensi dari pengakuan keimanan seseorang kepada Allah swt. dan hari akhirat. Ciri – cirri orang beriman yang disebutkan dalam hadis di atas, adakalanya terkait dengan hak-hak Allah swt., yaitu melaksanakan kewajiban-kewajiban dan meninggalkan larangan-larangan, seperti diam atau berkata baik, dan adakalanya terkait dengan hak-hak hamba-Nya, seperti tidak menyakiti tetangga dan memuliakan tamu.
  1.  Memuliakan Tamu
Yang dimaksud dengan memuliakan tamu adalah memperbaiki pelayanan terhadap mereka sebaik mungkin. Pelayanan yang baik tentu saja dilakukan berdasarkan kemampuan dan tidak memaksakan di luar dari kemampuan. Dalam sejumlah hadis dijelaskan bahwa batas kewajiban memuliakan tamu adalah tiga hari tiga malam. Pelayanan lebih dari tiga hari tersebut termasuk sedekah. Hal itu didasarkan pada sabda Rasulullah saw.:
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا لَيْثٌ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ عَنْ أَبِي شُرَيْحٍ الْعَدَوِيِّ أَنَّهُ قَالَ سَمِعَتْ أُذُنَايَ وَأَبْصَرَتْ عَيْنَايَ حِينَ تَكَلَّمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ جَائِزَتَهُ قَالُوا وَمَا جَائِزَتُهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ يَوْمُهُ وَلَيْلَتُهُ وَالضِّيَافَةُ ثَلاَثَةُ أَيَّامٍ فَمَا كَانَ وَرَاءَ ذَلِكَ فَهُوَ صَدَقَةٌ عَلَيْه ) متفق عـليه(
Artinya : “Qutaibah bin Sa’id telah menceritakan kepada kami, Laits telah menceritakan kepada kami, dari Sa’id bin Abi Sa’id, dari Abi Syuraih al-’Adawiy, berkata, Saya telah mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, ia harus menghormati tamunya dalam batas kewajibannya. Sahabat bertanya, “yang manakah yang masuk batas kewajiban itu ya Rasulullah? Nabi menjawab, batas kewajiban memuliakan tamu itu tiga hari tiga malam, sedangkan selebihnya adalah shadaqah.” (Mutafaq Alaih)
Jika ketentuan-ketentuan seperti disebutkan di atas dilaksanakan oleh segenap umat Islam, maka dengan sendirinya terjalin keharmonisan di kalangan umat Islam. Keharmonisan di antara umat Islam merupakan modal utama dalam menciptakan masyarakat yang aman dan damai.
  1.  Memuliakan Tetangga
Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Nabi SAW. menggambarkan pentingnya memuliakan tetangga sebagai berikut:
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ أَبِي أُوَيْسٍ قَالَ حَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ قَالَ أَخْبَرَنِي أَبُو بَكْرِ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ عَمْرَةَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا زَالَ يُوصِينِي جِبْرِيلُ بِالْجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُه
Artinya : Isma’il bin Abi Uways telah menceritakan kepada kami, ia berkata bahwa Malik telah menceritakan kepadaku, dari Yahya bin Sa’id, ia berkata Abu Bakr bin Muhammad telah mengabarkan kepadaku dari ‘Amrah, dari ‘A’isyah r.a. bahwa Nabi saw. bersabda: “Malaikat Jibril senantiasa berwasiat kepadaku (untuk memuliakan) tetangga sehingga aku menyangka bahwa Jibril akan memberi keada tetangga hak waris.(H.R.Bukhori)
  1.  Berbicara Baik atau Diam
Orang yang menahan banyak berbicara kecuali dalam hal-hal baik, lebih banyak terhindar dari dosa dan kejelekan, daripada orang yang banyak berbicara tanpa membedakan hal yang pantas dibicarakan dan yang tidak pantas dibicarakan. Sehubungan dengan hal ini Rasulullah SAW. bersabda:
َوَعَنْ أَنَسٍ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( اَلصَّمْتُ حِكْمَةٌ وَقَلِيلٌ فَاعِلُهُ )  أَخْرَجَهُ اَلْبَيْهَقِيُّ فِي اَلشُّعَبِ بِسَنَدٍ ضَعِيفٍ وَصَحَّحَ أَنَّهُ مَوْقُوفٌ مِنْ قَوْلِ لُقْمَانَ اَلْحَكِيمِ
Dari Anas Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: Diam itu bijaksana namun sedikit orang yang melakukannya. Riwayat Baihaqi dalam kitab Syu’ab dengan sanad lemah dan ia menilainya mauquf pada ucapan Luqman Hakim. [5]
III.                Penutup
Sebagai sosok tauladan umatnya, Rasulullah SAW membuktikan kesempurnaan keimanannya dengan selalu berbuat sesuai dengan apa yang Allah SWT wahyukan pada beliau SAW. Maka tirulah beliau dengan menjalankan sunnahnya, agar sempurna keimanan kita. Dalam sebuah hadist Rasulullah berdo’a : “Ya Allah sebagaimana Engkau telah memperindah kejadianku maka perindahlah perangaiku.”[6] Wallahu a’lam.
Daftar Pustaka
Terjemah Hadits Arba’in An-Nawawiyah  “, Di terjemahkan oleh : Aminah Abd. Dahlan, PT.Al-Ma’arif , Bandung
 “Terjemah Hadits Shahh Muslim Jilid 1”, Diterjemahkan oleh : Ma’mur Daud, Widjaya, Jakarta,1986
Bulughul Maram min Adilatil Ahkam”, Al-Hafidh Imam Ibnu Hajar al-Asqalany, Pustaka Hidayah,2008

[1] Al-Qur’an Surat Al-Fath : 8
[2] Arba’in Nawawi, Syarah Ibnu Daqiqil, Hadits No. 13 , Bulughul Maram ,Hadits No. 1487dan dalam Shohih Muslim Hadist No.36
[3] Shahih Muslim Hadist No.33
[4] Shahih Al-Bukhari Hadist no. 6018 dan Shahih  Muslim hadist no. 39
[5]Bulughul Maram  min Adilatil Ahkam”, Al-Hafidh Imam Ibnu Hajar al-Asqalany, Hadits No. 1507
[6] Ibid , Hadits No. 1566

Tidak ada komentar:

Posting Komentar