PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Surat Al-Fatihah merupakan surat yang paling mulia karena merupakan
pintu gerbang pembuka dari alqur’an. Karena itu tak salah jika Quraish Shihab
menyebutnya sebagai “ Mahkota Tuntunan Ilahi”[1].
Sebagai mahkota sudah barang tentu seluruh hal-hal yang terkandung dalam
surat-surat alqur’an sudah termaktub dalam kandungan ayat-ayat Al-Fatihah.
Keagungan surat Al-Fatihah tercermin dari beberapa hadist Nabi,
diantaranya yang menyatakan bahwa tidak sah shalat bagi orang yang tidak
membaca Al-Fatihah. Kemuliaan surat ini juga menyebabkan nabi menganugrahkan
sebagai “ Ummul Kitab” atau “ Ummul Qur’an”, dan tidak jarang disebut “ Sab’ul
Matsani”.
Disebut sebagai Ummul Qur’an atau Ummul Kitab karena surat Al-Fatihah
terdapat pada awal alqur’an dan juga bisa jadi karena kandungan ayat-ayat surat
Al-Fatihah mencakup semua kandungan tema-tema pokok semua ayat-ayat alqur’an[2].
Dinamakan Sab’ul Matsani karena surat ini dibaca berulang-ulang dalam shalat
atau diluar shalat.
Menyitir pendapat Muhammad Abduh, Quraish Shihab memaparkan bahwa surat Al-Fatihah
diletakkan didepan karena menyangkut kandungannya yang bersifat global yang
dirinci oleh ayat-ayat lain sehingga ia bagaikan mukaddimah atau pengantar bagi
kandungan surat-surat al-qur’an[3].
Sejalan dengan hal tersbut, dalam tulisan Syaikh Abdul Mushin Al ‘Abbad
yang diterbitkan oleh blog Muslim.Or.Id disebutkan bahwa Surat Al
Fatihah mencakup ketiga macam tauhid: tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah, dan
tauhid asma’ wa shifat. Tauhid uluhiyah sudah ditunjukkan keberadaannya dengan
firman-Nya, “Alhamdulillah”
(Segala puji bagi Allah). Hal itu dikarenakan penyandaran pujian oleh para
hamba terhadap Rabb mereka merupakan sebuah bentuk ibadah dan sanjungan
kepada-Nya, dan itu merupakan bagian dari perbuatan mereka. Adapun tauhid
rububiyah, ia juga sudah terkandung di dalam firman-Nya ta’ala, “Rabbil ‘alamin.” (Rabb
seru sekalian alam). Hal itu disebabkan Allah subhanahu wa ta’ala adalah rabb bagi segala
sesuatu, pencipta sekaligus penguasanya. Sedangkan tauhid asma’ wa shifat, maka
sesungguhnya ayat pertama itu pun telah menyebutkan dua buah nama Allah. Kedua
nama itu adalah lafzhul
jalalah ‘Allah’ dan Rabb sebagaimana di dalam firman-Nya “Rabbil ‘alamin”. Pada
ayat ini kata ‘rabb’ disebutkan dalam bentuk mudhaf.[4]
Lebih lanjut mengupas tentang surat Al-Fatihah ini, penulis akan mencoba
secara sederhana menggambarkan dan menganalisa surat ini berdasarkan tafsir Al-Misbah
yang dikarang oleh Quraish Shihab.
1.2.
Rumusan Masalah
Dalam makalah sederhana ini penulis
akan membatasi masalah pada:
1. Bagaimana Tafsir Al-Fatihah menurut Tafsir Al-Misbah?
2. Bagaimana Analisa Tafsir Al-Misbah berkaitan dengan Surat
Al-Fatihah?
1.3.
Tujuan Makalah
1. Mengetahui Tafsir Al-Fatihah menurut Tafsir Al-Misbah
2. Mengetahui Analisa Tafsir Al-Misbah berkaitan dengan
Surat Al-Fatihah
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1.
Sekilas tentang Tafsir Surat Al-Fatihah berdasarkan Tafsir Al-Misbah
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ
الرَّحِيْمِ
"Dengan nama Allah Yang Rahman
dan Rahim."
Ayat pertama Surat Al Fatihah lebih dikenal dengan sebutan lafadz
Basmalah. Basmalah merupakan pesan pertama Allah kepada manusia yakni pesan
agar manusia memulai setiap aktivitasnya dengan nama Allah, sebagaimana wahyu
pertama Allah kepada Nabi-Nya ‘Iqra’ Bismi Rabbika’.
Dalam lafadz Basmalah terdapat huruf "ب" pada lafadz "بسم" yang diterjemahkan “ dengan
“, meski tidak terucap tetapi harus terlintas dalam benak kita ketika mengucap
Basmalah terdapat artian “memulai”, sehingga Bismillah berarti “
saya atau kami memulai apa yang kami kerjakan ini dengan nama Allah”. Dengan
demikian, kalimat tersebut bisa dikatakan sebagai sebuah pernyataan dari
pengucap bahwa ia memulai pekerjaan atas nama Allah. Atau dapat juga diartikan
sebagai sebuah perintah dari Allah yang menyatakan “ Mulailah pekerjaanmu
dengan nama Allah “ (meskipun kalimat tersebut bukan dalam bentuk amar). Dengan
menyisipkan kata “memulai” memiliki semangat menjadikan Allah sebagai pangkalan
bertolak.
Lafadz Ar-Rahman ar-Rahim terambil dari akar kata yang sama, yakni rahim
yang berarti “peranakan”. Dengan menyebut rahim yang terukir dalam benak
adalah “ibu dan anak” dan saat itu pula terbayang betapa besar kasih sayang
yang diberikan ibu kepada anaknya. Meski demikian bukan berarti rahmat Allah
sepadan dengan sifat rahmat seorang ibu, betapapun besarnya kasih sayang ibu,
sebab rahmat Allah melampau segalanya.
Dengan kata ar-Rahman digambarkan bahwa Allah mencurahkan
rahmat-Nya, sementara ar-Rahim dinyatakan bahwa Dia memiliki sifat
rahmat yang melekat pada diri-Nya. Kata Ar-Rahman juga dipahami sebagai sifat
Allah yang mencurahkan rahmat yang bersifat sementara di dunia ini, sedang
ar-Rahim adalah rahmat-Nya yang bersifat kekal. Rahmat-Nya di dunia yang
sementara ini meliputi seluruh makhluk, tanpa kecuali dan tanpa membedakan
antara mukmin dan kafir. Sedangkan rahmat yang kekal adalah rahmat-Nya di
akhirat, tempat kehidupan yang kekal, yang hanya akan dinikmati oleh
makhluk-makhluk yang mengabdi kepada-Nya.
الْحَمْدُ لله
رَبِّ الْعَالمَيْنَ
"Segala
puji hanya bagi Allah pemelihara seluruh alam."
Lafazd حمد yang
yang didahului
huruf alif dan lam dalam kaidah arabiah
dinamai al-istighraq yang berarti
mencakup segala sesuatu. Karena itu, kalimat alhamdulillah sering
diterjemahkan dengan segala puji bagi Allah.
Hamdu atau pujian adalah ucapan yang ditujukan kepada yang
dipuji atas sikap atau perbuatannya yang baik walaupun ia tidak memberi sesuatu
kepada yang memuji.
Sementara dalam kalimat الحمد لله, huruf lam yang
mengikuti kata lafdzul jalalah mengindikasikan arti pengkhususan bagi-Nya.
Dengan demikian segala pujian hanya wajar dipersembahkan kepada Allah SWT.
Kalimat Robbul 'aalamin, merupakan keterangan lebih lanjut
tentang layaknya segala pujian hanya diperuntukkan kepada Allah. Betapa tidak,
Dia adalah Robb dari seluruh alam. Dengan ada penegasan bahwa Allah adalah Rabbul
A’lamin membuat manusia menjadi tenang sebab segala sesuatu kebutuhan
manusia telah dipersiapkan Allah.
الرَّحْمَنِ
الرَّحِيْمِ
"Ar-Rahman Ar-Rahim."
Pemeliharaan tidak dapat terlaksana dengan baik dan sempurna kecuali
bila disertai dengan rahmat dan kasih sayang. Oleh karena itu, ayat ini sebagai
penegasan dari sifat Allah yang rabbul’alamin. Pemeliharaan-Nya terhadap
seluruh alam itu bukan atas dasar kesewenangan-wenangan semata, tetapi diliputi
oleh rahmat dan kasih sayang.
Dengan disebutkan sifat Ar-Rahman Ar-Rahim memberi kesan bahwa
keabsolutan Allah bergabung dengan kesan rahmat dan kasih sayang. Ini
mengantarkan pada keyakinan bahwa Allah Maha Agung lagi Maha Indah, Maha
Perkasa lagi Maha Penyayang.
مَالِكِ يَوْمِ
الدِّيْنِ
"Pemilik hari pembalasan."
Sifat ketuhanan tidak dapat dilepaskan dari kepemilikan dan kakuasaan.
Karena itu kapemilikan dan kakuasaan yang dimaksud perlu ditegaskan. Maka Yaumuddin
merupakan penegasan dari kepemilikan dan kekuasaan Allah. Keyakinan tentang
adanya hari pembalasan memberi arti bagi hidup ini. Tanpa keyakinan itu, semua
akan diukur disini dan sekarang yakni di dunia. Padahal banyak nilai-nilai yang
tidak bisa diukur dengan disini dan sekarang. Adanya hari pembalasan juga
memberikan ketenangan terhadap manusia, sebab Allah sebagai pemilik dan
penguasa tunggal akan membalaskan setiap perbuatan.
اِيَّاكَ
نَعْبُدُ وَاِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ
" Hanya kepada-Mu kami mengabdi dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan."
Kalimat "Hanya kepada-Mu kami mengabdi dan hanya kepada-Mu kami
meminta pertolongan", adalah bukti bahwa kalimat-kalimat tersebut
adalah pengajaran. Allah mengajarkan ini kepada kita agar kita ucapkan, karena
mustahil Allah yang Maha Kuasa itu berucap demikian, bila bukan untuk
pengajaran.
Iyyaka dan na'budu juga merupakan pengecaman terhadap mereka
yang mempertuhan atau menyembah selain Allah, baik masyarakat Arab ketika itu
maupun selainnya. Penggalan ayat mengecam mereka semua dan mengumandangkan
bahwa Allah-lah yang patut disembah dan tidak ada sesembahan yang lain.
Sementara dalam kalimat Iyyaka nastain mengandung arti bahwa
kepada selain Allah manusia tidak memohon pertolongan. Meski Allah menjadi
sandaran untuk memohon pertolongan, bukan berarti tidak ada upaya dengan
berlepas tangan sama sekali. Tetapi Kita masih dituntut untuk berperan, sedikit
atau banyak, sesuai dengan kondisi yang dihadapi.
Mendahulukan na’budu daripada nasta’in menunjukkan bahwa
manusia harus lebih dulu menghambakan diri atau mendekatkan diri kepada Allah sebelum
mereka meminta pertolongan.
اهْدِنَا
الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ
"Bimbing (antar)lah Kami
(memasuki) jalan lebar dan luas."
Setelah mempersembahkan puja puji kepada Allah dan mengakui kekuasaan
dan kepemilikan-Nya, ayat selanjut ini merupakan pernyataan tentang
ketulusan-Nya beribadah serta kebutuhannya kepada pertolongan Allah. Maka
dengan ayat ini sang hamba mengajukan permohonan kepada Allah, yakni bimbing
dan antarkanlah Kami memasuki jalan yang lebar dan luas.
Shiroth di sini bagaikan jalan tol yang lurus dan tanpa hambatan, semua
yang telah memasukinya tidak dapat keluar kecuali setelah tiba di tempat
tujuan. Shiroth adalah jalan yang lurus, semua orang dapat melaluinya tanpa
berdesak-desakan. Sehingga shiroth menjadi jalan utama untuk sampai kepada
tujuan utama umat manusia, yaitu keridloan Allah dalam setiap tingkah laku.
صِرَاطَ
الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ
الضَّالِّيْنَ
"(Yaitu) jalan orang-orang yang
telah Engkau anugerahi nikmat kepada
mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) orang-orang yang sesat."
Kata nikmat yang dimaksud di sini adalah nikmat yang paling bernilai
yang tanpa nikmat itu nikmat-nikmat yang lain tidak akan mempunyai nilai yang
berarti, bahkan dapat menjadi niqmah atau bencana jika tidak bisa mensyukuri
dan menggunakannya dengan benar.
Nikmat tersebut adalah nikmat memperoleh hidayah Allah serta ketaatan
kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka yang taat melaksanakan pesan-pesan Ilahi
yang merupakan nikmat terbesar itu, mereka itulah yang masuk dan bisa melalui
shiroth al-mustaqim.
Ada empat kelompok yang mendapatkan nikmat khusus dari Allah SWT, yaitu
nikmat keagamaan dan jalan kelompok-kelompok tersebut yang dimohon untuk
ditelusuri. Mereka adalah :
1. Para nabi yaitu mereka yang dipilih Allah untuk
memperoleh bimbingan sekaligus ditugasi untuk menuntun manusia ke jalan Ilahi.
2. Para shiddiqin yaitu orang-orang dengan pengertian apapun
selalu benar dan jujur. Mereka tidak ternoda oleh kebatilan dan tidak pernah
bersikap yang bertentangan dengan kebenaran.
3. Para syuhada’ yaitu orang yang senantiasa bersaksi atas
kebenaran dan kebajikan melalui ucapan dan tindakan mereka walau harus mengorbankan
nyawa sekalipun.
4. Orang-orang shaleh yakni yang tangguh dalam kebajikan dan
selalu berusaha untuk mewujudkannya.
Penggalan ayat ghair il-maghdhub 'alaihim tidak menjelaskan
siapakah orang-orang tersebut, tetapi dalam beberapa hal rasulullah telah
memberi contoh konkret, yaitu orang-orang Yahudi yang mengerti akan kebenaran
tetapi enggan melaksanakannya. Hal yang wajar jika murka ini disandarkan kepada
orang-orang yahudi (meski bukan keseluruhan) sebab dalam al-qur’an sebanyak dua
belas kali disebutkan tentang pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh
orang-orang yahudi.
Sementara adh-dhalin, yang berarti sesat, kehilangan jalan,
bingung, tidak mengetahui arah, banyak dinisbahkan kepada orang-orang
nasrani. Namun secara umum dapat diberi makna bahwa adh-dholin adalah bentuk
tindakan atau ucapan yang tidak menyentuh pada kebenaran.
2.2.
Analisis Tafsir Al-Misbah Berkenaan Surat Al-Fatihah
Dalam pembahasan tafsir surat Al-Fatihah diatas, penulis hanya mengambil
sedikit intisari yang digambarkan oleh tafsir Al-Misbah. Jika menukil secara
utuh maka akan dapat ditemukan kedalaman pemahaman pengarang dalam
penafsirannya, khususnya surat Al-Fatihah.
Dalam tafsir Al-Misbah, Qurais shihab mengelompokkan tema surat Al-Fatihah
dalam dua kategori, yaitu:
1. Pembicaraan tentang Allah dan sifat-sifatnya
2. Pembicaraan tantang permohonan yang diajarkan Allah
kepada hamba-hambanya.[5]
Pembicaraan tentang Allah
dan sifat-sifat-Nya terwakili pada ayat 1 sampai dengan 4, sedang berkaitan
dengan permohonan termaktub dalam ayat 5 sampai dengan 7.
Pembicaraan tentang
Allah dan sifat-sifatnya bisa juga kita tarik kesimpulan bahwa ayat-ayat ini
berbicara tentang keimanan atau ketauhidan. Karena itu tidak salah jika Yunahar
Ilyas dalam bukunya Kuliah Aqidah Islam memasukkan ayat-ayat Al-Fatihah sebagai
dalil tentang tauhid.[6]
Sejalan dengan tafsir
yang dikarang oleh Quraish Shihab, sebuah tulisan yang dibuat oleh Abu Mushlih
Ari Wahyudi dalam www. Islam.or.id. menyebutkan bahwa dalam kandungan
surat Al-Fatihah Allah mengajarkan kepada manusia tugas hidup dunia,
mengajarkan kepada mereka untuk bergantung dan berharap kepada-Nya, cinta dan
takut kepada-Nya, serta menunjukkan kepada mereka jalan yang akan mengantarkannya
menuju kebahagiaan[7].
Sementara kebahagian sejati menurut imam Ghazali adalah cinta kepada Allah.[8]
Cinta kepada Allah merupakan puncak tertinggi dari tujuan akhir. Karena itu,
tidak salah jika segala aktifitas baik harus disandarkan atas nama Allah.
Kembali ke permasalahan
tafsir Al-Misbah, bahwa berkenaan dengan penafsiran surat Al-Fatihah kita dapat
menarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Ayat pertama dalam Al-Fatihah, yakni
Basmalah memberi pelajaran agar kita memulai setiap pekerjaan dengan mengucapkan
Basmalah sehingga terjalin hubungan yang erat antara si pengucap/ pembaca
dengan Allah swt, dan dengan penyebutan kedua sifat-Nya ar-Rahman ar-Rahim
tertancap dalam hati si pembaca betapa besar rahmat Allah sehingga semestinya
pembacanya tidak akan berputus asa betapapun berat dan sulit keadaan yang
dihadapinya.
2. Ayat kedua surat Al-Fatihah, alhamdulillah
yang artinya segala puji bagi Allah adalah pengajaran agar seseorang selalu
menyadari betapa besar rahmat dan anugerah Allah kepada-Nya. Sehingga bila
sesekali ia mengalami sesuatu yang tidak menyenangkannya, maka ia akan teringat
rahmat dan nikmat Allah yang selama ini dinikmatinya.
3. Redaksi persona ketiga pada kalimat
al-Hamdulillah dalam arti si pemuji tidak berhadapan langsung dengan Allah, memberi
pelajaran bahwa memuji tanpa kehadiran yang dipuji lebih baik daripada memuji
di hadapannya.
Sedang
ayat kelima, Iyyaka na‘budu dan Iyyaka nasta‘in, yang artinya hanya kepada-Mu
kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan, dikemukakan dalam
bentuk persona kedua, dalam arti Allah hadir dan si pemohon berhadapan langsung
dengan Allah.
Ini
karena dalam beribadah seseorang hendaknya bagaikan berhadapan langsung
dengan-Nya. Inilah yang dimaksud oleh Nabi saw ketika menjawab pertanyaan malaikat
Jibril tentang makna al-Ihsan, yakni "Engkau menyembah Allah seakan-akan
melihat-Nya, dan bila tidak mampu melihat-Nya (dengan mata hatimu), maka
ketahuilah bahwa Dia melihat-Mu", (HR Bukhari melalui Umar Ibn
al-Khaththab).
4. Pernyataan bahwa Allah adalah Rabb
al-‘alamin atau Tuhan Pemelihara seluruh alam memberi pelajaran bahwa Allah
mengurus, memelihara, dan menguasai seluruh jagad raya.
5. Sementara kalimat Allah Pemilik Hari
Kemudian mengajarkan antara lain bahwa kuasa-Nya ketika itu sangat menonjol
sehingga tidak satu pun yang mengingkari-Nya, tidak juga seseorang dapat
membangkang, sebagaimana ia mengajarkan juga bahwa tidak seorang pun yang dapat
mengetahui kehidupan di sana kecuali bila diberi tahu melalui wahyu oleh Allah
atau penyampaian nabi dan bahwa waktu kedatangan hari itu adalah suatu rahasia
yang tidak diketahui kecuali oleh Allah semata.
6. Kata 'kami' pada ayat ke-5: "Hanya
kepada-Mu kami mengabdi dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan,"
mengandung beberapa pesan tentang kebersamaan antarumat yang menjadikan setiap
Muslim harus memiliki kesadaran sosial, yang menjadikan ke-akuan-nya lebur
secara konseptual bersama aku-aku lainnya. Setiap Muslim, dengan demikian,
menjadi seperti satu jasad yang merasakan keperihan bila satu organ menderita
penyakit.
7. Ayat ke-7 surat ini mengajarkan agar
menisbahkan segala yang baik kepada Allah swt, sedang yang buruk harus dicari
terlebih dahulu penyebabnya. Ini dipahami dari penisbahan pemberian nikmat
kepada-Nya; "Jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat," sedang
menyangkut murka tidak dinyatakan: "Yang Engkau murkai," tetapi
"Yang dimurkai." [9]
BAB
III
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Surat Al-Fatihah (pembukaan) yang terdiri atas 7 ayat ini adalah surat merupakan
surat yang agung. Karena itu surat ini juga mendapat julukan sebagai “Mahkota
Tuntunan Ilahi” dalam bahasa Quraish Shihab. Disebut dengan Al-Fatihah karena
merupakan pembuka dalam Al-Qur'an. Dinamakan juga sebagai Ummul Qur'an karena
di dalamnya mencakup kandungan tema-tema pokok semua ayat Al-Qur'an. Yang di
antaranya mencakup aspek keimanan, hukum, dan kisah.
Alasan mengapa Al-Fatihah diletakkan di awal Al-Qur'an karena kandungan
Surat ini bersifat global yang dirinci oleh ayat-ayat lain sehingga ia bagaikan
mukaddimah atau pengantar bagi kandungan surat-surat Al-Qur'an.
Dalam tafsir Al-Misbah,
Quraish Shihab mengelompokkan kandungan surat Al-Fatihah dalam dua rangkaian,
yakni pembicaraan tentang Allah dan sifat-sifatnya dan pembicaraan tantang
permohonan yang diajarkan Allah kepada hamba-hambanya. Pembahasan tentang Allah
dan sifat-sifatnya terwakili pada ayat 1 sampai dengan 4, sedang berkaitan
dengan permohonan termaktub dalam ayat 5 sampai dengan 7.
DAFTAR PUSTAKA
Ghazali, Imam. Ajaran Bahagia (terj. Kimyaa’u
As-sa’adah). Yogyakarta: Cakrawala. 2011.
Ilyas, Yunahar. Kuliah Aqidah Islam. Yogyakarta:
LPPI. 2009.
Shihab, Quraish. Tafsir Al-Misbah. Ciputat:
Lentera Hati. 2007.
WWW. Muslim. Or. Id
xa.yimg.com/kq/groups/23346012/.../TAFSIR+AL+MISBAH.doc
[1] M. Quraish Shihab. Tafsir Al-Misbah.
Ciputat: Lentera Hati. 2007. hal. 3
[2] Ibid; hal. 4.
[3] Ibid; hal. 7.
[5] Quraish Shihab. Tafsir Al-Misbah.
hal. 9
[6] Yunahar Ilyas. Kuliah Aqidah
Islam. Yogyakarta: LPPI. 2009. hal. 19
[7] Www. Muslim. Or.id
[8] Imam Ghazali. Ajaran Bahagia (terj.
Kimyaa’u As-sa’adah). Yogyakarta: Cakrawala. 2011. Hal. 137
Tidak ada komentar:
Posting Komentar