STIT AT-TAQWA CIPARAY BANDUNG

Senin, 06 Juni 2011

Perang Wacana dalam Islam


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bagi seorang muslim, ilmu pengetahuan merupakan bagian yang paling dasar dari kemajuan dan pandangan dunianya. Oleh karean itu, tidaklah mengherankan jika ilmu memiliki arti yang demikian penting bagi kaum muslim. Menggali dan mengembangkan ilmu pengetahuan bagi umat Islam memang sudah menjadi dasar dan landasan yang dituntutkan oleh ajaran-ajarannya (nash al-Qur’an maupun al-Hadits). Bahkan semangat berpikir kritis untuk menemukan hakikat segala sesuatu merupakan peringatan dalam al-Qur’an dan al-Hadits.
Namun demikian bukan lantas umat Islam melakukan penafsiran semaunya sendiri tanpa landasan yang jelas. Hal inilah yang kini melanda umat Islam. Membuat penafsiran dari perspektif masing-masing dan mengklaim bahwasanya penafsirannyalah yang paling benar. Oleh karena itu, kami rasa perlu untuk melakukan pembahasan dan reorientasi keilmuan Islam guna koreksi atas apa yang tengah terjadi di tengah-tengah keilmuan Islam masa kini.

B. Rumusan Masalah
Mengingat pembahasan mengenai keilmuan Islam sangatlah luas, maka dalam hal ini kami hanya akan membahas tentang:
a. sejarah singkat keilmuan Islam
b. keilmuan Islam masa kini
c. islamisasi ilmu pengetahuan
C. Tujuan
Adapun tujuan penyusunan makalah ini adalah:
a. Menjelaskan sejarah singkat keilmuan Islam, keilmuan Islam masa kini, dan islamisasi ilmu pengetahuan.
b. Sebagai upaya instrospeksi dan refleksi atas perjalanan panjang keilmuan Islam.
c. Memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Ilmu
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah singkat keilmuan islam
Ilmu pengetahuan berkembang seiring dengan perkembangan kebudayaan manusia yang berlangsung secara bertahap, evolutif. Sejarah perkembangan ilmu merupakan suatu tahapan yang terjadi secara periodik. Setiap periode menampilkan ciri khas tertentu dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Sejarah perkembangan ilmu penting untuk diketahui sebagai upaya reflektif. Orang bisa belajar banyak pada sejarah. Selain itu, orang tidak akan mengulangi kesalahan yang sama, terutama dalam kaitannya dengan ilmu-ilmu terapan.[1]
Begitu juga dalam ilmu pengetahuan Islam. Ilmu pengetahuan Islam berkembang seiring dengan perkembangan kebudayaan Islam. Perkembangannya berlangsung secara periodik.
Periodisasi kelahiran ilmu dalam Islam adalah sebagai berikut:
a. Masa turunnya wahyu dan lahirnya pandangan hidup Islam
b. Struktur ilmu pengetahuan dalam Al-Qur’an dan Hadits
c. Lahir tradisi keilmuan Islam
d. Lahir disiplin ilmu-ilmu Islam
Ketika lahirnya tradisi keilmuan Islam, banyak terjadi penerjemahan buku-buku ke dalam bahasa Arab. Pada masa perburuan buku-buku ini, orang-orang Romawi tidak menghargai keilmuan karya orang-orang Yunani. Sehingga buku-buku kilmuan karya orang-orang Yunani tersebut dibuang oleh orang Romawi. Atas perintah khalifah, buku-buku tersebut diambil lalu diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.
Perkembangan selanjutnya, lahir disiplin ilmu-ilmu islam. Kemudian mulai awal abad 19 M, mulai ada dikotomi ilmu atau dualisme keilmuan. Mulai ada pembedaan antara ilmu Islam dengan ilmu umum. Sebagian Ulama menyatakan bahwasanya tidak pernah ada dikotomi ilmu. Buktinya ulama’-ulama’ terdahulu selain menguasai ilmu-ilmu agama, mereka juga menguasai ilmu astronomi, geografi, kedokteran, dan lain sebagainya. Yang membedakan hanyalah hukum dalam menuntut keduanya. Menuntut ilmu agama hukumnya fardlu ‘ain. Sedangkan menuntut ilmu umum hukumnya fardlu kifayah.
B. Keilmuan Islam masa kini
Quraisy Shihab pernah memprediksi bahwasanya pada abad ke-21 semangat mengkaji Islam begitu tinggi. Akan tetapi umat Islam mengkaji dengan belajar sendiri tanpa seorang guru. Hal ini membahayakan umat Islam. Seiring perubahan paradigma berpikir umat Islam, maka umat Islam cenderung melakukan penafsiran dengan perspektif masing-masing tanpa didasari dalil Qur’an dan Hadits. Paradigma berpikirnya adalah skeptisisme, bukan wahyu. Paradigma demikian mempunyai potensi merusak agama. Gerakan zionis internasional yang nota bene adalah musuh umat beragama akan dengan mudah memanfaatkan umat Islam. Salah satu modus gerakannya adalah cuci otak.
Umat Islam kini sedang dalam Ghozwul Fikri (perang wacana atau pemikiran), pertarungan ideologi dan pemikiran. Tradisi Mutakallimin yang mengutamakan wahyu sebagai sumber ilmu, mulai ditinggalkan. Keilmuan sekuler mulai mengkontaminasi keilmuan Islam. Keilmuan Islam yang dulunya bersumber pada akal dan rohani kini beralih pada pengutamaan akal sebagai sumber ilmu. Umat Islam selalu apriori dan lebih mengunggulkan rasio sehingga timbullah Rasionalisme Islam.
Salah satu cara untuk menandingi gerakan “cuci otak” yang dilakukan oleh gerakan zionis internasional adalah melalui metodologi. Umat Islam harus bisa mempelajari dan mengetahui metodologi yang mereka gunakan. Kemudian mempraktekan dalam ranah keilmuan Islam dengan tetap tidak mengesampingkan wahyu sebagai sumber ilmu.
Ilmu modern yang mulai menjamur perlu diteliti segala aspeknya yaitu metode, konsep, praduga, simbol, paradigma, aspek empiris dan rasio, dampaknya kepada nilai dan etika, penafsiran historisitas, dan teori ilmunya.
Untuk kondisi di Indonesia, saat ini tengah dirundung masa-masa krisis multidimensi, salah satunya krisis ekonomi. Hal ini sangat berpengaruh terhadap keilmuan Islam. Karena kontrol intelegensia secara de facto atas modus produksi kapitalis swasta lemah, mentalitas elitisme ini mendorong intelegensia untuk tenggelam dalam dunia politik. Individu-individu dan kelompok-kelompok intelegensia saling bersaing untuk menguasai kendali atas ekonomi dan birokrasi negara.[2]
C. Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Memperhatikan kondisi keilmuan Islam yang memprihatinkan, perlu kiranya ditemukan suatu solusi atas permasalahan tersebut. Salah satu solusinya menurut beberapa ahli ilmu adalah Islamisasi ilmu pengetahuan. Islamisasi ilmu pengetahuan berarti mengislamkan atau melakukan pengkudusan/penyucian terhadap ilmu pengetahuan produk non-muslim (Barat) yang selama ini dikembangkan dan dijadikan acuan dalam wacana pengembangan sistem pendidikan Islam, agar diperoleh ilmu pengetahuan yang bercorak “khas Islami”.[3]
Gagasan islamisasi ilmu pengetahuan itu muncul dari seorang direktur Lembaga Pengkajian Islam Internasional, Ismail Raji al-Faruqi dengan karya populernya, Islamitation of Knowledge, 1982 dan juga Muhammad Naquib Al-Attas.
Sebagaimana yang terungkap dalam bukunya itu, bahwa gagasan Islamisasi tersebut nampak sebagai respon seorang intelektual Muslim terhadap efek negatif yang ditimbulkan dari ilmu pengetahuan modern-Barat yang sekuler.[4]
Islamisasi ilmu pengetahuan mencoba mencari akar-akar krisis tersebut. Akar-akar krisis itu di antaranya dapat ditemukan di dalam basis ilmu pengetahuan, yakni konsepsi atau asumsi tentang realitas yang dualistis, sekularistis, evolusioneristis, dan karena itu pada dasarnya bersifat relatifitas dan nihilitas. Islamisasi ilmu pengetahuan adalah suatu upaya pembebasan pengetahuan dari asumsi-asumsi atau penafsiran-penafsiran Barat terhadap realitas, dan kemudian menggantikannya dengan pandangan dunia Islam. Namun kendati sudah berjalan lebih satu dasawarsa, hasil konkrit dari upaya ini belum dapat dirasakan. Bahkan upaya islamisasi ilmu pengetahuan ini telah ditentang oleh sebagian tokoh pemikir Islam.
Proyek islamisasi ilmu pengetahuan oleh kalangan ilmuwan tertentu, secara tidak langsung telah menempatkan ilmu pengetahuan sebagai ideologi yang selalu tertutup untuk dilakukan pengkritisan ulang. Padahal ilmu pengetahuan adalah ruang yang terbuka yang senantiasa harus diuji secara kritis, terutama ketika dihadapkan pada realitas modern yang selalu cenderung untuk mencari jawab dari berbagai persoalan-persoalan kontemporer yang berkembang di tengah-tengah masyarakat global.
Gagasan islamisasi ilmu adalah gagasan yang tentu saja absurd dan sulit untuk direalisasikan. Menurut Drs. M. Zainuddin M. A. dalam bukunya Filsafat Ilmu Perspektif Islam, ilmu-ilmu modern Barat tentu masih bisa dipakai meskipun itu dipakai dalam lingkup keislaman. Karena dalam semua keadaan, ilmu sebagai ilmu tidak pernah menjadi muslim atau kafir. Ini berlaku bagi bidang keilmuan apa saja, semuanya netral, tidak mengandung nilai kebaikan atau kejahatan pada dirinya. Nilainya diberikan oleh manusia yang menguasainya. Manusia akan menjadikannya bermanfaat atau tidak.[5]
Yang perlu ditinjau ulang adalah landasan falsafahnya yang menyangkut tujuan dan kegunaannya. Apakah ilmu-ilmu tersebut sesuai dengan ruh wahyu (Islam). Kalau tidak, disinilah tugas kita untuk mengarahkannya, meluruskannya sesuai dengan tujuan dan nilai-nilai Islam.
Tanpa kata “islamisasi” seharusnya ilmu itu inheren dengan Islam jika ia berada di genggaman umat Islam. Tinggal siapa yang berada di balik ilmu itu dan digunakan untuk apa ilmu itu. Jadi iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi) merupakan fenomena yang independen, yang berada di luar diri manusia. Sehingga hal ini sama sekali tidak ada relevansinya dengan keislaman.
BAB III
KESIMPULAN
Ilmu memiliki arti yang demikian penting bagi kaum muslim. Menggali dan mengembangkan ilmu pengetahuan bagi umat Islam memang sudah menjadi dasar dan landasan yang dituntutkan oleh ajaran-ajarannya (nash al-Qur’an maupun al-Hadits). Sejarah perkembangan ilmu merupakan suatu tahapan yang terjadi secara periodik. Setiap periode menampilkan ciri khas tertentu dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Untuk saat ini umat Islam sedang dalam Ghozwul Fikri (perang wacana atau pemikiran), pertarungan ideologi dan pemikiran. Tradisi Mutakallimin yang mengutamakan wahyu sebagai sumber ilmu, mulai ditinggalkan. Keilmuan sekuler mulai mengkontaminasi keilmuan Islam. Keilmuan Islam yang dulunya bersumber pada akal dan rohani kini beralih pada pengutamaan akal sebagai sumber ilmu.
Memperhatikan kondisi keilmuan Islam yang memprihatinkan, perlu kiranya ditemukan suatu solusi atas permasalahan tersebut. Salah satu solusinya menurut beberapa ahli ilmu adalah Islamisasi ilmu pengetahuan. Namun hal ini juga maish kontroversial di kalangan para Ulama’. Sebenarnya yang perlu ditinjau ulang adalah landasan falsafahnya yang menyangkut tujuan dan kegunaannya. Apakah ilmu-ilmu tersebut sesuai dengan ruh wahyu (Islam). Kalau tidak, disinilah tugas kita untuk mengarahkannya, meluruskannya sesuai dengan tujuan dan nilai-nilai Islam.

[1] Rizal Mustansyir & Misnal Munir, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 121
[2] Yudi latif, Inteligensia Muslim dan Kuasa, (Bandung: Mizan, 2005), hlm. 651
[3] Moh. Shofan, Jalan Ketiga Pemikiran Islam, (Jogjakarta: IRCiSoD, 2006), hlm. 263
[4] Zainuddin, Filsafat Ilmu Perspektif Pemikiran Islam, (Jakarta: Lintas Pustaka, 2006), hlm. 120-121
[5] Ibid, hlm. 130-131

Tidak ada komentar:

Posting Komentar