STIT AT-TAQWA CIPARAY BANDUNG

Rabu, 29 Juni 2011

Penyesuaian PAI terhadap Perubahan Kurikulum KBK ke KTSP

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Pendididikan Islam adalah pendidikan yang sengaja didirikan dan diselenggarakan dengan hasrat dan niat (rencana yang sungguh-sungguh) untuk mengejawantahkan ajaran dan nilai-nilai Islam, sebagaimana tertuang atau terkandung dalam visi, misi, tujuan, program kegiatan maupun pada praktik pelaksanaan kependidikannya. Pengembangan kurikulum pendidikan agama Islam (PAI) merupakan salah satu perwujudan dari pengembangan sistem pendidikan Islam.
Di tengah-tengah pesatnya inovasi pendidikan, terutama dalam konteks pengembangan kurikulum, sering kali para guru PAI merasa kebingungan dalam menghadapinya. Apalagi inovasi pendidikan tersebut cenderung bversifat top-down innovation dengan stratergi power coersive atau stratergi pemaksaan dari atasan (pusat) yang berkuasa. Inovasi ini sengaja diciptakan oleh atasan sebagai usaha untuk meningkatkan mutu pendidikan agama Islam ataupun untuk meningkatkan efesiensi serta efektivitas pelaksanaan PAI dan sebagainya. Inovasi seperti ini dilakukan dan diterapkan kepada bawahan dengan cara mengajak, menganjurkan dan bahkan memaksakan apa yang menurut pencipta itu baik untuk kepentingan bawahannya. Dan bawahan tidak mempunyai otoritas untuk menolak pelaksanaanya.

Karena itu, ada kesan yang cukup memprihatinkan dari masyarakat bahwa seolah-olah setiap ganti menteri akan diikuti dengan perubahan kebijakan. Untuk mengantisipasi masalah tersebut, agaknya para guru PAI perlu memahami dan memiliki landasa pijak yang jelas dan kokoh, sehingga tidak mudah terombang-ambing oleh arus transformasi dan inovasi tersbut ternyata bukan dibangun dari eksperimen pendidikan agama, tetapi dari bidang lain yang memiliki karateristik yang berbeda pula, sedangkan pendidikan agama hanya bersifat latah. Sebagaiman tertuang dalam UU Nomor 20/2003 tentang sistem Pendidikan Nasional, terutama pada penjelasan Pasal 37 ayat (1) bahwa pendidikan agama dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Telaah Kurikulum PAI
Telaah adalah penyelidikan; kajian; pemeriksaan; penelitian.[1] Kurikulum adalah rencana tertulis tentang kemampuan yang harus dimiliki berdasarkan standar nasional, materi yang perlu dipelajari dan pengalaman belajar yang harus dijalani untuk mencapai kemampuan tersebut dan evaluasi yang perlu pencapaian kemampuan peserta didik, serta seperangkat peraturan yang berkenaan dengan pengalaman belajar peserta didik dalam mengambangkan potensi dirinya pada satuan.[2]
Pendidikan berusaha mengembangkan potensi individu agar mampu berdiri sendiri. Untuk itu individu perlu diberi berbagai kemampuan dalam pengembangan berbagai hal seperti: konsep, prinsip kreativitas, tanggung jawab, dan keterampilan. Dengan kata lain perlu mengalami perkembangan dalam aspek kognitif, afektif, dan psikomotor. Demikian pula individu jangan makhluk sosial yang selalu berinteraksi dengan lingkungan sesamanya.[3]
Kurikulum adalah rencana tertulis tentang kemampuan yang harus dimilki berdasarkan standar nasional, materi yang perlu dipelajari dan pengalaman belajar yang harus dijalani untuk mencapai kemampuan tersebut, dan evaluasi yang perlu dilakukan untuuk menentukan tingkat pencapaian kemampuan peserta didik, serta seperangkat peratuaran yang berkenaan dengan pengalaman belajar peserta didik dalam mengembagkan potensi dirinya pada satuan pendidikan tertentu.[4]
Pendidikan berusaha mengembangkan potensi individu agar mampu berdiri sendiri. Untuk itu individu perlu diberi berbagai kemampuan dalam pengembangan berbagai hal, seperti: konsep, prinsip, kreativitas, tanggung jawab, dan keterampilan. Dengan kata lain perlu mengalami perkembangan dalam aspek kognitif, afektif dan psikomotor. Demikian opula individu juga makhluk sosial yang selalu berinteraksi dengan lingkungan sesamanya.
B. Berbagai Kritik Terhadap PAI
Selama ini pelaksanaan pendidikan agama yang berlangsung di sekolah masih mengalami banyak kelemahan. Mochtar Bucjari (1992) menilai pendidikan agama masih gagal. Kegagalan ini disebabkan karena praktik pendidikannya hanya memperhatikan aspek kognitif semata dari pertumbuhan semata dari pertumbuhan kesadaran nilai-nilai (agama), dan mengabaikan pembinaan aspek afektif dan konatif-volitif, yakni kemauan dan tekad untuk mengamlkan nilai-nilai ajaran aama. Akibatnya terjadi kesenjangan antara pengetahuan dan pengamalan, antara gnosis dan praxis dalam kehidupan nilai agama. Atau dalam praktik pendidikan agama berubah menjadi pengajaran agama, sehingga tidak mampu membentuk pribadi-pribadi bermoral, padahal intisari dari pendidikan agama adalah pendidikan moral (Harun Nasution, 1995).
C. Pengembangan Kurikulum PAI
Indonesia terdiri lebih dari 3500 buah pulau yang dihuni berbagai suku bangsa yang mempunyai berbagai macam adat-istiadat, bahasa, kebudayaan, agama, kepercayaan dan sebagainya. Berbagai kekayaan alam baik yang terdapat di darat, laut, flora, fauna, dan berbagai hasil tambang yang kesemuanya merupakan sumber daya alam. Kebudayaan nasional yang didukung oleh berbagai nilai kebudayaan daerah yang luhur beradab yang merupakan nilai jati diri yang menjiwai perilaku manusia dan masyarakat dalam segenap aspek kehidupan, baik dalam lapangan industri, kerajinan, industri rumah tangga, jasa pertanian (agro industri dan agro bisnis) perkebunan perikanan, peternakan, pertanian hortikultura (sayur-sayuran, buah-buahan, tanaman hias, dan tanaman obat-obatan), kepariwisataan, pemeliharaan lingkungan hidup sehingga terjadi kesesuaian, keselarasan, dan keseimbangan yang dinamis. Kurikulum selain mengacu pada karakteristik peserta didik, perkembangan ilmu dan teknologi pada zamannya juga mengacu kepada kebutuhan-kebutuhan masyarakat.[5]
Dari beberapa definisi tentang kurikulum tersebut, maka dapat dipahami bahwa pengembangan kurikulum Pendidikan Agama Islam (PAI) dapat diartikan sebagai: (1) kegiatan menghasilkan kurikulum PAI; atau (2) peroses yang mengaitkan suatu komponen dengan yang lainnya untuk menghasilkan kurikulum PAI yang lebih baik; dan/atau (3) kegiatan penyusunan (desain), pelaksanaan, penilaian dan penyempurnaan kurikulum PAI.
Dalam realitas sejarahnya, pengembangan kurikulum PAI tersebut ternyata mengalami perubahan–perubahan paradigma, walaupun dalam beberapa hal tertentu paradigma sebelumnya masih tetap dipertahankan hingga sekarang. Hal ini dpat dicermati dari fenomena berikut: (1) perubahan dari tekanan pada hapalan dan daya ingat tentang teks-teks dari ajaran- ajaran Agama Islam, serta disiplin mental spritual sebagaimana pengaruh dari Timur Tengah, kepada pemahaman tujuan, makna dan motivasi beragama Islam untuk mencapai tujuan pembelajaran PAI; (2) perubahan dari cara berpikir tekstual, normatif, dan absolutis kepada cara berpikir historis, empiris, dan kontekstual dalam memahami dan menjelaskan ajaran-ajaran dan nilai-nilai agama Islam; (3) perubahan dari tekanan pada produk atau hasil pemikiran keagamaan Islam dari para pendahulunya kepada proses atau metodologinga sehingga menghasilkan produk tersebut; dan (4) perubahan pada pola pengembangan kurikulum PAI yang hanya mengandalkan pada para pakar dalam memilih dan menyusun isis kurikulum PAI kearah keterlibatan yang luas dari para pakar, guru, peserta didik, masyarakat untuk mengidensifikasi tujuan PAI dan cara-cara mencapainya.[6]
Banyak kalangan, termasuk aparat Depdiknas dan Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota membuat statement bahwa Kurikulum 2004 (atau KBK) tidak terlalu jauh berbeda dengan Kurikulum 2006 yang disusun oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dan baru ditetapkan pemberlakuannya oleh Mendiknas melalui Peraturan Mendiknas No. 24 Tahun 2006 tanggal 2 Juni 2006. Saya tidak tahu, apakah penyataan mereka itu dimaksudkan untuk “menghibur guru” agar tidak resah menghadapi perubahan kurikulum ini. Mengingat Kurikulum 2004 ini masih dalam taraf ujicoba yang lebih luas sejak tahun pembelajaran 2004/2005 dan belum semua sekolah sudah menerapkan secara utuh Kurikulum 2004. Namun apa daya, kini sudah dimunculkan kurikulum baru, Kurikulum 2006. Sehingga muncullah statement yang “menghibur” tersebut.
Hal ini adalah ironis, karena menunjukkan pemahaman yang sangat dangkal mereka terhadap Kurikulum 2006 tersebut. Saya menduga mereka hanya “mengulang-ulang” pernyataan dari BSNP, aparat Pusat Kurikulum, Pejabat Depdiknas yang bermaksud meredam agar Kurikulum 2006 tidak mendapat tentangan dari ujung tombak pendidikan : guru dan sekolah, atau gejolak yang meresahkan masyarakat dan dunia pendidikan. Jika saja mereka sudah melakukan pembandingan secara mendalam kedua kurikulum tersebut, niscaya mereka akan mengatakan bahwa Kurikulum 2004 dengan Kurikulum 2006 berbeda secara nyata, secara signifikan. Memang harus diakui dalam beberapa hal ada kesamaan atau kemiripan antara keduanya.
Berikut ini saya rangkum perbedaan dan persamaan antara Kurikulum 2004 dan Kurikulum 2006 (periksa tabel):[7]
Tabel : Perbandingan Kurikulum 2004 dan 2006
ASPEK
KURIKULUM 2004
KURIKULUM 2006
1. Landasan Hukum
v Tap MPR/GBHN Tahun 1999-2004
v UU No. 20/1999 – Pemerintah-an Daerah
v UU Sisdiknas No 2/1989 kemudian diganti dengan UU No. 20/2003
v PP No. 25 Tahun 2000 tentang pembagian kewenangan
v UU No. 20/2003 – Sisdiknas
v PP No. 19/2005 – SPN
v Permendiknas No. 22/2006 – Standar Isi
v Permendiknas No. 23/2006 – Standar Kompetensi Lulusan
2. Implementasi /Pelaksanaan Kurikulum
v Bukan dengan Keputusan/ Peraturan Mendiknas RI
v Keputusan Dirjen Dikdasmen No.399a/C.C2/Kep/DS/2004 Tahun 2004.
v Keputusan Direktur Dikme-num No. 766a/C4/MN/2003 Tahun 2003, dan No. 1247a/ C4/MN/2003 Tahun 2003.
v Peraturan Mendiknas RI No. 24/2006 tentang Pelaksanaan Peraturan Menteri No. 22 tentang SI dan No. 23 tentang SKL
3. Ideologi Pendidikan yang Dianut
Liberalisme Pendidikan : terciptanya SDM yang cerdas, kompeten, profesional dan kompetitif
Liberalisme Pendidikan : terciptanya SDM yang cerdas, kompeten, profesional dan kompetitif
4. Sifat (1)
- Cenderung Sentralisme Pendidikan : Kurikulum disusun oleh Tim Pusat secara rinci; Daerah/Sekolah hanya melaksanakan
-Cenderung Desentralisme Pendidikan : Kerangka Dasar Kurikulum disusun oleh Tim Pusat; Daerah dan Sekolah dapat mengembangkan lebih lanjut.
5. Sifat (2)
- Kurikulum disusun rinci oleh Tim Pusat (Ditjen Dikmenum/ Dikmenjur dan Puskur)
- Kurikulum merupakan kerangka dasar oleh Tim BSNP
6. Pendekatan
v - Berbasis Kompetensi
Terdiri atas : SK, KD, MP dan Indikator Pencapaian
v - Berbasis Kompetensi
Hanya terdiri atas : SK dan KD. Komponen lain dikembangkan oleh guru
7. Struktur
v Berubahan relatif banyak dibandingkan kurikulum sebelumnya (1994 suplemen 1999)
v Ada perubahan nama mata pelajaran
v Ada penambahan mata pelajaran (TIK) atau penggabungan mata pelajaran (KN dan PS di SD)
v Penambahan mata pelajaran untuk Mulok dan Pengem-bangan diri untuk semua jenjang sekolah
v Ada pengurangan mata pelajaran (Misal TIK di SD)
v Ada perubahan nama mata pelajaran
v KN dan IPS di SD dipisah lagi
v Ada perubahan jumlah jam pelajaran setiap mata pelajaran
8. Beban Belajar
- Jumlah Jam/minggu :
SD/MI = 26-32/minggu
SMP/MTs = 32/minggu
SMA/SMK = 38-39/minggu
Lama belajar per 1 JP:
SD = 35 menit
SMP = 40 menit
SMA/MA = 45 menit
v - Jumlah Jam/minggu :
v SD/MI 1-3 = 27/minggu
v SD/MI 4-6 = 32/minggu
v SMP/MTs = 32/minggu
v SMA/MA= 38-39/minggu
v Lama belajar per 1 JP:
v SD/MI = 35 menit
v SMP/MTs = 40 menit
v SMA/MA = 45 menit
9. Pengembangan
Kurikulum lebih lanjut
v Hanya sekolah yang mampu dan memenuhi syarat dapat mengembangkan KTSP.
v Guru membuat silabus atas dasar Kurikulum Nasional dan RP/Skenario Pembelajaran
v Semua sekolah /satuan pendidikan wajib membuat KTSP.
v Silabus merupakan bagian tidak terpisahkan dari KTSP
v Guru harus membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
10. Prinsip Pengembangan Kurikulum
v Keimanan, Budi Pekerti Luhur, dan Nilai-nilai Budaya
v Penguatan Integritas Nasional
v Keseimbangan Etika, Logika, Estetika, dan Kinestetika
v Kesamaan Memperoleh Kesempatan
v Perkembangan Pengetahuan dan Teknologi Informasi
v Pengembangan Kecakapan Hidup
v Belajar Sepanjang Hayat
v Berpusat pada Anak
v Pendekatan Menyeluruh dan Kemitraan
v Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya
v Beragam dan terpadu
v Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni
v Relevan dengan kebutuhan kehidupan
v Menyeluruh dan berkesinam-bungan
v Belajar sepanjang hayat Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah
11. Prinsip Pelaksanaan Kurikulum
Tidak terdapat prinsip pelaksanaan kurikulum
1. Didasarkan pada potensi, perkembangan dan kondisi peserta didik untuk menguasai kompetensi yang berguna bagi dirinya.
2. Menegakkan lima pilar belajar:
a. Belajar untuk beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME,
b. Belajar untuk memahami dan menghayati,
c. Belajar untuk mampu melaksanakan dan berbuat secara efektif,
d. Belajar untuk hidup bersama dan berguna bagi orang lain,
e. Belajar untuk membangun dan menemukan jati diri, melalui proses pembela-jaran yang efektif, aktif, kreatif & menyenangkan.
3. Memungkinkan peserta didik mendapat pelayanan perbaik-an, pengayaan, dan/atau percepatan sesuai dengan potensi, tahap perkembangan, dan kondisinya dengan memperhatikan keterpaduan pengembangan pribadi peserta didik yang berdimensi ke-Tuhanan, keindividuan, kesosialan, dan moral.
4. Dilaksanakan dalam suasana hubungan peserta didik dan pendidik yang saling meneri-ma dan menghargai, akrab, terbuka, dan hangat, dengan prinsip tut wuri handayani, ing madia mangun karsa, ing ngarsa sung tulada
5. Menggunakan pendekatan multistrategi dan multimedia, sumber belajar dan teknologi yang memadai, dan meman-faatkan lingkungan sekitar sebagai sumber belajar.
6 Mendayagunakan kondisi alam, sosial dan budaya serta kekayaan daerah untuk keberhasilan pendidikan dengan muatan seluruh bahan kajian secara optimal.
7. Diselenggarakan dalam kese-imbangan, keterkaitan, dan kesinambungan yang cocok dan memadai antarkelas dan jenis serta jenjang pendidikan.
12. Pedoman Pelaksanaan Kurikulum
- Bahasa Pengantar
- Intrakurikuler
- Ekstrakurikuler
- Remedial, pengayaan, akselerasi
- Bimbingan & Konseling
- Nilai-nilai Pancasila
- Budi Pekerti
- Tenaga Kependidikan
- Sumber dan Sarana Belajar
- Tahap Pelaksanaan
- Pengembangan Silabus
- Pengelolaan Kurikulum
Tidak terdapat pedoman pelaksanaan kurikulum seperti pada Kurikulum 2004.

Untuk sementara baru 12 aspek yang saya temukan, dimana hanya 2 (dua) hal saja yang sama, yakni landasan ideologis dan pendekatan yang digunakan. Sementara 10 aspek lainnya berbeda sangat nyata, meskipun ada kemiripan pada butir-butir tertentu.
D. Perbedaan Esensi SK Dan KD
Hal yang sering dikatakan oleh pejabat Depdiknas dan Dinas Pendidikan, bahwa Kurikulum 2004 dan 2006 adalah pada aspek Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasarnya.Dalam Kurikulum SD/MI 2004 hanya terdapat satu SK masing-masing jenjang kelas untuk hampir semua mata pelajaran. Namun dalam Kurikulum 2006 terdapat dua SK untuk setiap jenjang kelas untuk seluruh mata pelajaran plus rinciannya pada kelas dan pelajaran tertentu. Masing-masing SK sudah diplot mana yang untuk semester 1 dan 2. Sementara itu, batasan semacam ini tidak ada pada Kurikulum 2004.
KD-KD yang ada dalam Kurikulum 2004 ada yang masih digunakan dengan rumusan yang sama atau mirip dengan rumusan KD dalam Kurikulum 2006. Ada beberapa KD Kurikulum 2004 yang dibuang. Ada beberapa KD yang baru dalam Kurikulum 2006. Sehingga kalau ruang lingkup materi (scope) ini dijadikan ukuran, maka memang tidak terlalu banyak perbedaan Kurikulum 2004 dengan Kurikulum 2006. Namun KD-KD yang ada dalam Kurikulum 2004 tersebut direkonstruksikan kembali, ditata kembali sedemikian rupa sehingga menjadi sangat berbeda dalam urutannya (sequence).
E. Pendekatan-pendekatan Dalam Pengembangan Kurikulum PAI
Di dalam teori kurikulum setidak-tidaknya terdapat empat pendekatan yang dapat digunakan dalam pengembangan kurikulum, yaitu: pendekatan subjek akademis; pendekatan humanistis; pendekatan teknologis; dan pendekatan karakteristik PAI sebagaimana uraian pada bab terdahulu, maka pengembangan kurikulum pendidikan agama Islam (PAI) dapat menggunakan pendekatan eklektrik, yakni dapat memilih yang terbaik dari keempat pendekatan tersebut sesuai dengan karakteristiknya.
Pendekatan Subjek Akademis
Pendekatan subjek akademis dalam menyusun kurikulum atau program pendidikan didasarkan pada sistematisasi disiplin ilmu masing-masing. Setiap ilmu pengetahuan memiliki sistenmatisasi tertentu yang berbeda dengan sistematisasi ilmu lainnya. Pengembangan kurikulum subjek akademis dilakukan dengan cara menetapkan lebih dahulu mata pelajaran/mta kuliah apa yang harus dipelajari peserta didik, yang diperlukan untuk (persiapan) pengembangan disiplin ilmu.
Pendidikan agama Islam di sekolah meliputi aspek AL-Quran/Hadis, keimanan, akhlak, ibadah/muamalah, dan tarikh/sejarah umat Islam. Di madrasah, aspek-aspek tersebut dijadikan sebagai sub-sub mata pelajaran PAI yang meliputi: mata pelajaran Alquran-Hadis, Fiqih, Akidah-Akhlak, dan Sejarah (kebudayaan) Islam.
Pendektan Humanistis
Pendekatan humanists dalam pengembangan kurikulum bertolak dari ide “memanusiakan manusia”. Penciptaan konteks yang akan memberi peluang manusia untuk menjadi lebih huma, untuk memperinggi harkat manusia merupakan dasar filosofi, dasar teori, dasar evaluasi dan dasar pengembaangan program pendidikan.]
Dalam kegiatan pembelajaran guru perlu memposisikan guru sebagai fasilitator yang membimbing dan mengarahkan jalannya pembelajaran; atau memposisikan peserta didik sebagai orang yang sedang belajar, mengaktualisaskan dan mengembangkan potensi-potensinya. Adapun menjadikan peserta didik sebagai pendengar melalui metode ceramah dilakukan pada tahap berikutnya, yang berfungsi sebagi konfirmasi atau memperkuat apa yang dipelajari peserta didik, atau mediator bila terdapat pendangan-pandangan yang kontroversial, atau mungkin peserta didik sudah sangat memerlukan bantuan penjelasan guru, demikian seterusnya.
Pendekatan teknologis
Pendekatan teknologis dalam menyusun kurikulum atau program pendidikan pendidikan bertolak dari analisis kompetensi yang dibutuhkan ntuk melaksanakan tugas-tugas tertentu. Materi yang diajarkan, kriteria evaluasi sukses, dan stratergi belajarnya ditetapkan sesuai analisis tuas (job analysis) tersebut. Kurikulum berbasis kompetensi yang saat ini sedang digalakkan di sekolah/madrasah termasuk dalam kategori pendekatan teknologis.
Pendekatan Rekonstruksi Sosial
Pendekatan rekonstruksi sosial dalam menyusun kurikulum atau program pendidikan keahlian bertolak dari problem yang dihadapi masyarakat, untuk selanjutnya denga memerankan ilmu-ilmu dan teknologi, serta bekerja secara kooperatif dan kolaboratif, akan dicarikan upaya pemecahannya menuju pembentukan masyarakat yang lebih baik.
F. Fungsi Kurikulum PAI
bagi sekolah/madrasah yang bersangkutan:
sebagai alat untuk mencapai tujuan pedidikan agama Islam yang diinginkan.
Pedoman untuk mengatur kegiatan-kegiatan pendidikan agama Islam di sekolah/madrasah.
bagi sekolah/madrasah di atasnya;
melakukan penyesusaian;
menghindari keteulangan sehingga boros waktu;
menjaga kesenimbungan;
bagi masyarakat:
masyarakat sebagai pengguna lulusan (user), sehingga sekolah/madrasah harus mengetahui hal-hal yang menjadi kebutuhan masyarakat dalam konteks pengembangan PAI.
Adanya kerja sama yang harmonis dalam hal pembenaha dan pengembangan kurikulum PAI.[8]
G. Mencermati Pengembangan Pendidikan Agama Islam di Sekolah/Perguruan Tinggi
Pemahaman tenang pendidikan agama Islam (PAI) di sekolah/perguruan tinggi dari dua sudut pandangan, yaitu PAI sebagai aktivitas dan PAI sebagai fenomena. PAI sebagai aktivitas,berarti upaya yang secara sadar dirancang untuk membantu seseorang atau sekelompok orang dalam mengembangkan pandangan hidup (bagaimana orang akan menjalani dan memanfaatkan hidup dan kehidupannya), sikap hidup, dan keterampilan hidup, baik yang bersifat manual(petunjuk praktis) maupun mental dan sosial yang bernapaskan atau dijiwai oleh ajaran dan nilai-nilai Islam. Sedangkan PAI sebagai fenomena adalah peristiwa perjumpaan antara dua orang atau lebih dan/atau penciptaan suasana yang dampaknya ialah berkembangnya suatu pandanga hidup yang bernapaskan atau dijiwai oleh ajaran dan nilai-nilai Islam, yang diwujudkan dalam sikap hidup keterampilan hidup pada salah satu atau beberapa pihak (muhaimin, et.al, 2001).
Persoalan manajemen kurikulum dan pembelajaran yang sangat berbeda antara Kurikulum 2004 dengan Kurikulum 2006. Kedua persoalan ini akan sangat dirasakan oleh para guru pengajarnya karena mereka adalah perencana, pelaksana dan penilai pembelajaran. Merekalah yang akan dibingungkan setiap hari dalam melaksanakan tugasnya. Jadi, sekali lagi, jika perbedaan antara kedua kurikulum tersebut sangat sugnifikan. Dan para guru adalah “korban” pertama dari perubahan kurikulum ini.
Disukrus tentang pengembangan pendidikan agama Islam di Indonesia yang dipresentasikan oleh para ahli dan pemerhati pendidikan Islam, baik melalui tulisan-tulisan mereka di berbagai buku, majalah, jurnal, dan sebagainyamaupun melalui kegiatan seminar, penataran dan lokakarya, serta kegiatan lainnya, telah memperkaya wawasan dan visi kita dalam pendidikan agama Islam di Indonesia. Berbagai pemikiran dan pengalaman mereka perlu dipotret, ditata, dan didudukkan dalam suatu paradigma, sehingga model-model, orientasi dan langkah-langkah yang hendak dituju menjadi semakin jelas. Lagipula kalau sesorang hendak melakukan pengembanga dan penyempurnaan, maka kata kuncinya sudahdapat dipegang, sehingga tidak akan terjadinya salah letak, arah dan langkah, yang pada girilannya dapat menimbulkan sikap overacting dalam menyingkapi paradigma tertentu.
H. Pendidikan Agama Dalam Sorotan
Undang-undang nomor 14 tahun 2005 merupakan jaminan untuk meningkatkan output mutu pendidikan. Memang substansi UU tersebut secara langsung menyangkut jaminan karier dan jaminan perbaikan nasib para guru dan dosen, tetapi sebenarnya misalnya jauh lebih besar pada peningkatan kualitas sumber daya manusia tunas-tunas muda bangsa.[9]
Bangsa Indonesia masih sedang mengalami suasan keprihatinana yang bertubi-tubi. Hasil survei menunjukkan bahwa negeri kita masih bertengger dalam jajaran negara yang paling korup di dunia, KKN melanda di berbagai intuisi, disiplin makin longgarsemakin meningkatnya tindak kriminal, tindak kekerasan, aarchisme, premanisme, konsumsi minuman keras dan narkoba sudah melanda di kalangan pelajar dan mahasiswa. Masyarakat kita juga cenderung mengarah pada masyarakat paguyuban (gemeinschaft) sudah ditinggalkan, yang tampak di permukaan adalah timbulnya konflik kepentingan-kepentingan, baik kepentingan individu, kelompok, agama, etnis, politik maupun kepentingan lainnya.
Hasil survey dari Internasional Country Risk Guide Index (ICRGI), sejak tahun 1992 hingga 2000. negara-negara yang matoritas penduduknya beragama Islam, Kristen, Hindu/Budha atau lainnya banyak yang indeks korupsinya tinggi (di atas 7), seperti Indonesia (sekarang 9,25), Pakistan, Banglades, Nigeria, Rusia, Argentina, Meksiko, Filipina, Kolombia, dan Thailand. Sebaliknya, ada pula negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, Kristen, atau lainnya, seperti Iran, Arab Saudi< Syiria, AS, Kanada, Inggris, dan lain-lain, indeks korupsinya rendah.
Timbulnya krisis akhlak atau moral bukan hanya disebabkan karena kegagalan pendidikan agama. Dengan bertolak dari suatu pandangan bahwa kegiatan pendidikan merupakan suatu proses penanaman dan pengembangan seperangkat nilai dan norma yang implisit dalam setiap bidan studi sekaligus gurunya, maka tugas mendidik akhlak yang mulia sebenarnya bukan hanya menjadi tanggung jawab guru PAI an sich. Apalagi iman dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan persyaratan utama bagi setiap guru/dosen, yang secara praktis akan berimplikasi pada keharusan setia guru/dosen untuk mengimplisitkan nilai-nilai akhlak yang mulia dalam setiap bidang studi yang dipelajari oleh dan diajarkan kepada peserta didik. Pandangan semacam ini juga dikemukakan oleh Ibnu Maskawaih (330 H/940 M – 421 H/1030 M), bahwa setiap ilmu atau mata pelajaran yang diajarakan oleh guru/pendidik harus memperjuangkan terciptanya akhlak yang mulia.
Jika krisis akhlak atau moral merupakan pangkal dari krisis multi-dimensional, sedangkan pendidikan agama Islam banyak menggarap masalah akhlak, maka perlu ditelaah apa yang menjadi penyebab titik lemah dari pendidikan agama tersebut. Melalui kajian tersebut diharapkan dapat dijadikan pegangan bagi para pelaksana pendidikan agama Islam, dan bahan pertimbangan bagi para pengambil kebijakan, sekaligus sebagai wacana pengembangan pendidikan agama Islam yang perlu diteliti lebih lanjut oleh para ilmuan dan pemerhati pendidikan agama Islam.
I. Pengembangan Kurikulum PAI Menatap Inovasi Pendidikan
Indonesia terdiri lebih dari 35.3500 buah pulau yang dihuni oleh berbagai bangsa yang mempunyai berbagai macam adat-istiadat, bahasa, kebudayaan, agama, kepecayaan, dan sebagaunya. Berbagai kekayaan alam baik yang terdapat di darat, laut, flora, fauna, dan berbagai hasil tambang yang kesemuanya merupakan SDA. Kebudayaan nasional yag didukung oleh berbagai nilai kebudayaan daerah yang luhur beradab yang merupakan nilai jati diri yang menjiwai perilaku manusia dan masyarakat dalam segenap aspek kehidupan, baik dalam lapangan industri dan agrobisnis, perkebunan, perikanan, petenakan, pertanian hortikultura (sayur-sayuran, buah-buahan, tanaman hias, dan tanaman obat-obatan), kepriwasatiaan, pemeliharaan lingkungan hidup sehingga terjadi kesesuasian, keselarasan, dan keseimbangan yang dinamis. Kurikulum selain mengacu pada kareteristik peserta didik, perkembangan ilmu dan teknologi pada zamannya yang mengaju kepada kebutuhan-kebutuhan masyarakat.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Upaya pengembangan kurikulum PAI memerlukan landasan yang jelas dan kokoh, sehingga tidak mudah terombang-ambing oleh arus transformasi dan inovasi pendidikan dan pembelajran yang begitu dahsyat sebagaimana yang terjdai akhir-akhir ini. Apabila inovasi itu pada umumnya cenderung bersifat top-down innovation melalui stratergi power coersie atau pemaksaan dari atasan yang berkuasa. Inovasi ini sengaja diciptakan oleh atasan sebagai usaha untuk meningkatkan mutu pendidikan agama ataupun sebagai usaha meningkatkan mutu pendidikan agama ataupun sebagai usaha untuk meningkatkan efesiensi dan sebagaianya. Inovasi seperti ini dilakukan dan diterapkan kepada bawahan dengan cara mengajak, menganjurkan dan bahkan memaksakan apa yang menurut pencipta itu baik untuk kepentingan bawahannya. Dan bawahan tidak punya otoritas untuk menolak pelaksanaannya.
Perubahan kurikulum dari KBK ke KTSP diharapkan bisa membuat pendidikan agama Islam lebih bisa membuat kualitas pendidikan agama menjadi lebih bisa membuat perubahan di Indonesia. Selain mengubah akhlak peserta didik lebih baik diharapkan juga bisa membuat knowledge semakin meningkat. Sesuai dengan tujuan dari perubahan kurikulum itu sendiri yang menginginkan peningkatan mutu peserta didik.
DAFTAR PUSTAKA
1. Dakir. Perencanaan dan Pengembangan Kurikulum. Jakarta: Rineka Cipta. 2004
2. Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi ketiga. Jakarta: Balai Pustaka. 2005
3. Dodi, Nandika. Pendidikan Ditengah Gelombang Perubahan. Jakarta: Pustaka LP3ES. 2007
4. Hamalik, Oemar. Manajemen pengembangan Kurikulum. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2006
5. Muhaimin. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam. Jakarta: PT Raja Grafido Persada. 2007
6. Nanang, Fatah. Landasan pengembangan Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2006
7. Rijono, Nanang. “Kontribusi Kecil untuk Dunia Pendidikan Indonesia”, (online) available: http://rijono.wordpress.com/2008/02/28/kurikulum-2004-kbk-kurikulum-2006-ktsp-memang-berbeda-secara-signifikan/., (diakses pada tanggal 1 Juni 2009)
[1] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi ketiga, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), hal. 160.
[2] Oemar Hamalik, Manajemen pengembangan Kurikulum, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006), hal. 91.
[3] Nanang Fatah, Landasan pengembangan Pendidikan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006), hal. 5.
[4] Oemar Hamalik, Op.Cit, hal. 91.
[5] Dakir, Perencanaan dan Pengembangan Kurikulum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), hal. 100.
[6] Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT Raja Grafido Persada, 2007), hal. 10-11.
[7] Nanang Rijono, “Kontribusi Kecil untuk Dunia Pendidikan Indonesia”, (online) available: http://rijono.wordpress.com/2008/02/28/kurikulum-2004-kbk-kurikulum-2006-ktsp-memang-berbeda-secara-signifikan/, diakses pada tanggal 1 Juni 2009.
[8] Hamalik, Op.Cit, hal. 11.
[9] Dodi Nandika, Pendidikan di Tengah Gelombang Perubahan, (Jakarta: Pustaka LP3ES, 2007), hal. -

Tidak ada komentar:

Posting Komentar