Pendidik diidentikan dengan gudang ilmu pengetahuan atau khazanah ilmu pengetahuan, sehingga pendidik dengan keilmuan yang dimiliki mendapatkan tempat yang terhormat di tengah masyarakat, dengan gelar yang diberikan pahlawan tanpa tanda jasa, walaupun gelar ini banyak mendapat sindiran dari berbagai unsur, namun tidak mengurangi pengabdian pendidik dalam menjalankan tugasnya.
Bahkan setiap berbagai kesempatan harapan-harapan selalu diberikan kepada pendidik, yang terbaru adalah harapan yang diberikan dalam bentuk sertifikasi guru (guru merupakan salah satu unsur pendidik), pada intinya akan adanya harapan penambahan “penghasilan”. Pertanyaan yang muncul, apakah keikhlasan pendidik diukur dengan lulus sertifikasi? Tentu jawabanya: Tidak. Dalam konteks ini, penulis ingin mengungkap kedudukan pendidik pada sisi lain, yakni kedudukan pendidik dalam perspektif pendidikan Islam.
Orang yang mempunyai ilmu pengetahuan, dalam Islam mendapatkan tempat yang dimuliakan, karena Islam sangat menghormati yang demikian, Islam tidak dapat dikembangkan dan dilestarikan tanpa orang yang mempunyai ilmu. (Samsul Nizar, 2002: 41) Ini dapat ditemukan dalam al-Qur’an surat al-Mujadalah ayat 11 di mana Allah sangat meninggikan orang yang beriman dan berilmu pengetahuan.
Abuddin Nata (2002: 169-170) membuat analisa implikasi kependidikan yang terkandung dalam surat al-Mujadalah ayat 11 adalah pertama, tujuan akhir pendidikan adalah agar menjadi seorang muslim yang terbina seluruh potensi dirinya sehingga dapat melaksanakan fungsinya sebagai khalifah dalam rangka beribadah kepada Allah. Kedua, dalam kegiatan pengajaran, pendidik (guru) mau tidak mau harus mengajarakn ilmu pengetahuan, karena dalam ilmu pengetahuan itulah akan dijumpai berbagai informasi, teori, rumus dan konsep-konsep yang diperlukan mewujudkan tujuan pendidikan. Ketiga, melalui pendidikan diharapkan pula lahir manusia yang kreatif, sanggup berpikir sendiri, sanggup mengadakan penelitian dan penemuan. Keempat, pelaksanaan pendidikan harus mempertimbangkan prinsip pengembangan ilmu pengetahuan sesuai dengan petunjuk al-Qur’an. Kelima, pengajaran berbagai ilmu pengetahuan dalam proses pendidikan yang sesuai dengan ajaran al-Qur’an, akan menjauhkan manusia dari sikap takabur, sekuler dan ateistik. Keenam, pendidikan harus mampu mendorong anak didik agar mencintai ilmu pengetahuan, yang terlihat dari terciptanya semangat dan etos keilmuan yang tinggi, memelihara, menambah dan mengembangkan ilmu pengetahuan yang dimilikinya.
Orang yang berilmu atau ‘aalim, menurut Ahmad Tafsir (2002: 76), merupakan realisasi ajaran Islam itu sendiri. Islam memuliakan pengetahuan; pengetahuan didapat dan diperoleh dari proses pembelajaran, yang belajar adalah calon guru dan yang mengajar adalah guru. Dalam konteks ini proses pembelajaran dalam kelas dapat terjadi adanya pendidik dan peserta didik, pendidik menyampaikan ilmu (transfer of knowledge), peserta menerima ilmu pengetahuan (given of knowledge) serta tanpa pendidik tidak bisa pembelajaran berjalan dan tanpa peserta didik pun pembelajaran mustahil dapat dilaksanakan.
Ahmad Tafsir lebih jauh menjelaskan umat Islam amat menghargai pendidik, disebabkan oleh pandangan bahwa ilmu pengetahuan itu semuanya bersumber pada Tuhan. Ilmu datang dari Tuhan; guru pertama adalah Tuhan. Pandangan yang menembus langit tidak boleh tidak telah melahirkan sikap pada orang Islam bahwa ilmu itu tidak terpisah dari Allah, ilmu tidak terpisah dari guru, maka kedudukan guru amat tinggi dalam Islam.
Al-Ghazali dalam bukunya Ihya ’Ulumuddin menempatkan pendidik pada kedudukan yang amat tinggi, kedudukan langsung setelah para nabi. Hadis Nabi Muhammad saw. al ulama wa ratsah al-anbiyaa (ulama adalah pewaris nabi), ulama dalam ungkapan hadis tersebut termasuk para pendidik, karena pendidik juga menyampaikan risalah nabi Muhammad saw.
Apabila ditelusuri lebih jauh tentang pewaris nabi, maka didapat ungkapan bahwa nabi merupakan sebagai pendidik yang sangat konsekuen dengan peningkatan sumber daya manusia. Sebagai pendidik, nabi tentu saja telah dibekali Allah swt. tidak hanya dengan al-Qur’an tetapi juga dengan kepribadian dan karakter istimewa. Sebagai pendidik dan Rasul, misi kependidikan pertama Muhammad saw. adalah menanamkan aqidah yang benar yakni aqidah tauhid. Ketika Nabi Muhammad di Mekkah, misi utama beliau adalah membangun masyarakat yang bertauhid, meletakkan dasar-dasar fundamental bagi pembentukan nucleus masyarakat yang viable untuk menjawab tantangan zaman. Ketika Nabi di Medinah, beliau melaksanakan fungsi sebagai pendidik utama dalam pembangunan masyarakat sosial politik, masyarakat politik-keagamaan Islam Madinah. Dalam kaitan ini, Nabi Muhammad saw. sendiri mengidentifikasikan pesan dakwahnya sebagai pendidik atau pengajar (mu’allim). (Azyumardi Azra, 2000: 55-56)
Pendidik digambarkan oleh Kamal Muhammad Isa (1994: 64) adalah pemimpin sejati, pembimbing dan pengarah yang bijaksana, pencetak para tokoh dan pemimpin ummat. Justru karena itu menurut Kamal Muhammad Isa pendidik merupakan manusia pilihan, yang siap memikul amanah dan menunaikan tanggungjawab dalam pendidikan peserta didiknya.
Sedangkan al-Hasyimi (2001: 166) mengibaratkan bahwa pendidik merupakan faktor yang asasi dalam hidup manusia dan ia menempati posisi yang kuat dengan pengaruhnya dalam membentuk pribadi individu, di mana pengaruh-pengaruhnya itu berkelanjutan sepanjang hidupnya. Keberadaan pendidik sebagai yang asasi dalam hidup manusia, karena ia dapat membantu peserta didik atas perkembangan dari makhluk hidup yang berjisim saja menuju manusia yang memiliki kepribadian sebagaimana juga akan membantunya atas pertumbuhan yang sempurna sebagai manusia.
Melihat begitu tingginya Islam menempatkan orang yang memiliki ilmu pengetahuan, maka sudah sepatut dan sepantasnya setiap elemen yang mempergunakan jasa pendidik juga ikut memuliakan, sehingga pendidik dengan senang dan menyenangkan dapat melaksanakan proses pembelajaran. Pembelajaran menyenangkan dikembangkan dalam bentuk pembelajaran aktif, inovetif, kreatif, efektif dan menyenangkan. Menyenangkan di sini, dilihat dalam hal pembelajaran dan hubungan dengan siswa serta dengan rekan-rekan kerja dalam wadah majelis guru.
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa Allah swt. dan Rasulullah saw. menempatkan pendidik pada tempat yang mulia dan terhormat. Oleh karenanya sudah saatnya semua komponen menempatkan pendidik pada tempat terhormat pula. Dalam kontek kebijakan sertifikasi guru, penulis menempatkan pada salah satu upaya untuk memberikan tempat yang terhormat kepada pendidik (guru). Semoga demikian …..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar