STIT AT-TAQWA CIPARAY BANDUNG

Sabtu, 13 Agustus 2011

KAIDAH QUR’ANIYAH DAN SUNNAH

A. Pendahuluan
Al-Qur’an dan al-Hadits sebagai pedoman hidup, sumber hukum dan ajaran islam tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainya. Al-Qur’an sebagai sumber utama memuat ajaran-ajaran yang bersifat umum dan global, sedangkan hadits sebagai sumber ajaran kedua tampil untuk menjelaskan (bayan) keumuman isi al-Qur’an tersebut.
Al-Quran adalah firman Allah SWT yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw. Lafadznya sebagai mukjizat, membacanya adalah sebagai ibadah, diriwayatkan secara mutawatir, memberi pengertian yang pasti dan meyakinkan, ditulis dalam mushaf dari awal surat al-Fatihah sampai akhir surat an-Nas, sebagai petunjuk Allah bagi hamba-Nya, syariat dari langit untuk manusia, dengan al-Qur’an ini Allah menutup kitab-kitab samawi, denganya Allah menggantungkan kebahagiaan dunia dan akhirat.

Allah SWT telah menurunkan kepada nabi-Nya Muhammad saw. kurang lebih dua puluh dua setengah tahun. Malaikat Jibril membawa wahyu dengan lafadznya secara jelas kepada Nabi Muhammad dalam keadaan sadar, tidak tidur, dan bukan melalui ilham.
Dalam istilah ulama hadits sunnah adalah sabda Nabi Muhammad saw., perbuatan, taqrir (ketetapan), keadaan beliau dan akhlaknya. Sedangkan yang dimaksud dengan taqrir seseorang berkata atau melakukan suatu perbuatan di depan Nabi saw. dan beliau tidak mengingkarinya atau perkataan dan perbuatan itu tidak dilakukan di depan beliau, lalu Nabi mendengarnya dan diam serta tidak mengingkarinya.
Dengan demikian, menurut pandangan sebagian besar ulama pengertian “Sunnah” itu identik dengan “Hadits” Rasulullah saw.
B. Kaidah Qur’aniyah dan Sunnah
1. Tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an
Al-Qur’an, satu bagian darinya saling membenarkan dengan lainya dan satu bagian menafsirkan bagian lainya.
“…kalau kiranya al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentunya mereka mendapat pertentangan yang banyak didalamnya.” (an-Nisa’:82)
Apa yang diungkapkan secara mujmal “global” pada satu tempat diperinci ditampat lain, apa yang tampak samar pada satu tempat dijelaskan ditempat lain, apa yang diungkapkan secara mutlak pada satu tempat dipersempit ditempat lain, apa yang diungkapkan secara umum pada satu redaksi yang dikhususkan pada redaksi yang lain. Oleh karena ayat-ayat dan nash-nash harus dikonfirmasikan satu sama lain, sehingga pemahaman menjadi sempurna dan dapat ditangkap pemahaman yang dimaksud dari nash itu.
Nash yang bersifat mujmal di dalam al-Qur’an mengandung lafadz-lafadz yang samar maknanya disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut:
a) Adanya lafad yang ganjil, misalnya lafad هَلُوْعًا dalam ayat ke-19 surat al-Ma’aarij, yang oleh nash itu sendiri ditafsirkan dengan makna “keluh-kesah dan kikir” yaitu sebagaimana firman Allah dalam ayat ke-19- ke-21 surat tersebut:
“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah dan kikir. Apa bila ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah dan apa bila ia mendapat kebaikan ia kikir.”
b) Adanya lafadz isytirak (bermakna ganda), misalnya lafadz ‘as ‘as (ayat ke-7 surat at-Takwir):
“Wal-laili idzaa ‘as ‘as (demi malam apabila telah hampir meninggalkan gelapnya).”
Lafadz ‘as ‘as dapat di artikan “menjelang” atau “meninggalkan”.
c) Adanya perbedaan makna kata ganti nama (dhamir), misalnya firman Allah dalam ayat ke-10 surat Fathir:
“Kepada-Nya-lah naik perkataan yang baik dan amal yang sholeh menaikkannya.”
Dhomirul fail (kata ganti nama pelaku) yang tersirat didalam kata “menaikkannya” kembali pada kata ganti nama dalam kalimat “kepadanyalah” yaitu allah swt. Dengan demikian makna nash tersebut di atas bermakna: “kepada Allah naik perkataan baik dan Allah menaikkan atau mengangkat amal yang shaleh.
d) Adanya lafadz yang didahulukan (taqdim) dan yang dibelakangkan (ta’khir), misalnya ayat ke-129 surat Tha Ha:
“Dan sekiranya tidak ada ketetapan terdahulu dari tuhanmu, maka pastilah (adzab) telah menimpa mereka, dan sekiranya tidak ada ajal (saat) yang telah ditentukan.”
Di dalam nash tersebut terdapat hal-hal yang didahulukan dan yang dibelakangkan penyebutannya. Dengan demikian maka makna yang sebenarnya dari ayat tersebut adalah: “Dan sekiranya tidak ada ketetapan terdahulu dari tuhanmu, dan tidak ada ajal yang telah ditentukan-Nya, maka pastilah (adzab) telah menimpa mereka.”
Kesamaran makna yang telah ditimbulkan oleh lafadz atau kalimat mujmal yang berkenaan dengan masalah tentu akan hilang jika disertai lafadz atau kalimat lain yang menerangkan maknanya. Lafadz atau kalimat yang diterangkan maknanya itu disebut mufashshal (terinci), atau mufassar (ditafsirkan), atau mubayyan (diterangkan).
Manusia yang pertama yang melakukanya dan mengajarkanya kepada kita adalah Rasulullah saw., saat seorang sahabat membaca firman Allah SWT dalam surat al-An’am
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kedhaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah yang mendapat petunjuk.” (al-An’am:282)
Para sahabat merasa khawatir dan gelisah serta takut terhadap diri mereka karena dhahir ayat itu menjelaskan bahwa tidak ada keimanan dan tidak ada hidayah bagi orang yang keimananya tercampur dengan suatu kedhaliman atau dosa, dan itu mencakup semua kemaksiatan meskipun kecil. Oleh karena itu mereka bertanya, “wahai Rasulullah saw., siapa dari kami yang tidak pernah berbuat dhalim terhadap dirinya?” Rasulullah menjawab, “pemahamanya tidak seperti yang kalian duga itu, namun maksudnya (kedhaliman) itu adalah kemusyrikan. Apakah kalian tidak membaca perkataan hamba yang saleh, ”…sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah kedhaliman yang besar.” (Luqman:13).
Sebagaiman Nabi saw. mengingkari dengan sangat terhadap sebagian sahabat yang bertengkar tentang qadar, dengan mengambil satu ayat dan mempertentangkanya dengan ayat lain. Mengetaui itu Rasulullh saw. menegur mereka dengan marah. Lalau beliau bersabda:
اََبِهَذَا أُمِرْتُمْ؟ أَو لِهَذَا خُلِقْتُمْ؟ تَضْرِبُوْنَ كِتَابَ اللهِ بَعْضَهُ بِبَعْضٍ! إِنَّ اللهَ أَنْزَلَ كِتَابَهُ يُصَدِّقُ بَعْضُهُ بَعْضًا
“Apakah kaliah diperintahkan untuk melakukan hal ini, ataukah kalian diciptakan untuk ini! Kalian mengkonfrontasikan satu bagian al-Qur’an dengan bagian lainya, sementara Allah menurunkan kitab-Nya untuk saling membenarkan satu dengan yang lain”.
Penafsir yang paling sempurna adalah yang mengikuti manhaj Nabi dalam menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an seperti yang dilakukan oleh imam Ibnu Katsir. Dalam menafsirkan suatu ayat, ia menyebut ayat lain yang sama denganya, atau menguatkanya, atau menjelaskanya, atau mempersempit pengertiannya, atau mengkhususkannya.
Lihatlah pembukaan surat al-Fatihah ayat 1
الحمد لله رب العالمين
“segala puji bagi Allah tuhan semesta alam”
Disitu tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan rububiyah (ketuhanan) itu, namun hal itu dijelaskan dalam firman Allah SWT,
“sucikankah nama tuhanmu yang maha tinggi, yang menciptakan dan menyempurnaan (penciptaan-Nya)dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk,” (al-A’la: 1-3)
Disini tampak jelas rububiyah-Nya pada makhluk secara sama, kemudian memberikan takdir dan memberikan hidayah. Demikian juga surat al-Fatihah tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan “sekalian alam”, dan hal itu dijelaskan dalam surat asy-Syu’ara’ dalam dialog antara Nabi Musa as dan Fir’aun,
“Fir’aun bertanya, siapa tuhan semesta alam itu? Musa menjawab, tuhan pencipta langit dan bumi dan apa-apa yang diantara keduanya. (itulah tuhanmu), jika kamu sekalian (orang-orang) mempercayaiNya.” (Asy-Syu’ara’:23-24)
Juga yang menjelaskan bahwa “sekalian alam” itu mencakup langit dan bumi serta apa yang berada didalamnya.
Bacalah juga dalam surat al-Fatihah itu,
“yang menguasai hari pembalasan”
Kemudian baca tafsirnya dalam surat al-Infithar dalam firman Allah SWT,
“Tahukah kamu apa hari pembalasan itu? Sekali lagi, tahukah kamu apakah hari pembalasan itu? (yaitu) hari (ketika) seseorang tidak berdaya sedikitpun untuk menolong orang lain. Dan segala urusan pada hari itu dalam kekuasaan Allah.” (al-Infithar: 17-19)
Ungkapan yang paling bagus tentang tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an adalah apa yang di ungkapkan oleh imam Muhammad bin Ibrahim al-Yamani yang terkenal dengan ibnu Wazir dalam karyanya yang bagus: Liitsar al-Haq ‘ala al-Khalq. Ia berkata,
“Tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an adalah diulangnya penyebutan suatu hal, dan dalam satu ayat di ungkapkan dengan lebih jelas dan terperinci dari ayat lainnya. Penafsiran semacam ini telah dikumpulkan dalam satu kitab tafsir tersendiri, seperti dikatakan olek syekh taqiyuddin atau ibnu daqiqul aid dalam syarah al-umdah. Dan para penafsir menyebutkan beberapa hal semacam itu.
2. Tafsir al-Qur’an dengan sunnah yang shahih
Kedudukan as-Sunnah bagi al-Qur’an sebagai penjelasan dan syarah untuk al-Qur’an, menjelaskan yang global, menerangkan yang sulit, membatasi yang mutlak, mengkhususkan yang umum, dan menguraikan ayat-ayat yang ringkas.
وَ أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِلَ إِلَيْهِمْ وَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ.
“Dan kami menurunkan al-Qur’an kepadamu, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan. (an-Nahl: 44)
Nabi Muhammad saw. Terkadang menerangkan dengan perkataan atau perbuatan, kadang kala keduanya. Beliau telah bersabda:
صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِى أُصَلِّى
“sholatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku shalat.” (H.R. Bukhari)
Syaikhul islam Ibnu Taimiyah berkata dalam Muqoddimah Fi Ushulut-Tafsir,
“cara penafsiran yang paling shahih adalah al-Qur’an dengan al-Qur’an. Apa yang disebut secara ijmal (global) pada satu tempat diperinci pada tempat lain, dan apa yang disebut secara simple pada satu tempat dijelaskan pada tempat lain.
Jika engkau tidak menemukan itu, maka engkau mengambil sunnah, karena ia adalah penjelas al-Qur’an. Bahkan imam Syafi’i berkata bahwa seluruh apa yang dihukumkan oleh Rasulullah saw. adalah dari apa yang beliau dapat dari al-Qur’an. Allah SWT berfirman,
“sesungguhnya kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yagng telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat.” (an-Nisa’: 105)
Dan Allah berfirman,
“Dan kami tidak menurunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” (an-Nahl: 64)
Jumhur ulama menyatakan bahwa al-Sunnah menempati urutan kedua setelah al-Qur’an. Untuk hal ini al-Suyuti dan al-Qasimi mengemukakan argumentasi rasional dan argumentasi tekstul. Di antara argumentasi itu adalah sebagai berikut:
a) Al-Qur’an bersifat qath’i al-Wurud, sedangkan al-Sunnah bersifat zhanni al-Wurud. Karena itu yang qath’i harus di dahulukan dari pada yang zhanni
b) Al-Sunnah berfungsi sebagai penjabaran al-Qur’an. Ini harus diartikan bahwa yang menjelaskan berkedudukan setingkat di bawah yang dijelaskan.
c) Ada beberapa hadits dan atsar yang menjelaskan urutan dan kedudukan al-Sunnah setelah al-Qur’an. Diantaranya dialog Rasulullah dengan Mu’az bin Jabal yang akan diutus kenegeri Yaman sebagai qadli. Nabi bertanya “dengan apa kau putuskan suatu perkara”? Mu’az menjawab, “dengan kitab Allah”. Jika tidak ada nashnya, maka dengan sunnah Rasulullah, dan jika tidak ada ketentuanya dalam sunnah, maka dengan berijtihad.”
d) Al-Qur’an sebagai wahyu dari sang pencipta, Allah SWT, sedang hadits berasal dari hamba dan utusanya, maka selayaknya bahwa yang berasal dari sang pencipta lebih tinggi kedudukanya dari pada yang berasal dari utusanya.
Ada beberapa ayat al-Qur’an dan hadits yang menyataka bahwa kedudukan as-Sunnah sebagai sumber kedua setelah al-Qur’an dalam ajaran islam.
Surat an-Nisa’ ayat 59 menyatakan:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan ulil amri diantara kamu.”
Surat yang sama ayat 80 berbunyai:
”Barang siapa yang mentaati Rasul itu, susungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barang siapa yang berpaling (dari ketaatanitu), maka kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.”
Selanjutnya dalam hadits Nabi ditegaskan:
“Aku tinggalkan untuk kalian dua perkara atau pusaka, selama kalian kalian berpegang kepada keduanya, kalian tidak akan tersesat, kitabullah (al-Qur’an) dan sunnah Rasul-Nya.” (H.R. Abu Daud)
Untuk menambah keterangan yang dikemukakan di atas, dapat pula dikemukakan bahwa jumhur ulama bersepakat menetapkan sumber hukum islam itu empat, yaitu al-Qur’an, hadits atau sunnah, ijma’ dan qiyas.
Hadits sebagai penjelas atau bayan al-Qur’an itu memiliki bermacam-macam fungsi. Imam Malik bin Anas menyebutkan lima macam fungsi yaitu sebagai bayan at-Taqrir, bayan at-Tafsir, bayan at-Tafsil, bayan at-Bast, bayan at-Tasyri’. Sementara itu imam Syafi’i menyebutkan lima fungsi, yaitu bayan at-Tafsil, bayan at-Takhsis, bayan at-Ta’yin, bayan at-Tasyri’ dan bayan an-Nasakh.
Dalam ar-Risalah, ia menambahkan dengan bayan al-Isyarah. Imam Ahmad bin Hanbal menyebutkan empat fungsi, yaitu bayan at-Ta’kid, bayan at-Tafsir, bayan at-Tasyri’dan bayan at-Takhsis.
C. Kesimpulan
Al-Qur’an dan al-Hadits sebagai pedoman hidup, sumber hukum dan ajaran islam, tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainya. Al-Qur’an, satu bagian darinya saling membenarkan dengan lainya dan satu bagian menafsirkan bagian lainya. Apa yang diungkapkan secara mujmal “global” pada satu tempat diperinci ditampat lain, apa yang tampak samar pada satu tempat dijelaskan ditempat lain, apa yang diungkapkan secara mutlak pada satu tempat dipersempit ditempat lain, apa yang diungkapkan secara umum pada satu redaksi yang dikhususkan pada redaksi yang lain. Oleh karena ayat-ayat dan nash-nash harus dikonfirmasikan satu sama lain, sehingga pemahaman menjadi sempurna dan dapat ditangkap pemahaman yang dimaksud dari nash itu.
Al-Sunnah menempati urutan kedua setelah al-Qur’an. Kedudukan as-Sunnah bagi al-Qur’an sebagai penjelasan dan syarah untuk al-Qur’an, menjelaskan yang global, menerangkan yang sulit, membatasi yang mutlak, mengkhususkan yang umum, dan menguraikan ayat-ayat yang ringkas.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Syuhbah, Muhammad, Kutubu Sittah, Surabaya: Pustaka Progressif, 2006.
Ash-Shalih, Subhi, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus 1999.
Mudasir, Ilmu Hadits, Bandung: Pustaka Setia 2005.
Nata, Abuddin, Al-Qur’an dan Hadits, Jakarta: Raja Grafindo Perkasa, 1996.
Qardhawi, Yusuf, Berinteraksi Dengan Al-Qur’an, terj. Abdul Hayyie Al-Kattani, Jakarta: Gema Insani, 1999.
Suryaman, A. Khaer, Pengantar Ilmu Hadits, Jakarta: IAIN 1982.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar