1. TEKS HADITS
Syarah dan kritik dengan metode takhrij (pembahasan) hadits diawalai dengan ditemukannya hadits pada kitab takhrij al-maudhu’i/fan al-maudhu’i. Dilalah atau tausiq untuk mencari mashadir ashliyah misalnya bisa menggunakan kitab kamus al-jami’ al-shaghir, mu’zam mufakhras, miftah kunuzi sunnah, mausu’ah athraf, dan atau mu’jam tabrani.
Syarah dan kritik dengan metode takhrij (pembahasan) hadits diawalai dengan ditemukannya hadits pada kitab takhrij al-maudhu’i/fan al-maudhu’i. Dilalah atau tausiq untuk mencari mashadir ashliyah misalnya bisa menggunakan kitab kamus al-jami’ al-shaghir, mu’zam mufakhras, miftah kunuzi sunnah, mausu’ah athraf, dan atau mu’jam tabrani.
2. UNSUR HADITS, DAFTAR RAWI SANAD, DIAGRAM/SILSILAH SANAD
a. Unsur Hadits, termasuk di dalamnya rawi sanad dan matan. Dari teks matan hadits dapat diketahui bahwa haditsyang sedang kita takhrij lafzhi/maknawi/tanaqud/ta’arudh
b. Daftar Rawi Sanad
Untuk mengetahui lahir wafat, jarh ta’dil, dan thabaqah rawi sanad dibuat daftar rawi sanad dengan menggunakan dan berpedoman pada kitab tahdzib al-kamal karya al-mizzi, tahdzi al-tahdzib karya al-asqalaniy, dan mizan al-i’tidal susunan az-zahabi
a. Unsur Hadits, termasuk di dalamnya rawi sanad dan matan. Dari teks matan hadits dapat diketahui bahwa haditsyang sedang kita takhrij lafzhi/maknawi/tanaqud/ta’arudh
b. Daftar Rawi Sanad
Untuk mengetahui lahir wafat, jarh ta’dil, dan thabaqah rawi sanad dibuat daftar rawi sanad dengan menggunakan dan berpedoman pada kitab tahdzib al-kamal karya al-mizzi, tahdzi al-tahdzib karya al-asqalaniy, dan mizan al-i’tidal susunan az-zahabi
c. Diagram/Silsilah Sanad
3. TAQSIM HADITS
a. Jumlah rawi
Menurut jumlah rawi hadits terbagi kepada mutawatir dan ahad. Hadits mutawatir adalah hadits yang jumlah rawinya banyak dengan syarat beritanya mahshus (indrawi), tidak ada kesan dusta, dan tiap thabaqah jumlah rawi minimal 5. Hadits ahad adalah hadits yang jumlah rawinya tidak banyak, yakni 3 per thabaqah (masyhur), 2 per thabaqah (aziz), dan 1 per thabaqah (gharib)
b. Matan
Dari segi bentuk matan, hadits terbagi kepada hadits qauli (ucapan), hadits fi’li (perbuatan), dan hadits taqriri (ketetapan). Dari segi idhafah matan, hadits terbagi pada marfu’ (idhafah pada Nabi), mauquf (idhafah pada sahabat), dan maqthu (idhafah pada tabi’in). Apabila tanda bentuk dan idhafahnya eksplisit disebut hakiki, dan kalau implisit disebut hukmi.
c. Sanad
Dari segi persambungan sanad, hadits terbagi kepada muttashil dan munfashil. Hadits muttasil adalah hadits yang sanadnya bersambung, yakni rawi murid dan rawi guru yang ada pada sanad bertemu (liqa’) karena hidup sezaman, setempat, dan seprofesi hadits. Hadits munfashil adalah hadits yang sanadnya terputus (inqitha’) yakni putus pada rawi pertama (mursal), putus pada mudawin dengan gurunya (mu’alaq), putus 1 rawi dalam sembarang thabaqah (munqathi), dan putus 2 rawi dalam 2 thabaqah berturut2 (mu’dhal).
a. Jumlah rawi
Menurut jumlah rawi hadits terbagi kepada mutawatir dan ahad. Hadits mutawatir adalah hadits yang jumlah rawinya banyak dengan syarat beritanya mahshus (indrawi), tidak ada kesan dusta, dan tiap thabaqah jumlah rawi minimal 5. Hadits ahad adalah hadits yang jumlah rawinya tidak banyak, yakni 3 per thabaqah (masyhur), 2 per thabaqah (aziz), dan 1 per thabaqah (gharib)
b. Matan
Dari segi bentuk matan, hadits terbagi kepada hadits qauli (ucapan), hadits fi’li (perbuatan), dan hadits taqriri (ketetapan). Dari segi idhafah matan, hadits terbagi pada marfu’ (idhafah pada Nabi), mauquf (idhafah pada sahabat), dan maqthu (idhafah pada tabi’in). Apabila tanda bentuk dan idhafahnya eksplisit disebut hakiki, dan kalau implisit disebut hukmi.
c. Sanad
Dari segi persambungan sanad, hadits terbagi kepada muttashil dan munfashil. Hadits muttasil adalah hadits yang sanadnya bersambung, yakni rawi murid dan rawi guru yang ada pada sanad bertemu (liqa’) karena hidup sezaman, setempat, dan seprofesi hadits. Hadits munfashil adalah hadits yang sanadnya terputus (inqitha’) yakni putus pada rawi pertama (mursal), putus pada mudawin dengan gurunya (mu’alaq), putus 1 rawi dalam sembarang thabaqah (munqathi), dan putus 2 rawi dalam 2 thabaqah berturut2 (mu’dhal).
Dari segi keadaan sanad hadits terbagi kepada hadits mu an-an
(terdapat an an dalam sanad), hadits mu’anan (terdapat an ta’kid dlm
sanad), hadits aliy (jumlah rawi dlm sanad sedikit rata2 per thabaqah 1
atau 2), hadits nazil (jumlah rawi dlm sanad banyak rata2 per thabaqah 3
ke atas), hadits musalsal (ada persamaan sifat rawi dalam sanad), dan
hadits muddabaz (ada 2 rawi dlm sanad yg saling meriwayatkan).
4. KUALITAS HADITS
a. Tashih
Kualitas hadts terbagi ke dalam maqbul dan mardud. Makbul adalah hadits yang diterima sebagai hujjah dengan sebutan shahih dan hasan. Hadits mardud adalah hadits yang ditolak sebagai hujjah dengan sebutan hadits dh’aif. Hadits shahih adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang tsiqah, sanadnya muttasil (liqa), matannya marfu (idhafah pada nabi), tidak ada illat (penambahan pengurangan dan penggantian), dan tidak janggal (tidak bertentangan dengan al-qur’an, hadits shahih, dan akal sehat). Hadits hasan sama seperti hadits shahih namun rawinya tidak sampai tamm dhabit, hanya sampai qalil dhabit. Hadits dha’if adalah hadits yang gugur 1 syarat atau lebih dari syarat hadits shahih atau hasan. Kaidah tersebut adalah kaidah dasar. Dalam tashhih terdapat kaidah dalam kenikkan kualitas, yaitu hadits hasan dapat menjadi shahih apabila dikuatkan dengan muttabi (sanad lain) dan syahid (matan lain), dan disebut shahih li ghairihi. Begitu juga hadits dhaif yang mardud (ditolak sebagai hujjah) dapat naik menjadi makbul yakni menjadi hasan li ghairihi apabila hadits dhaif tersebut memiliki muttabi dan atau syahid, sepanjang dhaifnya bukan maudhu’, matruk dan munkar.
a. Tashih
Kualitas hadts terbagi ke dalam maqbul dan mardud. Makbul adalah hadits yang diterima sebagai hujjah dengan sebutan shahih dan hasan. Hadits mardud adalah hadits yang ditolak sebagai hujjah dengan sebutan hadits dh’aif. Hadits shahih adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang tsiqah, sanadnya muttasil (liqa), matannya marfu (idhafah pada nabi), tidak ada illat (penambahan pengurangan dan penggantian), dan tidak janggal (tidak bertentangan dengan al-qur’an, hadits shahih, dan akal sehat). Hadits hasan sama seperti hadits shahih namun rawinya tidak sampai tamm dhabit, hanya sampai qalil dhabit. Hadits dha’if adalah hadits yang gugur 1 syarat atau lebih dari syarat hadits shahih atau hasan. Kaidah tersebut adalah kaidah dasar. Dalam tashhih terdapat kaidah dalam kenikkan kualitas, yaitu hadits hasan dapat menjadi shahih apabila dikuatkan dengan muttabi (sanad lain) dan syahid (matan lain), dan disebut shahih li ghairihi. Begitu juga hadits dhaif yang mardud (ditolak sebagai hujjah) dapat naik menjadi makbul yakni menjadi hasan li ghairihi apabila hadits dhaif tersebut memiliki muttabi dan atau syahid, sepanjang dhaifnya bukan maudhu’, matruk dan munkar.
b. I’tibar
Menentukan kualitas hadits berdasarkan petunjuk jenis kitabnya (konvensi muhadtisin menjelaskan kualitas haditsnya), penjelasan kitab kamus dan syarah, dan pembahsan kitab ilmu. Dengan i’tibar diwan dapat diketahui status haditsnya.
Menentukan kualitas hadits berdasarkan petunjuk jenis kitabnya (konvensi muhadtisin menjelaskan kualitas haditsnya), penjelasan kitab kamus dan syarah, dan pembahsan kitab ilmu. Dengan i’tibar diwan dapat diketahui status haditsnya.
5. TATHBIQ
Hadits makbul mungkin ma’mul bih dan mungkin ghair ma’mul bih. Kaidahnya adalah
a. Bila hadits makbul itu hanya satu atau banyak namun sama (lafzhi/maknawi), maka ma’mul ghair ma’mulnya ditentukan oleh muhkam mutasyabihnya matan. Bila muhkam (lafazh dan makna jelas tegas) maka ma’mul. Namun bila mutasyabih (lafah mananya tidk jelas) maka ghair ma’mul
b. Bila makbul itu banyak namun tanaqudh (berbeda) atau ta’arud (berlawanan) maka ma’mul ghair ma’mulnya harus ditempuh terlebih dahulu thariqah jami’, tarjih, nasakh, dan tawaquf. Bila hadits makbul itu yang ta’arudh bisa dikompromikan maka keduanya diamalakan dan disebut hadits mukhltalif. Setelah ditarjih, maka yang unggul diamalkan (rajih) dan tidak unggul tdk diamalakan (marjuh). Dengan nasakh maka yang wurud belakangan diamalkan (disebut nasikh) dan yang wurud duluan tidak diamalkan (disebut mansukh). Bila tidak bisa di-jama’, tarjih, dan nasakh, maka ditawaqufkan (mutawaqaffi), artinyatidak diamalkan.
Hadits makbul mungkin ma’mul bih dan mungkin ghair ma’mul bih. Kaidahnya adalah
a. Bila hadits makbul itu hanya satu atau banyak namun sama (lafzhi/maknawi), maka ma’mul ghair ma’mulnya ditentukan oleh muhkam mutasyabihnya matan. Bila muhkam (lafazh dan makna jelas tegas) maka ma’mul. Namun bila mutasyabih (lafah mananya tidk jelas) maka ghair ma’mul
b. Bila makbul itu banyak namun tanaqudh (berbeda) atau ta’arud (berlawanan) maka ma’mul ghair ma’mulnya harus ditempuh terlebih dahulu thariqah jami’, tarjih, nasakh, dan tawaquf. Bila hadits makbul itu yang ta’arudh bisa dikompromikan maka keduanya diamalakan dan disebut hadits mukhltalif. Setelah ditarjih, maka yang unggul diamalkan (rajih) dan tidak unggul tdk diamalakan (marjuh). Dengan nasakh maka yang wurud belakangan diamalkan (disebut nasikh) dan yang wurud duluan tidak diamalkan (disebut mansukh). Bila tidak bisa di-jama’, tarjih, dan nasakh, maka ditawaqufkan (mutawaqaffi), artinyatidak diamalkan.
6. MUFRADAT DAN MAKSUD LAFAZH
Mufradat: Menggunakan kamus arab-indo dan arab-arab. Maksud lafazh: kitab syarah
Mufradat: Menggunakan kamus arab-indo dan arab-arab. Maksud lafazh: kitab syarah
7. ASBAB WURUD DAN MUNASABAH
Asbab: menggunakan kitab asbab dan syarah. Munasabah: hadirkan al-quran yang dibayan dan hadits lain yang setema
Asbab: menggunakan kitab asbab dan syarah. Munasabah: hadirkan al-quran yang dibayan dan hadits lain yang setema
8. ISTINBATH AHKAM DAN HIKMAH
Gunakan kaidah ushul fiqih, fikih, syarah dan kitab ilmu
Gunakan kaidah ushul fiqih, fikih, syarah dan kitab ilmu
9. MUSKILLAH
Gunakan kitab syarah, ilmu, dan musykillah
Gunakan kitab syarah, ilmu, dan musykillah
10. KHULASHAH DAN NATIJAH
Yang disimpulkan adalah otentisitas hadits dari segi
a. Istilah dilalah dan arahan
b. Hujah dari segi taqsim, dst…
c. Istinbat ahkam dan hikmah
d. Mustkillah pemahaman dan pengamalan serta solusi
Yang disimpulkan adalah otentisitas hadits dari segi
a. Istilah dilalah dan arahan
b. Hujah dari segi taqsim, dst…
c. Istinbat ahkam dan hikmah
d. Mustkillah pemahaman dan pengamalan serta solusi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar