STIT AT-TAQWA CIPARAY BANDUNG

Selasa, 28 Juni 2011

TERMINOLOGI HADITS

Membahas hadits berarti berbicara tentang sesuatu yang bisa kita jadikan sebagai dasar dan pedoman dalam menjalankan kehidupan sebagai hamba muslim. Untuk memahaminya diperlukan ilmu yang khusus mengajinya agar ditemukan sebuah hasil yang benar tentang hadits sebagai salah satu sumber ajaran Islam. Dalam konteks ini kita ketahui beberapa istilah yang terkait erat dengannya, yakni hadits, sunnah, khabar, dan atsar. Sebelum mengkaji ilmu-ilmu hadits secara detail, alangkah baiknya kita mengenal beberapa istilah pokok yang terkait dengannya, yakni hadits, sunnah, khabar dan atsar.

A. PENGERTIAN HADITS, SUNNAH, KHABAR DAN ATSAR
1. Hadits
Dalam batasan etimologis kata hadits (حديث) memiliki arti yang sama dengan kata jadid (جديد) yang berarti baru, sebagai lawan dari kata qadim yang bararti lama sebagai konotasi bagi al-Qur`ân.
[1] Hadits berarti pula qarib (قريب) yang berarti dekat, yakni sesuatu yang belum lama terjadi. Dan juga mempunyai arti khabar (خبر) yang berarti berita, yakni berita tentang seluruh kegiatan dan ucapan dari Nabi Muhammad. Untuk pengertian yang terakhir dapat ditemukan secara implisit dalam ayat:
فَلْيَأتوُا بِحَدِيثٍ مِثْلِهِ اِنْ كَانُوا صدِقِين (الطور: 34)
(Maka hendaklah mereka mendatangkan khabar yang menyerupainya jika mereka adalah orang yang benar)

Nabi saw. juga telah menggunakan kata hadits dengan arti khabar sebagaimana terlihat dalam suatu sabdanya:
…. ألا من بلغه عني حديث فكذب به فقد كذب ثلاثة الله ورسوله والذي حدث به (رواه أحمد والدارمي)
( …. Ingatlah, barangsiapa sampai kepadanya suatu khabar dariku lalu mendustakannya niscaya ia telah berdusta kepada tiga pihak, yaitu Allâh, rasul-Nya dan orang yang menyampaikan khabar)


Dalam matan hadits tersebut terdapat kata hadits (حديث) yang berarti khabar dan kata hadatsa bihi (حدث به) yang berarti menyampaikan khabar.

Adapun secara terminologis, hadits diketahui artinya dari beberapa pendapat sebagai berikut:
a. menurut para Ahli Hadits (al-Muhadditsun)
الحديث ما أضيف إلى النبي e من قول أو فعل أو تقرير أو صفة
[2]
(Hadits adalah segala hal yang disandarkan (dihubungkan) pada nabi saw., baik berupa ucapan, perbuatan, ketetapan, maupun sifat)

b. menurut para Ahli Fiqh
Menurut mereka hadits didefinisikan sebagai berikut:
الحديث هو أقواله صلى الله عليه وسلم وأفعاله وتقريره مما يتعلق به حكْم بنا
(Hadits adalah segala ucapan Nabi saw., perilakunya, dan ketetapannya yang terkait dengan hukum)

Definisi tersebut terkesan sangat sempit, karena yang dimaksud dengan hadits hanyalah hal-hal yang datang dari Nabi Muhammad saw. dan bahkan hanya yang terkait dengan hukum saja.
2. Sunnah
Secara etimologis kata sunnah (سنّة) berasal dari kata sanna (سنّ) yang berarti perilaku, tindakan (‘amal, عمل), dan kebiasaan (‘âdah, عادة). Sunnah juga berarti jalan yang ditempuh dan diikuti oleh orang lain. Makna lainnya adalah mode, arah, peraturan, atau cara hidup. Penggunaan kata sunnah mengandung konsekwensi makna yang berbeda-beda, baik dalam al-Qur`ân, al-Hadits, maupun dalam sya’ir Arab. Perhatikan makna kata sunnah berikut ini!
a. Sunnah dalam al-Qur`ân:
Dalam al-Qur`ân kata sunnah mempunyai makna yang berbeda dengan pengertian yang berlaku pada umumnya. Perhatikan ayat berikut ini!
قُلْ لِلَّذِينَ كَفَرُوا اِنْ يَنْتَهُوا يُغْفَرْ لَهُمْ مَاقَدْ سَلَفَ وَاِنْ يَعُودُوا فَقَدْ مَضَتْ سُنَّتُ الأَوَّلِينَ(ق الأنفال: 38)
(Katakanlah kepada orang-orang kafir “Jika mereka berhenti maka diampuni oleh Allâh dosa-dosa yang telah berlalu, dan jika mereka kembali maka telah berlalu aturan (Allâh) terhadap orang-orang terdahulu)
Kata sunnah al-Awwalin (سنة الأولين) dalam ayat tersebut berarti ketentuan atau aturan Allâh terhadap orang-orang terdahulu. Pengertian senada juga ditemukan dalam ayat lain, misalnya ayat:
سُنَّةَ اللهِ الَّتِي قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلُ وَلَنْ تَجِدَ لِسُنَّتِ اللهِ تَبْدِيلاً (ق الفتح: 23)
(sebagai sunnah Allâh yang telah berlaku sejak dahulu, kamu sekali-kali tiada akan menemukan perubahan bagi sunnah Allâh itu)

Dalam ayat tersebut kata sunnah Allâh mengandung arti ketentuan atau sesuatu yang telah diatur oleh Allâh SWT., yang terkadang disebut sebagai hukum alam atau Peristiwa Alam.
b. Sunnah dalam hadits Nabi Muhammad saw. :
Dalam hadits kata sunnah bermakna perbuatan yang variabel dari segi waktu pelaksanaannya. Misalnya makna kata sunnah dalam hadits:
من سن في الإسلام سنة حسنة فله أجرها وأجر من عمل بها من غير أن ينقص من عملهم من شيء ومن سن سنة سيئة فعليه وزرها ووزر من عمل بها من غير أن ينقص من أوزارهم من شيء
[3]
(Barangsiapa membuat kegiatan yang baik dalam (menurut) Islam maka ia berhak memperoleh upahnya dan upah dari orang yang melakukannya tanpa mengurangi sedikitpun upah ‘amal mereka. Barangsiapa membuat kegiatan yang buruk dalam (menurut) Islam maka ia berhak memperoleh dosanya dan dosa dari orang yang melakukannya tanpa mengurangi sedikitpun dosa ‘amal mereka).
Dalam hadits di atas terdapat dua kata-kata yang patut digarisbawahi, yakni kata sunnah hasanah (سنة حسنة) yang berarti prilaku, atau perbuatan yang baik, jalan yang baik (thariqah hasanah = طريقة حسنة) dan kata sunnah sayyi`ah (سنة سيئة) yang berarti prilaku, atau perbuatan yang jelek, jalan yang buruk (thariqah sayyi`ah = طريقة سيئة). Keduanya bersumber dari semua manusia tanpa kecuali, apalagi yang terkait dengan pribadi Nabi saw.
Makna kata sunnah juga dapat dipahami dari sebuah hadits lainnya sebagai berikut:
…. أنتم الذين قلتم كذا وكذا ، أما والله إني لأخشاكم لله وأتقاكم له، لكني أصوم وأفطر وأصلي وأرقد وأتزوّج النساء ، فمن رغب عن سنتي فليس مني (متفق عليه)
[4]
(…. Kamu semua yang berkata demikian …, ingatlah, demi Allâh aku adalah orang di antara kalian yang paling takut kepada Allâh dan orang yang lebih bertaqwa kepadaNya, tetapi aku berpuasa dan berbuka, mendirikan shalat, tidur, dan menikahi wanita. Barangsiapa yang membenci sunnahku maka ia bukan termasuk golonganku)
Menurut al-Qisthillani kata sunnati (سنّتي) dalam hadits tersebut berarti thariqati (طريقتي),
[5] artinya jalanku, perilakuku, cara hidupku, kebiasaanku. Berkenaan dengan makna-makna dalam hadits-hadits di atas kata sunnah dalam bahasa Inggris diterjemahkan dengan kata tradition.[6]
Dari dua hadits di atas ada pelajaran bagi kita bahwa kata sunnah mempunyai dua kategori, yakni sunnah hasanah (prilaku, tradisi yang baik yang tentunya dibenarkan menurut norma agama) dan sunnah sayyi`ah (tradisi, prilaku yang tidak baik menurut norma agama). Hal tersebut selaras dengan pemahaman yang diberikan oleh ibn Hajar, bahwa sunnah bukan merupakan perimbangan bagi hukum wajib, haram, ataupun mubah, sebagaimana yang terdapat dalam pandangan para Ahli Fiqh, tetapi merupakan tatacara hidup.
[7]
Adapun sunnah dalam batasan terminologis adalah sebagaimana berikut ini.
a. Menurut para Ahli Hadits, sunnah sama dengan hadits, yakni seluruh kegiatan yang bersandar pada Nabi saw. (ما أضيف إلى النبي).
b. Menurut para Ahli Fiqh, sunnah adalah segala hal yang apabila dikerjakan maka pelakunya diberikan pahala, dan jika ditinggalkan maka pelakunya tidak berdosa. Dalam hal ini perlu diketahui bahwa sunnah merupakan bagian dari hukum Islam yang lima, di sampingnya ada wajib, haram, makruh dan mubah.

3. Khabar
Dalam batasan etimologis kata khabar (خبر) berarti berita (naba`,نبأ). Secara terminologis khabar dipahami dengan tiga pengertian sebagai berikut:
a. Khabar bersinonim dengan kata hadits, keduanya bermakna yang sama, hal ini mengingat di antara makna hadits secara harfiah adalah khabar;
b. Khabar berbeda maknanya dengan kata hadits, bahwa hadits berkonotasi sebagai segala hal yang datang dari Nabi Muhammad saw. , sedangkan khabar adalah apa saja yang datang dari selainnya;
c. Khabar lebih luas maknanya daripada kata hadits, bahwa hadits adalah segala hal yang dari Nabi Muhammad saw., sedangkan khabar adalah apa saja yang datang dari Nabi saw. atau yang lainnya.
[8]

Atau secara umum bisa dipahami dengan makna sebagai berikut:
الخبر هو ما أضيف إلى إلى النبي صلى الله عليه وسلم أوغيره
(Khabar adalah segala hal yang datang dari nabi saw. atau lainnya)
Definisi tersebut mengisyaratkan bahwa khabar tidak jauh dengan hadits maupun sunnah, bahkan lebih luas, karena bisa juga bersumber dari selain nabi.

4. Atsar
Dalam arti harfiah kata atsar (أثر) berarti sesuatu yang tersisa, pengaruh (baqiyah al-syay` = بقية الشيء). Sedangkan secara terminologis atsar mempunyai maksud sebagai berikut:
a. sebagai sinonim (muradif = مرادف) bagi kata hadits;
b. mempunyai makna lain dari al-hadits, yakni segala hal yang disandarkan pada sahabat dan tabi’in yang berupa ucapan atau perbuatan (ما أضيف إلى الصحابة والتابعين من أقوال أو أفعال).
[9]


B. KLASIFIKASI HADITS DARI SEGI ISINYA
Dari definisi tersebut dapat diketahui, bahwa hadits mempunyai empat kategori, atau bahwa hadits bisa diklasifikasi menjadi empat macam, yaitu hadits qawli, hadits fi’li, hadits taqriri, dan hadits washfi.
1. Hadits Qawli
Hadits Qawli (حديث قولي ) adalah segala ucapan atau sabda yang berasal dari Nabi Muhammad saw. yang disampaikan kepada ummatnya sebagai pedoman hidup. Contoh hadits qawli adalah sabda nabi saw. yang sangat terkenal berkaitan dengan urgensi al-Qur`ân dan al-Sunnah:
لقد تركت فيكم أمرين لن تضلوا إن تمسكتم بهما كتاب الله وسنة رسوله ( رواه مالك)
[10]
(Telah aku tinggalkan pada diri kamu sekalian dua perkara hingga kalian tidak akan tersesat selama berpegang teguh dengannya. Yaitu Kitab Allâh dan sunnah rasul-Nya) HR. Malik

Contoh lainnya adalah sabdanya yang berkaitan dengan pendidikan shalat sebagai berikut:
صلوا كما رأيتموني أصلي
(Shalatlah sebagaimana kalian melihatku sedang menunaikan shalat)

Kedua hadits di atas merupakan ucapan Rasul saw., bukan menjelaskan perbuatan/ perilakunya. Oleh karenanya ia dinamakan hadits qawli.
2. Hadits Fi’li
Hadits Fi’li (حديث فعلي ) adalah semua perbuatan atau prilaku yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw. dan dicatat sebagai pedoman bagi ummatnya. Hadits fi’li ini yang kemudian dikenal sebagai sunnah nabi. Contoh hadits fi’li adalah hadits tentang shalat malam yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah:
عن إسماعيل قال حدّثني مالك عن سعيد المَقبُريّ عن أبي سلمة بن عبد الرحمن أنه سأل عائشة رضي الله عنها كيف كانت صلاة رسول الله صلى الله عليه وسلم في رمضان فقالت ما كان يزيد في رمضان ولا في غيرها على إحدى عشرة ركعة يصلّي أربعا فلاتسئل عن حسنهنّ وطولـهن ثم يصلى أربعا فلا تسئل عن حسنهنّ وطولـهن ثم يصلي ثلاثا فقلت يارسولَ الله أتنام قبل أن توتِر قال يا عائشة إن عينيّ تنامان ولاينام قلبي (رواه البخاري)
[11]
(dari Isma’il, katanya: Aku memperoleh dari Malik dari Sa’id al-Maqburi dari Abi Salamah ibn Abdur Rahman, bahwa ia bertanya kepada ‘Aisyah ra.: “Bagaimana shalat (sunnah) Rasul Allâh saw. dalam Ramadlan?” ‘Aisyah menjawab: “Nabi saw. tidak pernah melebihkan di atas sebelas raka’at, baik di dalam Ramadlan maupun di luarnya. Beliau shalat empat reka’at, maka jangan bertanya tentang kebaikan empat reka’at dan panjangnya, kemudian beliau shalat empat reka’at, maka jangan bertanya tentang kebaikan empat reka’at dan panjangnya, kemudian shalat tiga reka’at, maka jangan bertanya tentang kebaikan tiga reka’at dan panjangnya. Lalu aku bertanya, “wahai Rasul, apakah engkau tidur sebelum witir?” rasul menjawab: “Ya ‘Aisyah, sesungguhnya kedua mataku tidur dan hatiku tidak tidur”) HR. al-Bukhari
Atau hadits yang diriwayatkan oleh al-Waqidi, bahwa Nabi saw. berziarah ke makam para shahabat yang gugur dalam perang Uhud setiap tahun:
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يزور قتلى أحد في كلّ حول وإذا لقاهم بشعب رفع صوته يقول السلام عليكم بما صبرتم فنعم عقبى الدار وكان أبو بكر يفعل مثل ذلك وكذلك عمر بن الخطاب ثم كذلك عثمان بن عفان رضي الله عنهم
[12]
(Rasul Allâh saw. selalu berziarah ke para pahlawan (yang gugur dalam perang) Uhud setiap tahun. Ketika bertemu dengan sebagian mereka beliau angkat suara seraya bersabda: “Assalamu ‘alaikum, karena kalian telah memiliki kesabaran, maka (bagi kalian layak menerima) tempat tinggal yang sebaik-baiknya”. Abu Bakar ra. Telah menjalankan sebagaimana tindakan Rasul. Demikian pula Umar ibn al-Khattab dan Utsman ibn Affan ra.)
Kedua hadits di atas menjelaskan tindakan/ perilaku yang dijalankan oleh Rasul saw., yakni kegiatan shalat malam (baik dalam bulan Ramadlan maupun di bulan lain) dan kegiatan haul.
[13] bukan berupa ucapannya, karena teks hadits tersebut disusun oleh para penerima hadits.
3. Hadits Taqriri
Hadits taqriri (حديث تقريري) adalah hadits yang merupakan bentuk ketetapan yang datang dari Nabi saw., baik berupa persetujuan, kesepakatan, penerimaan sikap, maupun penolakan terhadap apa saja yang datang kepadanya. Boleh jadi, suatu ketika Nabi saw. membenarkan sesuatu yang diperbuat oleh seorang shahabat atau lebih, atau tidak membenarkannya.
Contohnya adalah sikap Nabi saw. tentang kasus shalat ‘Ashar di Bani Quraidla. Ketika itu Nabi saw. bersabda:
لا يصلينّ أحدكم إلا في بني قريضة (واه البخاري عن بن عمر)
(Hendaklah sekali-kali di antara kamu tidak ada yang mengerjakan shalat kecuali di Bani Quraidla) HR. al-Bukhari dari ibn Umar

Berkaitan dengan hadits di atas terdapat riwayat, bahwa dalam menanggapi sabda di atas para shahabat berbeda persepsi dalam memahami perkecualian (istitsna`) terhadap frase illa fi Bani Quraidla (إلا في بني قريضة ).
Sebagian dari mereka menyikapinya dengan tidak mengerjakan shalat ‘ashar kecuali setelah tiba di Bani Quraidla. Sebagian lagi beransumsi bahwa Nabi saw. telah menyeru kepada mereka agar segera pergi ke Bani Quraidla. Oleh karena itu mereka mengerjakan shalat ‘Ashar sebelum tiba di Bani Quraidla. Berita tentang kasus tersebut akhirnya sampai pada Nabi saw., dan beliau hanya diam menyikapi hal tersebut, yang berarti bahwa beliau membenarkan usaha (ijtihad) para shahabat, menyetujuinya, dan tidak menyalahkannya.
Contoh lainnya adalah riwayat yang menerangkan perjamuan yang diberikan kepada Nabi saw. dan para shahabatnya oleh suatu kaum di Yaman. Ketika itu ada seorang shahabat yang makan daging binatang dlab (ضبّ)
[14] yang tersedia sebagai hidangan, sedangkan Beliau saw. tidak berkenan memakannya. Para shahabat bertanya: “Apakah binatang tersebut haram hukumnya bagi kita?” Nabi saw. dengan tegas menjawab sebagai ungkapan sikapnya yang netral:
لا، ولكنه ليس في أرض قومي، فكلوا فإنه حلال (رواه البخاري ومسلم)
(Tidak, tetapi binatang tersebut tidak terdapat di negeri kaumku. Makanlah, karena ia adalah hala) HR. al-Bukhari dan Muslim
4. Hadits Washfi
Hadits washfi (حديث وصفي) atau hadits shifati (حديث صفتي ) adalah segala aspek yang meliputi sifat, keadaan, dan harapan Nabi saw. Contohnya adalah keterangan tentang sifat Nabi muhammad saw. sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari ra. dan Muslim ra. dari al-Barra` ra. berikut ini:
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم أحسن الناس وجها وأحسنه خلْقا ليس بالطويل البائن ولا بالقصير (رواه البخاري ومسلم)
(Rasul Allâh saw. adalah manusia yang paling tampan parasnya, dan paling ideal postur tubuhnya, yakni tidak terlalu jangkung dan tidak pula pendek) HR. al-Bukhari dan Muslim
Contoh hadits wasfi lainnya dapat ditemukan dalam banyak buku sejarah dan atau kisah tentang kehidupan Nabi saw., misalnya Majmu’ Mawlud Syaraf al-Anam. Masih dalam konteks pengertian hadits washfi ini, kata al-Hadits diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris dengan the Tradition.
[15]


C. HADITS DAN SUNNAH
1. Perkembangannya
Dilihat dari segi perkembangannya kata Hadits dan Sunnah pada mulanya dipahami sebagai apa saja yang datang dari Rasul Allâh saw. Setelah beliau saw. wafat apa yang datang dari shahabat disebut pula sebagai hadits, karena mereka senantiasa bergaul secara aktif dengan Nabi saw., mendengarkan sabdanya dan menyaksikan amal dan prilakunya, terutama mereka dari golongan al-Khulafa` al-Rasyidin. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi saw. :
عليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين
(Peganglah sunnahku dan sunnah Khulafa` Rasyidin)

Masih teringat dalam benak kita sebuah hadits qawli tentang pengertian sunnah secara implisit terkandung dalam kata iqtadu (اقـتدوا):
اقتدوا بالذين من بعدي أبي بكر وعمر
(Ikutilah (sunnah) dua orang setelah aku, yaitu Abu Bakar dan Umar)
Dalam masa-masa selanjutnya apa yang datang dari kelompok Tabi’in pun dinamakan sebagai hadits dengan alasan bahwa mereka adalah orang-orang yang paling mengetahui ajaran yang disampaikan oleh para sahabat dari Nabi saw. Dari perkembangannya itulah maka dalam ‘Ulum al-Hadits dikenal adanya tingkatan hadits. Apabila hadits bersumber pada nabi maka ia dinamakan hadits marfu’ (حديث مرفوع). Jika sebuah hadits bersumber pada shahabat maka ia disebut sebagai hadits mawquf (حديث موقوف). Dan hadits yang bersumber pada tabi’in dinamakan hadits maqthu’ (حديث مقطوع).

2. Esensi Keduanya
Setelah mengkaji secara harfiah dan terminologis seseorang tidak lagi beranggapan bahwa hadits dan sunnah adalah dua kata yang identik, berkonotasi sama. Hadits bukanlah sunnah, dan sebaliknya. Dalam konteks ini sebagian ilmuan muslim ada yang disebut sebagai ahli hadits (أهل الحديث), dan sebagian yang lain dikenal sebagai ahli sunnah (أهل السنة). Perhatikan ungkapan berikut ini yang membedakan penggunaan kata hadits dan sunnah:
سفيان الثوري إمام في الحديث لافي السنة ، الأوزاعي إمام في السنة لا في الحديث ، ومالك إمام في الحديث والسنة
[16]
(Sufyan al-Tsauri adalah seorang di bidang hadits dan tidak di bidang sunnah; al-Auza’i adalah imam di bidang sunnah dan tidak di bidang hadits; dan Malik adalah seorang di bidang hadits dan sunnah)
Sekilas pandang pembaca akan terkesan bahwa ta’rif mengenai hadits dan sunnah menjadikan keduanya adalah satu. Apalagi ketika sampai pada uraian tentang kedudukan sunnah dalam hukum Islam, hal mana sumber ajaran Islam setelah al-Qur`ân adalah al-Sunnah atau al-Hadits.
Dalam al-Qur`ân kata hadits diartikan sebagai berita (al-Thur: 34, dan al-Zumar: 23). Oleh karena itu bentuk jama’nya adalah ahâdits (أحاديث) yang sebenarnya bentuk tersebut berasal dari kata tunggal uhdutsah (أحدوثة), bukan hadits (حديث). Para ‘Ulama enggan menyebut al-Qur`ân sebagai hadits Allâh, karena sifat ‘azalinya, meskipun menurut Nabi saw. “Sesungguhnya hadits yang paling baik adalah Kitab Allâh” (إن أحسن الحديث كتاب الله).
[17]
3. Sunnah dan Bid’ah
Dalam pengertian umum di atas diketahui bahwa sunnah berarti jalan, cara hidup yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw. atau lainnya. Sunnah yang datang dari nabi tentu baik, sedangkan sunnah yang datang dari lainnya ada dua kemungkinan, baik dan buruk. Perhatikan lagi hadits man sanna (من سنّ) di atas. Hadits tersebut memberi pelajaran, bahwa siapa saja bisa membuat sunnah dan melakukannya. Hal ini berlaku bagi manusia dari generasi kapan saja dan berada di mana saja.
Dan jika bid’ah dipahami sebagai produk baru atau model baru yang tidak pernah ada pada masa Rasul saw., maka bid’ah dan sunnah dalam pengertian umum adalah sama, yakni keduanya bisa berkonotasi baik dan buruk. Dengan kata lain, jika ada sunnah hasanah dan sunnah sayyi`ah (baik dan buruk), maka ada pula bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi`ah (bid’ah baik dan bid’ah buruk). Atau dapat dikatakan, bahwa pada dasarnya tidak semua bid’ah adalah buruk, apalagi sesat yang berkonsekwensi masuk neraka, kecuali dalam hal ‘aqidah.
Bukankah para ahli telah merubah bentuk tulisan al-Qur`ân dengan bentuk yang lebih baik dan bagus, sementara huru-huruf yang dituliskan untuk ayat-ayat pada masa nabi sulit dibaca oleh kebanyakan orang karena belum memiliki perbedaan yang jelas antara satu huruf dengan lainnya? Bukankah bentuk dan penampilan al-Qur`ân secara fisik yang ada sekarang belum pernah ada pada masa nabi? Dan masih tidak sedikit contoh prilaku dan sikap manusia sekarang yang belum pernah ada pada lalu, seperti penggunaan pengeras suara untuk adzan, atau penggunaan produk-produk teknologi sebagai media pendidikan dan dakwah.
Maka berhati-hatilah dalam memahami dan menyampaikan hadits tentang bid’ah sebagaimana berikut:
كل بدعة ضلالة وكل ضلالة في النار
(Setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan masuk neraka)

D. STRUKTUR HADITS
Ibarat sebuah bangunan struktur hadits terdiri atas tiga unsur, yaitu sanad, matan, dan mukharij. Ketiganya merupakan pilar yang relatif harus ada dalam bangunan sebuah hadits.
1. Sanad
Secara harfiah kata sanad (سند) berarti sandaran, pegangan (mu’tamad = معتمد). Sedangkan definisi terminologisnya ada dua sebagai berikut:
سلسلة الرجال الموصلة للمتن
(Matarantai orang-orang yang menyampaikan matan)
الطريقة الموصلة إلى المتن ، أسماء رواته مرتّبة
(Jalan penghubung matan, (yang) nama-nama perawinya tersusun)
Jadi, sederet nama-nama yang mengantarkan sebuah hadits itulah yang dinamakan sanad, atau dengan sebutan lain sanad hadits.
Perhatikan contoh sanad berikut ini:
البخاري: حدثنا عبد الله بن يوسف قال أخبرنا مالك عن بن شهاب عن محمد بن جبير بن مطعم عن أبيه قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم قرأ في المغرب بالطور
Dari contoh tersebut yang dimaksud dengan sanad adalah enam nama-nama yang berurutan, yaitu (1)al-Bukhari, (2)‘Abd Allâh, (3)Malik, (4)ibn Syihab, (5)Muhammad, dan (6)ayahnya (Jubair ibn Muth’im).

Berkaitan dengan terma sanad ditemukan terma isnad, musnid, dan musnad .
a. Isnad
Dari segi bahasa, isnad berarti mengangkat hadits hingga pada orang yang mengucapkannya (رفع الحديث إلى قائله). Isnad merupakan bentuk atau proses. Sedangkan sanad adalah keadaannya. Namun demikian, sebagian dari ahli hadits menyatakan bahwa kata isnad bermakna sama dengan kata sanad, yakni merupakan jaring periwayatan hadits. Menurut ibn al-Mubarak, isnad termasuk bagian dari agama, seandainya tidak ada isnad niscaya orang akan ngomong sembarang, menurut apa maunya.
[18]
b. Musnid
Musnid (مسنِد) adalah orang yang meriwayatkan hadits dengan sanadnya, baik mempunyai ilmunya maupun tidak kecuali ia mengisnadkan hadits seorang diri.
c. Musnad
Adapun Musnad (مسنَد) adalah materi hadits yang diisnadkan. Dalam pengertian istilah, kata musnad mempunyai tiga makna, yaitu:
1) Kitab yang menghimpun hadits sistem periwayatan masing-masing Shahabat, misalnya Musnad Imam Ahmad;
2) Hadits marfu’ yang muttashil sanadnya, maka hadits yang demikian dinamakan hadits musnad;
3) Bermakna sanad tetapi dalam bentuk Mashdar Mim.
[19]
2. Matan
Secara harfiah matan berasal dari Bahasa Arab matn (متْن) yang berarti apa saja yang menonjol dari (permukaan) bumi (ماصلب وارتفع من الأرض). Sedangkan dalam pandangan para Ahli Hadits, ada dua arti baginya sebagai berikut:
المتن هو ما ينتهي إليه السند من الكلام
(Matan adalah redaksi (kalam) yang berada pada ujung sanad)
المتْن هو ألفاظ الحديث التي تتقوم بها المعاني
(Matan adalah kata-kata (redaksi) hadits yang dapat dipahami maknanya)

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa matan adalah redaksi atau teks bagi hadits.
Contohnya dapat diperhatikan kembali contoh berikut ini:
حدثنا عبد الله بن يوسف قال أخبرنا مالك عن بن شهاب عن محمد بن جبير بن مطعم عن أبيه قال سمعت رسول الله e قرأ في المغرب بالطور (رواه البخاري)

Dalam contoh tersebut matan haditsnya adalah:
سمعت رسول الله eقرأ في المغرب بالطور
(Aku mendengar Rasul Allâh saw. membaca surat al-Thur dalam (shalat) maghrib)
3. Mukharrij
Makna harfiah kata mukhârrij (مخرّج) yang berasal dari kata kharraja (خرّج) adalah orang yang mengeluarkan. Makna tersebut juga bisa didatangkan dari kata akhraja (أخرج) dengan isim fa’ilnya mukhrij (مخرج). Menurut para Ahli Hadits, yang dimaksud dengan mukharrij adalah sebagai berikut:
المخرج \ المخرّج هو الذي يشتغل بجمع الحديث
(Mukhrij atau mukharrij: orang yang berperan dalam pengumpulan hadits)
Dengan demikian dapat dipahami bahwa apa yang dimaksud dengan mukharrij atau mukhrij adalah perawi hadits (rawi), atau orang-orang yang telah berhasil menyusun kitab berupa kumpulan hadits, seperti al-Bukhari, Muslim, Malik, Ahmad, dsb. Dalam contoh hadits di atas al-Bukhari adalah seorang mukharrij / mukhrij / rawi bagi sebuah hadits.


E. SEBUTAN BAGI PARA AHLI HADITS
Para ‘ulama telah sepakat memberikan gelar kepada orang-orang yang mengeluti bidang hadits sebagai penghargaan bagi empunya. Gelar atau sebutan kesarjanaan yang paling tinggi bagi mereka adalah Amir al-Mu`minin fi al-Hadits (أمبر المؤمنبن في الحديث). Gelar ini hanya diberikan kepada beberapa ahli hadits saja, yaitu:
1. Syu’bah ibn al-Hajjaj (83-160 H.)
2. Sufyan al-Tsauri (97-161 H.)
3. Ishaq ibn Rahawih (161-237 H.)
4. Ahmad ibn Hanbal (163-241 H.)
5. Al-Bukhari (194-256 H. / 810-870 M.)
6. Al-Darquthni (306-385 H.) dan beberapa orang lainnya.

Sedangkan para tokoh hadits dari generasi Muta`akhirin yang memperoleh gelar Amir al-Mu`minin fi al-Hadits antara lain adalah:
1. Al-Nawawi (631-676 H.). Nama lengkapnya adalah Abu Zakaria Yahya ibn Syaraf ibn Murry ibn Hasan ibn Hiam al-Huzami al-Nawawi.
2. Al-Mizzi (645-742 H.). Nama lengkapnya adalah Abdul Hajjaj Yusuf ibn Abdurrahman ibn Yusuf ibn Abdul Malik al-Kilbi al-Mizzi.
3. Al-Dzahabi (673-748 H.). Nama lengkapnya adalah Abu Abdillah Muhammad ibn Utsman al-Dzahabi.
4. Ibn Hajar al-Asqalani


Gelar lain bagi ahli hadits di bawah tingkat gelar Amir al-Mu`minin fi al-Hadits adalah sebagai berikut:
1. Al-Hakim (الحاكم), yaitu mereka yang memiliki konsen pada bidang ilmu hadits dan sunnah;
2. Al-Hujjah (الحجة), yakni mereka yang telah menghafal 300.000 (tigaratus ribu) hadits beserta sanadnya;
3. Al-Hafidh (الحافظ), yaitu mereka yang telah menghafal 100.000 hadits; dan
4. Al-Muhaddits (المحدث), yaitu mereka yang hanya sanggup menghafal sejumlah besar hadits.
[20]


Demikian dan semoga Allâh memberikannya nilai manfa’at bagi kita.

والله أعلم بالصواب
%
[1]Pendapat ini hanya berlaku bagi orang yang meyakini bahwa al-Qur`ân adalah kalam yang merupakan sifat Allâh. Karena Allâh bersifat qadim, maka sifatNya juga qadim, sehingga al-Qur`ân sebagai sifatNya juga qadim. Wa Allâh a’lam bi al-shawâb.[2]Mahmud Thahhan, Taysir Mushthalah al-Hadits, Surabaya: al-Haramayn, t.th., h. 15.[3]Lihat Shahih Muslim, juz II, h. 705.[4] Baca Musthafa M. ‘Imarah, Jawahir al-Bukhari wa Syarh al-Qistillani, Indonesia: Dar Ihya` al-Kutub al-‘Arabiyyah, cet. VIII, 1271 H., h. 421. Dalam riwayat lain matan haditsnya adalah
…. لكني أنا أصلي وأنام وأصوم وأفطر وأتزوج النساء ، فمن رغب عن سنتي فليس مني
lihat teks tersebut dalam ibn Hajar al-‘Asqalani, Bulugh al-Maram, h. 200.
[5]Lihat Musthafa M. ‘Imarah, Jawahir al-Bukhari wa Syarh al-Qistillani, Indonesia: Dar Ihya` al-Kutub al-‘Arabiyyah, cet. VIII, 1271 H., h. 421.[6]Lihat pengertian hadits di atas, karena dalam banyak hal sunnah disamakan dengan hadits.[7]Ibn Hajar, Fath al-Bari, juz 9, h. 498.[8]Mahmud Thahhan, Op. Cit., h. 15-16.[9]Ibid.[10] Lihat Malik, al-Muwatha`, juz II, h. 899.[11]Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Semarang: Usaha Keluarga, t.th., juz II, h. 253.[12] Al-Waqidi, Syarh Nahj al-Balaghah, h. 399.[13] Haul adalah terma dari bahasa Arab yang berarti putaran satu tahun. Dalam batasan terminologis, kata haul dipahami sebagai kegiatan memperingati peristiwa kematian yang dilaksanakan sekali dalam setahun.[14]Dlabb adalah binatang melata berkaki empat dan berekor, sebangsa biawak, atau buaya.[15]Bernard Lewis, The Arabs in History, London: Harper & Row, 1967, h. 36.[16] Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib, Ushul al-Hadits, Beirut: Dar al-Fikr, 1989, h. 25-26.[17]Lihat Sunan ibn Majah, I, h. 18.[18] Mahmud Yunus, Ilmu Mushthalah al-Hadits, Jakarta: Sa’diyah Putra, t.th., h. 21.[19] Mahmud Thahhan, Op. Cit., h. 17.[20] Ibid., h. 23.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar