STIT AT-TAQWA CIPARAY BANDUNG

Sabtu, 01 Februari 2014

PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM TERHADAP TUJUAN PENDIDIKAN NASIONAL DI INDONESIA

  1. PENDAHULUAN
Dunia pendidikan di indonesia khususnya, dan dunia Islam pada umumnya masih di hadapkan pada persoalan, mulai dari rumusan, tujuan pendidikan yang kurang sejalan dengan tuntutan masyarakat, sampai kepada persoalan guru, metode, kurikulum dan lain sebagainya.
Di kalangan para ahli masih terdapat perbedaan mengenai pemakaian istilah tujuan, hasan langgulung misalnya mengatakan bahwa istilah tujuan itu sendiri banyak di campur baurkan pengguanaannya dengan istilah maksud. Kadang-kadang tampak berbeda, dan kadang- kadang tampak serupa. Namun demikian, pada akhirnya ia menganggap bahwa kedua istilah itu mempunyai arti yang sama.
Pendidikan Islam dengan pendidikan nasional merupakan sebuah system pendidikan yang sangat baik. Karena di dalam pendidikan Islam maupun pendidikan nasional terdapat beberapa metode yang berkaitan dengan masalah dunia pendidikan. Apabilah seseorang dengan baik melakukan metode-metode tersebut maka orang tersebut akan menjadi orang yang berguna bagi Agama dan bangsa.
Membahas masalah konsepsi pendidikan Islam dalam langkah pendidikan nasional, harus dimulai dari konsep manusia secara integral dan utuh. Ketepatan mengkaji dan merumuskan masalah ini akn memerlukan landasan yang kuat dan tetap untuk mebahas masalah filsafat, dasar dan tujuan pendidikan, yang selanjutnya di jadikan pangkal tolak dalam menyatukan dan mengkaitkan hubungan, sebagai bagian integral dari mata rantai dalam kesatuan system pendidikan nasional.

  1. RUMUSAN MASALAH
    1. Apa Pengertian Tujuan Pendidikan Nasional?
    2. Apa Pengertian Filsafat Pendidikan Islam?
    3. Bagaimana Perkembangan Pendidikan Nasional dan Pendidikan Islam di Indonesia
    4. Bagaimana Pemikiran Pendidikan Islam terhadap Tujuan Pendidikan Nasional di Indonesia
  1. PEMBAHASAN
    1. Pengertian Tujuan Pendidikan Nasional
Secara bahasa tujuan adalah arah, haluan, jurusan, maksud. Sedangkan Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Untuk mewujudkan cita-cita ini, diperlukan perjuangan seluruh lapisan masyarakat.
Jadi dapat diambil pengertian bahwa tujuan pendidikan nasional adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.[1]
Dalam skala yang lebih besar pendidikan diatur oleh Pemerintah baik sistem maupun managemennya. Di Indonesia berdasarkan Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 disebutkan bahwa pendidikan nasional bertujuan Mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk brkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.[2]
  1. Pengertian Filsafat Pendidikan Islam
Filsafat menurut Sutan Zanti Arbi berasal dari bahasa Yunani kuno Philosophia yang secara harfiah bermakna “kecintaan akan kearifan”. Makna kearifan melebihi dari pengetahuan, karena kearifan mengharuskan adanya pengetahuan dan dalam kearifan terdapat ketajaman dan kedalaman. Sedangkan menurut John S. Brubacher, Filsafat berasal dari kata Yunani yaitu Filos dan Sofia yang berarti “cinta kebijakan dan Ilmu pengetahuan”. Secara istilah menurut Hasbullah Bakry filsafat adalah Ilmu yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai ketuhanan, alam semesta dan manusia sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakekatnya sejauh yang dapat dicapai akal manusia dan bagaimana sikap manusia itu seharusnya setelah mengetahui pengetahuan itu.[3]
Sedangkan Pendidikan adalah suatu ikhtiar atau usaha manusia dewasa untuk mendewasakan peserta didik agar menjadi manusia mandiri dan bertanggung jawab baik terhadap dirinya maupun segala sesuatu diluar dirinya, orang lain, hewan dan sebagainya. Adapun kata Islam menurut Harun Nasution adalah Agama yang ajaran-ajarannya di wahyukan Tuhan kepada manusia melalui Nabi Muhammad sebagai Rasul. Islam adalah agama yang seluruh ajarannya bersumber dari Al-Qur’an dan Al-Hadits dalam rangka mengatur dan menuntun kehidupan manusia dalam hubungannya dengan Allah, dengan sesama manusia dan dengan alam semesta.
Jadi dapat disimpulkan bahwa Filsafat Pendidikan Islam adalah suatu aktifitas berfikir menyeluruh dan mendalam dalam rangka merumuskan konsep, menyelenggarakan dan mengatasi berbagai problem pendidikan Islam dengan mengkaji makna dan nilai-nilai dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits. Dari sisi lain, Filsafat Pendidikan Islam diartikan sebagai Ilmu pengetahuan yang mengkaji secara menyeluruh dan mendalam kandungan makna dan nilai-nilai Al-Qur’an dan Al-Hadits guna merumuskan konsep dasar penyelenggaraan bimbingan, arahan dan pembinaan peserta didik agar menjadi manusia dewasa sesuai tuntunan ajaran Islam.[4]
  1. Perkembangan Pendidikan Nasional dan Pendidikan Islam di Indonesia
    1. Perkembangan pendidikan nasional Indonesia
Perkembangan pendidikan nasional Indonesia akhir abad XX memberi peluang bagus terhadap pendidikan Islam. Hal ini dapat dilihat dari dua segi, yaitu filsafat pendidikan dan praktek pendidikan. Corak filsafat pendidikan nasional mengalami tiga tahap perubahan penting, yakni:
  1. Sebelum kemerdekaan, corak pendidikan Indonesia bersifat rasialisme dan kolonialime
  2. Pasca kemerdekaan, pendidikan nasional bersifat humanisme kultural/sekular
  3. Era orde baru ke era tinggal landas warna pendidikan nasional bersifat humanisme teistik
Sedangkan dalam raktek pendidikan, keuntungan pendidikan Islam adalah:
  1. Tujuan pendidikan nasiona untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa
  2. Eksistensi kurikulum pendidikan agama dalam pendidikan formal semakin mantap
  3. Eksistensi pendidikan agama dalam pendidikan informal, ditegaskan dalam UUSPN
  4. Eksistensi lembaga pendidikan keagamaan diakui sama dengan jenis pendidikan lainnya
Akan tetapi jika diihat dari segi kemampuannya untuk berperan lebih banyak dalam mengisi lapangan kerja bidang padat modal seperti listrik, pertambangan, telekomunikasi, serta transportasi, pendidikan Islam masih sangat ketinggalan. Perkembangan nasional jangka panjang tahap II akan dititik beratkan pada peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang ditopang oleh pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan kemajuan IPTEK. Untuk itu faktor manusia menjadi sasaran utama pembangunan nasional. Kualitas manusia Indonesia paling tidak harus meliputi tiga dimensi, yaitu kualitas kepribadian, kualitas penguasaan IPTEK, serta kualitas keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Asas desentralisasi pelaksanaan pendidikan, dan penyusunan kurikulum membawa konsekuensi bahwa pemerintah tidak mengambil posisi sentral untuk menentukan hidup matinya lembaga pendidikan, khususnya pendidikan tinggi. Hal ini menuntut masyarakat pendidikan untuk secara jujur mempertahankan kualitas penyelenggaraan pendidikannya. Umat Islam yang memiliki kekuatan ekonomi lemah menempati posisi yang serba sulit, sebab untuk mengangkat ekonomi umat diperlukan jalur pendidikan, sementara penyelenggaraan pendidikan yang baik membutuhkan dukungan dana yang cukup.[5]
  1. Perkembangan pendidikan Islam Indonesia
Perkembangan pendidikan nasional Indonesia pada akhir abad XX memberi peluang cukup bagus terhadap pendidikan Islam, terutama perubahan pada falsafah pendidikan dan sistem perundang-undangan yang ada.
Sejarah kerajaan di Indonesia mulai abad ke 7 sampai masuknya penjajahan di nusantara, pendidikan agama merupakan tulang punggung pendidikan pada masanya, termasuk pondok pesantren merupakan salah satu sistem pendidikan modern saat ini. Masuknya penjajahan Portugis, Inggris dan Belanda di Indonesia mulai memperkenalkan sistem pendidikan barat, sungguh pun dilihat dari pendekatan sistem nampak sekali keunggulannya. Akan tetapi falsafah yang diterapkan bersifat rasialisme dan kolonialisme.
Pada masa perjuangan kemerdekaan, mulai digali dasar-dasar falsafah dan sistem pndidikan nasional yang dipelopori oleh ki hajar dewantara. Dimulai dengan mengadopsi sistem pendidikan barat dan disertai penggalian dengan akar budaya yang berkembang di bumi nusantara. Akhirnya melahirkan sistem pendidikan nasional yang bersifat humanistik walaupun masih bersifat sekuler. Lahirnya orde baru membuka kesadaran bangsa indonesia akan pentingnya pendidikan agama, karena itu falsafah pendidikan nasional mulai mengarah kepada pandangan yang bersifat humanisme (humanistik) teistik.[6]
Falsafah pendidikan nasional yang bersifat humanisme teistik sesuai dengan sifat bangsa Indonesia yang bercorak sosialistik religius, berdasarkan pancasila. Falsafah ini mengilhami perumusan tujuan pendidikan nasional yaitu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki kemampuan dan ketrampilan, kesehatan jasmani dan rohani, keribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.[7]
Pentingnya kualitas keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, bukan hanya merupakan slogan yang bersifat retoris. Meainkan harus diwujudkan dalam bentuk program pendidikan yang secara langsug dapat dirasakan oleh masyarakat.[8]
Hal yang terjadi pada pendidikan Islam, madrasah ibtidaiyah, tsanawiyah dan madrasah aliyah, yang semula merupakan jenis pendidikan keagamaan diubah menjadi pendidikan umum. Sebagai konsekuensinya kurikulum 1987 yang terdiri dari 30% agama dan 70% umum, berubah secara drastis menjadi 100% umum, sementara pendidikan Agama Islam tinggal merupakan ciri khusus kelembagaan. Memang pada madrasah aliyah masih diberikan peluang untuk mengembangkan pendidikan program khusus Agama Islam, namun ada persyaratan akademik yang tidak mudah untuk dipenuhi, yakni harus tersedi asrama siswa dan laboratrium bahasa.
Eksistensi pendidikan Agama disekolah dilihat dari aspek kurikulum mengalami penyempitan waktu, hal ini disertai pula adanya upaya uji coba lima hari sekolah (kerja). Sebaga konsekuensinya terdapat penambahan jam belajar di sekolah, yang secara matematis mempersempit waktu belajar Agama diluar sekolah, baik di TPQ, Madrasah Diniyah maupun kajian-kajian agama yang dilakukan diluar waktu sekolah. Apabila keadaan ini terus berlanjut, secara langsung atau tidak akan mengurangi kualitas keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Tidak bisa dipungkiri bahwa kualitas keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa selain sebagai tujuan pendidikan nasional, juga merupakan landasan moral pembangunan manusia Indonesia untuk menghadapi era tinggal landas. Juga sebagai benteng masuknya budaya asing yang tidak sesuai dengan falsafah pancasila dan benteng utama komunisme.
Melemahnya sendi-sendi keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa akan meruntuhkan ketahanan mental dan moral bangsa Indonesia dalam menghadapi infiltrasi budaya asing dan lahan yang paling subur munculnya kembali ideologi komunisme. Dan pada akhirnya akan mengancam kelangsungan hidup bangsa dan negara kesatuan Republik Indonesia.[9]
  1. Pemikiran Pendidikan Islam Terhadap Tujuan Pendidikan Nasional di Indonesia
    1. Pemikiran Pendidikan Islam periode sebelum Indonesia Merdeka
Pemikiran pendidikan Islam pada periode sebelum Indonesia merdeka ditandai dengan munculnya dua model pendidikan, yaitu:
  1. Pendidikan yang diberikan oleh sekolah-sekolah barat yang sekuler dan tidak mengenal ajaran Agama.
  2. Pendidikan yang diberikan oleh pondok pesantren yang hanya mengenal agama saja.
Hasil penelitian steenbrink menunjukkan bahwa pendidikan kolonial tersebut sangat berbeda dengan pendidikan Islam indonesia yang tradisional, bukan saja dari segi metode, tetapi lebih khusus dari segi isi dan tujuannya. Pendidikan yang dikelola oleh pemerintahan kolonial khususnya berpusat pada pengetahuan dan ketrampilan duniawi, yaitu pendidikan umum. Adapun lembaga pendidikan Islam lebih menekankan pada pengetahuan dan ketrampilan yang berguna bagi penghayatan Agama.
Wirjosukarto dalam bukunya pembaruan pendidikan dan pengajaran Islam, menjelaskan mengenai corak pendidikan pada periode ini memiliki dua corak, yaitu:
  1. Corak lama yang berpusat di pondok pesantren.
Ciri-ciri corak lama ini antara lain:
1)      Menyiapkan calon kyai atau ulama’ yang hanya mengasai masalah Agama semata
2)      Kurng diberikan pengetahuan umum atau sama sekali tidak diberikan
3)      Sikap isolasi yang disebabkan karena sikap non koperasi secara total dari pihak pesantren terhadap apa saja yang berbau barat dan aliran kebangunan Islam tidak leluasa untuk bisa masuk karena dihalang-halangi oleh pemerintah belanda.
  1. Corak baru dari perguruan (sekolah-sekolah) yang didirikan oleh pemerintah belanda.
Adapun ciri-ciri corak baru antara lain:
1)      Hanya menonjolkan intelek dan sekaligus hendak melahirkan golongan intelek
2)      Pada umumnya bersikap negatif terhadap agama Islam
3)      Alam pikirannya terasing dari kehidupan bangsanya
Dengan demikian, fungsi pendidikan islam adalah melestarikan mempertahankan nilai-nilai Illahi dan isnani sebagaimana terkandung dalam kitab-kitab ulama terdahulu. Fungsi tersebut melekat pada setiap komponen aktifitas pendidikan islam. Hakikat tujuan pendidikan islam adalah terwujudnya penguasaan ilmu agama Islam sebagaimana tertuang dan terkandung dalam kitab-kitab produk ulama’ terdahulu serta tertanamnya perasaan beragama yang mendalam dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.[10]
Dari berbagai uraian diatas dapat ditegaskan bahwa pada periode sebelum Indonesia merdeka terdapat berbagai corak pengembangan pendidikan Islam, yaitu Isolatif-Tradisional dan Sintesis.
  1. Isolatif-Tradisional, dalam arti tidak mau menerima apa saja yang berbau barat (kolonial) dan terhambatnya pengaruh pemikiran-pemikiran modern dalam Islam untuk masuk kedalamnya sebagaimana tampak jelas pada pendidikan  pondok pesantren tradisional yang hanya menonjolkan Ilmu-ilmu Agama Islam dan pengetahuan umum sama sekali tidak diberikan. Tujuan utama pendidikannya ialah menyiapkan calon-calon kyai atau ulama yang hanya menguasai masalah agama saja.
  2. Sintesis, yakni mempertemukan antara corak lama (pondok pesantren) dan corak baru (model pendidikan kolonial atau barat) yang berwujud sekolah atau madrasah. Dalam realitanya corak pemikiran sintesis ini mengandung fariasi pendidikan Islam, yaitu:
1)      Pola pendidikan madrasah mengikuti format pendidikan barat.
2)      Pola pendidikan madrasah yang mengutamakan mata pelajaran agama, tetapi matapelajaran umum secara terbatas juga diberikan.
3)      Pola pendidikan madrasah yang menggabungkan secara lebih seimbang antara muatan agama dan non agama.
4)      Pola pendidikan sekolah yang mengikuti pola gubernemen dengan ditambahkan beberapa mata pelajaran agama.[11]
  1. Pemikiran Pendidikan Islam periode sesudah Indonesia Merdeka
Pemikiran pendidikan Islam periode Islam merdeka diwarnai dengan model pendidikan dualistis, yaitu:
  1. Sistem pendidikan pada sekolah–sekolah umum yang sekuler, tidak mengenal ajaran agama yang merupakan warisan dari pemerintahan kolonial belanda.
  2. Sistem pendidikan dan pengajaran Islam yang tumbuh dan berkembang di kalangan Islam sendiri baik yang bercorak isolatif-tradisional maupun yang bercorak sintesis dengan berbagai variasi pola pendidikannya.
Kedua sistem pendidikan tersebut sering dianggap saling bertentangan serta tumbuh dan berkembang secara terpisah satu sama lain. Sistem pendidikan dan pengajaran yang pertama pada mulanya menjangkau dan dinikmati oleh sebagian kalangan masyarakat, terutama kalangan atas saja. Sedangkan yang kedua (sistem pendidikan dan pengajaran Islam) tumbuh dan berkembang secara mandiri dikalangan rakyat dan berakar dalam masyarakat.[12]
Jadi Pemikiran pendidikan Islam periode Islam setelah merdeka adalah menggambarkan betapa perhatian dan pengakuan bangsa Indonesia terhadap sumbangan besar pendidikan Islam dalam upaya mendidik dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Perhatian dan pengakuan tersebut merupakan tantangan yang memerlukan respon positif dari para pemikir dan pengelola pendidikan Islam di Indonesia.[13]
  1. KESIMPULAN
Tujuan pendidikan nasional adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Filsafat Pendidikan Islam adalah suatu aktifitas berfikir menyeluruh dan mendalam dalam rangka merumuskan konsep, menyelenggarakan dan mengatasi berbagai problem pendidikan Islam dengan mengkaji makna dan nilai-nilai dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits. Dari sisi lain, Filsafat Pendidikan Islam diartikan sebagai Ilmu pengetahuan yang mengkaji secara menyeluruh dan mendalam kandungan makna dan nilai-nilai Al-Qur’an dan Al-Hadits guna merumuskan konsep dasar penyelenggaraan bimbingan, arahan dan pembinaan peserta didik agar menjadi manusia dewasa sesuai tuntunan ajaran Islam.
Perkembangan pendidikan nasional Indonesia akhir abad XX memberi peluang bagus terhadap pendidikan Islam. Hal ini dapat dilihat dari dua segi, yaitu filsafat pendidikan dan praktek pendidikan. Corak filsafat pendidikan nasional mengalami tiga tahap perubahan penting, yakni:
  1. Sebelum kemerdekaan, corak pendidikan Indonesia bersifat rasialisme dan kolonialime
  2. Pasca kemerdekaan, pendidikan nasional bersifat humanisme kultural/sekular
  3. Era orde baru ke era tinggal landas warna pendidikan nasional bersifat humanisme teistik
Hal yang terjadi pada pendidikan Islam, madrasah ibtidaiyah, tsanawiyah dan madrasah aliyah, yang semula merupakan jenis pendidikan keagamaan diubah menjadi pendidikan umum. Sebagai konsekuensinya kurikulum 1987 yang terdiri dari 30% agama dan 70% umum, berubah secara drastis menjadi 100% umum, sementara pendidikan Agama Islam tinggal merupakan ciri khusus kelembagaan. Memang pada madrasah aliyah masih diberikan peluang untuk mengembangkan pendidikan program khusus Agama Islam, namun ada persyaratan akademik yang tidak mudah untuk dipenuhi, yakni harus tersedi asrama siswa dan laboratrium bahasa.
Pemikiran Pendidikan Islam periode sebelum Indonesia Merdeka
Pemikiran pendidikan Islam pada periode sebelum Indonesia merdeka ditandai dengan munculnya dua model pendidikan, yaitu:
  1. Pendidikan yang diberikan oleh sekolah-sekolah barat yang sekuler dan tidak mengenal ajaran Agama.
  2. Pendidikan yang diberikan oleh pondok pesantren yang hanya mengenal agama saja.
Pemikiran Pendidikan Islam periode sesudah Indonesia Merdeka
Pemikiran pendidikan Islam periode Islam merdeka diwarnai dengan model pendidikan dualistis, yaitu:
  1. Sistem pendidikan pada sekolah–sekolah umum yang sekuler, tidak mengenal ajaran agama yang merupakan warisan dari pemerintahan kolonial belanda.
  2. Sistem pendidikan dan pengajaran Islam yang tumbuh dan berkembang di kalangan Islam sendiri baik yang bercorak isolatif-tradisional maupun yang bercorak sintesis dengan berbagai variasi pola pendidikannya.
  1. PENUTUP
Demikian makalah yang dapat saya buat. Saya menyadari dalam penulisan makalah ini masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan. Untuk itu kritik dan saran yang konstruktif sangat saya harapkan demi kesempurnaan makalah ini dan berikutnya. Semoga makalah ini dapat memberikan sedikit manfaat bagi pembaca pada umumnya dan pemakalah pada khususnya. Amin.

DAFTAR PUSTAKA
Susanto, A., Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Amzah, 2010)
Syar’i, Ahmad, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005)
Thoha, M. Habib, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 1996)
Undang-undang No. 2 Tahun 1989 bab II


[3] Ahmad Syar’i, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005), hlm. 1-2
[4] Ibid, hlm. 4-5
[5] M. Habib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 1996), hlm. 2-4
[6] Ibid, hlm. 19-20
[7] Undang-undang No. 2 Tahun 1989 bab II
[8] Ibid, hlm. 20
[9] Ibid, hlm. 21-22
[10] A. Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 12-13
[11] Ibid, hlm. 16-18
[12] Ibid, hlm. 18
[13] Ibid, hlm. 23

Tidak ada komentar:

Posting Komentar