Diriwayatkan dari Amir al-Mukminin (pemimpin kaum beriman) Abu Hafsh Uradhiyallahu’anhu beliau mengatakan: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
mar bin al-Khattab
إنما الأعمال بالنيات وإنما لكل امرئ مانوي . فمن كانت
هجرته الي الله ورسوله فهجرته الي الله ورسوله ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها
أو امرأة ينكحها فهجرته إلي ما هاجر إليه
“Sesungguhnya setiap amalan harus disertai dengan niat. Setiap
orang hanya akan mendapatkan balasan tergantung pada niatnya.
Barangsiapa yang hijrah karena cinta kepada Allah dan Rasul-Nya maka
hijrahnya akan sampai kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang
hijrahnya karena menginginkan perkara dunia atau karena wanita yang
ingin dinikahinya, maka hijrahnya (hanya) mendapatkan apa yang dia
inginkan.” (HR. Bukhari [Kitab Bad'i al-Wahyi, hadits no. 1, Kitab al-Aiman wa an-Nudzur, hadits no. 6689] dan Muslim [Kitab al-Imarah, hadits no. 1907])
Faedah Hadits
Faedah Hadits
Hadits yang mulia ini menunjukkan bahwa niat merupakan timbangan
penentu kesahihan amal. Apabila niatnya baik, maka amal menjadi baik.
Apabila niatnya jelek, amalnya pun menjadi jelek (Syarh Arba’in li an-Nawawi, sebagaimana tercantum dalam ad-Durrah as-Salafiyah, hal. 26).
Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah mengatakan, “Bukhari mengawali kitab Sahihnya [Sahih Bukhari]
dengan hadits ini dan dia menempatkannya laiknya sebuah khutbah
[pembuka] untuk kitab itu. Dengan hal itu seolah-olah dia ingin
menyatakan bahwa segala amal yang dilakukan tidak ikhlas karena ingin
mencari wajah Allah maka amal itu akan sia-sia, tidak ada hasilnya baik
di dunia maupun di akhirat.” (Jami’ al-’Ulum, hal. 13)
Ibnu as-Sam’ani rahimahullah mengatakan, “Hadits tersebut
memberikan faedah bahwa amal-amal non ibadat tidak akan bisa membuahkan
pahala kecuali apabila pelakunya meniatkan hal itu dalam rangka
mendekatkan diri [kepada Allah]. Seperti contohnya; makan -bisa
mendatangkan pahala- apabila diniatkan untuk memperkuat tubuh dalam
melaksanakan ketaatan.” (Sebagaimana dinukil oleh al-Hafizh Ibnu Hajar
di dalam Fath al-Bari [1/17]. Lihat penjelasan serupa dalam al-Wajiz fi Idhah Qawa’id al-Fiqh al-Kulliyah, hal. 129, ad-Durrah as-Salafiyah, hal. 39-40)
Ibnu Hajar rahimahullah menerangkan, hadits ini juga
merupakan dalil yang menunjukkan tidak bolehnya melakukan suatu amalan
sebelum mengetahui hukumnya. Sebab di dalamnya ditegaskan bahwa amalan
tidak akan dinilai jika tidak disertai niat [yang benar]. Sementara niat
[yang benar] untuk melakukan sesuatu tidak akan benar kecuali setelah
mengetahui hukumnya (Fath al-Bari [1/22]).
Macam-Macam Niat
Istilah niat meliputi dua hal; menyengaja melakukan suatu amalan [niyat al-'amal] dan memaksudkan amal itu untuk tujuan tertentu [niyat al-ma'mul lahu].
Yang dimaksud niyatu al-’amal adalah hendaknya ketika
melakukan suatu amal, seseorang menentukan niatnya terlebih dulu untuk
membedakan antara satu jenis perbuatan dengan perbuatan yang lain.
Misalnya mandi, harus dipertegas di dalam hatinya apakah niatnya untuk
mandi biasa ataukah mandi besar. Dengan niat semacam ini akan terbedakan
antara perbuatan ibadat dan non-ibadat/adat. Demikian juga, akan
terbedakan antara jenis ibadah yang satu dengan jenis ibadah lainnya.
Misalnya, ketika mengerjakan shalat [2 raka'at] harus dibedakan di dalam
hati antara shalat wajib dengan yang sunnah. Inilah makna niat yang
sering disebut dalam kitab-kitab fikih.
Sedangkan niyat al-ma’mul lahu maksudnya adalah hendaknya
ketika beramal tidak memiliki tujuan lain kecuali dalam rangka mencari
keridhaan Allah, mengharap pahala, dan terdorong oleh kekhawatiran akan
hukuman-Nya. Dengan kata lain, amal itu harus ikhlas. Inilah maksud kata
niat yang sering disebut dalam kitab aqidah atau penyucian jiwa yang
ditulis oleh banyak ulama salaf dan disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Di dalam al-Qur’an, niat semacam ini diungkapkan dengan kata-kata
iradah (menghendaki) atau ibtigha’ (mencari). (Diringkas dari keterangan
Syaikh as-Sa’di dalam Bahjat al-Qulub al-Abrar, sebagaimana tercantum dalam ad-Durrah as-Salafiyah, hal. 36-37 dengan sedikit penambahan dari Jami’ al-’Ulum oleh Ibnu Rajab hal. 16-17)
Pentingnya Ikhlas
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Allah yang menciptakan
kematian dan kehidupan dalam rangka menguji kalian; siapakah di antara
kalian orang yang terbaik amalnya.” (QS. al-Mulk: 2)
al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah menafsirkan makna ‘yang
terbaik amalnya’ yaitu ‘yang paling ikhlas dan paling benar’. Apabila
amal itu ikhlas namun tidak benar, maka tidak akan diterima. Begitu pula
apabila benar tapi tidak ikhlas, maka juga tidak diterima. Ikhlas yaitu
apabila dikerjakan karena Allah. Benar yaitu apabila di atas
sunnah/tuntunan (Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyat al-Auliya’ [8/95] sebagaimana dinukil dalam Tajrid al-Ittiba’ fi Bayan Asbab Tafadhul al-A’mal, hal. 50. Lihat pula Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 19)
Pada suatu saat sampai berita kepada Abu Bakar tentang pujian
orang-orang terhadap dirinya. Maka beliau pun berdoa kepada Allah, “Ya
Allah. Engkau lah yang lebih mengetahui diriku daripada aku sendiri. Dan
aku lebih mengetahui diriku daripada mereka. Oleh sebab itu ya Allah,
jadikanlah aku lebih baik daripada yang mereka kira. Dan janganlah Kau
siksa aku karena akibat ucapan mereka. Dan ampunilah aku dengan kasih
sayang-Mu atas segala sesuatu yang tidak mereka ketahui.” (Kitab Az Zuhd Nu’aim bin Hamad, dinukil dari Ma’alim fi Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 119)
Mutharrif bin Abdullah rahimahullah mengatakan, “Baiknya
hati dengan baiknya amalan, sedangkan baiknya amalan dengan baiknya
niat.” (Sebagaimana dinukil oleh Ibnu Rajab dalam Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 19). Ibnu al-Mubarak rahimahullah
mengatakan, “Betapa banyak amal kecil menjadi besar karena niat. Dan
betapa banyak pula amal besar menjadi kecil gara-gara niat.”
(Sebagaimana dinukil oleh Ibnu Rajab dalam Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 19)
Seorang ulama yang mulia dan sangat wara’ (berhati-hati) Sufyan Ats
Tsauri rahimahullah berkata, “Tidaklah aku menyembuhkan sesuatu yang
lebih sulit daripada niatku.” (Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim, dinukil dari Ma’alim fii Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 19)
Pada suatu ketika sampai berita kepada Imam Ahmad bahwa orang-orang
mendoakan kebaikan untuknya, maka beliau berkata, “Semoga saja, ini
bukanlah bentuk istidraj (yang membuatku lupa diri).” (Siyar A’lamin Nubala’, dinukil dari Ma’alim fii Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 22)
Begitu pula ketika salah seorang muridnya mengabarkan pujian
orang-orang kepada beliau, maka Imam Ahmad mengatakan kepada si murid,
“Wahai Abu Bakar. Apabila seseorang telah mengenali hakikat dirinya
sendiri maka ucapan orang tidak akan berguna baginya.” (Siyar A’lamin Nubala’, dinukil dari Ma’alim fii Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 22)
Ad Daruquthni rahimahullah mengatakan, “Pada awalnya kami
menuntut ilmu bukan semata-mata karena Allah, akan tetapi ternyata ilmu
enggan sehingga menyeret kami untuk ikhlas dalam belajar karena Allah.” (Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim, dinukil dari Ma’alim fii Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 20)
Asy Syathibi rahimahullah mengatakan, “Penyakit hati yang
paling terakhir menghinggapi hati orang-orang salih adalah suka mendapat
kekuasaan dan gemar menonjolkan diri.” (Al I’tisham, dinukil dari Ma’alim fii Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 20)
Di dalam biografi Ayyub As Sikhtiyani disebutkan oleh Syu’bah bahwa
Ayyub mengatakan, “Aku sering disebut orang, namun aku tidak senang
disebut-sebut.” (Siyar A’lamin Nubala’, dinukil dari Ma’alim fii Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 22)
Seorang ulama mengatakan, “Orang yang benar-benar berakal adalah yang
mengenali hakikat dirinya sendiri serta tidak terpedaya oleh pujian
orang-orang yang tidak mengerti hakikat dirinya” (Dzail Thabaqat Hanabilah, dinukil dari Ma’alim fi Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 118)
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Tahun ibarat sebatang
pohon sedangkan bulan-bulan adalah cabang-cabangnya, jam-jam adalah
daun-daunnya dan hembusan nafas adalah buah-buahannya. Barang siapa yang
pohonnya tumbuh di atas kemaksiatan maka buah yang dihasilkannya adalah
hanzhal (buah yang pahit dan tidak enak dipandang, pent) sedangkan masa
untuk memanen itu semua adalah ketika datangnya Yaumul Ma’aad
(kari kiamat). Ketika dipanen barulah akan tampak dengan jelas buah yang
manis dengan buah yang pahit. Ikhlas dan tauhid adalah ‘sebatang pohon’
di dalam hati yang cabang-cabangnya adalah amal-amal sedangkan
buah-buahannya adalah baiknya kehidupan dunia dan surga yang penuh
dengan kenikmatan di akherat. Sebagaimana buah-buahan di surga tidak
akan akan habis dan tidak terlarang untuk dipetik maka buah dari tauhid
dan keikhlasan di dunia pun seperti itu. Adapun syirik, kedustaan, dan
riya’ adalah pohon yang tertanam di dalam hati yang buahnya di dunia
adalah berupa rasa takut, kesedihan, gundah gulana, rasa sempit di dalam
dada, dan gelapnya hati, dan buahnya di akherat nanti adalah berupa
buah Zaqqum dan siksaan yang terus menerus. Allah telah menceritakan
kedua macam pohon ini di dalam surat Ibrahim.” (Al Fawa’id, hal. 158).
Syaikh Prof. Dr. Ibrahim ar-Ruhaili hafizhahullah
mengatakan, “Ikhlas dalam beramal karena Allah ta’ala merupakan rukun
paling mendasar bagi setiap amal salih. Ia merupakan pondasi yang
melandasi keabsahan dan diterimanya amal di sisi Allah ta’ala,
sebagaimana halnya mutaba’ah (mengikuti tuntunan) dalam melakukan amal
merupakan rukun kedua untuk semua amal salih yang diterima di sisi
Allah.” (Tajrid al-Ittiba’ fi Bayan Asbab Tafadhul al-A’mal, hal. 49)
***
Penulis: Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id
Artikel www.muslim.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar