STIT AT-TAQWA CIPARAY BANDUNG

Jumat, 27 Mei 2011

PENCERAIAN KARENA LI’AN, KHULU’ FASAKH DAN FASID NIKAH SERTA AKIBAT HUKUMNYA

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pernikahan merupakan suatu ikatan yang sangat sakral dalam agama kita, karena dengan adanya pernikahan ini hasrat seseoran akan tersalurkan dalam bingkai ibadah. Serta akan mendapatkan keturunan yang dilegitimasi oleh agama. Namun jangan dikira bahwa hidup dalam sebuah ikatan perkawinan penuh dengan hiasan canda dan tawa bagaikan hidup dalam sorga, melainkan di dalamnya tidak jarang terjadi problema dikarenakan keinginan yang berbeda. Bahkan tidak sedikit di antara mereka yang mengakhiri ikatan sucinya dengan sebuah perceraian.
Dalam makalah ini sengaja membahas masalah penceraian, mengingat persoalan ini begitu ragam keberadaannya, tergantung motif yang melatarbelakangi. Ada yang namanya Thalaq, Khulu’, Li’an dan fasakh. Oleh karena itu sangat penting bagi kita untuk memahami persoalan ini, aga kita mengetahui kriteria-kriteria yang satu dengan yang lainnya, sehingga apabila hal tersebut terjadi pada diri kita aau bahkan pada diri orang lain kita mampu menyelesaikannya sesuai dengan tuntunan agama.

B. Rumusan Masalah
  • Li’an
  • Khulu’
  • Fasakh
  • Fasid nikah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Li’an
Li’an secara etemologi adalah bermakna muba’adah (jauh) dalam arti adanya li’an ini menyebabkan pasutri jauh dari rahmat Allah atau menyebabkan terjadinya perpisahan di antara keduanya. Secara terminologi adalah kalimat-kalimat tertentu yang dijadikan argumentasi bagi orang yang berkeinginan menuduh zina terhadap orang yang telah menodai kesucian istrinya. Sedangkan dasar pijakan dalam persoalan ini adalah firman Allah yang berbunyi :
Dan apabila ada seorang laki-laki yang sudah aqil baligh menuduh zina terhadap istrinya, baik tuduhan tersebut bersifat jelas seperti mengatakan “engkau telah berzina”, atau tidak jelas (kinayah) seperti mengatakan “wahai orang yang durhaka atau fasiq dan sebagainya”, maka pernyataan ini berkonsekuensi had bagi si suami. Apabila suami tidak mampu mendatangkan saksi atau tidak melakukan li’an.
Tata cara dalam melakukan li’an sebagai berikut :
a. Suami harus mengucapkan kalimat :
Sebanyak empat kali dihadapan hakim. Dan sunah juga dipertontonkan dihadapan halayak ramai.
b. Apabila si suami tidak ingin mengakui bahwa anak yang lahir dari rahim istrinya itu adalah anaknya, maka si suami dalam persyaratannya harus menambah lafad :
c. Sesudah pernyataan tersebut sudah dibaca empat kali, maka hakim atau yang mewakili harus memberi peringatan terhadap yang bersangkutan tentang pedihnya siksaan Allah.
d. Sesudah itu, suami harus berkata kembali dengan kalimat :
Ada lima yang akan terjadi setelah terjadinya li’an yaitu :
  1. Suami terlepas dari had
  2. Kewajiban had bagi istri
  3. Lepasnya ikatan perkawinan untuk selama-lamanya
  4. Lepasnya hubungan nasab di antara anak dengan bapaknya
  5. Haram bagi mantan suami menikah lagi dengan mantan istrinya.
Dan bagi si istri masih ada cara untuk membela diri agar bisa terhindar dari had yaitu dengan cara melakukan li’an juga. Sedangkan tata caranya seperti halnya di atas, Cuma kalimat yang harus diucapkan yang berbeda. Yaitu dengan kalimat :
Dan lafadz :
Namun hanya saja dalam pernyataan ini tidak ada yang namanya nafyul walad karena anak tersebut jelas-jelas keluar dari rahimnya sendiri.
Ketentuan had badi suami itu apabila istri yang dituduh zina bukan tergolong anak-anak dan perawan yang sama masih belum dijima’, apabila tergolong, maka konsekuensinya bukan bernama had akan tetapi ta’zir.
Suami tetap di had, walaupun pada saat menuduh zina dalam keadaan hilang ingatan, apabila hal tersebut memang disengaja seperti mabu-maukan.
Sedangkan had bagi orang tersebut yaitu 80 cambukan jika berstatus merdeka dan 40 cambukan jika berstatus budak. Sedangkan masalah ta’zir itu tidak ada batasan yang seperti : dalam arti tergantung situasi dan kondisi yang ada.
B. Khulu’
Khulu’ secara etemologi berarti pelepasan, sedangkan secara terminologi khulu’ adalah pelepasan ikatan di antara pasutri dengan membayar imbalan yang jelas baik datangnya dari pihak istri atau orang lain kepada suami. dan pabila hal tersebut (imbalan) datangnya dari istri maka khulu’nya dapat dilakukan kapanpun saja, baik istri sedang haid atau suci, karena perceraian seperti ini merupakan inisiatif dari pihak istri, sehingga apabila hal ini terjadi berarti dia rela berlama-lama dalam penantian masa iddah.
Kriteria imbalan dalam masalah ini harus jelas dan tidak bertentangan dengan syara’ apabila tidak maka thalaq tersebut menjadi thalaq baain, dengan cara membayar mahar, artinya apabila keduanya ingin membangun kembali mahligai rumah tangga maka terlebih dahulu diwajibkan memenuhi beberapa syarat, yang mana hal ini telah dijelaskan dalam bab thalaq.
Dan apabila dalam persoalan ini tidak ada imbalannya atau ada namun tergolong sesuati yang lumrah tidak disukai, seperti halnya serangga maka status thalaqnya menjadi thalaq raj’ie.
Ketentuan-ketentuan yang harus terpenuhi dalam masalah khulu’ yaitu:
i. Si istri masih dalam kekuasaan suami, oleh karena itu boleh melakukan khulu’ pada masa iddah
ii. Suami harus termasuk katagori orang yang sah melakukan thalaq
iii. kreteria shighatnya seperti yang ada dalam transaksi jual beli, Cuma apabila antara ijab dan qabulnya dipisah dengan perkataan yang sedikit itu tidak ada masalah
iv. Orang yang membayar imbalan dalam persoalan ini baik istri maupun orang lain disyaratkan tergolong orang yang diperbolehkan merealisasikan hartanya.
Dan apabila khulu’ ini terjadi secara sah maka diri sang istri terbebas dari kekuasaan si suami sedangkan suaminya diperkenankan kembali lagi pada masa iddah, dalam arti apabila ia ingin kembali lagi maka harus melakukan akan nikah baru.
C. Fasakh
Tujuan disyariatkannya fasakh tiada lain hanya untuk melepas beban pihak istri. artinya seorang istri boleh melakukan fasakh kepada suaminya apabila dirinya tidak salah atas kondisi suami yang sudah tidak memiliki harta maupun pekerjaan sehingga kebutuhan primernya tidak tercukupi. sedangkan apabila kondisi ekonomi sang suami masih normal maka istri tidak diperbolehkan melakukan fasakh, walaupun pada saat itu kebutuhannya tidak dipenuhi oleh sang suami.
syarat-syarat diperbolehkannya fasakh.
a. Kondisi ekonomi suami sedang sulit
b. Dengan kondisi yang seperti itu, suami tidak mampu memberi nafaqah, pakaian, tempat tinggal dan mahar kepada istrinya
c. Ketidak mampuan ini dalam rangka memenuhi kebutuhan yang memang dibutuhkan oleh orang-orang miskin
d. Ketidak mampuannya dalam memenuhi kebutuhan di masa yang akan datang.
Ketentuan istri yang diperbolehkan melakukan fasakh pada saat suami tidak mampu membayar mahar, itu apabila dirinya masih belum digauli atau sudah digauli dengan cara paksa. Dan apabila dirinya sudah pernah melakukan hubungan intim dengan suka rela maka hak fasakhnya menjadi gugur. Sedangkan fasakhnya menjadi beban hutang bagi pihak suami.
Setelah melapor ke qodi, si istri wajib segera berkometmen ingin melakukan fasakh, jika keinginan tersebut dikarenakan ketidak mampuan suami membayar mahar, apabila masih mengulur waktu padahal tidak ada udzur yang dibenarkan oleh syara’ maka hak fasakhnya gugur. Akan tetapi jika hal tersebut dikarenakan ketidak mampuan suami membayar nafaqah, pakaian dan tempat tinggal maka keputusan fasakhnya tidak diwajibkan segera, melainkan masih ada waktu selama tiga hari.
Menurut Imam Ibn As-Shalah bahwa seorang istri tidak boleh melakukan fasakh ketika sudah menerima sebagian dari maharnya. Akan tetapi menurut Imam Al-Barazi dalam persoalan yang seperti ini istri masih diperbolehkan melakukan fasakh.
Sedangkan yang melakukan fasakhun-nikah ini adalah Qadi atau yang mewakili atau si istri sendiri, namun harus mendapat izin dari Qadi. Dan apabila fasakh tersebut betul-betul terjadi maka ikatan di antara keduanya menjadi putus. Namun putusnya hubungan yang melalui fasakh ini tidak sama dengan yang melalui thalaq, artinya tidak mengurangi terhadap hitungan thalaq.
Paparan di atas ini apabila si istri memang tidak sabar atas kondisi ekonomi suaminya. Dan apabila sabar maka si istri harus rela memenuhi kebutuhannya dengan hartanya sendiri atau dengan cara mencari hutangan, namun yang pasti yang berkewajiban melunasinya adalah sang suami.
D. Fasid nikah
Menurut ulama’ syafi’iyah ada beberapa macam pernikahan yang dikategorikan sebagai pernikahan fasidah. Di antaranya ialah :
e. Nikah as – syighar, contohnya : aku nikahkan putriku dengan dirimu dengan syarat kamu menikahi diriku dengan putrimu, sedangkan maharnya berupa alat vital dari masing-masing putrinya, dan apabila hal tersebut tidak dijadikan mahar maka pernikahannya sah dengan cara membayar mahar mitsl
f. Nikah mu’tah : yaitu sebuah pernikahan yang dibatasi dengan waktu tertentu
g. Pernikahan yang dilakukan pada saat ihram baik ihram haji atau umrah
h. Nikahnya orang yang sedang melakukan iddah
i. Pernikahan yang dilakukan oleh pemuda muslim dengan wanita kafir ghairu kitabiyyah
j. Pernikahan seorang wanita muslimah dengan pemuda kafir
k. Pernikahan satu wanita dengan beberapa pria, yang tidak diketahui siapa yang terlebih dahulu melakukan aqad. Apabila diketahui maka itulah yang pernikahannya dianggap sah
l. Pernikahan yang dilakukan pemudah muslimah dengan wanita yang pindah-pindah agama kecuali pindah ke agama islam
m. Menikah dengan orang yang telah dilamar oleh orang lain
n. Pernikahannya orang muhallil yang hanya ingin menjadi batu loncatan agar mantan suaminya bisa kembali lagi. Akan tetapi dalam persoalan ini menurut imam Abu Hanifah dan imam Syafi’I dihukumin sah karena secara dzahiriyah telah mencukupi syarat dan rukun pernikahan.
Sedangkan konsekuensi hukum dari pernikahan ini adalah tidak diwajibkannya membayar mahar, nafaqah dan sama sekali tidak ada hubungan dengan mertuanya (setelah itu boleh menikahi mertuanya) dan anak yang diperolah dalam pernikahan tersebut tidak ada hubungan nasab dengan dirinya (anaknya boleh dikawin)

BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perceraian merupakan akhir dari sebuah pernikahan, dengan perceraian ini maka status suami istri serta hak dan kewajiban di antara keduanya akan hilang. Sedangkan bentuk serta proses dari perceraian itu sendiri begitu beragam tergantung motif yang melatarbelakanginya. Ada perceraian yang bentuk thalaq, li’an, khulu’ dan fasakh yang kesemuanya menjadi pembahasan dalam makalah ini kecuali yang berbentuk thalaq.
Sebuah perceraian akan berstatus li’an jika sang suami melakukan pembelaan diri agar dirinya terhindar dari had atau ta’zir karena telah melakukan tuduhan zina kepada sang istri, dengan proses-proses tertentu.
Dan perceraian akan berstatus khulu’ jika sang istri sudah tidak tahan mengarungi bahtera rumah tangga bersama suaminya dengan cara membayar imbalan kepada sang suami.
Dan akan berstatus fasakh jika sang suami sudah tidak mampu memenuhi kebutuhan primer sang istri di masa yang akan datang sedang sang istri tidak sabar dengan kondisi yang seperti itu.
Dan adanya perbedaan ini juga mengakibatkan konsekuensi hukum yang berbeda pula.
B. Saran
Alhamdulillah kamu ucapkan sebagai syukur atas terselesainya tugas makalah ini, namun dengan selesainya bukan berarti telah sempurna, karena kami sebagai manusia biasa sadar dan menyadari bahwa dalam diri kami tersimpan sebagai sifat kekurangan dan ketidaksempurnaan yang tentunya sangan mempengaruhi sekali terhadap kinerja kami.
Oleh sebab itulah saran dan kritikan yang bersifat membangun dari saudara, sangat kami nantikan yang nantinya akan kami jadikan landasan dalam kreatifitas yang selanjutnya, yang tentunya tujuannya tiada lain agar kami terus termotivasi kearah yang lebih baik, tentunya dimasa-masa yang akan datang. Untuk itu kami ucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya.
DAFTAR PUSTAKA
· Sy. Bakri Ibn M Syatho Ad-Dimyati, Ianatut Thatlibin, Al-Hidayah, Jus 3 – 4, Surabaya.
· Abi Abdullah Muhammad Ibn Qasim, Tausyih, Darul – Ilmi, Surabaya, Indonesia.
· Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh Al-Ilam Wa Adillatuhu, Darul-Fikr, Juz 7

Tidak ada komentar:

Posting Komentar