PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan salah satu negara multikultural terbesar di dunia. Hal ini dapat dilihat dari kondisi sosio-kultural, agama maupun geografis yang begitu beragam dan luas. Sekarang ini, jumlah pulau yang ada di wilayah negara kesatuan republik indonesia (NKRI) sekitar 13.000 pulau besar dan kecil. Populasi penduduknya berjumlah lebih dari 200 juta jiwa, terdiri dari 300 suku yang menggunakan hampir 200 bahasa yang berbeda. Selain itu mereka juga menganut agama dan kepercayaan yang beragam seperti Islam, Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Budha, Konghucu serta berbagai macam aliran kepercayaan.
Merupakan kenyataan yang tak bisa ditolak bahwa negara-bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai kelompok etnis, budaya, dan agama disebut sebagai masyarakat "multikultural". Tetapi pada pihak lain, realitas "multikultural" tersebut berhadapan dengan kebutuhan mendesak untuk merekonstruksi kembali "kebudayaan nasional Indonesia" yang dapat menjadi "integrating force" yang mengikat seluruh keragaman etnis dan budaya tersebut.
Perbedaan budaya merupakan sebuah konduksi dalam hubungan interpersonal. Sebagai contoh ada orang yang bila diajak bicara (pendengar) dalam mengungkapkan perhatiannya cukup dengan mengangguk-anggukan kepala sambil berkata "uh huh". Namun dalam kelompok lain untuk menyatakan persetujuan cukup dengan mengedipkan kedua matanya. Dalam beberapa budaya, individu-individu yang berstatus tinggi biasanya yang memprakarsai, sementara individu yang statusnya rendah hanya menerima saja sementara dalam budaya lain justru sebaliknya.
Beberapa psikolog menyatakan bahwa budaya menunjukkan tingkat intelegensi masyarakat. Sebagai contoh, gerakan lemah gemulai merupakan ciri utama masyarakat Bali. Oleh karena kemampuannya untuk menguasai hal itu merupakan ciri dari tingkat intelligensinya. Sementara manipulasi dan rekayasa kata dan angka menjadi penting dalam masyarakat Barat. Oleh karenanya "keahlian" yang dimiliki seseorang itu menunjukkan kepada kemampuan intelejensinya
Paling tidak ada tiga kelompok sudut pandang yang biasa berkembang dalam menyikapi perbedaan identitas kaitannya dengan konflik yang sering muncul. Pertama, pandangan Primordialis. Kelompok ini menganggap, perbedaan-perbedaan yang berasal dari genetika seperti suku, ras (dan juga agama) merupakan sumber utama lahirnya benturan-benturan kepentingan etnis maupun agama. Kedua, pandangan kaum Instrumentalis. Menurut mereka, suku, agama dan identitas yang lain dianggap sebagai alat yang digunakan individu atau kelompok untuk mengejar tujuan yang lebih besar, baik dalam bentuk materiil maupun non-materiil. Konsepsi ini lebih banyak digunakan oleh politisi dan para elit untuk mendapatkan dukungan dari kelompok identitas. Dengan meneriakkan "Islam" misalnya, diharapkan semua orang Islam merapatkan barisan untuk mem-back up kepentingan politiknya. Oleh karena itu, dalam pandangan kaum instrumentalis, selama setiap orang mau mengalah dari prefence yang dikehendaki elit, selama itu pula benturan antar kelompok identitas dapat dihindari bahkan tidak terjadi. Ketiga, kaum Konstruktivis, yang beranggapan bahwa identitas kelompok tidak bersifat kaku, sebagaimana yang dibayangkan kaum primordialis. Etnisitas, bagi kelompok ini, dapat diolah hingga membentuk jaringan relasi pergaulan sosial. Karenanya, etnisitas merupakan sumber kekayaan hakiki yang dimiliki manusia untuk saling mengenal dan memperkaya budaya. Bagi mereka, persamaan adalah anugerah dan perbedaan adalah berkah.
Keragaman ini dapat menimbulkan berbagai persoalan seperti yang sekarang dihadapi bangsa ini. Korupsi, kolusi, nepotisme, premanisme, perseteruan politik, kekerasan, separatisme, Perusakan lingkungan dan hilangnya rasa kemanusiaan untuk selalu menghormati hak-hak orang lain, adalah bentuk nyata sebagai bagian dari Multikulturalisme itu.
Salah satu faktor yang diyakini oleh masyarakat dalam kelangsungan hidup manusia adalah pendidikan. Pendidikanlah yang mampu menstimulus perubahan sosial kearah terbentuknya suatu kondisi masyarakat yang dicita-citakan. Asumsi bahwa untuk mencapai kemajuan peradaban maka salah satu alternatif faktor pendidikan. Hal ini disebabkan masalah pendidikan adalah merupakan masalah yang sangat penting dalam kehidupan, bukan saja sangat penting, bahkan masalah pendidikan itu sama sekali tidak dapat dipisahkan dari kehidupan. Baik dalam kehidupan keluarga, maupun dalam kehidupan bangsa dan negara. Maju mundurnya suatu bangsa sebagian besar ditentukan oleh maju mundurnya pendidikan negara itu.
Setiap kegiatan apapun bentuk dan jenisnya, sadar atau tidak sadar, selalu diharapkan kepada tujuan yang ingin dicapai. Bagaimanapun segala sesuatu atau usaha yang tidak mempunyai tujuan tidak akan mempunyai arti apa-apa. Dengan demikian, tujuan merupakan faktor yang sangat menentukan.
Pendidikan sebagai bentuk kegiatan manusia dalam kehidupannya juga menempatkan tujuan sebagai sesuatu yang hendak dicapai, baik tujuan yang dirumuskan itu bersifat abstrak sampai pada rumusan-rumusan yang dibentuk secara khusus untuk memudahkan pencapaian tujuan yang lebih tinggi. Begitu juga dikarenakan pendidikan merupakan bimbingan terhadap perkembangan manusia menuju kearah cita-cita tertentu, maka yang merupakan masalah pokok bagi pendidikan ialah arah tujuan yang ingin dicapai.
Tujuan pendidikan yang ditentukan oleh negara merupakan kesepakatan bersama yang patut dihormati. Sebagai suatu kesepakatan, tujuan pendidikan bukanlah merupakan suatu dogma yang tidak berubah bahkan merupakan patokan yang terus bergerak ke depan untuk lebih menyempurnakan upaya untuk memerdekakan warganya.
Pemerintah telah mempunyai Undang-undang baru mengenai pendidikan nasional yaitu Undang-undang No. 20 Tahun 2003. dengan segala hal-hal yang positif yang dijanjikan oleh undang-undang tersebut, sayang sekali pengaturan mengenai keterkaitan yang erat antara kebudayaan dan pendidikan tidak begitu ditonjolkan di dalam undang-undang tersebut. Menurut Tilaar, hanya dalam Pasal 4 Ayat 1 sedikit disinggung mengenai masalah nilai-nilai kultural sebagai salah satu prinsip penyelenggaraan pendidikan yang harus memperhatikan nilai-nilai kultural dan kemajemukan bangsa.
Pendidikan di indonesia secara umum, seringkali diklaim kurang mampu dalam menjawab tantangan, perubahan, dan tuntutan masyarakat, sehingga out-putnya kurang memiliki kesiapan riil bagi kepentingan profesi dan juga pengembangan bagi disiplinnya ilmu. Pendidikan yang seharusnya berwatak dinamis, kreatif telah terjerat oleh kepentingan-kepentingan emosional yang sifatnya semu. Banyak muatan yang sifatnya sesaat telah terikat sedemikian rupa seolah menjadi inti yang harus digeluti. Sehingga wajar saja kritik tajam melanda dunia pendidikan pada umumnya, karena sampai hari ini dirasakan pendidikan selalu disibukkan pada masalah-masalah teknis yang sangat dangkal, seperti praktek-praktek pendidikan yang mengharapkan lulusannya mampu berproduksi secara nyata, siap pakai, sesuai dengan perkembangan industri, dan semacamnya tanpa mempertimbangkan lagi aktivitas pendidikan yang lebih esensial dan substansial.
Pengajaran agama berkaitan dengan proses pendidikan dalam lembaga pendidikan formal dan nonformal. Pengajaran agama dengan jelas telah diatur di dalam undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 12 ayat (1a) dengan jelas menyebutkan bahwa pengajaran agama (di dalam undang-undang tersebut disebutkan pendidikan agama) harus diberikan disemua satuan pendidikan baik formal maupun nonformal. Bahkan di dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah-sekolah asing harus memberikan pelajaran agama dari pengajar yang seagama dengan peserta-didik.
Pengajaran agama sebagai suatu bentuk dari kebudayaan tentunya harus sejalan dengan pendidikan keagamaan dalam suatu masyarakat. Kedua-duanya mengenal hegemoni nilai-nilai agama di dalam kehidupan bersama. Apabila pelajaran agama ditekankan kepada bentuk-bentuk yang normatif, prosedural, obyektif dalam pelaksanaan ajaran dan nilai-nilai agama tertentu, maka pendidikan keagamaan sifatnya sangat inklusif bahkan sangat substantif.
Secara umum pendidikan agama islam merupakan mata pelajaran yang dikembangkan dari ajaran-ajaran dasar yang terdapat dalam agama islam. Ajaran-ajaran tersebut terdapat dalam al-qur’an dan al-hadits. Untuk kepentingan pendidikan, dengan melalui proses ijtihad para ulama mengembangkan materi pendidikan agama islam pada tingkat yang lebih rinci. Mata pelajaran pendidikan agama islam tidak hanya mengantarkan peserta didik untuk menguasai berbagai ajaran islam. Tetapi yang terpenting adalah bagaimana peserta didik dapat mengamalkan ajaran-ajaran itu dalam kehidupan sehari-hari. Mata pelajaran pendidikan agama islam menekankan keutuhan dan keterpaduan antara ranah kognitif, afektif dan psikomotornya. Tujuan akhir dari mata pelajaran pendidikan agama islam di SMA adalah terbentuknya peserta didik yang memiliki akhlak mulia. Tujuan inilah yang sebenarnya merupakan misi utama diutusnya Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian pendidikan akhlak adalah jiwa dari pendidikan agama islam. Mencapai akhlak yang mulia adalah tujuan sebenarnya dari pendidikan.
Apa yang kita saksikan selama ini, entah karena kegagalan pembentukan individu atau karena yang lain, nilai-nilai yang mempunyai implikasi sosial dalam istilah Qodry Azizy disebut dengan moralitas sosial atau etika sosial atau AA. Gym menyebutnya dengan krisis akhlak hampir tidak pernah mendapat perhatian serius. Padahal penekanan terpenting dari ajaran Islam pada dasrnya adalah hubungan antar sesama manusia (mu’amalah bayna al-nas) yang sarat dengan nilai-nilai yang berkaitan dengan moralitas sosial itu.
Saat ini kurikulum pendidikan agama islam di SMA dinilai masih belum bisa seiring dan sejalan dengan tujuan yang ingin dicapai oleh mata pelajaran pendidikan agama islam itu sendiri. Realita yang ada siswa masih banyak yang tidak senang terhadap pelajaran pendidikan agama islam, mereka merasa jenuh dan bosan terhadap pendidikan agama islam karena memang metode yang digunakan kurang bisa memberikan warna yang sangat berarti bagi siswa.
Untuk memperbaiki pendidikan terlebih dahulu harus mengetahui bagaimana manusia belajar dan bagaimana cara mengajarnya. Kedua kegiatan tersebut dalam rangka memahami cara manusia mengkonstruksi pengetahuannya tentang objek-objek dan peristiwa-peristiwa yang dijumpai selama kehidupannya. Manusia akan mencari dan menggunakan hal-hal atau peralatan yang dapat membantu memahami pengalamannya.
Agar dapat memfungsikan, dan merealisasikan hal tersebut, diperlukan suatu cara yang sistematis, terencana, berdasarkan pendekatan interdisipliner, serta mensistesikan pendidikan islam dengan disiplin atau konsep paradigma lain. Karena perkembangan masyarakat semakin komplek dan tentunya akan mengarahkan potensi yang ada pada diri manusia dengan cepat berdasarkan pengalaman-pengalaman yang didapat dari kompleksitas sosial masyarakat itu sendiri.
Berdasarkan permasalahan di atas, maka dalam skripsi ini diambil judul Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Multikultural (Studi Kasus di SMA Negeri 1 Malang). Bagaimana Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Multikultural menawarkan satu alternatif melalui penerapan strategi dan konsep pembelajaran pendidikan agama islam yang berbasis pada pemanfaatan keragaman yang ada pada masyarakat.
B. Fokus Penelitian
Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti mengambil fokus penelitian sebagai berikut:
1. Perencanaan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Multikultural di SMA Negeri 1 Malang.
2. Pelaksanaan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Multikultural di SMA Negeri 1 Malang.
3. Evaluasi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Multikultural di SMA Negeri 1 Malang.
4. Faktor-faktor pendukung dan penghambat Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Multikultural di SMA Negeri 1 Malang.
C. Tujuan Penelitian
Dari fokus penelitian diatas, maka penelitian ini bertujuan:
1. Mendiskripsikan Perencanaan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Multikultural di SMA Negeri 1 Malang.
2. Mendiskripsikan Pelaksanaan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Multikultural di SMA Negeri 1 Malang.
3. Mendiskripsikan Evaluasi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Multikultural di SMA Negeri 1 Malang.
4. Mendiskripsikan Faktor-faktor pendukung dan penghambat Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Multikultural di SMA Negeri 1 Malang.
D. Manfaat Penelitian
Setelah menentukan tujuan, selanjutnya menentukan kegunaan penelitian atau manfaat dari dilaksanakannya suatu penelitian, baik untuk pengembangan teori, bagi peneliti maupun khalayak umum. Karena secara rinci guna penelitian dijadikan peta yang mengambarkan tentang suatu keadaan, sarana diagnosis mencari sebab akibat, menyusun kebijakan, melukiskan kemampuan dalam pembiayaan, pembekalan tenaga kerja dan lain-lain.
Adapun dalam penelitian ini memiliki kegunaan, sebagai berikut:
1. Bagi Peneliti, adalah sebagai pengetahuan dalam dunia pendidikan, khususnya tentang Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Multikultural.
2. Bagi Lembaga pendidikan, adalah sebagai pengetahuan dalam mengembangakan kualitas pendidikan, khususnya bagaimana Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Multikultural diterapkan di lembaga pendidikan.
3. Bagi Khalayak umum adalah sebagai pengetahuan atau informasi untuk menambah partisipasi dan kepedulian terhadap pendidikan.
E. Ruang Lingkup Penelitian
Pendidikan memiliki beberapa aspek, diantaranya adalah :
1. Kurikulum dan Pembelajaran
2. Ketenagaan
3. Kesiswaan
4. Keuangan
5. Sarana dan Prasarana
6. Kerjasama atau Humasy
Atas dasar inilah peneliti lebih menitikberatkan pada aspek pembelajaran. Adapun dalam penelitian ini, fokus penelitiannya adalah pembelajaran pendidikan agama islam berbasis multikultural di SMA Negeri 1 Malang.
F. Sistematika Pembahasan
Dalam tulisan ilmiah unsur yang paling penting adalah bagaimana tulisan ini disusun dengan sistematis dan mempunyai hubungan antara masalah yang di atas dengan di bawahnya. Sistematika isi penelitian yang telah dideskripsikan dalam skripsi ini sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan, meliputi: Latar Belakang Masalah, Fokus Penelitian, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Ruang Lingkup Penelitian, dan Sistematika Pembahasan.
Bab II Kajian Pustaka, meliputi: A. Pendidikan Agama Islam: Pengertian Pendidikan Agama Islam, Tujuan Pendidikan Agama Islam, Fungsi Pendidikan Agama Islam, Kedudukan Pendidikan Agama Islam di Sekolah dan Ruang Lingkup Pendidikan Agama Islam. B. Konsep Pembelajaran: Pengertian Pembelajaran, Tujuan Pembelajaran dan Tahap-tahap Proses dalam Pembelajaran. C. Konsep Multikultural: Pengertian Multikultural dan Pendekatan Multikultural dalam Pendidikan Agama: Urgensi dan Signifikasi. D. Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Multikultural.
Bab III Metode Penelitian: Pendekatan dan Jenis penelitian, Kehadiran Peneliti, Lokasi Penelitian, Sumber Data, Prosedur Pengumpulan Data, Teknik Analisis Data, Pengecekan Keabsahan Temuan, dan Tahap-tahap Penelitian.
Bab IV Hasil Penelitian, meliputi: A. Latar Belakang Objek: Sejarah Singkat SMA Negeri 1 Malang, Visi dan Misi SMA Negeri 1 Malang, Struktur Organisasi SMA Negeri 1 Malang, Daftar Guru, Karyawan dan Siswa SMA Negeri 1 Malang, dan Denah Ruang SMA Negeri 1 Malang. B. Penyajian Data: 1. Perencanaan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Multikultural di SMA Negeri 1 Malang. 2. Pelaksanaan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Multikultural di SMA Negeri 1 Malang. 3. Evaluasi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Multikultural di SMA Negeri 1 Malang. 4. Faktor Pendukung dan Penghambat Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Multikultural di SMA Negeri 1 Malang.
Bab V Pembahasan Hasil Penelitian.
Bab VI Penutup, meliputi: Kesimpulan dan Saran.
ditempatkan pada posisi strategis dan tak dapat BAB II
KAJIAN TEORITIS
A. Pendidikan Agama Islam (PAI) di SMA
1. Pengertian Pendidikan Agama Islam (PAI)
Di dalam Kurikulum PAI 2004 sebagaimana dikutip oleh Ramayulis disebutkan bahwa Pendidikan Agama Islam (PAI) adalah upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati, mengimani, bertakwa, berakhlak mulia, mengamalkan ajaran agama islam dari sumber utamanya kitab suci al-qur’an dan al-hadits melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, latihan, serta penggunaan pengalaman.
Menurut Zakiyah Daradjat sebagaimana dikutip oleh Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam (PAI) adalah suatu usaha untuk membina dan mengasuh peserta didik agar senantiasa dapat memahami ajaran islam secara menyeluruh. Lalu menghayati tujuan, yang pada akhirnya dapat mengamalkan serta menjadikan islam sebagai pandangan hidup.
Di dalam GBPP Pendidikan Agama Islam (PAI) di sekolah umum, dijelaskan bahwa Agama Islam (PAI) adalah usaha sadar untuk menyiapkan siswa dalam meyakini, memahami, menghayati, dan mengamalkan agama islam melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/atau latihan dengan memperhatikan tuntutan untuk menghormati agama lain dalam hubungan kerukunan antar umat beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan persatuan nasional.
Esensi dari pendidikan adalah adanya proses transfer nilai, pengetahuan, dan keterampilan dari generasi tua kepada generasi muda agar generasi muda mampu hidup. Oleh karena itu ketika kita menyebut pendidikan agama islam, maka akan mencakup dua hal, yaitu : (a) Mendidik siswa untuk berperilaku sesuai dengan nilai-nilai atau akhlak islam; (b) Mendidik siswa-siswi untuk mempelajari materi ajaran agama islam.
Dari pengertian tersebut dapat ditemukan beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) yaitu :
a. Pendidikan Agama Islam (PAI) sebagai usaha sadar, yakni suatu kegiatan bimbingan, pengajaran dan/atau latihan yang dilakukan secara berencana dan sadar atas tujuan yang hendak dicapai.
b. Peserta didik yang hendak disiakan untuk mencapai tujuan; dalam arti ada yang dibimbing, diajari dan/atau dilatih dalam peningkatan keyakinan, pemahaman, penghayatan dan pengamalan terhadap ajaran agama islam.
c. Pendidik atau Guru Pendidikan Agama Islam (GPAI) yang melakukan kegiatan bimbingan, pengajaran dan/atau latihan secara sadar terhadap peserta didiknya untuk mencapai tujuan Pendidikan Agama Islam (PAI).
d. Kegiatan (pembelajaran) Pendidikan Agama Islam (PAI) diarahkan untuk meningkatkan keyakinan, pemahaman, penghayatan, dan pengamalan ajaran agama islam dari peserta didik, yang disamping untuk membentuk kesalehan-kesalehan atau kualitas pribadi, juga sekaligus untuk membentuk kesalehan social. Dalam arti, kualitas atau kesalehan pribadi itu diharapkan mampu memancar keluar dalam hubungan keseharian dengan manusia lainnya (bermasyarakat), baik yang seagama (sesame muslim) atau yang tidak seagama (hubungan dengan non muslim), serta dalam berbangsa dan bernegara sehingga dapat terwujud persatuan dan kesatuan nasional (ukhuwah wathoniyah) dan bahkan ukhuwah insaniyah (persatuan dan kesatuan antar sesama manusia).
2. Tujuan Pendidikan Agama Islam (PAI)
Di dalam GBPP PAI 1994 sebagaimana dikutip oleh muhaimin disebutkan bahwa secara umum, Pendidikan Agama Islam (PAI) bertujuan untuk “meningkatkan keimanan, pemahaman, penghayatan dan pengamalan peserta didik tentang agama islam, sehingga menjadi manusia muslim yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara”.
Dengan demikian dapatlah dipahami bahwa tujuan pendidikan agama Islam adalah sama dengan tujuan Manusia diciptakan, yakni untuk berbakti kepada Allah SWT sebenar-benarnya bakti atau dengan kata lain untuk membentuk Manusia yang bertaqwa, berbudi luhur, serta memahami, meyakini, dan mengamalkan ajaran-ajaran agama, yang menurut istilah marimba disebut terbentuknya kepribadian muslim
Dari tujuan tersebut dapat ditarik beberapa dimensi yang hendak ditingkatkan dan dituju oleh kegiatan pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI), yaitu :
1. Dimensi keimanan peserta didik terhadap ajaran agama islam.
2. Dimensi pemahaman atau penalaran (intelektual) serta keilmuan peserta didik terhadap ajaran agama islam.
3. Dimensi penghayatan atau pengalaman batin yang dirasakan peserta didik dalam menjalankan ajaran agama islam.
4. Dimensi pengalamannya, dalam arti bagaimana ajaran islam yang telah diimani, dipahami dan dihayati atau diinternalisasi oleh peserta didik itu mampu menumbuhkan motivasi dalam dirinya untuk menggerakkan, mengamalkan, dan menaati ajaran agama dan nilai-nilainya dalam kehidupan pribadi, sebagai manusia yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT serta mengaktualisasikan dan merealisasikannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Masing-masing dimensi itu membentuk kaitan yang terpadu dalam usaha membentuk manusia muslim yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT serta berakhlak mulia, dalam arti bagaimana islam yang diimani kebenarannya itu mampu difahami, dihayati dan diamalkan dalam kehidupan pribadi, masyarakat, berbangsa dan bernegara.
Di dalam GBPP mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) kurikulum 1999, tujuan Pendidikan Agama Islam (PAI) tersebut lebih dipersingkat lagi, yaitu : “agar siswa memahami, menghayati, meyakini, dan mengamalkan ajaran Islam sehingga menjadi manusia muslim yang beriman, bertakwa kepada Allah SWT dan berakhlak mulia”. Rumusan tujuan Pendidikan Agama Islam (PAI) ini mengandung pengertian bahwa proses Pendidikan Agama Islam (PAI) yang dilalui dan dialami oleh siswa di sekolah dimulai dari tahapan kognisi, yakni pengetahuan dan pemahaman siswa terhadap ajaran dan nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran islam, untuk selanjutnya menuju ke tahapan afeksi, yakni terjadinya proses internalisasi ajaran dan nilai agama ke dalam diri siswa, dalam arti menghayati dan meyakininya. Tahapan afeksi ini terkait dengan kognisi, dalam arti penghayatan dan keyakinan siswa menjadi kokoh jika dilandasi oleh pengetahuan dan pemahamannya terhadap ajaran dan nilai agama islam. Melalui tahapan afeksi tersebut diharapkan diharapkan dapat tumbuh motivasi dalam diri siswa dan tergerak untuk mengamalkan dan menaati ajaran islam (tahapan psikomotorik) yang telah diinternalisasi dalam dirinya. Dengan demikian, akan terbentuk manusia muslim yang beriman, bertakwa dan berakhlak mulia.
Di dalam Peraturan Menteri (PERMEN) Nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi/Kompetensi Dasar di jelaskan bahwa Pendidikan Agama Islam di SMA/MA bertujuan untuk:
1. Menumbuhkembangkan akidah melalui pemberian, pemupukan, dan pengembangan pengetahuan, penghayatan, pengamalan, pembiasaan, serta pengalaman peserta didik tentang Agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang terus berkembang keimanan dan ketakwaannya kepada Allah SWT;
2. Mewujudkan manuasia Indonesia yang taat beragama dan berakhlak mulia yaitu manusia yang berpengetahuan, rajin beribadah, cerdas, produktif, jujur, adil, etis, berdisiplin, bertoleransi (tasamuh), menjaga keharmonisan secara personal dan sosial serta mengembangkan budaya agama dalam komunitas sekolah.
Oleh karena itu berbicara Pendidikan Agama Islam (PAI), baik makna maupun tujuannya haruslah mengacu pada penanaman nilai-nilai islam dan tida dibenarkan melupakan etika sosial atau moralitas sosial. Penanaman nilai-nilai ini juga dalam rangka menuai keberhasilan hidup di dunia bagi anak didik yang kemudian akan mampu membuahkan kebaikan (hasanah) di akhirat kelak.
3. Fungsi Pendidikan Agama Islam (PAI)
Pendidikan Agama Islam (PAI) untuk sekolah/madrasah berfungsi sebagai berikut :
a. Pengembangan, yaitu meningkatkan keimanan dan ketakwaan peserta didik pada Allah SWT yang telah ditanamkan dalam lingkungan keluarga. Pada dasarnya dan pertama-pertama kewajiban menanamkan keimanan dan ketakwaan dilakukan oleh setiap orang tua dalam keluarga. Sekolah berfungsi untuk menumbuhkembangkan lebih lanjut dalam diri anak melalui bimbingan, pengajaran dan pelatihan agar keimanan dan ketakwaan tersebut dapat berkembang secara optimal sesuai dengan tingkat perkembangannya.
Dengan melalui proses belajar-mengajar pendidikan agama diharapkan terjadinya perubahan dalam diri anak baik aspek kognitif, afektif maupun psikomotor. Dan dengan adanya perubahan dalam tiga aspek tersebut diharapkan akan berpengaruh terhadap tingkah laku anak didik, di mana pada akhirnya cara berfikir, merasa dan melakukan sesuatu itu akan menjadi relatif menetap dan membentuk kebiasaan bertingkah laku pada dirinya, perubahan yang terjadi harus merupakan perubahan tingkah laku yang mengarah ke tingkah laku yang lebih baik dalam arti berdasarkan pendidikan agama.
Disamping pendidikan agama disampaikan secara empirik problematik, juga disampaikan dengan pola homeostatika yaitu keselarasan antara akal kecerdasan dan perasaan yang melahirkan perilaku akhlakul karimah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pola ini menuntut upaya lebih menekankan pada faktor kemampuan berfikir dan berperasaan moralis yang merentang kearah Tuhannya, dan kearah masyarakatnya, di mana iman dan taqwa menjadi rujukannya
b. Penanaman Nilai, sebagai pedoman hidup untuk mencari kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
Sering terjadi salah paham di antara kita karena menganggap bahwa pendidikan agama Islam hanya memuat pelajaran yang berkaitan dengan akherat atau kehidupan setelah mati. Bahkan ada yang berlebihan kesalahannya karena menganggap bahwa madrasah hanya mendidik anak untuk siap meninggal dunia.
Dengan konsekuensi negatif. Anggapan seperti ini salah, yang benar adalah bahwa madrasah, atau lebih umum lagi pendidikan Agama, dilaksanakan untuk memberi bekal siswa dalam mengarungi kehidupan di dunia yang hasilnya nanti mempunyai konsekuensi di akhirat.
Seperti firman Allah dalam Al-Qur'an surat Al-baqarah ayat 201:
وَمِنْهُمْ مَنْ يَقُوْلُ رَبَّنَا ءَاتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّار
Artinya: "Dan diantara mereka ada yang berkata: "ya Tuhan kami berikanlah kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka”. (QS. Al-Baqarah: 201)
c. Penyesuaian mental, yaitu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial dan dapat mengubah lingkungannya sesuai dengan ajaran agama islam.
Dapat dikatakan bahwa Pendidikan Agama Islam merupakan suatu hal yang dijadikan sandaran ketika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Jadi, pendidikan agam Islam adalah ikhtiar manusia dengan jalan bimbingan dan pimpinan untuk membantu dan mengarahkan fitrah agama peserta didik menuju terbentuknya kepribadian utama sesuai dengan ajaran agama.
d. Perbaikan, yaitu untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan, kekurangan-kekurangan dan kelemahan-kelemahan peserta didik dalam keyakinan, pemahaman dan pengalaman ajaran dalam kehidupan sehari-hari.
Semua manusia dalam hidupnya di dunia ini, selalu membutuhkan adanya suatu pegangan hidup yang disebut agama. Mereka merasakan bahwa dalam jiwanya ada suatu perasaan yang mengakui adanya Dzat Yang Maha Kuasa, tempat mereka berlindung dan tempat mereka meminta pertolongan. Itulah sebabnya bagi orang-orang muslim diperlukan adanya pendidikan agama Islam, agar dapat mengarahkan fitrah mereka tersebut ke arah yang benar sehingga mereka akan dapat mengabdi dan beribadah sesuai denagn ajaran Islam.
e. Pencegahan, yaitu untuk menangkal hal-hal negatif dari lingkungannya atau dari budaya lain yang dapat membahayakan dirinya dan menghambat perkembangannya menjadi manusia Indonesia seutuhnya.
Maksudnya adalah bahwa Pendidikan Agama Islam mempunyai peran dalam mengatasi persoalan-persoalan yang timbul di masyarakat yang tidak dapat dipecahkan secara empiris karena adanya keterbatasan kemampuan dan ketidakpastian.
Oleh karena itu, diharapkan Pendidikan Agama Islam menjalankan fungsinya sehingga masyarakat merasa sejahtera, aman, stabil, dan sebagainya. Untuk itu, Pendidikan agama Islam hendaknya ditanamkan sejak kecil, sebab pendidikan pada masa kanak-kanak merupakan dasar yang menentukan untuk pendidikan selanjutnya. Oleh sebab itu berbicara pendidikan agama Islam, baik makna maupun tujuannya haruslah mengacu pada penanaman nilai-nilai Islam dan tidak dibenarkan melupakan etika sosial atau moralitas sosial. Sebagaimana tercermin dalam Al-Qur'an surat Luqman ayat 17 yang berbunyi:
يَابُنَيَّ أَقِمِ الصَّلاَةَ وَأْمُرْ بِاْلمَعْرُوْفِ وَانْهَ عَنِ اْلمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَآأَصَابَكَ إِنَّ ذَالِكَ مِنْ عَزْمِ اْلأُمُوْرِ
Artinya: "Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah) (Q.S. Luqman: 17)
f. Pengajaran tentang ilmu pengetahuan keagamaan secara umum (alam nyata dan nir nyata), sistem dan fungsionalnya.
Dapat dikatakan bahwa betapa pentingnya kedudukan pendidikan agama dalam pembangunan manusia Indonesia seutuhnya, dapat dibuktikan dengan ditempatkannya unsur agama dalam sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sila pertama dalam Pancasila adalah Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, yang memberikan makna bahwa bangsa kita adalah bangsa yang beragama. Untuk membina bangsa yang beragama. Pendidikan agama dipisahkan dalam system pendidikan nasional kita.
g. Penyaluran, yaitu untuk menyalurkan anak-anak yang memiliki bakat khusus di bidang agama islam agar bakat tersebut dapat berkembang secara optimal sehingga dapat dimanfaatkan untuk dirinya dan bagi orang lain.
Karena itulah pendidikan islam memiliki beban yang multi paradigma, sebab berusaha memadukan unsur profan dan imanen, dimana dengan pemaduan ini, akan membuka kemungkinan terwujudnya tujuan inti pendidikan islam yaitu melahirkan manusia-manusia yang beriman dan berilmu pengetahuan, yang satu sama lainnya saling menunjang. Disamping itu, pendidikan agama islam memberikan bimbingan jasmani-rohani berdasarkan hukum-hukum agama islam menuju terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran islam.
4. Kedudukan Pendidikan Agama Islam (PAI) di Sekolah
Di dalam UUSPN No. 21/1989 pasal 39 ayat 2 ditegaskan bahwa isi kurikulum setiap jenis, jalur, dan jenjang pendidikan wajib memuat, antara lain Pendidikan Agama. Dan dalam penjelasannya dinyatakan bahwa Pendidikan Agama merupakan usaha untuk memperkuat Iman dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama yang dianut oleh peserta didik yang bersangkutan dengan memperhatikan tuntutan untuk menghormati agama lain dalam hubungan kerukunan antar umat beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan persatuan nasional.
Pendidikan agama dimaksudkan untuk peningkatan potensi spiritual dan membetuk peserta didik agar menajdi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia. Akhlak mulia mencakup etika, budi pekerti, dan moral sebagai perwujudan dari pendidikan agama. Peningkatan potensi spiritual mencakup pengamalan, pemahaman, dan penanaman nilai-nilai keagamaan, serta pengamalan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan individual ataupun kolektif kemasyarakatan. Peningkatan potensi spiritual tersebut pada akhirnya bertujuan pada optimalisasi berbagai potensi yang dimiliki manusia yang aktualisasinya mencerminkan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan.
Pendidikan Agama Islam diberikan dengan mengikuti tuntunan bahwa agama diajarkan kepada manusia dengan visi untuk mewujudkan manusia yang bertakwa kepada Allah SWT dan berakhlak mulia, serta bertujuan untuk menghasilkan manusia yang jujur, adil, berbudi pekerti, etis, saling menghargai, disiplin, harmonis dan produktif, baik personal maupun sosial. Tuntutan visi ini mendorong dikembangkannya standar kompetesi sesuai dengan jenjang persekolahan yang secara nasional ditandai dengan ciri-ciri:
1. Lebih menitik beratkan pencapaian kompetensi secata utuh selain penguasaaan materi.
2. Mengakomodasikan keragaman kebutuhan dan sumber daya pendidikan yang tersedia.
3. Memberiklan kebebasan yang lebih luas kepada pendidik di lapangan untuk mengembangkan strategi dan program pembelajaran seauai dengan kebutuhan dan ketersedian sumber daya pendidikan.
Pendidikan Agama Islam diharapkan menghasilkan manusia yang selalu berupaya menyempurnakan iman, takwa, dan akhlak, serta aktif membangun peradaban dan keharmonisan kehidupan, khususnya dalam memajukan peradaban bangsa yang bermartabat. Manusia seperti itu diharapkan tangguh dalam menghadapi tantangan, hambatan, dan perubahan yang muncul dalam pergaulan masyarakat baik dalam lingkup lokal, nasional, regional maupun global.
Pendidik diharapkan dapat mengembangkan metode pembelajaran sesuai dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar. Pencapaian seluruh kompetensi dasar perilaku terpuji dapat dilakukan tidak beraturan. Peran semua unsur sekolah, orang tua siswa dan masyarakat sangat penting dalam mendukung keberhasilan pencapaian tujuan Pendidikan Agama Islam.
5. Ruang Lingkup Pendidikan Agama Islam
Ruang lingkup materi PAI di dalam kurikulum 1994 sebagaimana dikutip oleh Muhaimin pada dasarnya mencakup tujuh unsur pokok, yaitu: Al-Qur’an-Hadist, keimanan, syari’ah, ibadah, muamalah, akhlak, dan tarikh. Pada kurikulum tahun 1999 dipadatkan menjadi lima unsur pokok, yaitu: Al-Qur’an, keimanan, akhlak, fikih dan bimbingan ibadah serta tarikh yang lebih menekankan pada perkembangan ajaran agama, ilmu pengetahuan dan kebudayaan.
Mata pelajaran Pendidikan Agama Islam itu secara keseluruhannya dalam lingkup: Al-Qur'an dan al-hadis, keimanan, akhlak, fiqih / ibadah, dan sejarah, sekaligus menggambarkan bahwa ruang lingkup pendidikan agama Islam mencakup perwujudan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan hubungan manusia dengan Allah SWT, diri sendiri, sesama manusia, makhluk lainnya maupun lingkungannya.
Mengenai lingkup maupun urutan sajian materi pokok pendidikan agama itu sebenarnya telah dicontohkan oleh Luqman ketika mendidik putranya.
Unsur-unsur pokok materi kurikulum PAI yang tersebut di atas masih terkesan bersifat umum dan luas. Perlu ditata kembali menurut kemampuan siswa dan jenjang pendidikannya. Dalam arti, kemampuan-kemampuan apa yang diharapkan dari lulusan jenjang pendidikan tertentu sebagai hasil dari pembelajaran PAI.
Dalam GBPP mata pelajaran PAI kurikulum 1994 sebagaimana dikuti oleh Muhaimin, dijelaskan bahwa pada jenjang Pendidikan Menengah, kemampuan-kemampuan dasar yang diharapkan dari lulusannya adalah dengan landasan iman yang benar, siswa:
a. Taat beribadah, mampu berdzikir dan berdo’a serta mampu menjadi imam; anak pada usia SMA dapat menjalankan rukun Islam, terutama sahadat, salat, zakat, dan puasa. Anak diharapkan juga mampu mengagungkan asma Allah, serta mampu memimpin salat.
b. Mampu membaca Al-qur’an dan menulisnya dengan benar serta berusaha memahami kandungan maknanya terutama yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama yang relevan dengan apa yang diketahui di lingkungan sekitarnya.
c. Memiliki kepribadian muslim, artinya di dalam diri anak selalu terpancar kesalehan pribadi dengan selalu menampakkan kebajikan yang patut dipertahankan dan diteladani untuk ukuran sebaya.
d. Memahami, menghayati dan mengambil manfaat sejarah dan perkembangan agama Islam, dalam hal ini disesuaikan dengan kemampuannya.
e. Mampu menerapkan prinsip-prinsip muamalah dan syari’at Islam dengan baik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, dalam arti mampu menerapkan hubungan sesama makhluk dengan memperhatikan hukum Islam dan pengetahuan tentang agama Islam yang memiliki anak usia SMA.
Agar kemampuan-kemampuan lulusan atau out put yang diharapkan itu bisa tercapai, maka tugas Guru pendidikan agama Islam adalah berusaha secara sadar untuk membimbing, mengajar, dan melatih siswa sebagai siswa agar dapat: (1) meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT yang telah ditanamkan dalam lingkungan keluarga; (2) menyalurkan bakat dan minatnya dalam mendalami bidang agama serta mengembangkannya secara optimal, sehingga dapat dimanfaatkan untuk dirinya sendiri dan dapat pula bermanfaat bagi orang lain; (3) memperbaiki kesalahan-kesalahan, kekurangan-kekurangan dan kelemahan-kelemahannya dalam keyakinan, pemahaman dan pengamalan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari; (4) menangkal dan mencegah pengaruh negatif dari kepercayaan, paham atau budaya lain yang membahayakan dan menghambat perkembangan keyakinan siswa; (5) menyesuaikan diri dengan lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial yang sesuai dengan ajaran Islam; (6) menjadikan ajaran Islam sebagai pedoman hidup untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat; dan (7) mampu memahami, mengilmui pengetahuan agama Islam secara menyeluruh sesuai dengan daya serap siswa dan keterbatasan waktu yang tersedia.
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pada dasarnya ruang lingkup Pendidikan Agama Islam (PAI) berpusat pada sumber utama ajaran islam, yakni Al-Qur’an dan Sunnah. Sebagaimana Firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 2 dan surat Al-Isra' ayat 9:
ذَلِكَ الْكِتَابُ لاَرَيْبَ فِيْهِ هُدًى لِلْمُتَّقِيْنِ
Artinya: “Kitab (al-Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa". (Q.S. Al-Baqarah: 2)
إِنَّ هَذَا الْقُرْءَانَ يَهْدِى لِلَّتِى هِيَ أْقَوَمُ وَيُبَشِّرُ الْمُؤْمِنِيْنَ اَلَّذِيْنَ يَعْمَلُوْنَ الصَّالِحَاتَ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا كَبِيْرًا
Artinya: "Sesungguhnya Al-Qur'an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi kabar gembira kepada oang-orang mukmin yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar”. (Q.S. Al-Isra': 9)
Seringkali manusia menemui kesulitan dalam memahami Al-Qur'an dan hal ini juga dialami oleh para sahabat Rasulullah SAW sebagai generasi pertama penerima Al-Qur'an. Oleh karena itu, mereka meminta penjelasan kepada Rasulullah SAW, yang memang diberi otoritas oleh Allah SWT, otoritas ini dinyatakan dalam firman Allah SWT, dalam Al-Qur'an surat An-Nahl ayat 44:
بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ وَأَنْزَلْنَآ إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتَبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَانُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ
Artinya: "Keterangan-keterangan (mu'jizat) dan kitab-kitab. Dan kami turunkan kepadamu Al-Qur'an, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”. (Q.S. An-Nahl: 44)
Dengan demikian, as-Sunnah berfungsi sebagai penjelas terhadap al-Qur'an dan sekaligus dijadikan sebagai sumber pokok ajaran islam serta dijadikan pijakan atau landasan dalam lapangan pembahasan Pendidikan Agama Islam.
Dari kedua sumber tersebut, baik pada jenjang pendidikan dasar maupun menengah kemampuan yang diharapkan adalah sosok siswa yang beriman dan berakhlak. Hal tersebut tentunya selaras dengan tujuan pendidikan Agama Islam seperti tersebut di atas, yaitu sosok siswa yang secara terus menerus membangun pengalaman belajarnya, baik pada ranah kognitif, afektif, maupun psikomotor.
B. Konsep Pembelajaran
1. Pengertian
Dalam keseluruhan proses pendidikan di sekolah, pembelajaran merupakan aktivitas yang paling utama. Ini berarti bahwa keberhasilan pencapaian tujuan pendidikan banyak tergantung pada proses pembelajaran yang baik.
Pembelajaran ialah membelajarkan siswa menggunakan asas pendidikan maupun teori belajar, yang merupakan penentu utama keberhasilan pendidikan. Pembelajarn merupakan proses komunikasi dua arah, mengajar dilakukan oleh pihak guru sebagai pendidik, sedangkan belajar dilakukan oleh peserta didik atau murid. Sedangkan menurut Corey Pembelajaran adalah suatu proses dimana lingkungan seseorang secara disengaja dikelola untuk memungkinkan ia turut serta dalam tingkah laku tertentu dalam kondisi-kondisi khusus atau menghasilkan respons terhadap situasi tertentu, pembelajaran merupakan subset khusus dari pendidikan.
Dalam pengertian demikian dapat dikatakan bahwa pembelajaran adalah upaya membelajarkan siswa untuk belajar. Kegiatan ini akan mengakibatkan siswa mempelajari sesuatu dengan cara lebih efektif dan efisien.
Pembelajaran terkait dengan bagaimana (how to) membelajarkan siswa atau bagaimana membuat siswa dapat belajar dengan mudah dan terdorong oleh kemauannya sendiri untuk mempelajari apa (what to) yang teraktualisasikan dalam kurikulum sebagai kebutuhan (needs). Karena itu, pembelajaran berupaya menjabarkan nilai-nilai yang terkandung di dalam kurikulum dengan menganalisis tujuan pembelajaran dan karakteristik isi bidang studi pendidikan agama yang terkandung di dalam kurikulum. Selanjutnya, dilakukan kegiatan untuk memiliki, menetapkan, dan mengembangkan, cara-cara atau strategi pembelajaran yang tepat untuk mencapai tujuan pembelajaran yang ditetapkan sesuai kondisi yang ada, agar kurikulum dapat diaktualisasikan dalam proses pembelajaran sehingga hasil belajar terwujud dalam diri peserta didik.
Pembelajaran merupakan upaya pengembangan sumber daya manusia yang harus dilakukan secara terus menerus selama manusia hidup. Isi dan proses pembelajaran perlu terus dimutakhirkan sesuai kemajuan ilmu pengetahuan dan kebudayaan masyarakat. Implikasinya jika masyarakat Indonesia dan dunia menghendaki tersediannya sumber daya manusia yang memiliki kompetesi yang berstandar nasional dan internasional, maka isi dan proses pembelajaran harus diarahkan pada pencapaian kompetensi tersebut.
Sering dikatakan mengajar adalah mengorganisasikan aktivitas siswa dalam arti luas. Peranan guru bukan semata-mata memberikan informasi, melainkan juga mengarahkan dan memberi fasilitas belajar (directing and facilitating the learning) agar proses belajar lebih memadai. Pembelajaran mengandung arti setiap kegiatan yang dirancang untuk membantu seseorang mempelajari suatu kemampuan dan atau nilai yang baru.
Pembelajaran merupakan perbuatan yang kompleks. Artinya, kegiatan pembelajaran melibatkan banyak komponen dan faktor yang perlu dipertimbangkan. Untuk itu perencanaan maupun pelaksanaan kegiatannya membutuhkan pertimbangan-pertimbangan yang arif dan bijak. Seorang guru dituntut untuk bisa menyesuaikan karakteristik siswa, kurikulum yang sedang berlaku, kondisi kultural, fasilitas yang tersedai dengan strategi pembelajaran yang akan disampaikan kepada siswa agar tujuan dapat dicapai. Strategi pembelajaran sangat penting bagi guru karena sangat berkaitan dengan efektivitas dan efisiensi dalam proses pembelajaran.
2. Tujuan Pembelajaran
Pada dasarnya belajar itu mempunyai tujuan agar peserta didik dapat meningkatkan kualitas hidupnya sebagai individu maupun sebagai makhluk social. Sebagai individu seseorang diharapkan dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan inovatif menghadapi persaingan global, kreatif dan tekun mencari peluang untuk memperoleh kehidupan layak dan halal, namu dapat menerima dengan tabah andaikata menghadapi kegagalan setelah berusaha. Oleh karenanya, setiap lembaga pendidikan dan tenaga kependidikan disamping membekali lulusannya dengan penguasaan materi subyek dari bidang studi yang akan dikaji dan pedagogi bahan kajian atau materi subyek tersebut, diharapkan juga memberikan pemahaman tentang kaitan antara materi pelajaran dengan dunia nyata atau kehidupan sehari-hari peserta didik sebagai anggota masyarakat. Dengan demikian, pembelajaran baik formal maupun nonformal diharapkan dapat memberi pengalaman bagi pesertanya melalui “Learning to know, learning to do, learning to be and learning to live together” sesuai anjuran yang dicanangkan oleh UNESCO.
Tujuan pembelajaran merupakan salah satu aspek yang perlu dipertimbangkan dalam merencanakan pembelajaran. Sebab segala kegiatan pembelajaran muaranya pada tercapainya tujuan tersebut.
Tujuan pembelajaran adalah pernyataan tentang hasil pembelajaran atau apa yang diharapkan. Tujuan ini bisa sangat umum, sangat khusus, atau dimana saja dalam kontinum umum-khusus. Karakteristik bidang studi adalah aspek-aspek suatu bidang studi yang dapat memberikan landasan yang berguna sekali dalam mendiskripsikan strategi pembelajaran, seperti misalnya, waktu, media, personalia, dan dana/uang. Selanjutnya, karakteristik si belajar adalah aspek-aspek atau kualitas perseorangan si belajar, seperti misalnya: bakat, motivasi, dan hasil yang telah dimilikinya.
3. Tahap-tahap Proses Dalam Pembelajaran
Pembelajaran sebagai suatu proses kegiatan, terdiri atas tiga fase atau tahapan. Fase-fase proses pembelajaran yang dimaksud meliputi: tahap perencanaan, tahap pelaksanan, dan tahap evaluasi. Adapun dari ketiganya ini akan dibahas sebagaimana berikut:
3.1. Tahap Perencanaan.
Kegiatan pembelajaran yang baik senantiasa berawal dari rencana yang matang. Perencanaan yang matang akan menunjukkan hasil yang optimal dalam pembelajaran.
Perencanaan merupakan proses penyusunan sesuatu yang akan dilaksanakan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Pelaksanaan perencanaan tersebut dapat disusun berdasarkan kebutuhan dalam jangka tertentu sesuai dengan keinginan pembuat perencanaan. Namun yang lebih utama adalah perencanaan yang dibuat harus dapat dilaksanakan dengan mudah dan tepat sasaran.
Begitu pula dengan perencanaan pembelajaran, yang direncanakan harus sesuai dengan target pendidikan. Guru sebagai subjek dalam membuat perencanaan pembelajaran harus dapat menyusun berbagai program pengajaran sesuai pendekatan dan metode yang akan di gunakan.
Dalam konteks desentralisasi pendidikan seiring perwujudan pemerataan hasil pendidikan yang bermutu, diperlukan standar kompetensi mata pelajaran yang dapat dipertanggungjawabkan dalam konteks lokal, nasional dan global.
Secara umum guru itu harus memenuhi dua kategori, yaitu memiliki capability dan loyality, yakni guru itu harus memiliki kemampuan dalam bidang ilmu yang diajarkannya, memiliki kemampuan teoritik tentang mengajar yang baik, dari mulai perencanaan, implementasi sampai evaluasi, dan memiliki loyalitas keguruan, yakni loyal terhadap tugas-tugas keguruan yang tidak semata di dalam kelas, tapi sebelum dan sesudah kelas.
Agama islam sebagai bidang studi, sebenarnya dapat diajarkan sebagaimana mata pelajaran lainnya. Harus dikatakan memang ada sedikit perbedaannya dengan bidang studi lain. Perbedaan itu ialah adanya bagian-bagian yang amat sulit diajarkan dan amat sulit dievaluasi. Jadi, perbedaan itu hanyalah perbedaan gradual, bukan perbedaan esensial.
Beberapa prinsip yang perlu diterapkan diterapkan dalam membuat persiapan mengajar :
1. Memahami tujuan pendidikan.
2. Menguasai bahan ajar.
3. Memahami teori-teori pendidikan selain teori pengajaran.
4. Memahami prinsip-prinsip mengajar.
5. Memahami metode-metode mengajar.
6. Memahami teori-teori belajar.
7. Memahami beberapa model pengajaran yang penting.
8. Memahami prinsip-prinsi evaluasi.
9. Memahami langkah-langkah membuat lesson plan.
Langkah-langkah yang harus dipersiapkan dalam pembelajaran adalah sebagai berikut :
a. Analisis Hari Efektif dan analisis Program Pembelajaran
Untuk mengawali kegiatan penyusunan program pembelajaran, guru perlu membuat analisis hari efektif selama satu semester. Dari hasil analisis hari efektif akan diketahui jumlah hari efektif dan hari libur tiap pekan atau tiap bulan sehingga memudahkan penyususnan program pembelajaran selama satu semester. Dasar pembuatan analisis hari efektif adalah kalender pendidikan dan kkalender umum.
Berdasarkan analisis hari efektif tersebut dapat disusun analisis program pembelajaran.
b. Membuat Program Tahunan, Program Semester dan Program Tagihan
Program Tahunan
Penyusunan program pembelajaran selama tahun pelajaran dimaksudkan agar keutuhan dan kesinambungan program pembelajaran atau topik pembelajaran yang akan dilaksanakan dalam dua semester tetap terjaga.
Program Semester
Penyusunan program semester didasarkan pada hasil anlisis hari efektif dan program pembelajaran tahunan.
Program Tagihan
Sebagai bagian dari kegiatan pembelajaran, tagihan merupakan tuntutan kegiatan yang harus dilakukan atau ditampilkan siswa. Jenis tagihan dapat berbentuk ujian lisan, tulis, dan penampilan yang berupa kuis, tes lisan, tugas individu, tugas kelompok, unjuk kerja, praktek, penampilan, atau porto folio.
c. Menyusun Silabus
Silabus diartikan sebagai garis besar, ringkasan, ikhtisar, atau pokok-pokok isi atau materi pelajaran. Silabus merupakan penjabaran dari standard kompetensi, kompetensi dasar yang ingin dicapai, dan pokok-pokok serta uraian materi yang perlu dipelajari siswa dalam rangka mencapai standard kompetensi dan kompetensi dasar.
d. Menyusun Rencana Pembelajaran
Kalau penyusunan silabus bisa dilakukan oleh tim guru atau tim ahli mata pelajaran, maka rencana pembelajaran seyogyanya disusun oleh guru sebeleum melakukan kegiatan pembelajaran. Rencana pembelajaran bersifat khusus dan kondisional, dimana setiap sekolah tidak sama kondisi siswa dan sarana prasarana sumber belajarnya. Karena itu, penyusunan rencana pembelajaran didasarkan pada silabus dan kondisi pembelajaran agar kegiatan pembelajaran dapat berlangsung sesuai harapan.
e. Penilaian Pembelajaran
Penilaian merupakan tindakan atau proses untuk menentukan nilai terhadap sesuatu. Penilaian merupakan proses yang harus dilakukan oleh guru dalam rangkaian kegiatan pembelajaran.
Prinsip penilaian antara lain Valid, mendidik, berorientasi pada kompetensi, adil dan objektif, terbuka, berkesinambungan, menyeluruh, bermakna.
Kegiatan yang harus dilakukan perancang pembelajaran Pendidikan Agama Islam yang mengikuti model Kemp adalah sebagai berikut :
a. Perkirakan kebutuhan PAI (learning needs) untuk merancang program pembelajaran; nyatakan tujuan, kendala, dan prioritas yang harus dipelajari.
b. Pilih dan tetapkan pokok bahasan atau tugas-tugas pembelajaran PAI untuk dilaksanakan dan tujuan umum PAI yang akan dicapai.
c. Teliti dan identifikasi karakteristik peserta didik yang perlu mendapat perhatian selama perencanaan pengembangan pembelajaran PAI.
d. Tentukan isi pembelajaran PAI dan uraikan unsur tugas yang berkaitan dengan tujuan PAI.
e. Nyatakan tujuan khusus belajar PAI yang akan dicapai dari segi isi pelajaran dan unsur tugas.
f. Rancanglah kegiatan-kegiatan belajar menajar PAI untuk mencapai tujuan PAI yang sudah dinyatakan.
g. Pilihlah sejumlah media untuk mendukung kegiatan pengajaran PAI.
h. Rincikan pelayanan penunjang yang diperlukan untuk mengembangkan dan melaksanakan semua kegiatan dan untuk memperoleh atau membuat bahan ajar PAI.
i. Kembangkan alat evaluasi hasil belajar PAI dan hasil program pengajaran PAI.
j. Lakukan uji awal kepada peserta didik untuk mempelajari produk pembelajaran PAI yang anda kembangkan.
3.2. Tahap Pelaksanaan
Tahap ini merupakan tahap implementasi atau tahap penerapan atas desain perencanaan yang telah dibuat guru. Hakikat dari tahap pelaksanaan adalah kegiatan operasional pembelajaran itu sendiri. Dalam tahap ini, guru melakukan interaksi belajar-mengajar melalui penerapan berbagai strategi metode dan tekhnik pembelajaran, serta pemanfaatan seperangkat media.
Dalam proses ini, ada beberapa aspek yang harus diperhatikan oleh seorang guru, diantaranya ialah:
a. Aspek pendekatan dalam pembelajaran
Pendekatan pembelajaran terbentuk oleh konsepsi, wawasan teoritik dan asumsi-asumsi teoritik yang dikuasai guru tentang hakikat pembelajaran. Mengingat pendekatan pembelajaran bertumpu pada aspek-aspek dari masing-masing komponen pembelajaran, maka dalam setiap pembelajaran, akan tercakup penggunaan sejumlah pendekatan secara serempak. Oleh karena itu, pendekatan-pendekatan dalam setiap satuan pembelajaran akan bersifat multi pendekatan.
b. Aspek Strategi dan Taktik dalam Pembelajaran
Pembelajaran sebagai proses, aktualisasinya mengimplisitkan adanya strategi. Strategi berkaitan dengan perwujudan proses pembelajaran itu sendiri. Strategi pembelajaran berwujud sejumlah tindakan pembelajaran yang dilakukan guru yang dinilai strategis untuk mengaktualisasikan proses pembelajaran.
Terkait dengan pelaksanaan strategi adalah taktik pembelajaran. Taktik pembelajaran berhubungan dengan tindakan teknis untuk menjalankan strategi. Untuk melaksanakan strategi diperlukan kiat-kiat teknis, agar nilai strategis setiap aktivitas yang dilkukan guru-murid di kelas dapat terealisasi. Kiat-kiat teknis tertentu terbentuk dalam tindakan prosedural. Kiat teknis prosedural dari setiap aktivitas guru-murid di kelas tersebut dinamakan taktik pembelajaran. Dengan perkataan lain, taktik pembelajaran adalah kiat-kiat teknis yang bersifat prosedural dari suatu tindakan guru dan siswa dalam pembelajaran aktual di kelas.
c. Aspek Metode dan Tekhnik dalam Pembelajaran
Aktualisasi pembelajaran berbentuk serangkaian interaksi dinamis antara guru-murid atau murid dengan lingkungan belajarnya. Interaksi guru-murid atau murid dengan lingkungan belajarnya tersebut dapat mengambil berbagai cara. Cara-cara interaksi guru-murid atau murid dengan lingkungan belajarnya tersebut lazimnya dinamakan metode.
Metode merupakan bagian dari sejumlah tindakan strategis yang menyangkut tentang cara bagaimana interaksi pembelajaran dilakukan. Metode dilihat dari fungsinya merupakan seperangkat cara untuk melakukan aktivitas pembelajaran. Ada beberapa cara dalam melakukan aktivitas pembelajaran, misalnya dengan berceramah, berdiskusi, bekerja kelompok, bersimulasi dan lain-lain.
Setiap metode memiliki aspek teknis dalam penggunaannya. Aspek teknis yang dimaksud adalah gaya dan variasi dari setiap pelaksanaan metode pembelajaran
d. Prosedur Pembelajaran
Pembelajaran dari sisi proses keberlangsungannya, terjadi dalam bentuk serangkaian kegiatan yang berjalan secara bertahap. Kegiatan pembelajaran berlangsung dari satu tahap ke tahap selanjutnya, sehingga terbentuk alur konsisten. Tahapan pembelajaran yang konsisten yang berbentuk alur peristiwa pembelajaran tersebut merupakan prosedur pembelajaran.
3.3. Tahap Evaluasi
Pada hakekatnya evaluasi merupakan suatu kegiatan untuk mengukur perubahan perilaku yang telah terjadi. Pada umumnya hasil belajar akan memberikan pengaruh dalam dua bentuk:
1. Peserta akan mempunyai perspektif terhadap kekuatan dan kelemahannya atas perilaku yang diinginkan;
2. Mereka mendapatkan bahwa perilaku yang diinginkan itu telah meningkat baik setahap atau dua tahap, sehingga sekarang akan timbul lagi kesenjangan antara penampilan perilaku yang sekarang dengan tingkah laku yang diinginkan.
Pada tahap ini kegiatan guru adalah melakukan penilaian atas proses pembelajaran yang telah dilakukan. Evaluasi adalah alat untuk mengukur ketercapaian tujuan. Dengan evaluasi, dapat diukur kuantitas dan kualitas pencapaian tujuan pembelajaran. Sebaliknya, oleh karena evaluasi sebagai alat ukur ketercapaian tujuan, maka tolak ukur perencanaan dan pengembangannya adalah tujuan pembelajaran.
Dalam kaitannya dengan pembelajaran, Moekijat (seperti dikutip Mulyasa) mengemukakan teknik evaluasi belajar pengetahuan, keterampilan, dan sikap sebagai berikut:
“(1) Evaluasi belajar pengetahuan, dapat dilakukan dengan ujian tulis, lisan, dan daftar isian pertanyaan; (2) Evaluasi belajar keterampilan, dapat dilakukan dengan ujian praktek, analisis keterampilan dan analisis tugas serta evaluasi oleh peserta didik sendiri; (3) Evaluasi belajar sikap, dapat dilakukan dengan daftar sikap isian dari diri sendiri, daftar isian sikap yang disesuaikan dengan tujuan program, dan skala deferensial sematik (SDS)”
Apapun bentuk tes yang diberikan kepada peserta didik, tetap harus sesuai dengan persyaratan yang baku, yakni tes itu harus:
1. Memiliki validitas (mengukur atau menilai apa yang hendak diukur atau dinilai, terutama menyangkut kompetensi dasar dan materi standar yang telah dikaji);
2. Mempunyai reliabilitas (keajekan, artinya ketetapan hasil yang diperoleh seorang peserta didik, bila dites kembali dengan tes yang sama);
3. Menunjukkan objektivitas (dapat mengukur apa yang sedang diukur, disamping perintah pelaksanaannya jelas dan tegas sehingga tidak menimbulkan interpretasi yang tidak ada hubungannya dengan maksud tes);
4. Pelaksanaan evaluasi harus efisien dan praktis.
C. Konsep Multikultural
1. Pengertian Multikultural
Multikultural secara sederhana dapat dipahami sebagai pengakuan, bahwa sebuah Negara atau masyarakat adalah beragam dan majemuk. Sebaliknya, tidak ada satu negarapun yang mengandung hanya kebudayaan nasional tunggal. Dengan demikian, Multikultural merupakan sunnatullah yang tidak dapat ditolak bagi setiap Negara-bangsa di dunia ini.
Multikultural dapat pula dipahami sebagai “kepercayaan” kepada normalitas dan penerimaan keragaman. Pandangan dunia multicultural seperti ini dapat dipandang sebagai titik tolak dan fondasi bagi kewarganegaraan yang berkeadaban. Disini, multicultural dapat dipandang sebagai landasan budaya (Cultural Basis) tidak hanya bagi kewargaan dan kewarganegaraan, tetapi juga bagi pendidikan.
Multikultural ternyata bukanlah suatu pengertian yang mudah. Di dalamnya mengandung dua pengertian yang sangat kompleks yaitu “multi” yang berarti plural, “kultural” berisi pengertian kultur atau budaya. Istilah plural mengandung arti yang berjenis-jenis, karena plural bukan berarti sekedar pengakuan akan adanya hal-hal yang berjenis-jenis tetapi juga pengakuan tersebut mempunyai imnplikasi-implikasi politis, social, ekonomi. Oleh sebab itu pluralisme berkaitan dengan prinsip-prinsip demokrasi.
Multikultural secara sederhana dapat dikatakan pengakuan atas pluralisme budaya. Pluralisme budaya bukanlah suatu yang ”given” tetapi merupakan suatu proses internalisasi nilai-nilai di dalam suatu komunitas.
Dalam tiga dasawarsa ini, kebijakan yang sentralistis dan pengawalan yang ketat terhadap isu perbedaan telah menghilangkan kemampuan masyarakat untuk memikirkan, membicarakan dan memecahkan persoalan yang muncul dari perbedaan secara terbuka, rasional dan damai. Kekerasan antar kelompok yang meledak secara sporadis di akhir tahun 1990-an di berbagai kawasan di Indonesia menunjukkan betapa rentannya rasa kebersamaan yang dibangun dalam Negara-Bangsa, betapa kentalnya prasangka antara kelompok dan betapa rendahnya saling pengertian antar kelompok. Konteks global setelah tragedi September 11 dan invasi Amerika Serikat ke Irak serta hiruk pikuk politis identitas di dalam era reformasi menambah kompleknya persoalan keragaman dan antar kelompok di Indonesia.
Sejarah menunjukkan, pemaknaan secara negatif atas keragaman telah melahirkan penderitaan panjang umat manusia. Pada saat ini, paling tidak telah terjadi 35 pertikaian besar antar etnis di dunia. Lebih dari 38 juta jiwa terusir dari tempat yang mereka diami, paling sedikit 7 juta orang terbunuh dalam konflik etnis berdarah. Pertikaian seperti ini terjadi dari Barat sampai Timur, dari Utara hingga Selatan. Dunia menyaksikan darah mengalir dari Yugoslavia, Cekoslakia, Zaire hingga Rwanda, dari bekas Uni Soviet sampai Sudan, dari Srilangka, India hingga Indonesia. Konflik panjang tersebut melibatkan sentimen etnis, ras, golongan dan juga agama.
Pandangan dunia ”Multikultural” secara substantif sebenarnya tidaklah terlalu baru di Indonesia. Sebagai Negara-negara yang menyatakan kemerdekaannya sejak lebih setengah abad silam, Indonesia sebenarnya telah memiliki dan terdiri dari sejumlah kelompok etnis, budaya, agama, dan lain-lain, sehingga Negara-bangsa Indonesia secara sederhana dapat disebut sebagai masyarakat “Multikultural”.
Realitas sosial masyarakat Indonesia semacam itu sangat sulit dipungkiri dan diingkari. Untuk itu, keragaman, atau kebhinekaan atau multikultural merupakan salah satu realitas utama yang dialami masyarakat dan kebudayaan di masa silam, lebih-lebih lagi pada masa kini dan mendatang.
2. Pendekatan Multikultural dalam Pendidikan Agama : Urgensi dan Signifikansi
Pendidikan Multikultural adalah suatu keniscayaan. Ia merupakan paradigma dan metode untuk menggali potensi keragaman etnik dan kultural nusantara, dan mewadahinya dalam suatu manajemen konflik yang memadai. Pendidikan multikultural merupakan kearifan dalam merespon dan mengantisipasi dampak negatif globalisasi yang memaksakan homogenisasi dan hegemoni pola dan gaya hidup. Ia juga jembatan yang menghubungkan dunia multipolar dan multikultural yang mencoba direduksi isme dunia tunggal kedalam dua kutub saling berbenturan antara Barat-Timur dan Utara-Selatan.
Selama ini, pendidikan di Indonesia sedikit menyentuh persoalan bagaimana menghargai kepercayaan-kepercayaan keagamaan dan keragaman kultural yang sangat kaya. Ada kecenderungan Homogenisasi yang diintrodusir secara sistematik melalui dunia pendidikan dibawah payung kebudayaan nasional, hegemoni kebudayaan jawa sebagai pusat dan kebudayaan lain sebagai pinggiran, dan pemiskinan budaya dengan meringkas keragaman identitas kultural sejumlah propinsi. Proses homogenisasi, hegemoni dan pemiskinan budaya itu diajarkan dalam Civic education, seperti pancasila, penatarn P4 dan bahkan Pendidikan agama (religious education).
Memang pergeseran-pergeseran sosial tersebut merupakan sesuatu yang lumrah karena tidak dikenal sebelumnya. Masing-masing komunitas menutup dirinya sendiri dan mempunyai suatu persatuan semu yang dipaksakan. Kita lihat sebelumnya didalam pendidikan multikultural tidak ada pengelompokan-pengelompokan komunitas yang mengagungkan nilai-nilai kelompok sendiri tetapi yang mengenal akan nilai-nilai hidup budaya/komunitas yang lain. Oleh sebab pendidikan multikultural tidak akan dikenal adanya fanatisme atau fundamentalisme sosial-budaya termasuk agama, karena masing-masing komunitas mengenal dan menghargai perbedaan-perbedaan yang ada.
Setidaknya ada empat alasan utama mengapa Multikultural harus diakomodir dalam system pendidikan kewarganegaraan umumnya, dan Pendidikan Agama khususnya. Diantaranya adalah sebagai berikut :
a. Realitas Bangsa yang sangat Plural.
Kekayaan akan keanekaragaman-agama, etnik, dan kebudayaan ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi kekayaan ini merupakan khazanah yang patut dipelihara dan memberikan nuansa dan dinamika bagi bangsa, dan dapat pula merupakan titik pangkal perselisihan, konflik vertikal dan horizontal.
Perbedaan kelompok-kelompok keagamaan, kelompok etnik, dan kelompok sosiso-kultural yang semakin meningkat dari segi ukuran dan signifikansi politiknya dalam beberapa tahun terakhir, telah melahirkan tuntutan agar kebijakan dan program-program sosial responsif terhadap kebutuhan dan kepentingan keragaman tersebut. Memenuhi tuntutan ini akan menghendaki lebih kepekaan kultural (cultural sensitivity), koalisi pelangi dan negosiasi-kompromi secara pluralistik pula. Ketegangan etnik dan kelompok-kelompok kepentingan tertentu dapat diakselerasi, dan akibatnya terjadi persaingan terhadap berbagai sumberdaya yang terbatas seperti lapangan pekerjaan, perumahan, kekuasaan politik, dan sebagainya.
Permasalahan pokok yang dihadapi para pendidik dan pergerakan sosial-keagamaan pada era kemajemukan dan era multikurtural adalah bagaimana agar masing-masing tradisi keagamaan tetap dapat mengawetkan, memelihara, melanggengkan, mengalihgenerasikan, serta mewariskan kepercayaan dan tradisi yang diyakini sebagai suatu kebenaran yang mutlak, namun pada saat yang sama juga menyadari sepenuhnya keberadaan kelompok tradisi keagamaan lain yang juga berbuat serupa. Selain memperkuat identitas diri dan kelompoknya, upaya apa yang dilakukan para pendidik sosial keagamaan dalam masing-masing tradisi untuk juga menjaga kebersamaan, kohesi sosial, dan keutuhan bersama? Jika disadari perlunya hal tersebut, lalu apa implikasi dan konsekuensi dari cara, metode, pilihan materi, serta teknik pendidikan dan pengajaran agama yang disajikan kepada masyarakat yang bercorak plural-majemuk-terbuka seperti sekarang ini? Masih adakah ”ruang” untuk berpikir sejanakdan berdiskusi bersama kelompok-kelompok yang ada ditengah-tengah masyarakat majemuk dan multikultural ini? Apa pilihan-pilihan yang akan diambil? Jika tidak ada pilihan, apa implikasinya? Jika ada, apa pula konsekwensinya?
Semua persoalan krusial tersebut tidak akan terpecahkan tanpa meninggalkan konsep masyarakat majemuk atau plural dan beralih ke konsep masyarakat multikultural.
b. Pengaruh Budaya dan Etnisitas terhadap Perkembangan Manusia
Dalam banyak cara etnisitas dapat dipandang sebagai fenomena persepsi diri (self-perception): suatu komunitas etnik adalah komunitas yang mempercayai dirinya sebagai memiliki asal-usul etnik yang sama. Berbagai kebiasaan-kebiasaan kultural yang sama, mempunyai nenek moyang yang sama, sejarah dan mitologi bersama.
Kebudayaan membentuk perilaku, sikap dan nilai manusia. Perilaku manusia adalah hasil dari proses sosialisasi, dan sosialisasi selalu terjadi dalam konteks lingkungan etnik dan kultural tertentu. Etnisitas dapat didefinisikan sebagai kesadaran kolektif kelompok yang menanamkan rasa memiliki yang berasal dari keanggotaan dalam komunitas yang terikat oleh keturunan dan kebudayaan yang sama.
Manusia adalah makhluk sosial yang membawa karakter biologis dan psikologis alamiah sekaligus warisan dari latar belakang historis kelompok etniknya, pengalaman kultural dan warisan kolektif. Ketika seorang pendidik mengklaim bahwa prioritas utamanya adalah memperlakukan semua siswa sebagai umat manusia, tanpa memandang identitas etnik, latar belakang budaya, atau status ekonomi, ia telah menciptakan suatu paradoks. Kemanusiaan seseorang tidak dapat diasingkan dan dipisahkan dari kebudayaan dan etnisitasnya.
Pengaruh budaya dan etnisitas sejak awal telah nyata dan terus menjangkau keseluruhan proses perkembangan dan pertumbuhan manusia.
c. Benturan Global antar Kebudayaan
Pemisahan terbesar antara umat manusia dan sumber konflik utama berasal dari kebudayaan atau peradaban. Meskipun negara-bangsa akan menjadi aktor kuat, tetapi konflik utama dalam politik global akan terjadi antar bangsa dan kelompok kebudayaan yang berbeda-beda.
Globalisasi telah melahirkan paradoks. Pemberontakan permanen atas keseragaman dan integrasi. Yang ada adalah budaya bukan negara. Bagian bukan keseluruhan. Sekte bukan agama.
Disamping suku, agama juga merupakan medan pertempuran. Apapun bentuk universalisme yang telah memberi karunia dalam sejarah, seperti monoteisme yahudi, kristen dan islam. Dalam perwujudan modernnya tiga agama besar ini bersifat parokial daripada kosmopolitan.
Dalam proses globalisasi, integrasi pasar dunia, negara-bangsa, dan tekhnologi yang memungkinkan individu, korporasi dan negara-bangsa menjangkau pelosok dunia lebih jauh dalam waktu relatif capat dan biaya lebih murah, juga meninggalkan mereka yang tidak mampu membayar tiket globalisasi.
Karena itu, para pendukung multikultural yakin bahwa penghargaan pada kemajemukan, akan menjawab ketegangan antar kebudayaan.
d. Efektivitas Belajar tentang Perbedaan
Problem efektivitas belajar-mengajar untuk menanamkan kesadaran akan perbedaan. Salah satu premis pendidikan multikultural menyatakan bahwa belajar-mengajar merupakan proses kultural yang terjadi dalam konteks sosial.
Pengalaman Indonesia cukup menunjukkan kegagalan sistem pendidikan dalam rangka mengatasi dan mengelola keragaman agama, etnik dan kultural.
Pendidikan agama termasuk civic-education pada masa lampau sebenarnya juga menyinggung masalah pentingnya kerukunan antarumat beragama, namun lebih bersifat permukaan. Istilah ”kerukunan” yang diintrodusir lewat indoktrinasi sangat artifisial, karena tidak mencerminkan dialektika, dinamika apalagi kerjasama.
D. Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Multikultural
Pendidikan agama islam tidak harus sama dengan 50 tahun lalu ketika dunia pergaulan budaya, ekonomi, hiburan, dan perdagangan belum berkembang seperti sekarang ini.
Secara umum pendidikan agama islam merupakan mata pelajaran yang dikembangkan dari ajaran-ajaran dasar yang terdapat dalam agama islam. Ajaran-ajaran tersebut terdapat dalam al-qur’an dan al-hadits untuk kepentingan pendidikan, dengan melalui proses ijtihad para ulama mengembangkan materi pendidikan agama islam pada tingkat yang lebih rinci. Mata pelajaran pendidikan agama islam tidak hanya mengantarkan peserta didik untuk menguasai berbagai ajaran islam. Tetapi yang terpenting adalah bagaimana peserta didik dapat mengamalkan ajaran-ajaran itu dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam rangka menyadari perbedaan tantangan historis antara klasik-skolastik, era modernitas, dan terlebih lagi pada era modernita tingkat lanjut (post-modern), diperlukan keberanian intelektual untuk merumuskan ulang pola pendidikan islam, baik yang menyangkut materi maupun metodologi.
Pembelajaran ialah membelajarkan siswa menggunakan asas pendidikan maupun teori belajar, yang merupakan penentu utama keberhasilan pendidikan. Pembelajarn merupakan proses komunikasi dua arah, mengajar dilakukan oleh pihak guru sebagai pendidik, sedangkan belajar dilakukan oleh peserta didik atau murid.
Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 12 ayat 1 (a) disebutkan bahwa: “Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama”.
Maka dari itu di dalam penyelenggaraan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam yang ada di sekolah-sekolah umum, meskipun sudah ada kebijakan dari pihak sekolah bahwa siswa yang beragama non islam boleh ikut di dalam pelaksanaan pelajaran PAI yang ada, tetapi pihak sekolah masih tetap menyediakan guru agama yang seagama dengan mereka.
Pembelajaran pendidikan agama islam berbasis multikultural adalah salah satu model pembelajaran pendidikan agama islam yang dikaitkan pada keragaman yang ada, entah itu keragaman agama, etnis, bahasa dan lain sebagainya. Hal ini dilakukan karena banyak kita jumpai di sekolah-sekolah umum (bukan bercirikan islam) di dalam satu kelas saja terdiri dari berbagai siswa yang sangat beragam sekali, ada yang berbeda agama, etnis, bahasa, suku, dan lain sebagainya.
Dalam proses pembelajaran pendidikan agama islam berbasis multikultural, ada tiga fase yang harus betul-betul diperhatikan oleh seorang pendidik, diantaranya ialah:
1. Perencanaan
Perencanaan merupakan proses penyusunan sesuatu yang akan dilaksanakan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Pelaksanaan perencanaan tersebut dapat disusun berdasarkan kebutuhan dalam jangka tertentu sesuai dengan keinginan pembuat perencanaan. Namun yang lebih utama adalah perencanaan yang dibuat harus dapat dilaksanakan dengan mudah dan tepat sasaran. Apalagi dalam merencanakan pembelajaran pendidikan agama islam yang siswanya terdiri dari beraneka ragam (tidak hanya islam saja).
2. Pelaksanaan
Tahap ini merupakan tahap implementasi atau tahap penerapan atas desain perencanaan yang telah dibuat guru. Hakikat dari tahap pelaksanaan adalah kegiatan operasional pembelajaran itu sendiri.
Dalam proses ini, ada beberapa aspek yang harus diperhatikan oleh seorang guru (pendidik), diantaranya ialah: aspek pendekatan dalam pembelajaran, aspek strategi dan metode dalam pembelajaran dan proseduar pembelajaran.
3. Evaluasi
Evaluasi adalah alat untuk mengukur ketercapaian tujuan. Dengan evaluasi, dapat diukur kuantitas dan kualitas pencapaian tujuan pembelajaran. Pada hakekatnya evaluasi merupakan suatu kegiatan untuk mengukur perubahan perilaku yang telah terjadi.
Alat evaluasi ada yang berbentuk tes dan ada yang berbentuk non tes. Alat evaluasi berbentuk tes adalah semua alat evaluasi yang hasilnya dapat dikategorikan menjadi benar dan salah. Misalnya, alat evaluasi untuk mengungkapkan aspek kognitif dan psikomotor. Alat evaluasi non-tes hasilnya tidak dapat dikategorikan benar-salah, dan umumnya dipakai untuk mengungkap aspek afektif.
BAB III
METODE PENELITIAN
Tujuan penelitian dalam bidang pendidikan secara umum adalah untuk meningkatkan daya imajinasi mengenai masalah-masalah pendidikan. Kemudian meningkatnya daya nalar untuk mencari jawaban permasalahan itu melalui penelitian.
Penelitian dapat didefinisikan sebagai usaha seseorang yang dilakukan secara sistematis mengikuti aturan-aturan metodologi misalnya observasi secara sistematis, dikontrol, dan mendasarkan pada teori yang ada dan diperkuat dengan gejala yang ada.
Sistematika penulisan karya ilmiah yang diambil oleh penulis memuat hal-hal sebagai berikut:
A. Pendekatan Dan Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan berparadigma Deskriptif-Kualitatif, Bogdan dan Taylor mendefinisikan “Metodologi Kualitatif” sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Menurut mereka, pendekatan ini, diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistik (utuh). Jadi, dalam hal ini tidak boleh mengisolasikan individu atau oraganisasi ke dalam variabel atau hipotetis, tetapi perlu memandangnya sebagai bagian dari sesuatu keutuhan.
Data yang dikumpulkan adalah berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka. Hal itu disebabkan oleh adanya penerapan metode kualitatif. Selain itu, semua yang dikumpulkan berkemungkinan menjadi kunci terhadap apa yang diteliti.
Deskriptif Kualitatif adalah penelitian yang data-datanya berupa kata-kata (bukan angka-angka, yang berasal dari wawancara, catatan laporan, dokumen dll) atau penelitian yang di dalamnya mengutamakan untuk pendiskripsian secara analisis sesuatu peristiwa atau proses sebagaimana adanya dalam lingkungan yang alami untuk memperoleh makna yang mendalam dari hakekat proses tersebut.
Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan realitas empiris sesuai fenomena secara rinci dan tuntas, serta untuk mengungkapkan gejala secara holistis kontekstual melalui pengumpulan data dari latar alami dengan memanfaatkan diri peneliti sebagai instrumen kunci.
Adapun jenis penelitan dalam skripsi ini adalah penelitian studi kasus, menurut Suharsimi Arikunto penelitian studi kasus adalah suatu penelitan yang di lakukan secara intensif, terinci dan mendalam terhadap suatu organisasi, lembaga atau gejala tertentu.
Studi kasus atau penelitian kasus adalah penelitian tentang status subjek penelitian yang berkenaan dengan suatu fase spesifik atau khas dari keseluruhan personalitas. Subjek penelitian dapat saja individu, kelompok, lembaga maupun masyarakat. Peneliti ingin mempelajari secara intensif latar belakang serta interaksi lingkungan dari unit-unit sosial yang menjadi subyek. Tujuan studi kasus adalah untuk memberikan gambaran secara mendetail tentang latar belakang, sifat-sifat serta karakter-karakter yang khas dari kasus, ataupun status dari individu, yang kemudian dari sifat-sifat khas di atas akan dijadikan suatu hal yang bersifat umum.
B. Kehadiran Peneliti
Dalam penelitian kualitatif, peneliti sendiri atau dengan bantuan orang lain merupakan pengumpul data utama. Dalam hal ini, sebagaimana dinyatakan oleh Lexy J. Moeleong, kedudukan peneliti dalam penelitian kualitatif cukup rumit. Ia sekaligus merupakan perencana, pelaksana pengumpulan data, analisis, penafsir data, dan pada akhirnya ia menjadi pelapor hasil penelitiannya. Pengertian instrumen atau alat penelitian di sini tepat karena ia menjadi segalanya dari keseluruhan proses penelitian. Namun, instrumen di sini dimaksudkan sebagai alat pengumpul data seperti tes pada penelitian kuantitatif.
Berdasarkan pada pandangan di atas, maka pada dasarnya kehadiran peneliti disini disamping sebagai instrumen juga menjadi faktor penting dalam seluruh kegiatan penelitian ini.
C. Lokasi Penelitian
Penelitian skripsi ini diadakan di SMA Negeri 1 Malang yang beralamatkan di Jln. Tugu Utara No.1 Malang yang merupakan salah satu SMA Negeri unggulan di Kota Malang.
Dalam rangka mewujudkan SMA Negeri 1 Malang sebagai lembaga pendidikan yang profesional, maka dalam aktifitas sehari-hari gerak langkah komponen-komponen pendukung SMA Negeri 1 Malang dibingkai dalam sebuah tata kerja yang harmonis mulai dari pimpinan sekolah, dewan sekolah, guru-karyawan hingga siswa dengan struktur organisasi. Dalam upaya malayani siswa dengan sebaik-baiknya, guru-guru di SMA Negeri 1 Malang telah memiliki kelayakan dan profesionalisme yang cukup memadai sesuai dengan bidang mata pelajaran yang menjadi tanggung jawabnya.
D. Sumber Data
Yang dimaksud sumber data dalam penelitian, menurut Suharsimi Arikunto adalah subjek dimana data diperoleh. Sedangkan menurut Lofland, yang dikutip oleh Moleong, sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata atau tindakan, selebihnya adalah adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain.
Adapun sumber data terdiri dari dua macam:
1. Sumber Data Primer
Sumber Data primer adalah sumber data yang langsung memberikan data kepada pengumpul data.
Dalam penelitian ini, sumber data primer yang diperoleh oleh peneliti adalah: hasil wawancara dengan Kepala Sekolah SMA Negeri 1 Malang, Waka Kurikulum SMA Negeri 1 Malang, Guru Pendidikan Agama Islam di SMA Negeri 1 Malang dan sebagian Murid SMA Negeri 1 Malang.
2. Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder adalah sumber yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data, misalnya lewat orang lain atau dokumen.
Sumber data sekunder yang diperoleh peneliti adalah data yang diperoleh langsung dari pihak-pihak yang berkaitan berupa data-data sekolah dan berbagai literatur yang relevan dengan pembahasan.
E. Prosedur Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini penulis menggunakan tiga macam teknik pengumpulan data, yaitu:
1. Metode Observasi atau Pengamatan.
Suharsimi Arikunto mengemukakan bahwa observasi atau disebut juga dengan pengamatan meliputi kegiatan pemusatan perhatian terhadap suatu objek dengan menggunakan segala indra.
Berdasarkan definisi diatas maka yang dimaksud metode observasi adalah suatu cara pengumpulan data melalui pengamatan panca indra yang kemudian diadakan pencatatan-pencatatan. Penulis menggunakan metode ini untuk mengamati secara langsung dilapangan, terutama data tentang :
a. Letak geografis serta keadaan fisik SMA Negeri 1 Malang
b. Manajemen Pengelolaan Sekolah yang dipakai di SMA Negeri 1 Malang
c. Kurikulum yang ada di SMA Negeri 1 Malang
d. Fasilitas / sarana prasarana Pendidikan yang ada SMA Negeri 1 Malang
2. Metode Wawancara
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu.
Metode wawancara atau metode interview dipergunakan kalau seseorang untuk tujuan suatu tugas tertentu, mencoba mendapatkan keterangan atau pendirian secara lisan dari seorang responden, dengan bercakap-cakap berhadapan muka dengan orang itu.
Metode interview ini penulis gunakan dengan tujuan untuk memperoleh data yang berkaitan dengan pelaksanaan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Multikultural. Adapun sumber informasi (Informan) adalah Kepala Sekolah SMA Negeri 1 Malang, Wakasek bagian Kurikulum SMA Negeri 1 Malang, Guru Agama Pendidikan Agama Islam SMA Negeri 1 Malang dan sebagian murid SMA Negeri 1 Malang.
3. Metode Dokumentasi
Tidak kalah penting dari metode-metode lain, adalah metode dokumentasi, yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, lengger, agenda dan sebagainya.
Dibandingkan dengan metode lain, maka metode ini agak tidak begitu sulit, dalam arti apabila ada kekeliruan sumber datanya masih tetap, belum berubah. Dengan metode dokumentasi yang diamati bukan benda hidup tetapi benda mati.
Dari definisi diatas, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa dokumentasi yang penulis gunakan adalah dengan mengambil kumpulan data yang ada di kantor SMA Negeri 1 Malang baik berupa tulisan, papan nama, dan brosur profil SMA Negeri 1 Malang.
F. Teknik Analisis Data
Setelah data terkumpul dilakukan pemilahan secara selektif disesuaikan dengan permasalahan yang diangkat dalam penelitian. Setelah itu, dilakukan pengolahan dengan proses editing, yaitu dengan meneliti kembali data-data yang didapat, apakah data tersebut sudah cukup baik dan dapat segera dipersiapkan untuk proses berikutnya. Secara sistematis dan konsisten bahwa data yang diperoleh, dituangkan dalam suatu rancangan konsep yang kemudian dijadikan dasar utama dalam memberikan analisis.
Analisis data menurut Patton yang dikutip oleh Moleong, adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya kedalam suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar. Sedangkan menurut Bogdan dan Taylor, analisa data adalah proses yang merinci usaha secara formal untuk menemukan tema dan merumuskan ide seperti yang disarankan oleh data dan sebagai usaha untuk memberikan bantuan pada tema dan ide itu.
Dalam penelitian ini yang digunakan dalam menganalisa data yang sudah diperoleh adalah dengan cara deskriptif (non statistik), yaitu penelitian yang dilakukan dengan menggambarkan data yang diperoleh dengan kata-kata atau kalimat yang dipisahkan untuk kategori untuk memperoleh kesimpulan. Yang bermaksud mengetahui keadaan sesuatu mengenai apa dan bagaimana, berapa banyak, sejauh mana, dan sebagainya.
Pada umumnya penelitian deskriptif merupakan penelitian non hipotesis. Penelitian deskriptif dibedakan dalam dua jenis penelitian menurut sifat-sifat analisa datanya, yaitu riset deskriptif yang bersifat ekploratif dan riset deskriptif yang bersifat developmental.
Dalam hal ini penulis menggunakan deskriptif yang bersifat ekploratif, yaitu dengan menggambarkan keadaan atau status fenomena. Peneliti hanya ingin mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan keadaan sesuatu. Dengan berusaha memecahkan persoalan-persoalan yang ada dalam rumusan masalah dan menganalisa data-data yang diperoleh dengan menggunakan pendekatan sosiologis.
G. Pengecekan Keabsahan Temuan
Pemeriksaan keabsahan data didasarkan atas kriteria tertentu. Kriteria itu terdiri atas derajat kepercayaan (kredibilitas), keteralihan, kebergantungan, dan kepastian. Masing-masing kriteria tersebut menggunakan teknik pemeriksaan sendiri-sendiri. Kriteria derajat kepercayaan pemeriksaan datanya dilakukan dengan:
1. Teknik perpanjangan keikutsertaan, ialah untuk memungkinkan peneliti terbuka terhadap pengaruh ganda, yaitu faktor-faktor kontekstual dan pengaruh bersama pada peneliti dan subjek yang akhirnya mempengaruhi fenomena yang diteliti.
2. Ketekunan/Keajegan pengamatan, bermaksud menemukan ciri-ciri dan unsur-unsur dalam situasi yang sangat relevan dengan persoalan atau isu yang sedang dicari dan kemudian memusatkan diri pada hal-hal tersebut secara rinci.
3. Triangulasi, adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Teknik triangulasi yang paling banyak digunakan ialah pemeriksaan melalui sumber lainnya. Denzin membedakan empat macam triangulasi sebagai teknik pemeriksaan yang memanfaatkan penggunaan sumber, metode, penyidik dan teori.
4. Pemeriksaan Sejawat Melalui Diskusi, dilakukan dengan cara mengekspos hasil sementara atau hasil akhir yang diperoleh dalam bentuk diskusi analitik dengan rekan-rekan sejawat.
5. Kecukupan refensial, alat untuk menampung dan menyesuaikan dengan kritik tertulis untuk keperluan evaluasi. film atau video-tape, misalnya dapat digunakan sebagai alat perekam yang pada saat senggang dapat dimanfaatkan untuk membandingkan hasil yang diperoleh dengan kritik yang telah terkumpul;
6. Kajian kasus negatif, dilakukan dengan jalan mengumpulkan contoh dan kasus yang tidak sesuai dengan pola dan kecenderungan informasi yang telah dikumpulkan dan digunakan sebagai bahan pembanding;
7. Pengecekan anggota, yang dicek dengan anggota yang terlibat meliputi data, kategori analisis, penafsiran, dan kesimpulan. Yaitu salah satunya seperti ikhtisar wawancara dapat diperlihatkan untuk dipelajari oleh satu atau beberapa anggota yang terlibat, dan mereka diminta pendapatnya.
Kriteria kebergantungan dan kepastian pemeriksaan dilakukan dengan teknik auditing. Yaitu untuk memeriksa kebergantungan dan kepastian data.
Demikian halnya dalam penelitian ini, secara tidak langsung peneliti telah menggunakan beberapa kriteria pemeriksaan keabsahan data dengan menggunakan teknik pemeriksaan sebagaimana yang telah tersebut di atas, untuk membuktikan kepastian data. Yaitu dengan kehadiran peneliti sebagai instrumen itu sendiri, mencari tema atau penjelasan pembanding atau penyaing, membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara, mengadakan wawancara dari beberapa orang yang berbeda, menyediakan data deskriptif secukupnya, diskusi dengan teman-teman sejawat.
H. Tahap-tahap Penelitian
Dalam penelitian ini, ada beberapa tahapan penelitian:
1. Tahap pra lapangan
a. Memilih lapangan, dengan pertimbangan bahwa SMA Negeri 1 Malang adalah salah satu SMA unggulan yang menerapkan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Multikultural..
b. Mengurus perijinan, baik secara informal (ke pihak sekolah), maupun secara formal (ke Diknas Kota Malang).
c. Melakukan penjajakan lapangan, dalam rangka penyesuaian dengan SMA Negeri 1 Malang selaku objek penelitian.
2. Tahap pekerjaan lapangan
a. Mengadakan observasi langsung ke SMA Negeri 1 Malang terhadap pelaksanaan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Multikultural, dengan melibatkan beberapa informan untuk memperoleh data.
b. Memasuki lapangan, dengan mengamati berbagai fenomena proses pembelajaran dan wawancara dengan beberapa pihak yang bersangkutan.
c. Berperan serta sambil mengumpulkan data.
3. Penyusunan laporan penelitian, berdasarkan hasil data yang diperoleh.
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Latar Belakang Objek
1. Sejarah Singkat SMA Negeri 1 Malang
Sejak masa Penjajahan Belanda, Malang sudah merupakan satu kota di Indonesia yang memiliki Sekolah lanjutan Tingkat Aatas.
Sekolah yang peruntukkan bagi bangsa Indonesia disebut dengan istilah Algemene Middelbare Shcool (AMS), sedangkan sekolah bagi orang-orang Belanda dan orang Eropa lainnya disebut Hogere Burger School (HBS). Namun kedua sekolah lanjutan itu tamat riwayatnya bersamaan dengan takluknya Pemerintah Belanda kepada Tentara Jepang pada tahun 1942.
Setelah tentara Jepang menguasai Indonesia, kota Malang tidak segera memepunyai sekolah lanjutan. Baru pada tahun 1944, Kepala Pemerintah Umum Tentara Penduduk Jepang minta kepada Mr. Raspio untuk mendirikan Sekolah Menengah Tinggi (SMT). Mr. Raspio, pegawai Pemerintah Jepang bagian pendiri koperasi di daerah-daerah berhasil menghimpunsekitar 90 orang anak lak-laki dan perempuan diterima sebagai murid untukdijadikan dua kelas. Maka berdirilah sebuah SMT yang menempati gedung di Jalan Celaket 55 Malang yang sekarang menjadi SMAK Cor Jesu, Jalan Jaksa Agung Suprapto 55 sekarang. Sebagian besar pengajarnya adalah tenaga pinjaman dari berbagai instansi Pemerintah. Yang berstatus guru tetap adalah tiga orang, yakni Bapak Sardjoe Atmodjo, Bapak Goenadi dan Bapak Abdoel Aziz. Disamping itu ada mahasiswa ITB yang mengajar di sekolah itu juga.
Setelah Mr. Raspio diangkat sebagai Kepala Kemakmuran Malang, maka pimpinan sekolah diserahkan pada Bapak Soenarjo. Ketika Jepang takluk pada sekutu, murid-murid SMT tersebut ikut pula melucuti tentara Jepang dan merebut kekuasaannya.
Pada tanggal 10 Nopember 1945, Surabaya dibom oleh Inggris. Pecahlah revolusi, banyak murid SMT Surabaya yang menyingkir ke Malang, sehingga kelas menjadi besar. Dalam tahun 1946 SMT tersebut pindah ke gedung di Jalan Alun-alun Bunar Tugu Utara nomor 1 Malang.
Pada hari senin tanggal 21 Juli 1947, Belanda melancarkan Aksi Militer yang pertama, Republik Indonesia diserangnya. Sepuluh hari kemudian, pada hari kamis tanggal 31 Juli 1947, Belanda berhasil merebut kota Malang. Namun mereka mendapatkan sebagia besar kota Malang yang telah hancur, sebab dua hari sebelumnya banyak gedung yang dibumihanguskan, tidak luput pula gedung SMT di gedung Alun-alun Bundar ini, bangku-bangku disiram dengan bensin dan dibakar habis. Dan sejak itu pula Sekolah Menengah Tinggi produk Jepang itu habis riwayatnya habis tanpa bekas. Sementar Belanda menduduki Malang, mereka mendirikan VHO (Voorberindend Hoger Ondewijs = Persiapan Pendidikan yang lebih tinggi).
Sekolah tersebut dikemudian hari setelah Malang dikuasai pihak Republik, dinasionalisasikan menjadi SMA B, dibawah pimpinana Bapak Poeadi, dan pada akhirnya menjadi SMA Negeri 1 yang sekarang ini.
Ketika masa pendudukan tersebut, di pihak Republik tidak ada sekolah, kantor P dan K berkedudukan di sumberpucung kabupaten Malang. Maka tampillah seorang tokoh pendidikan Bapak Sardjoe Atmodjo, menghimpun anak-anak yang tidak menentu studinya itu untuk mendirikan sekolah. Hanya dengan 7 orang murid maka sekolahpun berjalan. Namun sekolah tersebut tidak mempunyai gedung, sehingga proses belajar mengajar berpindah dari rumah ke-rumah. Bapak Sardjoe Atmodjo mengajar di ruamah beliau di Jalan Kasin. Kalau yang mengajar Bapak Emen Abdoellah Rachman, maka murid-murid datang ke rumah beliau di Jalan Tongan. Atau kadang-kadang mereka harus datang di SD Muhammadiyah Jalan Kawi, kalau yang mengajar Bapak Haridjaja atau Bapak Soeroto. Honorarium bagi guru hanya Rp. 20,00 (Dua Puluh Rupiah) ORI (Oeang Repoeblik Indonesia), sebab uangpun tidak menentu, semampu murid membayarnya. Pembayaran uang sekolah juga tanpa kwitansi segala, karena tidak ada Tata Usaha. Sungguh merupakan sekolah perjuangan, baik bagi murid maupun para guru. Untuk meringankan beban hidup para guru, Dokter Soerodjo acap kali memberi bantuan berupa makanan dalam kaleng.
Walaupun demikian menderitanya, namun para guru tidak gelisah dalam mengajar, berkat rasa pengabdian mereka kepada perjuangan bangsa. Dalam masa perkembangannya, SMT itu pernah menempati gedung di Jalan Kasin – SAM Erlangga sekarang dan mempunyai kelas jauh di SD Ngaglik, Sukon. Pemerintah Belanda membuat peraturan, sekolah yang tidak berlindung pada suatu yayasan dianggap sekolah liar dan harus bubar. Pimpinan sekolah tidak kehabisan akal, maka memakailah nama SMT BOPKRI (Badan Oesaha Kristen Indonesia), suatu yayasan yang ada pada zaman Belanda sudah ada. Jadi mempunyai ”Hak Sejarah” (Historisrecht). Artinya hanya sekolah-sekolah yang ada pada Zaman Belanda dahulu sudah mendapatkan ijin saja yang boleh terus buka. Ijin memakai BOPKRI diberikan oleh Dominee Harahap, namun SMT ini tidak lama melakai nama BOPKRI karena Dominee Harahap sendiri diusir oleh Belanda ke Sumberpucung, daerah Republik. Akhirnya SMT ini berpindah nama menjadi SMT PGI (Perasatoean Goeroe Indonesia, perubahan dari Persatoean Goeroe Hindia Belanda pada tahun 1932).
Demikian siasat perjuangan pimpinan sekolah, dengan cara apapun ditempuh demi kelangsungan hidup SMT yang merupakan salah satu alat perjuangan bangsa. Sementara itu SMPT yang tumbuh bersamaan waktu dengan SMT PGI mendapatkan tempat yang tetap di Jalan Kelud. Rumah kembar berlantai dua milik Dr. Poedyo Soemanto dipinjamkan kepada kedua sekolah tersebut. Dengan maksud agar selalu dapat mengawasi kedua sekolah itu. Belanda menjanjikan memberi subsidi. Kalau tidak mau menerimanya sekolah harus ditutup. Ini suatu fitnah yang licik. Maka atas pertimbangan dan saran dari ”Tokoh dalam Kota” (beberapa tokoh Replubiken yang bergerilya dalam kota), hanya SMPnya saja yang boleh menerima subsidi itu, sedangkan SMTnya tidak. Konsekuensi dari keputusan itu maka SMT PGI harus ditutup dan bubar. Ini siasat dari pimpinan. Sebab sebenarnya SMT PGI tetap ada walaupun sebagai SMT bayangan. Memang di mata belanda SMT PGI sudah ditutup, namun dalam kenyataannya tetap ada. Subsidi yang didapatkan dari Belanda dipergunakan oleh SMP dan SMT PGI bersama-sama. Tidak lama kemudian sekolah itu berpindah ke kidul pasar, di gedung SMP Negeri 2 Malang sekarang ini. Di sana sekolah berjalan sampai saat pengakuan kedaulatan terjadi. Serta merta berkibarlah sang merah putih di halaman sekolah. Itulah merah putih pertama kali berkibar di Malang, sejak kota ini di duduki oleh Belanda pada tahun 1947. ternyata jiwa republik tidak kunjung padam. Manakala ada kesempatan, maka menggeloralah dalam dahsyatnya jiwa merdeka bangsa. Dalam perkembangan selanjutnya, SMT PGI berpindah tempat lagi di jalan Arjuno, di gedung SMP Negeri 8 sekarang. Sedangkan SMP PGI tetap di kidul pasar. Tidak lama kemudian SMT PGI menempati gedung di jalan Alun-alun Bundar Tugu Utara Nomor 1 dan setelah mengalami jatuh bangunnya perjuangan mempertahankan kelangsungan hidupnya, maka pada hari senin kliwon tanggal 17 April 1950 SMT PGI diresmikan menjadi SMA Negeri oleh pemerintah Republik Indonesia. Adapun yang menjadi kepala sekolah pertama adalah Bapak G.B. Pasariboe. Walaupun yang memimpin sekolah bukan Bapak Sardjoe Atmodjo, namun beliau kita anggap sebagai perintis SMA Negeri 1 Malang, karena sesudah SMT Produk jepang tamat riwayatnya, ketika belanda merebut kota Malang pada Tanggal 31 Juli 1947 dahulu, beliaulah yang menghimpun murid mengawali berdirinya suatu sekolah, walaupun hanya bermodalkan tujuh orang saja.
Kini bapak Sardjoe Atmodjo telah tiada, jasadnya telah hilang disapu masa. Namun karya jerih payahnya telah diwariskan kepada kita untuk dilestarikan dan ditumbuhkembangkan menuju prestasi yang gemilang.
Kecuali Bapak Sardjoe Atmodjo masih ada nama lain yang perlu kita catat dan ingat sebagai kenangan terhadap jasa-jasa beliau karena ikut mendukung tumbuh dan berkembangnya sekolah kita, beliau adalah:
1. Dr. Soerodjo
2. Dr. Poedyo Soemanto
3. Dr. Hadi
4. Ir. Tahir
5. Haji Djarhoem
6. Raspio
7. Mr. Njono Prawoto
8. Haridjaja
9. Soeroto
10. Emen Abdoellah Rachman
11. Dominee Harahap
Pada tahun 1950, gedung SMA Negeri di Jalan Alun-alun Bundar No. 1 oleh tiga sekolah, yakni
1. SMA Negeri pimpinan Bapak G.B. Pasariboe, yang pada waktu itu dikenal orang dengan istilah ”SMA Republik”.
2. SMA Negeri pimpinan Bapak Poerwadi.
3. SMA Peralihan pimpinan Bapak Oesman. Murid SMA Peralihan terdiri dari pejuang yang tergabung dalam TRIP dan kesatuan tentara pelajar yang lain.
Pada hari Jum’at tanggal 8 Agustus 1952 murid jurusan B (Ilmu Pasti) dari SMA Republik dipindahkan dan dijadikan sekolah baru dengan pimpinan Bapak Koeswandono, bersamaan dengan SMA pimpinan Bapak G.B. Pasariboe. Sehingga akhirnya nama SMA yang ada di Alun-alun Bundar menjadi :
1. SMA Negeri I-A/C, pimpinan Bapak G.B. Pasariboe.
2. SMA Negeri II-B, pimpinan Bapak Poerwadi.
3. SMA Negeri III-B, pimpinan Bapak Oesman.
SMA peralihan harus ditutup pada tahun 1954 karena murid pemuda pejuang telah tiada, lulus semua.
Pada hari Selasa, tanggal 16 September 1958, SMA Negeri I-A/C dipecah menjadi dua, maka lahirlah SMA IV-A/C, dengan pimpinan Bapak Goenadi. Lokasi di Jalan kota lama 34 Malang, SMA Negeri 2 sekarang.
Pada hari Jum’at tanggal 1 April 1977 filial SMA Negeri Kepanjen diresmikan sebagai SMA Negeri Kepanjen dengan Kepala Sekolah yang pertama Bapak Drs. M. Moenawar.
SMA Negeri III membina Sekolah baru dan akhirnya sekolah tersebut menjadi SMA Negeri V Malang, dengan Kepala Sekolah yang pertama Bapak Mochammad Imam. Tahun 1975 SMA Negeri III juga membuka filial di Lawang yang akhirnya menjadi SMA Negeri Lawang.
SMA Negeri IV membina SMA Batu, pada Tahun 1978 diresmikan sebagai SMA Negeri dengan kepala Sekolah yang pertama Drs. Moch. Chotib.
Adapun Kepala Sekolah yang pernah memimpin SMA Negeri I Malang, sebagai berikut:
1. Bpk. Sardjoe Atmodjo, perintis SMA Negeri 1, 1947-1950.
2. Bpk. G.B. Pasariboe, Kepala Sekolah ke 1, 1950-1952.
3. Bpk. A. Djaman Hasibuan, Kepala Sekolah ke 2, 1953-1965.
4. Bpk. Sikin, Kepala Sekolah ke 3, 1965-1971.
5. Bpk. Drs. Abdul Kadir, Kepala Sekolah ke 4, 1971-1981.
6. Bpk. Soewardjo, PLH Kepala Sekolah, 1981-1984.
7. Bpk. Drs. Abdurrachman, Kepala Sekolah ke 5, 1981-1986.
8. Bpk. Drs. H. Moch. Chotib, Kepala Sekolah ke 6, 1986-1991.
9. Bpk. Abdul Syukur, BA., PLH Kepala Sekolah, 1991.
10. Bpk. Soenarjadi, BA., Kepala Sekolah ke 7, 1991-1993.
11. Bpk. Drs. Munadjat, Kepala Sekolah ke 8, 1993-1998.
12. Bpk. Drs. Sagi Siswanto, Kepala Sekolah ke 9, 1998-2004.
13. Bpk. Drs. Nor Salim. M.Pd. PLH Kepala Sekolah, 2004.
14. Bpk. Drs. H. Tri Suharno, Kepala Sekolah ke 10, 2004-2005.
15. Bpk. Drs. H. Moh. Sulthon. M.Pd. Kepala Sekolah ke 11, 2005-Sekarang.
Demikianlah paparan sejarah singkat berdirinya SMA Negeri 1 Malang, yang juga mengungkapkan juga kelahiran beberapa Sekolah lain yang berhubungan, sehingga kita tahu bahwa SMA-SMA Negeri di Malang ini kebanyakan adalah sesaudara pada mulanya. Sehingga wajar jika langkahlangkah selanjutnya akan diisi dengan hal-hal yang mengarah kepada adanya kerjasama guna memupuk rasa persatuan menuju terciptanya kemajuan bersama.
2. Visi dan Misi SMA Negeri 1 Malang
Visi SMA Negeri 1 Malang
Terwujudnya lulusan yang berkualitas, unggul dan berjiwa Mitreka Satata.
Misi SMA Negeri 1 Malang
1. Terciptanya budaya disiplin, demokratis dan beretos kerja tinggi.
2. Terlaksananya pembelajaran yang efektif dan efisien.
3. Terwujudnya lulusan yang ber-IMTAQ dan menguasai IPTEKS serta mampu bersaing di Era Globalisasi.
4. Terwujudnya Sarana Prasarana sekolah yang memadai.
5. Terwujudnya Manajemen sekolah yang partisipatif, transparan dan akuntabel.
6. Terwujudnya pengembangan wawasan Guru dan karyawan dalam mengikuti kemajuan IPTEKS.
7. Terwujudnya kesejahteraan lahir batin bagi warga sekolah.
8. Terwujudnya hubungan yang harmonis antara warga sekolah yang berjiwa Mitreka Satata.
9. Terwujudnya pelayanan yang cepat, tepat dan memuaskan kepada masyarakat.
10. Terwujudnya budaya jujur, ikhlas, sapa, senyum dan santun.
11. Terwujudnya pengembangan kreativitas siswa dalam bidang PIR, keilmuan, seni, sosial, olah raga dan keagamaan.
12. Terwujudnya hubungan kerjasama yang saling menguntungkan dengan instansi lain.
13. Terwujudnya pelaksanaan 7K.
3. Struktur Organisasi SMA Negeri 1 Malang
Dalam rangka mewujudkan SMAN 1 Malang sebagai lembaga pendidikan yang profesional, maka dalam aktifitas sehari-hari gerak langkah komponen-komponen pendukung SMAN 1 Malang dibingkai dalam sebuah tata kerja yang harmonis mulai dari pimpinan sekolah, dewan sekolah, guru-karyawan hingga siswa . Adapun bagan struktur organisasi SMA Negeri 1 Malang sebagaimana dalam lampiran.
4. Daftar Guru, Karyawan dan Jumlah Siswa SMA Negeri 1 Malang.
Guru SMA Negeri 1 Malang pada tahun pelajaran 2006-2007 sebanyak: 71 orang.
Dalam upaya melayani siswa dengan sebaik-baiknya, guru-guru di SMA Negeri 1 Malang telah memiliki kelayakan dan profesionalisme yang cukup memadai sesuai dengan bidang mata pelajaran yang menjadi tanggung jawabnya.
Tingkat profesionalisme guru-guru SMA Negeri 1 Malang dapat dilihat dari sisi:
1. Penguasaan Kurikulum cukup memadai.
2. Penguasaan materi yang menjadi tanggung jawabnya cukup baik.
3. Tertib perencanaan mengajar dan administrasi
4. Tertib evaluasi
5. Kemitraan, etos kerja, dan dedikasi yang baik.
Adapun daftar guru SMA Negeri 1 Malang adalah sebagaimana terlampir.
Sementara itu untuk menunjang kegiatan pendidikan, SMA Negeri 1 Malang memiliki pegawai tetap maupun pegawai tidak tetap yang bertugas untuk melakukan kegiatan-kegiatan penunjang pelaksanaan kegiatan belajar mengajar, antara lain : Karyawan Tata Usaha, Tenaga Laboran, Pustakawan, Kebersihan, Koperasi dan Tenaga keamanan. Yang jumlah semuanya ada 24 orang. Adapun daftar karyawan SMA Negeri 1 Malang adalah sebagaimana terlampir.
Sementara itu Jumlah siswa SMA Negeri 1 Malang pada Tahun Ajaran 2006/2007 adalah 874 siswa dengan rincian sebagai berikut: Adapun daftar jumlah siswa SMA Negeri 1 Malang adalah sebagaimana terlampir.
5. Denah Ruang SMA Negeri 1 Malang
Untuk mengetahui denah ruang SMA Negeri 1 Malang, penulis melakukan penggalian data dengan cara observasi secara langsung di lokasi penelitian dan didukung dengan data dokumentasi yang penulis peroleh. Adapun denah ruang SMA Negeri 1 Malang adalah sebagaimana terlampir.
B. Paparan hasil Penelitian
1. Perencanaan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Multikultural di SMA Negeri 1 Malang.
Di dalam sebuah lembaga sekolah segala program kegiatan harus sepengetahuan kepala sekolah, karena kepala sekolah adalah sebagai leadher pada lembaga tersebut.
Di dalam peran kepala sekolah ini peneliti melakukan wawancara dengan kepala sekolah dan hasilnya adalah sebagai berikut:
”........Peran kepala sekolah adalah mengkordinasikan seluruh Guru agama untuk merumuskan dan merencanakan program pelaksanaan pembelajaran PAI......”
Di dalam pembelajaran pendidikan agama islam berbasis multikultural di SMA Negeri 1 Malang, ada beberapa langkah-langkah yang diambil kepala sekolah di dalam menggerakkan GPAI yang ada di sekolah tersebut. Dalam hal ini peneliti melakukan wawancara dengan Kepala Sekolah, dan hasilnya adalah sebagai berikut:
”.......langkah-langkah yang diambil dalam menggerakkan GPAI adalah: GPAI harus menjadi contoh yang baik bagi guru agama selain islam baik konsep dasar dan etos kerjanya, dan juga tidak diskriminasi dalam memberikan bimbingan terhadap siswa yang beragama islam maupun non muslim.......”
Artinya guru pendidikan islam yang ada harus menjadi suri tauladan bagi yang lain, baik dari konsep dasar dan etos kerjanya, dan juga tidak mendiskriminasikan siswa (baik itu siswa yang beragama islam maupun non islam) di dalam memberikan bimbingan.
Perencanaan merupakan proses penyusunan sesuatu yang akan dilaksanakan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Pelaksanaan perencanaan tersebut dapat disusun berdasarkan kebutuhan dalam jangka tertentu sesuai dengan keinginan pembuat perencanaan. Namun yang lebih utama adalah perencanaan yang dibuat harus dapat dilaksanakan dengan mudah dan tepat sasaran.
Begitu pula dengan perencanaan pembelajaran, yang direncanakan harus sesuai dengan target pendidikan. Guru sebagai subjek dalam membuat perencanaan pembelajaran harus dapat menyusun berbagai program pengajaran sesuai dengan materi yang akan disampaikan.
Dalam hal ini peneliti juga melakukan wawancara dengan tiga (3) orang guru pendidikan agama islam yang ada, dan hasilnya adalah sebagai berikut:
”.......kita membuat perencanaan sesuai dengan bab/judul yang akan disampaikan, dan juga memberi kebebasan kepada siswa yang non islam, artinya dia boleh ikut di dalam kelas dengan syarat tidak mengganggu yang lain (sebagai peserta pasif), atau keluar dari kelas dan diarahkan ke perpus untuk belajar......”
”........dalam perencanaan pembelajaran PAI yang siswanya ada selain muslim adalah membuat Recana Pembelajaran sesuai dengan materi yang akan disampaikan, dan memberikan kebebasan bagi siswa yang non muslim untuk mengikuti atau berada di luar kelas......”
”.......membuat perencanaan pembelajaran sesuai dengan materi yang disampaikan dan juga sesuai dengan kurikulum yang ada dan mengenai siswa yang non islam, karena sekolah ini sekolah umum bukan sekolah yang bercirikan islam, ya kita memberikan kesempatan kepada siswa tadi untuk ikut belajar atau keluar ke perpustakaan, lebih-lebih pada jam terakhir........”
Semua guru agama yang ada ketika akan mengajar membuat perencanaan pembelajaran sesuai dengan materi yang akan disampaikan dan sesuai dengan kurikulum yang dipakai, sehingga nanti apa yang akan menjadi tujuan pembelajaran bisa tercapai. Dan untuk siswa yang beragama non islam, diberi kebebasan untuk mengikuti pelajaran yang ada dengan syarat tidak mengganggu yang lain (sebagai peserta pasif) atau meninggalkan kelas dan diarahkan untuk belajar di perpustakaan.
2. Pelaksanaan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Multikultural di SMA Negeri 1 Malang.
Proses pembelajaran dalam pendidikan agama islam selalu memperhatikan individu peserta didik serta menghormati harkat, martabat dan kebebasan berpikir mengeluarkan pendapat dan menetapkan pendiriannya, sehingga bagi peserta didik belajar merupakan hal yang menyenangkan dan sekaligus mendorong kepribadiannya berkembang secara optimal. Sedangkan bagi guru, proses pembelajaran merupakan kewajiban yang bernilai ibadah, yang harus dipertanggungjawabkan dihadapan Allah SWT.
Mengenai pelaksanaan pembelajaran ini, peneliti melakukan wawancara dengan Kepala Sekolah, dan hasilnya adalah:
”........dan telah disepakati bila proses pembelajaran PAI berlangsung siswa yang beragama selain islam, diperkenankan mengikuti atau meninggalkan kelas dan belajar atau baca-baca buku di perpustakaan......”
Peneliti juga melakukan wawancara dengan Wakasek bagian kurikulum, dan hasilnya adalah sebagai berikut:
”........dalam Pembelajaran pendidikan agama islam yang siswanya ada selain islam, boleh ikut di dalam kelas asalkan tidak mengganggu yang lain atau tidak ikut dan di suruh belajar di perpustakaan, kalau yang agama katolik pendidikan agamanya hari jum’at dan yang agama hindu karena pesertanya sedikit diikutkan di SMA Negeri 8......”
Artinya telah ada kesepakatan/ketetapan dari kepala sekolah dan guru pendidikan agama islam yang ada, bahwa dalam pelaksanaan pembelajaran pendidikan agama islam yang siswanya ada non muslim maka siswa tersebut diperkenankan mengikuti atau meninggalkan kelas dan belajar atau baca-baca buku di perpustakaan.
Dalam hal ini peneliti juga melakukan wawancara dengan tiga (3) orang guru agama yang ada, dan hasilnya adalah sebagaimana berikut:
”.........dalam pelaksanaan pembelajaran pendidikan agama islam yang siswanya ada selain non muslim, biasanya materi yang disampaikan dikaitkan dengan kondisi lingkungan/kejadian/fenomena yang ada dan berhati-hati dalam penyampaian materi agar murid yang non muslim tidak tersinggung, kalau di kelas saya yang ikut di dalam kelas biasanya Cuma satu atau dua orang, dan karena seringnya ikut di dalam pelajaran, sehingga terkadang saya lupa kalau ia beragama non islam.......”
”........dalam pembelajaran pendidikan agama islam yang siswanya ada selain islam berjalan sebagaimana biasanya, apa yang telah direncanakan kita sampaikan apa adanya, dan siswa yang non islam ternyata mereka lebih memilih ikut di dalam kelas meskipun sebagai peserta pasif .......”
”.........pembelajaran pendidikan agama islam kadang dilakukan didalam kelas atau mushalla, sedangkan untuk siswa yang beragama non islam mayoritas mereka ikut di dalam pembelajaran yang ada meskipun sebagai peserta pasif ........”
Peneliti juga melakukan wawancara dengan salah seorang murid SMA Negei 1 Malang, hasilnya adalah sebagaimana berikut:
”........Pembelajaran pendidikan agama islam yang ada sangat menyenangkan sekali, karena dengan adanya pelajaran agama di sekolah dapat menambah dan mempertebal keimanan saya. Pesertanya yang ada di dalam kelas bukan cuma siswa yang beragama islam saja akan tetapi siswa yang beragama non islam boleh ikut, sehingga dengan adanya pembelajaran seperti ini dapat menambah rasa toleransi dan sikap saling menghargai sesama antar pemeluk agama yang berbeda .......”
Dari hasil wawancara di atas ternyata menunjukkan bahwa ternyata di dalam pembelajaran pendidikan agama islam di SMA Negeri 1 Malang berjalan seperti apa yang telah di rencanakan oleh GPAI yang ada, tempat pembalajaran biasanya dilakukan di dalam kelas atau mushalla, dan di dalam menyampaikan materi selalu dikaitkan dengan fenomena/kejadian yang ada sehingga murid bisa lebih peduli terhadap lingkungan yang ada. Dan siswa yang beragama non islam ternya mereka lebih memilih ikut pelajaran PAI yang ada meskipun cuma sebagai peserta pasif. Dari sinilah muncul pembelajaran pendidikan agama islam berwawasan multikultural.
3. Evaluasi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Multikultural di SMA Negeri 1 Malang.
Setelah menetapkan tujuan pembelajaran, segera terpikir oleh para guru, bagaimana nanti cara saya mengetahui apakah tujuan tercapai atau belum, dan juga berapa persen tercapainya. Ini berarti para guru tadi telah memikirkan cara mengevaluasi, yaitu cara mengukur kemampuan murid setelah proses belajar mengajar selesai.
Mengenai evaluasi pembelajaran pendidikan agama islam berbasis multikultural di SMA Negeri 1 Malang ini, peneliti melakukan wawancara dengan Kepala Sekolah. Adapun hasil dari wawancara tersebut adalah sebagai berikut:
”.......sedangkan untuk evaluasi mata pelajaran PAI mengikuti prosedur kurikulum yang berlaku, sedangkan bagi siswa yang beragama selain islam evaluasinya mengikuti proses pembelajaran agama selain islam.......”
Artinya evaluasi yang dilakukan tergantung dari kurikulum yang dipakai, dan siswa yang non islam karena sudah ada guru agamanya sendiri, maka yang mempunyai hak dalam penilaian adalah guru agama yang bersangkutan.
Dalam hal ini peneliti juga melakukan wawancara dengan tiga orang guru pendidikan agama islam, dan hasilnya adalah sebagai berikut:
”........mengevaluasi materi yang disampaikan sejauh mana tingkat kesulitannya baik dengan pertanyaan atau sikap baik dengan data fisik, juga melalui gerak-gerik, cara komunikasi, busana/sopan santun, sedangkan untuk siswa yang beragama non islam evaluasinya dilakukan oleh guru agama yang bersangkutan, akan tetapi karena murid yang non islam tadi sering ikut dalam pelajaran PAI, maka kita terkadang juga ikut memberi masukan terhadap guru agamanya mengenai keseharian dari murid itu....... ”
”.......di dalam evaluasi pembelajaran pendidikan agama islam berbasis multikultural ada tiga aspek yang menjadi bahan pokok yang harus dievaluasi, diantaranya ialah: Pertama, pada proses pembelajaran itu sendiri, hal yang di evaluasi adalah tentang keaktifan siswa, Kedua, prilaku, yang dievaluasi adalah tingkah laku siswa, dan Ketiga, aspek motorik yakni pada baca Al-Qur’an.......”
”........ada tiga ranah yang dijadikan bahan evaluasi di dalam pembelajaran pendidikan agama islam berbasis multikultural, yang pertama ranah kognitif, biasanya evaluasi ini bisa dilakukan dengan cara tes tulis dan lisan, yang kedua adalah ranah afektif, evaluasi yang dilakukan bisa dengan cara pengamatan tingkah laku atau sikap, yang ketiga adalah psikomotorik, bisa dilihat dari hasil baca Al-Qur’an dan Sholat.........”
Dalam melakukan evaluasi, diadakan pengukuran lewat pertanyaan-pertanyaan untuk mengetahui sejauh mana pemahaman siswa terhadap apa yang sudah diajarkan, dan juga dengan melihat kepribadian siswa dalam kesehariannya .
Karena kurikulum yang dipakai adalah KBK, maka yang dijadikan bahan evaluasi harus memperhatikan ketiga ranah, yaitu: kognitif (pengetahuan), afektif (sikap) dan psikomotor (keterampilan).
Ketiga ranah ini sebaiknya dinilai secara proporsional sesuai dengan sifat mata pelajaran yang bersangkutan. Sebagai contoh pada mata pelajaran pendidikan agama islam, aspek yang dinilainya harus menyeluruh dengan memperhatikan tingkat perkembangan siswa serta bobot setiap aspek dari setiap kompetensi dan materi. Misalnya aspek kognitif meliputi seluruh materi pembelajaran (Al-Qur’an, Akhlak dan Ibadah), afektif sangat dominan pada materi pelajaran akhlak dan aspek psikomor dan pengalaman sangat dominan pada materi pelajaran ibadah dan membaca Al-Qur’an. Sedangkan untuk siswa yang bergama non islam (peserta pasif) evaluasinya dilakukan oleh guru agama mereka masing-masing akan tetapi para GPAI yang ada terkadang masih memberikan masukan terkait dengan siswa yang beragama non islam tadi.
4. Faktor-faktor Pendukung dan Penghambat Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Multikultural di SMA Negeri 1 Malang.
a. Faktor Pendukung
Dari hasil observasi yang peneliti lakukan di lapangan, yang menjadi faktor pendukung dalam proses pembelajaran pendidikan agama islam berbasis multikultural (baik itu menyangkut mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi) di SMA Negeri 1 Malang ternyata sangat banyak sekali.
Sehubungan dengan hal ini peneliti melakukan wawancara dengan Kepala Sekolah. Adapun hasil dari wawancara tersebut adalah sebagai berikut:
”.......ada tiga (3) faktor pendukung di dalam pelaksanaan pembelajaran pendidikan agama islam berbasis multikultural di SMA Negeri 1 Malang ini. Pertama, adalah semua GPAI maupun Guru non muslim telah memenuhi persyaratan sebagai guru profesional. Kedua, semua Bapak/Ibu guru telah memiliki etos kerja yang baik dalam mentransformasikan ilmu dan keteladanannya. Ketiga, Sarana dan prasarana yang cukup memadai dalam menunjang keberhasilan proses pembelajaran......”
Peneliti juga melakukan wawancara dengan tiga (3) guru pendidikan agama islam, dan hasilnya adalah sebagai berikut:
”.......faktor pendukungnya adalah apabila sedang berlangsungnya proses belajar mengajar siswa tidak onar dan simpatik terhadap keterangan guru.......”
”.......selama ini yang saya rasakan sebagai faktor pendukung dalam pembelajaran PAI berbasis multikultural adalah toleransi terhadap GPAI, baik itu toleransi antara siswa dengan guru atau antara guru dengan guru....... ”
”.......yang menjadi faktor pendukung adalah, siswa sini mempunyai IQ diatas rata-rata sehingga kita sebagai guru mudah di dalam memberikan motivasi dan juga aspirasi siswa terhadap kegiatan agama yang ada di sekolah ini.......”
Faktor pendukung dari Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Multikultural adalah sebagai berikut:
1. Semua GPAI maupun guru non muslim telah memenuhi persyaratan sebagai guru yang professional.
2. Semua bapak/ibu guru telah memilki etos kerja yang baik dalam mentransformasikan ilmu dan keteladanannya.
3. Sarana dan prasarana yang memadai dalam menunjang keberhasilan proses pembelajaran.
4. Siswa yang beragama non islam bila ikut dalam pelajaran PAI tidak onar dan simpatik dengan keterangan guru.
5. Adanya toleransi, baik itu dari murid atau guru.
6. IQ di atas rata-rata.
7. Aspirasi siwa terhadap kegiatan keagamaan sangat tinggi
b. Faktor Penghambat
Selain faktor pendukung ada juga faktor penghambat, dari observasi dan wawancara yang peneliti lakukan di lapangan menunjukkan bahwa yang menjadi faktor penghambat di dalam Pembelajaran pendidikan agama islam berbasis multikultural di SMA Negeri 1 Malang sangat banyak sekali.
Sehubungan dengan hal ini peneliti melakukan wawancara dengan Kepala Sekolah, dan hasilnya adalah sebagai berikut:
”........yang sering kali menjadi faktor penghambat selama ini adalah pemahaman siswa dan siswi terhadap pelajaran agama islam bersifat heterogin karena input siswa yang berasal dari latar belakang MTs/SMP yang berbeda-beda, juga sistem evaluasinya kadang-kadang saat penyerahan nilai ke kurikulum tidak bersamaan, sehingga menyulitkan bagian evaluasi untuk mendata dan menjumlah nilai tersebut, dan juga yang menjadi faktor penghambat adalah musholla sebagai tempat ibadah siswa bila musim hujan sering bocor sehingga mengganggu kegiatan belajar mengajar.......”
Selain itu peneliti juga melakukan wawancara dengan Wakasek bagian kurikulum, dan hasilnya adalah sebagaimana berikut:
”........faktor penghambat yang ditemukan dalam pembelajaran pendidikan agama islam yang siswanya terdiri dari berbagai agama adalah, SDM yang ada di sekolah ini sangat minim sekali sehingga perlu dikembangkan, baik itu menyangkut etos kerja, kedisiplinan dan sertifikasi.......”
Berkaitan dengan faktor penghambat juga, peneliti juga melakukan wawancara dengan tiga (3) orang guru pendidikan agama islam yang ada di SMA Negeri 1 Malang tersebut. Adapun hasil dari wawancara tersebut adalah sebagai berikut:
”........di dalam pembelajaran pendidikan agama islam yang siswanya terdiri dari berbagai agama adalah: ada sebagian siswa yang masih belum bisa melakukan sholat 5 waktu, belum bisa baca Al-Qur’an dengan baik, dan juga banyak sebagian siswa lupa membawa perlengkapan pembelajaran.......”
”........bagi saya pribadi faktor yang menjadi kendala/penghambat dalam pembelajaran pendidikan agama islam yang siswanya terdiri dari berbagai agama dan etnis adalah ketika saya menerangkan tentang aqidah takut ada siswa non islam yang tersinggung......”
”.......faktor penghambat dari pembelajaran pendidikan agama islam berbasis multikultural yang ada di sekolah ini adalah: kurang adanya kekompakan antar sesama GPAI, tidak adanya motivasi untuk PAI ketika mau kenaikan kelas, dan juga kurangnya dukungan dari orang tua....... ”
Faktor penghambat dari Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Multikultural adalah sebagai berikut:
1) Pemahaman siswa terhadap Pelajaran Agama Islam bersifat heterogin, karena input siswa yang berasal dari latar belakang MTs/SMP yang berbeda-beda.
2) Mushalla sebagai tempat ibadah siswa bila musim hujan sering bocor, sehingga mengganggu kegiatan belajar mengajar.
3) SDM minim dan perlu dikembangkan, baik itu menyangkut etos kerja atau sertifikasi.
4) Banyak sebagian siswa lupa membawa perlengkapan pembelajaran.
5) Ada sebagian siswa yang belum bisa baca Al-Qur’an dengan baik.
6) Ketika menerangkan tentang aqidah (keyakinan) takut ada siswa non muslim yang tersinggung.
7) Kurang adanya kekompakan GPAI
8) Tidak adanya dukungan dari orang tua murid terhadap pelajaran agama.
BAB V
PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
Pembelajaran pendidikan agama islam berbasis multikultural adalah salah satu model pembelajaran pendidikan agama islam yang dikaitkan pada keragaman yang ada, entah itu keragaman agama, etnis, bahasa dan lain sebagainya. Hal ini dilakukan karena banyak kita jumpai di sekolah-sekolah umum (bukan bercirikan islam) di dalam satu kelas saja terdiri dari berbagai siswa yang sangat beragam sekali, ada yang berbeda agama, etnis, bahasa, suku, dan lain sebagainya.
Begitu juga halnya apa yang ada di SMA Negeri 1 Malang, siswa yang ada sangat beragam sekali, tapi yang paling menarik untuk di jadikan bahan kajian adalah di dalam pembelajaran agama islam yang mana siswa yang ada dalam satu kelas tadi tidak hanya beragama islam melainkan ada juga yang beragama non islam.
Sebagimana data yang diperoleh dilapangan, kebijakan yang ada di SMA Negeri 1 Malang ini adalah, dalam pembelajaran pendidikan agama islam yang siswanya ada yang beragama non islam maka murid tadi diberi kebebasan untuk ikut di dalam kelas sebagai peserta pasif atau diluar kelas dan diarahkan untuk belajar di perpustakaan.
Dari data yang diperoleh dilapangan, di dalam membuat perencanaan pembelajaran pendidikan agama islam berbasis multikultural, tidak ada perencanaan yang bersifat khusus yang dipersiapkan untuk itu, kecuali guru yang ada cuma membuat perencanaan yang sesuai dengan materi yang akan disampaikan dan sesuai dengan kurikulum yang di pakai, dan perencanaan itu hanya khusus dipersiapkan bagi siswa yang beragama islam, hal ini disebabkan karena siswa yang beragama non islam tadi sudah mempunyai guru agama sendiri. Dan untuk perencanaan pembelajaran pendidikan agama bagi mereka diatur dan disusun oleh guru yang bersangkutan. Akan tetapi meskipun demikian siswa yang beragama non islam tadi diperbolehkan ikut mata pelajaran pendidikan agama islam meskipun sebagai peseta pasif.
Perencanaan merupakan proses penyusunan sesuatu yang akan dilaksanakan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Pelaksanaan perencanaan tersebut dapat disusun berdasarkan kebutuhan dalam jangka tertentu sesuai dengan keinginan pembuat perencanaan. Namun yang lebih utama adalah perencanaan yang dibuat harus dapat dilaksanakan dengan mudah dan tepat sasaran.
Begitu pula dengan perencanaan pembelajaran, yang direncanakan harus sesuai dengan target pendidikan. Guru sebagai subjek dalam membuat perencanaan pembelajaran harus dapat menyusun berbagai program pengajaran sesuai pendekatan dan metode yang akan di gunakan.
Dalam pelaksanaan pembelajaran pendidikan agama islam berbasis multikultural di SMA Negeri 1 Malang ini berjalan sebagaimana biasanya (seperi yang telah direncanakan). Dari data yang diperoleh di lapangan ternyata siswa banyak yang merasa senang terhadap pembelajaran yang ada, karena disamping pelajaran agama yang ada dapat menambah dan mempertebal keimanan siswa yang ada juga tambah mempererat hubungan antara siswa yang berbeda agama. Karena siswa yang beragama non islam tadi meskipun sudah ada kebijakan bahwa ia boleh tidak mengikuti pelajaran, pada kenyataannya mereka lebih memilih ikut di dalam kelas meskipun mereka cuma menjadi peserta pasif.
Di dalam penyampaian materi pendidikan agama islam, guru yang ada selalu mengaitkan dengan fenomena/kejadian yang ada. Hal ini dilakukan dalam rangka mengarahkan peserta didik agar peduli terhadap lingkungan sekitarnya.
Salah seorang informan mengatakan, apabila materi yang disampaikan ada yang berkaitan dengan masalah aqidah (keyakinan), mereka sangat berhati-hati di dalam menyampaikan karena takut siswa yang beragama non islam tadi ada yang tersinggung. Hal ini menunjukkan bahwa ternyata di dalam pembelajaran yang ada masih bisa dikatakan kurang mengenal tentang wawasan multikultural, sehingga nantinya seorang guru harus memberi pemahaman terhadap murid biar tidak ada kesalahpahaman.
Dan juga dari hasil data yang diperoleh dilapangan ada sebagian guru yang menyampaikan materi tentang aqidah (keyakinan) ini dengan apa adanya (blak-blakan), akan tetapi sebelumnya sang guru tadi sudah memberikan memberikan penjelasan bahwa di dalam setiap agama itu ada persamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah setiap agama selalu ingin menuju terhadap kebahagian dan kesejahteraan bagi penganutnya, dan mungkin perbedaannya adalah mugnkin tata cara peribadatannya atau jalan yang digunakan untuk mencapai tujuan tadi.
Dari salah seorang informan menyebutkan bahwa di dalam pembelajaran pendidikan agama islam berbasis multikultural yang ada, terkadang sang guru ada yang lupa kalau muridnya itu ada yang beragama non islam, hal ini disebabkan karena seringnya sang murid tadi ikut di dalam pembelajaran pendidikan agama islam yang ada di sekolah tersebut..
Akan tetapi perlu kita pahami bersama bahwasanya Multikultural bukan berarti paham yang hendak menyeragamkan keanekaan, paham ini justru menjunjung tinggi keragaman dan menghargai perbedaan. Titik temu multikultural bukan pada bentuk peleburan untuk menunggal, akan tetapi pada sikap toleransi terhadap keragaman itu sendiri. Inilah peranan pendidikan agama yang perlu dikedepankan, kini dan di masa depan, di samping peran-peran lain dalam meningkatkan kualitas keberagamaan para pemeluk agama.
Seorang guru untuk mengetahui hasil yang telah diperoleh terkait dengan apa yang telah ditransformasikan kepada anak didiknya, serta untuk mengetahui apakah tujuan tercapai atau belum, dan juga berapa persen tercapainya. Guru tadi telah membuat cara mengevaluasi, yaitu cara mengukur kemampuan murid setelah proses belajar mengajar selesai.
Sedangkan evaluasi pembelajaran pendidikan agama islam berbasis multikultural belum bisa dibuat secara khusus, karena dalam mengevaluasi pembelajaran agama yang ada masih ditangani oleh guru agama masing-masing. Akan tetapi untuk peserta yang pasif di dalam pembelajaran pendidikan agama islam, GPAI Cuma bisa mengasih masukan terhadap guru gama mereka terkait dengan keseharian dari murid tadi.
Evaluasi yang dilakukan tergantung dari kurikulum yang dipakai, dan siswa yang non islam karena sudah ada guru agamanya sendiri, maka yang mempunyai hak dalam penilaian adalah guru agama yang bersangkutan. Karena kurikulum yang dipakai adalah KBK, maka yang dijadikan bahan evaluasi harus memperhatikan ketiga ranah, yaitu: kognitif (pengetahuan), afektif (sikap) dan psikomotor (keterampilan).
Ketiga ranah ini sebaiknya dinilai secara proporsional sesuai dengan sifat mata pelajaran yang bersangkutan. Sebagai contoh pada mata pelajaran pendidikan agama islam, aspek yang dinilainya harus menyeluruhdengan memperhatikan tingkat perkembangan siswa serta bobot setiap aspek dari setiap kompetensi dan materi. Misalnya aspek kognitif meliputi seluruh materi pembelajaran (Al-Qur’an, Akhlak dan Ibadah), afektif sangat dominan pada materi pelajaran akhlak dan aspek psikomor dan pengalaman sangat dominan pada materi pelajaran ibadah dan membaca Al-Qur’an.
Untuk itulah sebagai seorang guru dituntut untuk mempunyai wawasan yang sangat luas, baik itu menyangkut tentang isu-isu pendidikan atau isu-isu terbaru tentang kurikulum, sehingga di dalam mentransformasikan ilmunya terhadap peserta didik tidak ketinggalan zaman.
Dalam pelaksanaan pembelajaran pendidikan agama islam ternyata tidak lepas dari yang namanya faktor pendukung dan penghambat, dari hasil data yang diperoleh di lapangan menyebutkan bahwa faktor pendukung dalam pembelajaran pendidikan agama islam berbasis multikultural adalah: adanya dukungan dari pihak sekolah untuk membuat kebijakan bagi siswa yang beragama non islam untuk diberi kebebasan untuk ikut pelajaran yang ada atau boleh meninggalkan kelas, siswa tidak onar, sopan dan simpatik dengan keterangan guru, IQ di atas rata-rata, toleransi dari siswa dan guru, semua bapak/ibu guru telah memiliki etos kerja yang baik, dan sarana dan prasarana yang memadai.
Faktor pendukung inilah yang menjadi penunjang pelaksanaan pembelajaran pendidikan agama islam berbasis multikultural yang ada di SMA negeri 1 Malang ini.
Sedangkan faktor penghambatnya adalah: banyak sebagian siswa yang lupa membawa perlengkapan pembelajaran, SDM minim dan perlu dikembangkan, mushalla sebagai tempat ibadah siswa sering bocor bila musim hujan, kurang adanya kekompakan sesama GPAI, tidak ada dukungan dari orang tua siswa, ketika menerangkan tentang aqidah (keyakinan) takut ada yang tersinggung.
Dengan adanya faktor penghambat ini bisa dijadikan bahan untuk dievaluasi, sehingga apa yang masih kurang dalam pembelajaran agama berbasis multikultural ini bisa diperbaiki dalam waktu yang akan datang.
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulan yang bisa diambil dari Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Multikultural ini adalah sebagai berikut:
1. Perencanaan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Multikultural di SMA Negeri 1 Malang adalah setiap siswa yang beragama non islam diberi kebebasan untuk ikut di dalam kelas sebagai peserta pasif atau meninggalkan kelas dan diarahkan ke perpustakaan, dan GPAI yang ada juga membuat perencanaan pembelajaran sesuai dengan kurikulum yang dipakai dan juga sesuai dengan materi yang akan disampaikan.
2. Pelaksanaan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Multikultural berjalan seperti biasanya dan telah sesuai dengan apa yang telah direncanakan oleh GPAI yang ada, dan siswa yang beragama non islam tadi ternyata lebih memilih ikut di dalam kelas daripada harus meninggalkan kelas meskipun sudah ada kebijakan dari sekolah ia boleh di luar kelas.
3. Evaluasi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Multikultural di SMA Negeri 1 Malang mengikuti kurikulum yang dipakai. Sedangkan untuk siswa yang beragama non islam (peserta pasif) dilakukan oleh guru agama mereka masing-masing, akan tetapi GPAI yang ada terkadang masih memberi masukan terkait dengan keseharian dia di dalam ikut mata pelajaran PAI.
4. Faktor-faktor Pendukung dan Penghambat Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Multikultural
a. Faktor Pendukung
1. Semua GPAI maupun guru non muslim telah memenuhi persyaratan sebagai guru yang professional.
2. Semua bapak/ibu guru telah memilki etos kerja yang baik dalam mentransformasikan ilmu dan keteladanannya.
3. Sarana dan prasarana yang memadai dalam menunjang keberhasilan proses pembelajaran.
4. Siswa yang beragama non islam bila ikut dalam pelajaran PAI tidak onar dan simpatik dengan keterangan guru.
5. Adanya toleransi, baik itu dari murid atau guru.
6. IQ di atas rata-rata.
7. Aspirasi siswa terhadap kegiatan keagamaan sangat tinggi.
b. Faktor Penghambat
1. Pemahaman siswa terhadap Pelajaran Agama Islam bersifat heterogin, karena input siswa yang berasal dari latar belakang MTs/SMP yang berbeda-beda.
2. Mushalla sebagai tempat ibadah siswa bila musim hujan sering bocor, sehingga mengganggu kegiatan belajar mengajar.
3. SDM minim dan perlu dikembangkan, baik itu menyangkut etos kerja atau sertifikasi.
4. Banyak sebagian siswa lupa membawa perlengkapan pembelajaran.
5. Ada sebagian siswa yang belum bisa baca Al-Qur’an dengan baik.
6. Ketika menerangkan tentang aqidah (keyakinan) takut ada siswa non muslim yang tersinggung.
7. Kurang adanya kekompakan GPAI
8. Tidak adanya dukungan dari orang tua murid terhadap pelajaran agama.
B. Saran
1. Dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Multikultural diperlukan dukungan dari berbagai pihak, khususnya orang tua siswa dan para guru mata pelajaran umum agar tercipta sikap toleransi di kalangan civitas akademika SMA Negeri 1 Malang.
2. Perlu adanya peningkatan kerjasama antara GPAI dengan guru mata pelajaran umum dan lembaga-lembaga keagamaan untuk meningkatkan toleransi umat beragama terutama di kalangan guru dan siswa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar