STIT AT-TAQWA CIPARAY BANDUNG

Selasa, 05 Juli 2011

SERTIFIKASI DOSEN DAN GURU DAN PENGEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM

Permasalahan pendidikan telah diidentifikasi dan dirumuskan dalam Rencana Strategis Pendidikan tahun 2005 – 2009, yaitu meliputi masih rendahnya pemerataan dan akses pendidikan. Selain itu, juga masih rendahnya mutu, relevansi, dan daya saing pendidikan. Masalah lainnya adalah masih lemahnya tatakelola, akutabilitas, dan citra publik pengelolaan pendidikan. Pendidikan Indonesia di antara negara-negara di dunia menunjukkan gejala-gejala ketertinggalan. Menurut United Nations Development Project (UNDP) (2008) Indeks Prestasi Manusia (IPM) Indonesia tahun 2008 sebesar 0,728 menduduki peringkat 107 diantara 177 negara. Daya saingnya menurut survey dari World Economic Forum tahun 2007-2008 berada pada peringkat 54 dari 131 negara. Angka melek huruf usia 15 tahun ke atas tahun 2008 sebesar 98,84%, ini berdasarkan laporan dari MDGs tahun 2007.

Untuk menangani gejala-gejala ketertinggalan dalam bidang pendidikan tersebut diperlukan tenaga pengajar (dosen dan guru) yang professional dan kompeten. Profesionalisme tenaga pengajar berkorelasi dengan kualitas pendidikan. Tenaga pengajar yang professional menjadikan pendidikan pun berkualitas. Sebaliknya tenaga pengajar yang tidak profesional bisa menjadikan pendidikan yang tidak berkualitas.
Tenaga Pengajar Profesional    KBM Berkualitas     Pendidikan Berkualitas    SDM  Berkualitas
Pendidikan perlu ditingkatkan dari berbagai jenjang, dari mulai jenjang pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi. Salah satu faktor penting dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan itu adalah tenaga pengajar, sebab berdasarkan penelitian-penelitian klasik, karena sekarang banyak alat-alat, justru kualitas pendidikan 60% dikontribusi oleh faktor tenaga pengajar. Kalau tenaga pengajar itu bagus, hasilnya 60% bisa diharapkan bagus. Jadi betapapun hebatnya alat-alat yang disediakan, kalau tenaga pengajarnya kurang bagus, kecil sekali kontribusinya terhadap kualitas pendidikan. Dari keyakinan terhadap hasil penelitian ini, maka salah satu faktor yang harus diperbaiki di dalam rangka memperbaiki kualitas pendidikan itu adalah tenaga pengajar, untuk di sekolah guru namanya, untuk di tingkat perguruan tinggi adalah dosen.
Tenaga pengajar merupakan salah satu komponen essensial dalam suatu sistem pendidikan di Indonesia. Peran, tugas, dan tanggung jawab tenaga pengajar sangat bermakna dalam mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, meningkatkan kualitas manusia Indonesia, meliputi kualitas iman/takwa, akhlak mulia, dan penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, serta mewujudkan masyarakt Indonesia yang maju, adil, makmur, dan beradab. Untuk menjalankan fungsi, peran, dan kedudukan yang sangat strategis tersebut, diperlukan tenaga pengajar yang profesional dan kompeten dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana yang diamanatkan Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen yang dinyatakan sebagai jabatan profesional.
Kedudukan dosen adalah tenaga professional pada jenjang pendidikan tinggi. Sedangkan guru sebagai tenaga professional pada jenjang pendidikan dasar, menengah, dan pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang dibuktikan dengan sertifikat pendidik. Tenaga pengajar berfungsi meningkatkan martabat dan perannya sebagai agen pembelajaran, pengembang ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, serta meningkatkan mutu pendidikan nasional. Tujuan tenaga pengajar adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
Kedudukan dosen sebagai tenaga pengajar professional mempunyai visi dan misi. Visinya adalah terwujudnya penyelenggaraan pembelajaran sesuai dengan prinsip-prinsip profesionalitas untuk memenuhi hak yang sama bagi setiap warga negara dalam memperoleh pendidikan yang bermutu. Misinya adalah mengangkat martabat tenaga pengajar, menjamin hak dan kewajiban tenaga pengajar, meningkatkan kompetensi tenaga pengajar, memajukan profesi serta karier tenaga pengajar, meningkatkan mutu pembelajaran, meningkatkan mutu pendidikan nasional, mengurangi kesenjangan ketersediaan tenaga pengajar antardaerah dari segi jumlah, mutu kualifikasi akademik, dan kompetensi. Misi lainnya adalah mengurangi kesenjangan mutu pendidikan antardaerah dan meningkatkan pelayanan pendidikan yang bermutu.
Kompetensi Tenaga Pengajar
Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2007 tentang Standar Kompetensi tenaga pengajar (guru dan dosen) yang merupakan jabatan professional, menjelaskan bahwa kompetensi yang diperlukan ada empat, yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi professional, dan kompetensi sosial.
  1. a. Kompetensi pedagogik
Kompetensi pedagogis atau akademik ini merujuk kepada kemampuan tenaga pengajar untuk memahami dan mengembangkan peserta didik sebagai individu-individu,  mengelola proses belajar mengajar, termasuk di dalamnya perencanaan/perancangan, pelaksanaan, dan evaluasi hasil belajar mengajar beserta pengembangannya.
Kompetensi pedagogik meliputi:
1)   Menguasai karakteristik peserta didik dari aspek fisik, moral, sosial, kultural, emosional, dan intelektual.
2)   Menguasai teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik.
3)   Mengembangkan kurikulum yang terkait dengan bidang pengembangan yang diampu.
4)   Menyelenggarakan kegiatan pengembangan yang mendidik.
5)   Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk kepentingan penyelenggaraan kegiatan pengembangan yang mendidik.
6)   Memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki. Berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan peserta didik.
7)   Menyelenggarakan penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar.
8)   Memanfaatkan hasil penilaian dan evaluasi untuk kepentingan pembelajaran.
9)   Melakukan tidakan reflektif untuk peningkatan kualitas pembelajaran.
  1. b. Kompetensi kepribadian
Kompetensi ini mengkaji dedikasi dan loyalitas tenaga pengajar. Tenaga pengajar memiliki kepribadian yang tegar, dewasa, arif, bijak, tegas, berwibawa, mantap dan stabil, dapat menjadi contoh bagi para peserta didik dan memiliki akhlak mulia.
Kompetensi pribadi meliputi:
1)   Bertindak sesuai dengan norma agama, hukum, sosial, dan kebudayaan nasional Indonesia.
2)   Menampilkan diri sebagai pribadi yang jujur, berakhlak mulia, dan teladan bagi peserta didik dan masyarakat.
3)   Menampilkan diri sebagai pribadi yang mantap, stabil, dan dewasa, arif, dan berwibawa.
4)   Menunjukkan etos kerja, tanggung jawab yang tinggi, rasa bangga menjadi guru, dan rasa percaya diri.
5)   Menjunjung tinggi kode etik profesi guru.
  1. c. Kompetensi profesional
Kompetensi ini merujuk pada kemampuan tenaga pengajar untuk menguasai keilmuan bidang studi/materi pembelajaran dan langkah kajian kritis pendalaman isi bidang studi. Tenaga pengajar harus memiliki pengetahuan yang baik mengenai subyek yang diajarkan, mampu mengikuti kode etik profesional dan menjaga serta mengembangkan kemampuan profesionalnya.
Kompetensi profesional meliputi:
1)   Menguasai materi, struktur, konsep, dan pola pikir keilmuan yang mendukung mata pelajaran yang diampu.
2)   Menguasai standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran/bidang pengembangan yang diampu.
3)   Mengembangkan materi pembelajaran yang diampu secara kreatif.
4)   Mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan melakukan tindakan reflektif.
5)   Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk berkomunikasi dan mengembangkan diri.
  1. d. Kompetensi sosial (kemasyarakatan).
Kompetensi ini merujuk kepada kemampuan tenaga pengajar untuk menjadi bagian dari masyarakat, berkomunikasi, berinteraksi, dan bergaul secara efektif dengan para peserta didik, para guru lain, staf pendidikan lainnya, orang tua/wali peserta didik, kolega dan serta masyarakat.
Kompetensi sosial meliputi:
1)   Bersikap inklusif, bertindak obyektif, serta tidak diskriminatif karena pertimbangan jenis kelamin, agama, ras, kondisi fisik, latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi.
2)   Berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua, dan masyarakat.
3)   Beradaptasi di tempat bertugas di seluruh wilayah Republik Indonesia yang memiliki keragaman sosial budaya.
4)   Berkomunikasi dengan komunitas profesi dan profesi lain secara lisan dan tulisan atau bentuk lain.
Keempat macam kompetensi ini dijadikan landasan dalam rangka mengembangkan sistem pendidikan tenaga kependidikan. Oleh karena itu dapatlah dipandang, bahwa keempat macam kompetensi di atas sebagai tolok ukur bagi keberhasilan pendidikan tenaga kependidikan.
Proses Sertifikasi Guru
Dosen dan guru sebagai jabatan professional adalah jabatan yang memerlukan kemampuan-kemampuan tertentu dan latar belakang pendidikan tertentu. Profesional itu dinyatakan sebagai pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu, serta memerlukan pendidikan profesi. Dalam pelaksanaannya, untuk mewujudkan upaya dimaksud dilakukan melalui sertifikasi. Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2007 tentang guru dan dosen, itu ada satu aturan yang menetapkan bahwa tenaga pengajar yaitu guru dan dosen, di samping memiliki kualifikasi akademik tertentu yaitu S1/DIV atau S2 dari perguruan tinggi yang terakreditasi, juga dia harus memiliki sertifikat. Ini yang menjadi persoalan, jadi sertifikat itu merupakan suatu keterangan resmi bahwa dia dianggap professional untuk menjalani tugas sebagai seorang guru di sekolah atau dosen di perguruan tinggi. Untuk itu tenaga pengajar diharuskan melakukan sertifikasi.
Sertifikasi (certification) adalah proses memberi pengakuan oleh negara atas kemampuan dan keterampilan tenaga pengajar berikut kewenangannya. Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik untuk tenaga pengajar. Sertifikat pendidik adalah bukti formal sebagai pengakuan kepada dosen dan guru sebagai tenaga profesional. Sertifikat pendidik dikeluarkan oleh lembaga pendidikan profesi. Sertifikasi pendidik dilakukan secara objektif, transparan, dan akuntabel. Objektif merupakan proses sertifikasi yang memberi kemampuan kepada calon pendidik untuk menjalankan tugas dan kewenangannya sebagai pendidik profesional dengan mengacu pada Standar Nasional Pendidikan (SNP). Transparan merupakan proses sertifikasi yang memberikan peluang kepada para pemangku kepentingan (stakeholder) pendidikan untuk akses pada informasi tentang masukan, proses, dan hasil sertifikasi pendidik. Akuntabel merupakan proses sertifikasi yang harus dipertanggungjawabkan kepada para pemangku kepentingan pendidikan, baik berupa prosedur administratif maupun teknis akademik profesional.
Seperti telah dijelaskan di atas bahwa salah satu faktor yang harus diperbaiki di dalam rangka memperbaiki kualitas pendidikan kita adalah tenaga pengajar, yaitu guru di sekolah dan dosen di perguruan tinggi. Pertanyaannya, bagaimana memperbaiki kualitas kemampuan guru dan dosen tersebut? Salah satu cara untuk memperbaiki kualitas tenaga pengajar itu adalah dengan menentukan kualifikasi minimumnya yang boleh mengajar untuk jenjang pendidikan atau strata pendidikan tertentu. Misalnya guru yang mengajar di sekolah dasar (SD) harus kualifikasinya harus lulusan S 1, sedangkan dosen yang mengajar S1 maka kualifikasinya sekurang-kurangnya lulusan S 2.. Kalau mengajar S 2, maka sekurang-kurangnya lulusan S 3. Kalau mengajar S 3 sekurang-kurangnya lulusan S 3 ditambah pengalaman-pengalaman tertentu. Dengan aturan-aturan seperti itu diharapkan semua orang yang terlibat menjadi tenaga pengajar di sekolah maupun perguruan tinggi benar-benar ditentukan dulu persyaratan minimumnya sebab kalau persyaratan minimum ini tidak terpenuhi dianggap belum memiliki substansial yang akan dijarkan.
Kemudian ada asumsi bahwa kualifikasi pendidikan adalah menggambarkan kemampuan substansial dari apa yang diajarkan. Sedangkan untuk mengajar ada suatu kemampuan tertentu. Oleh karena itu setelah lulus S 1 untuk guru, maka dia harus mengikuti pendidikan profesi. Jadi yang ada di Undang-Undang itu adalah pendidikan profesi bukan sertifikasi. Kalau sudah selesai mengikuti pendidikan profesi dan memperoleh sertifikat sebagai guru barulah dia diuji kompetensinya untuk memperoleh lisensi/ijin. Lisensi (licensing) atas dasar sertifikat itu menjadikan seseorang memperoleh izin atau lisensi dari negara untuk mempraktikkan pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya. Namun kita menghadapi suatu kendala, karena Undang-Undang itu ditetapkan tahun 2005, sedangkan di dalam Undang-Undang itu khusus untuk guru harus bisa menyelesaikan persoalan guru ini dalam waktu 10 tahun. Sekarang kita punya sekitar 2,6 juta guru, dan kurang dari 60% dari total belum S1, katakanlah sekitar sejuta orang guru harus diselesaikan dalam 10 tahun. Jadi satu tahun berapa orang yang bisa disertifikasi?. Padahal suatu Undang-Undang untuk bisa dilaksanakan harus ada Peraturan Pemerintahnya (PP). Sampai sekarang PP tersebut belum ada. Kemudian ada suatu aturan lagi, bahwa Undang-Undang yang sudah disahkan kalau dalam kurun waktu 3 tahun tidak dilaksanakan berarti batal, maka jika sampai akhir tahun 2008 tidak dilaksanakan berarti Undang-Undang itu batal.
Untuk mengatasi masalah itu dan menyelamatkan Undang-Undang, Depdiknas mengeluarkan peraturan menteri untuk mempercepat segalanya dilaksanakan dalam waktu 10 tahun. Peraturan menteri itu tentang proses pendidikan profesi, tetapi di dalam peraturan menteri itu ada kategori-kategorinya, karena sifatnya semacam test program atau program yang darurat, maka dikategorikan ada pendidikan profesi untuk guru dalam jabatan dan ada pendidikan profesi untuk guru prajabatan/calon-calon guru. Perguruan tinggi penyelenggara pendidikan profesi ditetapkan oleh menteri yaitu yang memiliki program studi relevan yang terakreditasi. Selain itu, memiliki pendidik dan tenaga kependidikan yang sesuai dengan standar nasional pendidikan. Perguruan tinggi itu pun memiliki sarana dan prasarana pembelajaran yang memenuhi sesuai dengan standar nasional pendidikan. Yang berlaku sesuai dengan Undang-Undang seperti diuraikan tadi di atas adalah untuk guru prajabatan, meskipun di Undang-Undangnya tidak seperti itu. Untuk guru yang dalam jabatan itu dilakukan seperti apa? Perlakuannya yaitu dengan menggunakan proses sertifikasi dengan mengakui segala macam keberhasilan maupun prestasi yang sudah mereka lakukan yang diistilahkan dengan portofolio. Jadi, portofolio itu sesungguhnya semacam bukti bahwa guru sudah memiliki dan melaksanakan tugasnya itu, meskipun dalam pelaksanaan portofolio ini masih ada ekses-ekses yang seolah-olah dianggap sudah merupakan suatu hal yang biasa.
Peraturan dan ketentuan yang berlaku tentang sertifikasi guru di atas menunjukkan kualifikasi dan kompetensi minimal yang harus dimiliki guru di Indonesia. Berkaitan dengan kualifikasi, guru harus memiliki kualifikasi lulusan yang setara dengan gelar S 1 atau D IV dan akan dididik mengenai materi yang akan mereka ajarkan. Guru yang telah lama bekerja dan tidak memiliki kualifikasi yang sesuai diwajibkan untuk menaikkan kualifikasi mereka menjadi S 1 atau D IV. Berkaitan dengan kompetensi, guru harus membuktikannya dengan memiliki sertifikat profesional sebagai guru. Setelah guru memperoleh gelar S1 atau D4, kompetensi guru akan dikaji untuk memperoleh sertifikasi. Untuk memperoleh sertifikasi ini, guru harus menunjukan kompetensinya di empat bidang kompetensi yaitu akademis, kepribadian, profesi dan sosial. Ujian kompetensi ini dilakukan dalam bentuk penilaian dokumen. Penilaian portofolio adalah pengakuan terhadap pengalaman profesional guru berdasarkan dokumen yang menjelaskan: kualifikasi akademik, pendidikan dan pelatihan, pengalaman mengajar, perencanaan pembelajaran dan pelaksanaannya, penilaian dari atasan dan pengawas, prestasi akademis, karya pengembangan profesi, keterlibatan dalam berbagai forum, pengalaman berorganisasi dalam bidang pendidikan dan sosial serta penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan. Guru yang telah berada dalam tahapan penilaian dokumen akan memperoleh sertifikat sebagai seorang pendidik  Guru yang tidak lulus dalam penilaian dokumen dapat menempuh upaya melakukan kegiatan untuk menyelesaikan penilaian dokumentasi.
Proses Sertifikasi Dosen
Seperti dijelaskan di atas bahwa semua orang yang terlibat menjadi tenaga pengajar benar-benar ditentukan dulu persyaratan minimumnya, sebab kalau persyaratan minimum ini tidak terpenuhi dianggap belum memiliki substansial yang akan dijarkan. Kalau untuk guru setelah lulus S 1, maka dia harus mengikuti pendidikan profesi. Namun khusus untuk dosen, supaya dosen S 2 itu baru substansial, kemampuan proses pembelajarannya harus disertifikasi. Jadi tidak ada pendidikan profesi dosen, berbeda dengan guru yang ada pendidikan profesi dengan jumlahnya 36 SKS untuk lulusan non kependidikan, 18 SKS untuk lulusan kependidikan, pendidikan profesi 1 semester atau 2 semester. Untuk dosen tidak ada pendidikan profesi karena sebetulnya dosen itu sudah punya sertifikat, yaitu ketika memperoleh jabatan fungsional. Itu merupakan sertifikat bahwa dosen memiliki kelayakan untuk mengajar di tingkat tertentu. Jabatan fungsional itu seperti asisten ahli, lektor, lektor kepala, atau guru besar. Namun tetap saja dosen itu harus disertifikasi supaya benar-benar semua keterangannya menjelaskan bahwa dia sebagai dosen profesi yang benar-benar legitimate.
Pertanyaannya adalah siapakah yang melakukan sertifikasi terhadap tenaga pengajar? Yang melakukan sertifikasi adalah lembaga pendidikan bukan perorangan. Lembaga pendidikan yang boleh mensertifikasi, kalau untuk guru adalah lembaga pendidikan tenaga kependidikan yang terakreditasi dan ditugasi. Kalau untuk dosen oleh lembaga pendidikan yang memiliki asesor dengan jumlah yang memadai, terakreditasi, dan ditugasi, sehingga tidak liar. Asesor itu adalah guru besar yang berkualifikasi S 3. Kriteria-kriteria sebuah perguruan tinggi agar bisa menjadi penyelenggara sertifikasi yang utama adalah keberadaan guru besar yang memadai khususnya pada perguruan tinggi agama Islam (PTAI) dan dosen-dosen yang terkait dalam lingkup pendidikan keislaman, maka jumlah guru besarnya pun dalam bidang pendidikan keislaman. Kalau dosen-dosen di PTAI tetapi bukan dosen agama Islam, maka yang mensertifikasi bukan perguruan tinggi yang berada di bawah yuridiksi Departemen Agama, itu menjadi kewenangan perguruan tinggi yang menyelenggarakan program studi terkait sama dengan dosen tersebut. Misalnya, dosen sosiologi, maka disertifikasi bukan oleh dosen PTAI tetapi disertifikasi oleh perguruan tinggi lainnya. Kalau sertifikasi dosen itu sudah dilaksanakan, maka sertifikatnya dikeluarkan oleh penyelenggara sertifikasi. Begitu pula dengan sebutan perguruan tinggi mitra yang hanya digunakan untuk membantu di dalam proses sertifikasi, kalau perguruan tinggi itu masih kekurangan tenaga, maka akan dibantu dari perguruan tinggi mitra tersebut. Jadi tetap saja penyelenggaranya adalah perguruan tinggi yang sudah ditugasi tadi.
Sertifikasi dosen bisa dimulai dari guru besar. Berikutnya adalah dosen yang memiliki jabatan fungsional lektor kepala dan berkualifikasi S 3 atau S 2 yang telah lulus uji portofolio sertifikasi. Pertanyaannya bagaimana proses sertifikasi untuk dosen Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang di-DPK-kan (diperbantukan) di perguruan tinggi swasta atau bagaimana pula dosen non PNS (Pegawai Negeri Sipili)? Mereka bisa disertifikasi dengan terlebih dahulu dilakukan invasing. Invasing adalah proses untuk menentukan bahwa jabatan fungsional itu equivalen. Misalnya seorang dosen non PNS di perguruan tinggi swasta yang merupakan lulusan S 2 dari perguruan tinggi terakreditasi, maka Rektor harus mengeluarkan invasing terlebih dahulu, dia sudah mengajar berapa lama di lembaga perguruan tinggi swasta tersebut. Misalnya dosen itu sudah mengajar selama 12 tahun, kalau rata-rata kenaikan pangkatnya 4 tahun berjalan lancar, berarti dia sudah naik 3 kali. Jadi kalau diangkat pertamanya S 2 golongannya III B ditambah naik 3 kali berarti dia golongan IV A. Kumulatifnya sama dengan IV A sekitar 400, ternyata kumulatifnya baru 100, berarti ekuivalennya sama dengan lektor. Jadi invasing itu agar dosen memperoleh sertifikat setara dengan PNS pada jabatan fungsional tertentu, sehingga sama saja peluang bagi dosen non PNS untuk menikmati dan memperoleh penghargaan dari pemerintah berupa tunjangan profesi sebagai dosen, meskipun gajinya tetap diberikan oleh yayasan atau perguruan tinggi tempat mengajarnya.
Sertifikasi dosen merupakan program yang bertujuan untuk meningkatkan kreatifitas dan kualitas kinerja dosen agar para dosen perguruan tinggi agama Islam mampu mengaktualisasikan potensi diri secara lebih optimal dalam rangka meningkatkan mutu pembelajaran dan kualitas pendidikan di Indonesia khususnya di kalangan perguruan tinggi agama Islam. Pada pelaksanaannya, sertifikasi dosen perguruan tinggi agama Islam mengacu pada prosedur, standard dan format nasional sertifikasi dosen yang ditetapkan Departemen Pendidikan Nasional, baik dari segi instrument, mekanisme pemetaan prioritas dosen yang akan disertifikasi, uji fortofolio, dan sebagainya, yang kemudian disesuaikan dengan standard dan format spesifik perguruan tinggi agama Islam. Dalam hal ini Departemen Agama melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Agama Islam berupaya secara optimal mewujudkan kerja sama dan koordinasi dengan Departemen Pendidikan Nasional melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi dan pihak-pihak terkait dalam rangka pelaksanaan sertifikasi dosen perguruan tinggi agama Islam yang objektif, menyeluruh, dan berkesinambungan. Oleh karena itu, Tim Sertifikasi Dosen Departemen Agama dengan dibantu tim sertifikasi dari Departemen Pendidikan Nasional sedang menyiapkan buku praktis Rancangan Program Sertifikasi Dosen Pendidikan Tinggi Agama Islam (PTAI) yang berisikan pokok pikiran dan uraian-uraian penting tentang pelaksanaan sertifikasi selanjutnya, terutama pada tahap penyusunan regulasi dan pedoman pelaksanaan sertifikasi, sehingga penyelenggaraannya berjalan secara lebih terarah, objektif, dan mencapai sasaran.
Sertifikasi dosen perguruan tinggi agama Islam diharapkan dapat menjadi mediasi dalam mewujudkan quality assurance, sebab selama ini perguruan tinggi agama Islam kita masih rendah mutu dan kualitasnya, terutama jika dikaitkan dengan delapan standar dari Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) yang meliputi standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidikan dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan. Jadi, sertifikasi dosen bukan hanya untuk meningkatkan kualitas kesejahteraan dosen, akan tetapi lebih dari itu untuk menjamin terwujudnya dosen yang profesional. Dosen profesional adalah dosen yang mampu mengaktualisasikan nilai-nilai tridarma perguruan tinggi dalam diri dan pelaksanaan tugasnya. Peningkatan mutu dosen harus mempertimbangkan aspek-aspek pengetahuan yang sangat fundamental dan bersifat lintas negara. Antara lain, kemampuan matematika, kemampuan dalam science, dan reading comprehension. Ketiga aspek ini merupakan aspek utama dalam kehidupan masyarakat sosial dalam menjalani aktifitas sehari-harinya. Kehidupan masyarakat sosial juga harus ditunjang oleh tiga hal yang merupakan unsur karakter dalam tingkat peradaban tinggi, yaitu perguruan tinggi agama Islam working society, learning society, dan reading society.
Mengacu pada hal-hal tersebut di atas tadi, maka dilaksanakan sertifikasi terhadap dosen, yaitu pemberian sertifikat terhadap dosen yang profesional dan qualified. Artinya, pemberian sertifikat terhadap dosen yang sertified yang berkemampuan profesional (minimal berpendidikan S 2, asisten ahli, dan berpengalaman mengajar sekurang-kurangnya 2 tahun). Sertifikasi akan diberikan oleh pihak atau lembaga yang memiliki kewenangan yakni Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama. Implikasinya adalah bagi siapa yang sudah disertifikasi maka mereka berhak mendapatkan tunjangan profesi.
Gambar Prosedur Sertifikasi Dosen PTAI
DAFTAR PUSTAKA
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam. (2008). Rcncangan Program Sertifikasi Dosen PTAI. Jakarta: Ditjen Penais Departemen Agama.
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam. (2008). Kebijakan Sertifikasi Pada Ditjen Pendidikan Islam. Jakarta: Ditjen Penais Departemen Agama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar