A. Zaman Kutai
Pada zaman ini  masyarakat Kutai yang memulai zaman sejarah Indonesia pertama kalinya  ini menampilkan nilai-nilai sosial politik, dan ketuhanan.
B. Zaman Sriwijaya
Cita-cita tentang kesejahteraan bersama dalam sesuatu negara telah tercermin pada kerajaan Sriwijaya yang berbunyi yaitu "marvuat vanua criwijaya siddhayara subhika" (suatu cita-cita negara yang adil & makmur).
C. Zaman Kerajaan-Kerajaan Sebelum Kerajaan Majapahit
Pada zaman ini
  diterapkan antara lain untuk Raja Airlangga sikap tolerensi dalam  beragama nilai-nilai kemanusiaan (hubungan dagang & kerjasama dengan  Benggala, Chola, dan Chompa) serta perhatian kesejahteraan pertanian  bagi rakyat dengan dengan membangun tanggul & waduk.
  diterapkan antara lain untuk Raja Airlangga sikap tolerensi dalam  beragama nilai-nilai kemanusiaan (hubungan dagang & kerjasama dengan  Benggala, Chola, dan Chompa) serta perhatian kesejahteraan pertanian  bagi rakyat dengan dengan membangun tanggul & waduk.D. Zaman Kerajaan Majapahit
E. Zaman Penjajahan
Setelah Majapahit runtuh maka berkembanglah agama Islam dengan pesatnya di Indonesia. Bersama dengan  itu maka berkembang pula kerajaan-karajaan Islam seperti kerajaan  Demak. Selain itu, berdatangan juga bangsa-bangsa Eropa di Nusantara.
Bangsa  asing yang masuk ke Indonesia pada awalnya berdagang, namun kemudian  berubah menjadi praktek penjajahan. Adanya penjajahan membuat perlawanan  dari rakyat Indonesia di berbagai wilayah Nusantara, namun karena tidak  adanya kesatuan & persatuan di antara mereka maka perlawanan  tersebut senantiasa sia-sia.
F. Zaman Merebut Kemerdekaan
Pada  tanggal 7 September 1944 adalah janji politik Pemerintahan Balatentara  Jepang kepada Bangsa Indonesia, bahwa Kemerdekaan Indonesia akan  diberikan besok pada tanggal 24 Agustus 1945 karena mereka menderita  kekalahan dan tekanan dari tentara sekutu dan juga tuntutan serta  desakan dari pemimpin Bangsa Indonesia.
Lalu  pada tanggal Tanggal 29 April 1945 pembentukan BPUPKI oleh Gunswikau  (Kepala Pemerintahan Balatentara Jepang di Jawa) yang bertugas untuk  menyelidiki segala sesuatu mengenai persiapan kemerdekaan Indonesia, dan  beranggotakan 60 orang terdiri dari para Pemuka Bangsa Indonesia yang  diketuai oleh Dr. Rajiman Wedyodiningrat.
Pada  awal mula Perumusan (penyusunan) sila-sila Pancasila adalah sidang  pertama BPUPKI pada tanggal 29 Mei s/d 1 Juni 1945 dengan Acara Sidang  Mempersiapkan Rancangan Dasar Negara Indonesia Merdeka. Pada tanggal 1  Juni 1945 Ir. Soekarno, berpidato dan mengusulkan tentang “Konsepsi  Dasar Falsafah Negara Indonesia Merdeka” yang diberi nama Pancasila  dengan urutan sebagai berikut :
1. Kebangsaan Indonesia
2. Peri Kemanusiaan (Internasionalisme)
3. Mufakat Demokrasi
4. Ke-Tuhanan Yang Maha Esa
Lalu  mengacu pada Rumusan pada Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan setelah  melalui rapat dan diskusi, maka telah disepakati berdasarkan sejarah  perumusan dan pengesahannya, yang shah dan resmi menurut yuridis menjadi  Dasar Negara Indonesia adalah Pancasila seperti tercantum di dalam  Pembukaan UUD 1945. Yaitu 18 Agustus 1945 sampai 1 Juni 1945 merupakan  proses menuju pengesahannya.
Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia
Pancasila  yang disahkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 merupakan dasar  filsafat negara Republik Indonesia, menurut M. Yamin bahwa berdirinya  negara kebangsaan Indonesia tidak dapat dipisahkan dengan  kerajaan-kerajaan yang ada, seperti kerajaan Kutai, Sriwijaya,  Majapahit, sampai datangnya bangsa-bangsa lain ke Indonesia untuk  menjajah dan menguasai beratus-ratus tahun lamanya. Kerajaan Kutai  memberikan andil terhadap nilai-nilai Pancasila seperti nilai-nilai  sosial politik dalam bentuk kerajaan dan nilai Ketuhanan dalam bentuk  kenduri, sedekah pada brahmana. Kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan  maritim yang mengandalkan kekuatan laut, juga mengembangkan bidang  pendidikan terbukti Sriwijaya memiliki semacam universitas agama Budha  yang sangat terkenal di Asia. Masa kejayaan kerajaan Majapahit pada  waktu rajanya Hayam Wuruk dan patihnya Gajah Mada, hidup dan berkembang  dua agama yaitu Hindu dan Budha. Majapahit melahirkan beberapa empu  seperti empu Prapanca yang menulis buku Negara Kertagama (1365) yang  didalamnya terdapat istilah “Pancasila”, sedangkan empu Tantular  mengarang buku Sutasoma yang didalamnya tercantum seloka persatuan  nasional “Bhinneka Tunggal Ika” yang artinya walaupun berbeda namun satu  jua. Pada tahun 1331 Mahapatih Gajah Mada mengucapkan sumpah Palapa  yang berisi cita-cita mempersatukan seluruh nusantara raya. Dengan  berjalannya waktu, Majapahit runtuh pada permulaan abad XVI dengan masuk  dan berkembangnya agama Islam. Setelah itu mulai berdatangan bangsa  Eropa seperti Portugis, Spanyol untuk mencari rempah-rempah. Pada akhir  abad XVI Belanda datang ke Indonesia dengan membawa bendera VOC  (Verenigde Oast Indische Compagnie) atau perkumpulan dagang.
1. Kebangkitan Nasional
Dengan  kebangkitan dunia timur pada abad XX di panggung politik internasional  tumbuh kesadaran akan kekuatan sendiri, seperti Philipina (1839) yang  dipelopori Joze Rizal, kemenangan Jepang atas Rusia di Tsunia (1905),  adapun Indonesia diawali dengan berdirinya Budi Utomo yang dipelopori  oleh dr. Wahidin Sudirohusodo pada 20 Mei 1908. Kemudian berdiri Sarekat  Dagang Islam (SDI) tahun 1909, Partai Nasional Indonesia (PNI) yang  didirikan oleh Soekarno, Cipto Mangunkusumo, Sartono dan tokoh lainnya.  Sejak itu perjuangan nasional Indonesia mempunyai tujuan yang jelas  yaitu Indonesia merdeka. Perjuangan nasional diteruskan dengan adanya  gerakan Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 yang menyatakan satu  bahasa, satu bangsa dan satu tanah air Indonesia.
2. Penjajahan Jepang
Janji  penjajah Belanda tentang Indonesia merdeka hanyalah suatu kebohongan  belaka, sehingga tidak pernah menjadi kenyataan sampai akhir penjajahan  Belanda tanggal 10 Maret 1940. Kemudian penjajah Jepang masuk ke  Indonesia dengan propaganda “Jepang pemimpin Asia, Jepang saudara tua  bangsa Indonesia”. Pada tanggal 29 April 1945 bersamaan dengan ulang  tahun
Kaisar  Jepang, penjajah Jepang akan memberikan kemerdekaan kepada bangsa  Indonesia, janji ini diberikan karena Jepang terdesak oleh tentara  Sekutu.
Bangsa  Indonesia diperbolehkan memperjuangkan kemerdekaannya, dan untuk  mendapatkan simpati dan dukungan bangsa Indonesia maka Jepang  menganjurkan untuk membentuk suatu badan yang bertugas untuk menyelidiki  usaha-usaha persiapan kemerdekaan Indonesia yaitu Badan Penyelidik  Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau Dokuritsu Zyumbi  Tioosakai. Pada hari itu juga diumumkan sebagai Ketua (Kaicoo) Dr. KRT.  Rajiman Widyodiningrat, yang kemudian mengusulkan bahwa agenda pada  siding BPUPKI adalah membahas tentang dasar negara.
3. Kronologi Perumusan Pancasila, Naskah Proklamasi dan Pembacaan Teks Proklamasi
Tanggal  Peristiwa 29 Mei 1945 Perumusan materi Pancasila oleh Mr. M. Yamin  (sidang I BPUPKI) 31 Mei 1945 (sidang I BPUPKI) 1 Juni 1945 (sidang I  BPUPKI) 22 Juni 1945 10 - 16 Juni 1945 (sidang II PUPKI) 16 Agustus 1945  Jam 04.30 Perumusan materi Pancasila oleh Mr. Supomo Ir. Soekarno  pertama kali mengusulkan nama/istilah Pancasila untuk dasar Negara  Indonesia. Beliau mengatakan bahwa nama Pancasila itu atas petunjuk  teman kita ahli bahasa. Piagam Jakarta disusun oleh Panitia Kecil yang  terdiri 9 orang yaitu : M.Hatta, A.Soebardjo, A.A.Maramis, Soekarno,  Abdul Kahar Muzakir, Wachid Hasjim, Abikusno Tjokrosujoso, A.Salim, M.  Yamin.
-  Dibentuk Panitia Perancang UUD yang diketuai oleh Soekarno dan  beranggotakan 19 orang yaitu : Soekarno, AA. Maramis, Otto  Iskandardinata, Purbojo, A. Salim, A. Soebardjo, Soepomo, Maria Ulfah  Santoso, Wachid Hasjim, Parada Harahap, J.Latuharary, Susanto  Tirtoprodjo, Sartono, Wongsonegoro, Wuryaningrat, RP. Singgih, Tan Eng  Hoat, Hoesein Djajadiningrat, Sukiman.
-  Panitia Perancang UUD kemudian membentuk Panitia Kecil Perancang UUD  yang beranggotakan 7 orang yaitu : Soepomo, Wongsonegoro, Soebardjo, AA.  Maramis, RP.Singgih, A.Salim, Sukiman.
- Dibentuk Panitia Penghalus Bahasa, terdiri dari Soepomo dan Hosein Djajadiningrat.
-  Perumusan terakhir materi Pancasila disahkan Jam 18.00 Jam 23.30 17  Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) sebagai  bagian dari Pembukaan UUD 1945.
-  Pengamanan (“penculikan”) Ir. Soekarno dan Drs.Moh. Hatta ke  Rengasdengklok oleh tokoh-tokoh pemuda dengan tujuan menghindari  pengaruh dan siasat Jepang dan mendesak bangsa Indonesia harus segera  merdeka. Tokoh pemuda terdiri : Sukarni, Winoto Danu Asmoro,  Abdulrochman dan Yusuf Kunto. Rombongan yang terdiri dari Mr.  A.Soebardjo, Sudiro dan Yusuf Kunto tiba di Rengasdengklok dengan tujuan  untuk menjemput Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta kembali ke Jakarta.  Rombongan dari Rengasdengklok tiba di Jakarta langsung menuju rumah  Laksamana Maeda di jln. Imam Bonjol no. 1. Di tempat ini tokoh-tokoh  bangsa Indonesia berkumpul untuk menyusun teks proklamasi kemerdekaan  Indonesia. Teks versi terakhir proklamasi yang telah diketik  ditandatangani oleh Ir. Soekarno dan Drs.Moh Hatta. Pembacaan teks  Proklamasi oleh Ir. Soekarno di Pegangsaan Timur no. 56 (sekarang gedung  Pola). Sidang I PPKI tanggal 18 Agustus 1945 menghasilkan keputusan  sebagai berikut :
a. mengesahkan berlakunya UUD 1945
b. memilih Presiden dan Wakil Presiden
c. menetapkan berdirinya Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sebagai badan musyawarah darurat.
Pembentukan  KNIP dalam masa transisi dari pemerintah jajahan kepada pemerintah  nasional seperti yang diatur dalam pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945.
Masa Setelah Proklamasi Kemerdekaan
Proklamasi kemerdekaan secara ilmiah mengandung pengertian sebagai berikut :
a.  dari sudut ilmu hukum (Yuridis), proklamasi merupakan saat tidak  berlakunya tertib hukum kolonial dan saat berlakunya hukum nasional.
b.  secara politis ideologis, proklamasi mengandung arti bangsa Indonesia  terbebas dari penjajahan bangsa asing dan memiliki kedaulatan untuk  menentukan nasib sendiri. Setelah proklamasi kiemerdekaan 17 Agustus  1945, negara Indonesia masih menghadapi tentara sekutu yang berupaya  menanamkan kembali kekuasaan Belanda di Indonesia, yaitu pemaksaan untuk  mengakui pemerintahan NICA (Netherlands Indies Civil Administration).
Selain  itu Belanda secara licik mempropagandakan kepada dunia luar bahwa  kemerdekaan Indonesia adalah hadiah dari Jepang. Untuk melawan  propaganda tersebut, pemerintah Indonesia mengeluarkan tiga buah  maklumat sebagai berikut :
1.  Maklumat Wakil Presiden No. x (iks) tanggal 16 Oktober 1945 yang  menghentikan kekuasaan luar biasa dari Presiden sebelum masa waktunya  (seharusnya selama 6 bulan). Kemudian maklumat tersebut memberikan  kekuasaan MPR dan DPR yang semula dipegang oleh Presiden kepada KNIP.
2.  Maklumat Pemerintah tanggal 3 Nopember 1945, tentang pembentukan partai  politik sebanyak-banyaknya oleh rakyat. Hal ini sebagai akibat dari  anggapan bahwa salah satu ciri demokrasi adalah multi partai. Maklumat  ini juga sebagai upaya agar dunia luar menilai bahwa negara Indonesia  sebagai negara yang demokratis.
3.  Maklumat Pemerintah tanggal 14 Nopember 1945, intinya maklumat ini  mengubah sistem kabinet Presidensial menjadi system kabinet Parlementer  berdasarkan asas demokrasi liberal. Keluarnya tiga maklumat tersebut  mengakibatkan ketidakstabilan di bidang politik karena sistem demokrasi  liberal bertentangan dengan UUD 1945, serta secara ideologis  bertentangan dengan Pancasila. Akibat penerapan sistem kabinet  parlementer maka pemerintahan Negara Indonesia mengalami jatuh bangun  sehingga membawa konsekuensi serius terhadap kedaulatan negara  Indonesia.
Pembentukan Negara Republik Indonesia Serikat (RIS)
Konferensi  Meja Bundar di Den Haag tanggal 27 Desember 1949 merupakan suatu  persetujuan yang ditandatangani antara Ratu Belanda Yuliana dan  Pemerintah Indonesia yang menghasilkan keputusan antara lain :
a. Konstitusi RIS menentukan bantuk negara serikat (federal) yang membagi negara Indonesia terdiri dari 16 negara bagian.
b.  Konstitusi RIS menentukan sifat pemerintahan berdasarkan asas demokrasi  liberal, para menteri bertanggung jawab kepada parlemen.
c.  Mukadimah Konstitusi RIS menghapuskan jiwa dan isi Pembukaan UUD 1945.  Sebelum persetujuan KMB, bengsa Indonesia telah memiliki kedaulatan,  oleh karena itu persetujuan KMB bukan penyerahan kedaulatan melainkan  “pemulihan kedaulatan”.
Terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia 1950.
Berdirinya  negara RIS dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia adalah sebagai satu  taktik secara politis, untuk tetap konsisten terhadap deklarasi  proklamasi yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945 yaitu Negara  persatuan dan kesatuan sebagaimana dalam alinea keempat, bahwa  pemerintah negara “………., yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan  seluruh tumpah darah negara Indonesia……….” , yang berdasarkan UUD 1945  dan Pancasila. Maka terjadilah gerakan unitaristis secara spontan dan  rakyat membentuk negara kesatuan menggabungkan diri dengan negara  proklamasi RI yang berpusat di Jogyakarta. Pada suatu ketika negara  bagian RIS tinggal tiga buah saja yaitu Negara Bagian RI Proklamasi,  Negara Indonesia Timur (NIT), dan Negara Sumatra Timur (NST). Akhirnya  berdasarkan persetujuan RIS dengan negara RI tanggal 19 Mei 1950 seluruh  negara bersatu dalam Negara kesatuan dengan konstitusi sementara yang  berlaku sejak 17 Agustus 1950 dengan nama UUD Sementara 1950.
Dekrit Presiden 5 Juli 1959
Hasil  Pemilu 1955 dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi keinginan  masyarakat bahkan mengakibatkan ketidakstabilan pada bidang  poleksosbudhankam, keadaan ini disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut:
a. Makin berkuasanya modal-modal raksasa terhadap perekonomian Indonesia.
b. Akibat sering bergantinya sistem cabinet
c. Sistem liberal pada UUD Sementara 1950 mengakibatkan jatuh bangunnya kabinet/pemerintahan.
d. DPR hasil Pemilu 1955 tidak mampu mencerminkan perimbangan kekuatan politik yang ada.
e.  Faktor yang menentukan adanya dekrit presiden adalah gagalnya  Konstituante untuk membentuk UUD yang baru. Dari kegagalan tersebut  diatas presiden akhirnya mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959 yang isinya :
1. Membubarkan Konstituante
2. Menetapkan berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya UUDS 1950.
  3. Dibentuknya MPRS dan DPAS dalam waktu sesingkat-singkatnya. Dengan  berlakunya UUD 1945 selanjutnya terjadi pelaksanaan pemerintahan Orde  Lama sampai tahun 1966 akibat adanya pemberontakan PKI 1 Oktober 1965  atau yang dikenal dengan G.30 S/ PKI. Setelah pemberontakan dapat  dikuasai oleh penerima Supersemar yaitu Letjen Suharto maka pemerintahan  melaksanakan ketentuan UUD 1945 secara murni dan konsekuen,  pemerintahan ini disebut sebagai pemerintahan Orde Baru yang berkuasa  sampai tahun 1998, kemudian digantikan dengan pemerintahan Reformasi  sampai saat sekarang.
Dinamika Aktualisasi Nilai Pancasila
Alfred  North Whitehead (1864 – 1947), tokoh utama filsafat proses,  berpandangan bahwa semua realitas dalam alam mengalami proses atau  perubahan, yaitu kemajuan, kreatif dan baru. Realitas itu dinamik dan  suatu proses yang terus menerus “menjadi”, walaupun unsur permanensi  realitas dan identitas diri dalam perubahan tidak boleh diabaikan. Sifat  alamiah itu dapat pula dikenakan pada ideologi Pancasila sebagai suatu  realitas (pengada). Masalahnya, bagaimanakah nilai-nilai Pancasila itu  diaktualisasikan dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara ? dan,  unsur nilai Pancasila manakah yang mesti harus kita pertahankan tanpa  mengenal perubahan ? Moerdiono (1995/1996) menunjukkan adanya 3 tataran  nilai dalam ideologi Pancasila. Tiga tataran nilai itu adalah: Pertama, nilai dasar,  yaitu suatu nilai yang bersifat amat abstrak dan tetap, yang terlepas  dari pengaruh perubahan waktu.Nilai dasar merupakan prinsip, yang  bersifat amat abstrak, bersifat amat umum, tidak terikat oleh waktu dan  tempat, dengan kandungan kebenaran yang bagaikan aksioma.Dari segi  kandungan nilainya, maka nilai dasar berkenaan dengan eksistensi  sesuatu, yang mencakup cita-cita, tujuan, tatanan dasar dan ciri  khasnya. Nilai dasar Pancasila ditetapkan oleh para pendiri negara.Nilai  dasar Pancasila tumbuh baik dari sejarah perjuangan bangsa Indonesia  melawan penjajahan yang telah menyengsarakan rakyat, maupun dari  cita-cita yang ditanamkan dalam agama dan tradisi tentang suatu  masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan kebersamaan, persatuan dan  kesatuan seluruh warga masyarakat. Kedua, nilai instrumental,  yaitu suatu nilai yang bersifat kontekstual. Nilai instrumental  merupakan penjabaran dari nilai dasar tersebut, yang merupakan arahan  kinerjanya untuk kurun waktu tertentu dan untuk kondisi tertentu. Nilai  instrumental ini dapat dan bahkan harus disesuaikan dengan tuntutan  zaman. Namun nilai instrumental haruslah mengacu pada nilai dasar yang  dijabarkannya. Penjabaran itu bisa dilakukan secara kreatif dan dinamik  dalam bentuk-bentuk baru untuk mewujudkan semangat yang sama, dalam  batas-batas yang dimungkinkan oleh nilai dasar itu.Dari kandungan  nilainya, maka nilai instrumental merupakan kebijaksanaan, strategi,  organisasi, sistem, rencana, program, bahkan juga proyek-proyek yang  menindaklanjuti nilai dasar tersebut. Lembaga negara yang berwenang  menyusun nilai instrumental ini adalah MPR, Presiden, dan DPR. Ketiga, nilai praksis,  yaitu nilai yang terkandung dalam kenyataan sehari-hari, berupa cara  bagaimana rakyat melaksanakan (mengaktualisasikan) nilai Pancasila.  Nilai praksis terdapat pada demikian banyak wujud penerapan nilai-nilai  Pancasila, baik secara tertulis maupun tidak tertulis, baik oleh cabang  eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, oleh organisasi kekuatan sosial  politik, oleh organisasi kemasyarakatan, oleh badan-badan ekonomi, oleh  pimpinan kemasyarakatan, bahkan oleh warganegara secara perseorangan.  Dari segi kandungan nilainya, nilai praksis merupakan gelanggang  pertarungan antara idealisme dan realitas. Jika ditinjau dari segi  pelaksanaan nilai yang dianut, maka sesungguhnya pada nilai praksislah  ditentukan tegak atau tidaknya nilai dasar dan nilai instrumental itu.  Ringkasnya bukan pada rumusan abstrak, dan bukan juga pada  kebijaksanaan, strategi, rencana, program atau proyek itu sendiri  terletak batu ujian terakhir dari nilai yang dianut, tetapi pada  kualitas pelaksanaannya di lapangan. Bagi suatu ideologi, yang paling  penting adalah bukti pengamalannya atau aktualisasinya dalam kehidupan  bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Suatu ideologi dapat mempunyai  rumusan yang amat ideal dengan ulasan yang amat logis serta konsisten  pada tahap nilai dasar dan nilai instrumentalnya. Akan tetapi, jika pada  nilai praksisnya rumusan tersebut tidak dapat diaktualisasikan, maka  ideologi tersebut akan kehilangan kredibilitasnya.Bahkan Moerdiono  (1995/1996: 15) menegaskan, bahwa bahwa tantangan terbesar bagi suatu  ideologi adalah menjaga konsistensi antara nilai dasar, nilai  instrumental, dan nilai praksisnya. Sudah barang tentu jika konsistensi  ketiga nilai itu dapat ditegakkan, maka terhadap ideologi itu tidak akan  ada masalah. Masalah baru timbul jika terdapat inkonsisitensi dalam  tiga tataran nilai tersebut. Untuk menjaga konsistensi dalam  mengaktualisasikan nilai Pancasila ke dalam praktik hidup berbangsa dan  bernegara, maka perlu Pancasila formal yang abstrak-umum-universal itu  ditransformasikan menjadi rumusan Pancasila yang umum kolektif, dan  bahkan menjadi Pancasila yang khusus individual (Suwarno, 1993: 108).  Artinya, Pancasila menjadi sifat-sifat dari subjek kelompok dan  individual, sehingga menjiwai semua tingkah laku dalam lingkungan  praksisnya dalam bidang kenegaraan, politik, dan pribadi. Driyarkara  menjelaskan proses pelaksanaan ideologi Pancasila, dengan gambaran gerak  transformasi Pancasila formal sebagai kategori tematis (berupa konsep, teori) menjadi kategori imperatif (berupa norma-norma) dan kategori operatif (berupa  praktik hidup). Proses tranformasi berjalan tanpa masalah apabila tidak  terjadi deviasi atau penyimpangan, yang berupa pengurangan,  penambahan,dan penggantian (dalam Suwarno, 1993: 110- 111).  Operasionalisasi Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan  bernegara haruslah diupayakan secara kreatif dan dinamik, sebab  Pancasilasebagai ideologi bersifat futuralistik. Artinya, nilai-nilai  yang terkandung dalam Pancasila merupakan nilai-nilai yang  dicita-citakan dan ingin diwujudkan. Masalah aktualisasi nilai-nilai  dasar ideologi Pancasila ke dalam kehidupan praksis kemasyarakatan dan  kenegaraan bukanlah masalah yang sederhana. Soedjati Djiwandono (1995:  2-3) mensinyalir, bahwa masih terdapat beberapa kekeliruan yang mendasar  dalam cara orang memahami dan menghayati Negara Pancasila dalam  berbagai seginya. Kiranya tidak tepat membuat “sakral” dan taboo  berbagai konsep dan pengertian, seakan-akan sudah jelas betul dan pasti  benar, tuntas dan sempurna, sehingga tidak boleh dipersoalkan lagi.  Sikap seperti itu membuat berbagai konsep dan pengertian menjadi statik,  kaku dan tidak berkembang, dan mengandung resiko ketinggalan zaman,  meskipun mungkin benar bahwa beberapa prinsip dasar memang mempunyai  nilai yang tetap dan abadi. Belum teraktualisasinya nilai dasar  Pancasila secara konsisten dalam tataran praksis perlu terus menerus  diadakan perubahan, baik dalam arti konseptual maupun operasional.  Banyak hal harus ditinjau kembali dan dikaji ulang. Beberapa mungkin  perlu dirubah, beberapa lagi mungkin perlu dikembangkan lebih lanjut dan  dijelaskan atau diperjelas, dan beberapa lagi mungkin perlu  ditinggalkan. Aktualisasi nilai Pancasila dituntut selalu mengalami  pembaharuan. Hakikat pembaharuan adalah perbaikan dari dalam dan melalui  sistem yang ada. Atau dengan kata lain, pembaharuan mengandaikan adanya  dinamika internal dalam diri Pancasila. Mengunakan pendekatan teori  Aristoteles, bahwa di dalam diri Pancasila sebagai pengada (realitas)  mengandung potensi, yaitu dasar kemungkinan (dynamik). Potensi dalam  pengertian ini adalah kemampuan real subjek (dalam hal ini Pancasila)  untuk dapat berubah. Subjek sendiri yang berubah dari dalam. Mirip  dengan teori A.N.Whitehead, setiap satuan aktual (sebagai aktus,  termasuk Pancasila) terkandung daya kemungkinan untuk berubah. Bukan  kemungkinan murni logis atau kemungkinan objektif, seperti batu yang  dapat dipindahkan atau pohon yang dapat dipotong. Bagi Whitehead, setiap  satuan aktual sebagai realitas merupakan sumber daya untuk proses  kemenjadi-an yang selanjutnya. Jika dikaitkan dengan aktualisasi nilai  Pancasila, maka pada dasarnya setiap ketentuan hukum dan  perundang-undangan pada segala tingkatan, sebagai aktualisasi nilai  Pancasila (transformasi kategori tematis menjadi kategori imperatif),  harus terbuka terhadap peninjauan dan penilaian atau pengkajian tentang  keterkaitan dengan nilai dasar Pancasila. Untuk melihat transformasi  Pancasila menjadi norma hidup sehari-hari dalam bernegara orang harus  menganalisis pasal-pasal penuangan sila ke-4 yang berkaitan dengan  negara, yang meliputi; wilayah, warganegara, dan pemerintahan yang  berdaulat. Selanjutnya, untuk memahami transformasi Pancasila dalam  kehidupan berbangsa, orang harus menganalisis pasal-pasal penuangan sila  ke-3 yang berkaitan dengan bangsa Indonesia, yang meliputi;  faktor-faktor integratif dan upaya untuk menciptakan persatuan  Indonesia. Sedangkan untuk memahami transformasi Pancasila dalam  kehidupan bermasyarakat, orang harus menganalisis pasal-pasal penuangan  sila ke-1, ke-2, dan ke-5 yang berkaitan dengan hidup keagamaan,  kemanusiaan dan sosial ekonomis (Suwarno, 1993: 126).




Tidak ada komentar:
Posting Komentar