PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam UUD 1945 tanggungjawab pendidikan bangsa, terutama pendidikan dasar adalah menjadi tanggungjawab pemerintah. Hal ini terutama dijelaskan pemerintah dalam pasal ’31 ayat (2) bahwa “setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. Isu kritis muncul dalam pembahasan ini adalah bagaimana komitmen pemerintah menyikapi amanat konstitusi ini, padahal kita tahu bahwa pendidikan dasar belum dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat, dan biaya pendidikannya sampai saat ini sebagian masih ditanggung masyarakat sendiri. Artinya, pendidikan dasar 9 tahun masih belum benar-benar gratis, bahkan masih terkesan tetap mahal bagi kalangan orang miskin.
Pemikiran tentang reformasi pendidikan didasarkan pada penilaian atas kegagalan pendidikan nasional pada masa Orde Baru. Upaya Orde Baru meningkatkan kualitas dan efektivitas pendidikan tentu dilandasi niat baik dan membawa hasil yang spektakuler jika dibanding dengan orde sebelumnya, tetapi kita tidak bisa mendasarkan pada maksud baik semata. Catatan tentang kegagalan yang mengecewakanpun perlu diungkap secara adil yang meliputi: 1) Kegagalan memberikan pendidikan secara merata kepada anak usia sekolah, yang dikenal dengan wajib belajar (wajar 9 tahun); 2) Kegagalan hasil pendidikan membangun kepribadian yang mantap dan bertanggung jawab pada masyarakat dan bangsa, karena tidak mampu memcahkan masalah, lemah berkomunikasi dan dalam bekerja sama; 3) Konflik yang tak terselesaikan tentang kurikulum sebagai alat perubahan; 4) keterbatasan jumlah anggaran pendidikan dalam APBN; 5) Politisasi lembaga pendidikan dikaitkan dengan pemeliharaan dukungan terhadap rezim Orde Baru oleh birokrasi pendidikan, dan sebagainya.
Reformasi pendidikan sebagai kesempatan yang terbuka setelah tumbangnya rezim Orde Baru dan berfokus pada: 1) Usaha-usaha meningkatkan Anggaran Pendidikan dalam APBN 2001; 2) Perubahan jumlah mata pelajaran di SD; 3) Perubahan paradigma pendidikan dari mengajar ke belajar; 3) Perubahan atau perumusan falsafah pendidikan dalam cara pandang atau memposisikan murid sebagai warga belajar yang bermartabat; dan 4) Perubahan atau perumusan fungsi pendidikan untuk mengembangkan potensi kemanusiaan warga belajar untuk menghadapi masa depan yang komplek dan dinamis (berubah).
Akibat dari kecilnya anggaran pendidikan salah satu pengaruhnya adalah gagalnya arus murid dalam penyelenggaraan wajib belajar. Wajib belajar adalah upaya melaksanakan UUD pasal 31 bahwa “tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran”. Dari pasal ini pemerintah memiliki dua mandat dari UUD 1945 yaitu: aspek kualitatif “mencerdaskan bangsa” dan aspek kuantitatif “tiap warga negara berhak mendapat pengajaran”. Depdiknas sebagai aktor utama dalam pelaksanaan pendidikan, dianggap berhasil apabila 29 juta anak mendapat pendidikan SLTP. Tetapi angka BPS 2005 menunjukkan bahwa 15 juta anak usia sekolah drop-out pada jenjang SD kelas 3, dan 7 juta drop-out SD kelas 4-6.
Dalam kaitan ini dilakukan manusia sejak manusia berada dalam usia yang sangat dini (dalam kandungan sang ibu). Kemudian terus berproses sampai ia mencapai usia dewasa. Proses pendidikan ini bahkan berlangsung tanpa dibatasi usia, kata Jhon Dewey disebut sebagai long life education. Pada prinsipnya bahwa pendidikan merupakan proses yang berkelanjutan dan tidak mengenal titik akhir, ini artinya bahwa berakhirnya pendidikan berarti berakhir pula kehidupan. Tetapi, jika proses pendidikan tidak berjalan dengan baik, yang terjadi adalah pengingkaran terhadap hakikat hidup manusia itu sendiri. Oleh sebab itu, upaya untuk memperlancar proses pendidikan merupakan kewajiban, bukan saja menjadi kewajiban bagi pemerintah, melainkan juga bagi semua masyarakat dan bangsa Indonesia. Hal ini sesuai dengan UUD ’45 pasal 31 ayat (1) yang berbunyi: “tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran,” dan pasal 5 ayat (1) UU No. 20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS menegaskan bahwa ”setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu, bahkan pada pasal 6 ayat (1) dinyatakan bahwa setiap warga negara yang berusia tujuh tahun sampai lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar.”
Pertanyaan yang perlu disampaikan di sini adalah tanggung jawab siapa pendidikan itu? Jawabannya adalah seperti yang dijelaskan dalam GBHN bahwa pendidikan berlangsung seumur hidup dan dilaksanakan dalam lingkungan rumah tangga, sekolah, dan masyarakat. Oleh sebab itu, “pendidikan adalah tanggung jawab kita bersama, tanggung jawab seluruh bangsa Indonesia.” Namun dalam kontek UUD 1945 nampaknya tanggungjawab pendidikan bangsa, terutama pendidikan dasar (SD dan SMP) adalah menjadi tanggungjawab pemerintah. Hal ini terutama dijelaskan pemerintah dalam pasal ’31 ayat (2) bahwa “setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. Isu kritis muncul dalam pembahasan ini adalah bagaimana komitmen pemerintah menyikapi amanat konstitusi ini, padahal kita tahu bahwa pendidikan dasar belum dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat, dan biaya pendidikannya sampai saat ini (walaupun ada dana BOS) sebagian masih ditanggung masyarakat sendiri. Artinya, pendidikan dasar 9 tahun masih belum benar-benar gratis, bahkan masih terkesan tetap mahal bagi kalangan orang miskin.
Pendanaan pendidikan merupakan ketersediaan dana dari pemerintah untuk pendidikan. Dana pendidikan adalah sumber daya keuangan yang disediakan untuk menyelenggarakan dan mengelola pendidikan. Pendanaan pendidikan adalah penyediaan sumberdaya keuangan yang diperlukan untuk penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan.Dimana dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 48/2008 tentang Pendanaan Pendidikan telah disetujui dan ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 8 Juli 2008, namun PP itu tidak secara jelas mengatur larangan pungutan di sekolah. PP tersebut, bahkan seakan melegalkan terjadinya pungutan untuk pembiayaan pendidikan di satuan pendidikan sekolah negeri maupun swasta.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana Tujuan Program BOS?
- Apa manfaat dana BOS Dalam Penyelenggaraan Pendidikan?
- Bagaimana permasalahan mengenai implementasi dana BOS (Biaya Operasional Sekolah) sebagai salah satu pembiayaan gratis di sekolah dasar di lapangan?
C. LANDASAN HUKUM
-
- Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.
- Undang-Undang No. 17 Tahun 1965 tentang Pembentukan Badan Pemeriksa Keuangan.
- Undang-Undang No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 43 Tahun 1999.
- Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
- Undang-Undang No. 17 Tahun 2000 tentang Bendaharawan Wajib Memungut Pajak Penghasilan.
- Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
- Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
- Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
- Undang-Undang No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan, Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
- Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
- Peraturan Pemerintah No. 106 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan dalam pelaksanaan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan.
- Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom.
- Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
- Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2008 tentang Wajib Belajar
- Peraturan Pemerintah No. 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan
- Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2006 tentang Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara.
- Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 036/U/1995 tentang Pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar.
- Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 044/U/2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah.
- Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 060/U/2002 tentang Pedoman Pendirian Sekolah.
- Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 078/M/2008 Tentang Penetapan Harga Eceran Tertinggi 145 Judul Buku Teks Pelajaran Yang Yang Hak Ciptanya Dibeli Oleh Departemen Pendidikan Nasional
- Peraturan Mendiknas No. 46 Tahun 2007 Tentang Penetapan Buku Teks Pelajaran Yang Memenuhi Syarat Kelayakan Untuk Digunakan Dalam Proses Pembelajaran
- Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 2 Tahun 2008 Tentang Buku
- Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 12 Tahun 2008 Tentang Penetapan Buku Teks Pelajaran Yang Memenuhi Syarat Kelayakan Untuk Digunakan Dalam Proses Pembelajaran
- Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 28 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 13 Tahun 2008 tentang Harga Eceran Tertinggi Buku Teks Pelajaran Yang Hak Ciptanya Dibeli Oleh Departemen Pendidikan Nasional
- Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 34 Tahun 2008 Tentang Penetapan Buku Teks Pelajaran Yang Memenuhi Syarat Kelayakan untuk Digunakan dalam Proses Pembelajaran (SD: PKn, IPA, IPS, Matematika, Bahasa Indonesia dan SMP: IPA, IPS, Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris)
- Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 41 Tahun 2008 Tentang Penetapan Buku Teks Pelajaran Yang Memenuhi Syarat Kelayakan untuk Digunakan dalam Proses Pembelajaran
- Surat Edaran Dirjen Pajak Departemen Keuangan Republik Indonesia No. SE-02/PJ./2006, tentang Pedoman Pelaksanaan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan Sehubungan dengan Penggunaan Dana Bantuan Operasional (BOS) oleh Bendaharawan atau Penanggung-Jawab Pengelolaan Penggunaan Dana BOS di Masing-Masing Unit Penerima BOS.
D. TUJUAN PENULISAN
- Untuk mengetahui seberapa besarnya dana BOS disalurkan di sekolah dasar.
- Untuk mengetahui arti dalam peraturan perundangan PP No 48 tentang Pendanaan Pendidikan.
E. SISTEMATIKA PENULISAN
Bab I Pendahuluan
- Latar belakang masalah
- Rumusan masalah
- Landasan hukum
- Tujuan penulisan
- Sistematika penulisa
Bab II Deskripsi kebijakan Pembiayaan gratis di sekolah dasar menurut PP No 48 tahun 2008
Bab III Implementasi kebijakan Dana BOS di lapangan
Bab IV kesimpulan dan Rekomendasi
Daftar Pustaka
BAB II
Landasan Teoritis
A. STRUKTUR PERATURAN PEMERINTAH NO 48 TAHUN 2008 TENTANG PENDANAAN PENDIDIKAN
- Bab 1 ketentuan umum terdiri dari 6 pasal yaitu; Pasal 1 terdiri dari 6 ayat ;Pasal 2 terdiri dari 2 ayat ; Pasal 3 terdiri dari ; Pasal 4 ; Pasal 5 ;Pasal 6
- Bab II Tanggung jawab pendanaan pendidikan oleh pemerintah dan pemerintah daerah dibagi menjadi beberapa bagian yaitu enam bagian
- Bagian kesatu tentang biaya investasi satuan pendidikan paragraph 1 biaya investasi lahan pendidikan terdiri 3 pasal. Pasal 7 terdiri dari 7 ayat; pasal 8 terdiri 2 ayat; pasal 9 terdiri dari 3 ayat. Paragraf 2 biaya investasi selain lahan pendidikan terdiri dari 4 pasal yaitu pasal 10 terdiri dari 3 ayat ; pasal 11 terdiri dari 2 ayat ;pasal 12 terdiri dari 2 ayat dan pasal 13 terdiri dari 3 ayat.
- Bagian kedua tentang biaya investasi penyelenggaraan dan atau pengelolaan pendidikan. Paragraph 1 biaya investasi lahan terdiri dari satu pasal yaitu pasal 14 yang ter terdiri dari 2 ayat. Paragraf 2 biaya investasi selain lahan yaitu pasal 15 terdiri 2 ayat.
- Bagian ketiga tentang biaya operasi satuan pendidikan. Paragraph 1 biaya personalia terdiri dari 5 pasal yaitu pasal 16 yang terdiri dari 2 ayat ,pasal 17 juga 2 ayat, pasal 18 ;2 ayat, pasal 19 ; 2 ayat, dan pasal 20 terdiri dari 3 ayat. Paragraph 2 biaya nonpersonalia terdiri dari 4 pasal yaitu pasal 21 terdiri 3 ayat, pasal 22 terdiri dari 2 ayat, pasal 23 terdiri dari 3 ayat, dan pasal 24 terdiri dari 3 ayat.
- Bagian keempat tentang biaya operasi penyelanggaraan dan/atau pengelolaan pendidikan. Paragraph 1 biaya personalia terdiri dari 1 pasal yaitu pasal 25 yang terdiri dari 2 ayat. Paragraph 2 biaya nonpersonalia yaitu hanya pasal 26 yang terdiri dari 2 ayat.
- Bagian kelima tentang bantuan biaya pendidikan dan beasiswa. Terdiri dari 4 pasal yaitu pasal 27 yaitu 2 ayat, pasal 28 dengan 3 ayat, pasal 29 dengan 3 ayat, dan pasal 30 dengan 3 ayat.
- Bagian keenam pendanaan pendidikan di luar negeri. Terdiri dari 1 pasal yautu pasl 31
- Bab III tanggung jawab pendaan pendidikan oleh penyelenggara atau satuan pendidikan yang didirikan masyarakat. Dibagi menjadi beberapa bagian yaitu lima bagian.
- Bagian kesatu biaya investasi satuan pendidikan. Paragraph 1 biaya investasi lahan pendidikan terdidir dari 2 pasal yaitu pasal 32 dengan 4 ayat dan pasal 33 dengan 4 ayat. Paragraph biaya investasi selain lahan pendidikan yaitu pasal 34 dengan 5 ayat dan pasal 35 dengan 4 ayat.
- Bagian kedua biaya investasi penyelenggaraan dan/atau pengelolaan pendidikan. Paragraf 1 baiay investasi lahan pasal 36. Paragraph 2 biaya investasi selain lahan pasal 37.
- Bagain ketiga baiya operasi satuan pendidikan . paragraph 1 biaya personalia pasal 38 dengan 3 ayat dan pasal 39 dengan 4 ayat. Paragraf 2 biaya non personalia pasal 40 dengan 6 ayat dan Pasal 41 dengan 4 ayat.
- Bagain keempat biaya operasi penyelenggaraan dan/atau pengelolaan pendidikan . paragraph 1 baiay personalia pasal 42, paragraph 2 biaya nonpersonalia pasal 43
- Bagian kelima bantuan biaya pendidikan dan beasiswa terdiri dari 3 pasal. Pasal 44 dengan 3 ayat, pasal 45 dengan 2 ayat dan pasal 46.
- Bab IV tanggung jawab pendanaan pendidikan oleh masyarakat diluar penyelenggara dan astuan pendidikan yang didirikan masyarakat. Dibagi menjadi beberapa bagian yaitu 2 bagian
- Bagian kesatu tanggung jawab peserta didik, orang tua, dan/atau wali peserta didik terdiri dari 2 pasal. Pasal 47 dan pasal 48.
- Bagian kedua tanggung jawab pendanaan pendidikan oleh masyarakat di luar penyelenggara dan satuan pendidikan yang didirikan masyarakat serta peserta didik atau orang tua/walinya. Pasal 49 dengan 3 ayat.
- Bab V sumber pendanaan pendidikan terdiri dari 8 pasal. Pasal 50 dengan 4 ayat, pasal 51 dengan 6 ayat, pasal 52, pasal 53, pasal 54, pasal 55 dengan 2 ayat, pasal 56 dengan 2 ayat, pasal 57 dengan 10 ayat.
- Bab VI pengelolaan dana pendidikan dibagi menjadi beberapa bagian yaitu lima bagian.
- Bagian kesatu. Prinsip pasal 58, paragraph 1 prinsip umum pasal 59 dengan 5 ayat, paragraph 2 prinsip khusus terdiri dari 4 pasal.Pasal 60 dengan 3 ayat, pasal 61 dengan 4 ayat, pasal 62 dengan 4 ayat, pasal 63 dengan 2 ayat.
- Bagian kedua. Perencanaan terdiri dari 3 pasal. Pasal 67 dengan 3 ayat.
- Bagian ketiga realisasi penerimaan dan pengeluaran dana pendidikan dengan 6 pasal. Pasal 68 dengan 2 ayat, pasal 69 dengan 3 ayat, pasal 70 dengan 3 ayat, pasal 71 dengan 3 ayat sampai dengan pasal 73.
- Bagian keempat pengawasan dan pemeriksaan teridiri dari 5 pasal. Pasal 74 dengan 2 ayat, pasal 75 dengan 2 ayat, pasal 76 dengan 2 ayat, pasal 77 dengan 2 ayat, pasal 78 dengan 2 ayat.
- Bagian kelima pertanggungjwaban. Pasal 79 dengan 3 ayat.
- Bab VII pengalokasian dana pendidikan dengan 5 pasal. Pasal 80 dengan 2 ayat, pasal 81 dengan 2 ayat, pasal 82 dengan 3 ayat, pasal 83 dengan 3 ayat, dan pasal 84.
- Bab VIII ketentuan peralihan
- Bab IX etentuan penutup terdiri dari 3 pasal, pasal 86, pasal 87, dan pasal 88.
B. Isi dari peraturan pemerintah no 48 tahun 2008 tentang pendanaan pendidikan
1. Pengertian Pendanaan Pendidikan
Dana pendidikan adalah sumber daya keuangan yang disediakan untuk menyelenggarakan dan mengelola pendidikan. Pendanaan pendidikan yaitu pendanaan pendidikan adalah penyediaan sumberdaya keuangan yang diperlukan untuk penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan. pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. Masyarakat yang dimaksud adalah meliputi penyelenggara atau satuan pendidikan yang didirikan masyarakat, peserta didik, orang tua atau wakil peserta didik dan pihak lain selain yang dimaksud sebelumnya yang mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang pendidikan.
2. Jenis Pembiayaan Pendidikan
Sebagaimana tertuang dalam PP Nomor 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan, pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat. Dalam bagian ini akan diuraikan jenis-jenis biaya pendidikan sesuai dengan PP Nomor 48 Tahun 2008 tersebut. Biaya pendidikan dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu Biaya Satuan Pendidikan, Biaya Penyelenggaraan dan/atau Pengelolaan Pendidikan, serta Biaya Pribadi Peserta Didik.
1) Biaya Satuan Pendidikan adalah biaya penyelenggaraan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan yang meliputi:
a) Biaya investasi adalah biaya penyediaan sarana dan prasarana, pengembangan sumber daya manusia, dan modal kerja tetap.
b) Biaya operasional, terdiri dari biaya personalia dan biaya nonpersonalia. Biaya personalia terdiri dari gaji pendidik dan tenaga kependidikan serta tunjangan-tunjangan yang melekat pada gaji. Biaya nonpersonalia adalah biaya untuk bahan atau peralatan pendidikan habis pakai, dan biaya tak langsung berupa daya, air, jasa telekomunikasi, pemeliharaan sarana dan prasarana, uang lembur, transportasi, konsumsi, pajak, asuransi, dll.
c) Bantuan biaya pendidikan yaitu dana pendidikan yang diberikan kepada peserta didik yang orang tua atau walinya tidak mampu membiayai pendidikannya.
d) Beasiswa adalah bantuan dana pendidikan yang diberikan kepada peserta didik yang berprestasi.
2) Biaya penyelenggaraan dan/atau pengelolaan pendidikan adalah biaya penyelenggaraan dan/atau pengelolaan pendidikan oleh pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, atau penyelenggara/satuan pendidikan yang didirikan masyarakat.
3) Biaya pribadi peserta didik adalah biaya personal yang meliputi biaya pendidikan yang harus dikeluarkan oleh peserta didik untuk bisa mengikuti proses pembelajaran secara teratur dan berkelanjutan.
Selain itu pada pasal 6 biaya pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 yang merupakan tanggung jawab Pemerintah dialokasikan dalam anggaran Pemerintah, dan yang merupakan tanggung jawab pemerintah daerah dialokasikan dalam anggaran pemerintah daerah sesuai dengan sistem penganggaran dalam peraturan perundangundangan. Tanggung jawab pendanaa pendidikan oleh pemerintah dan pemerintah daerah dalam bantuan biaya pendidikan dan beasiswa, dijelaskan pada pasal 27 bab II yaitu tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah dalam pendanaan pendidikan sebagai berikut
1) Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai kewenangannya memberi bantuan biaya pendidikan atau beasiswa kepada peserta didik yang orang tua atau walinya tidak mampu membiayai pendidikannya.
2) Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai kewenangannya dapat memberi beasiswa kepada peserta didik yang berprestasi.
Pada pasal 28, bantuan biaya pendidikan mencakup sebagian atau seluruh biaya pendidikan yang harus ditanggung peserta didik, termasuk biaya pribadi peserta didik dan diatur dengan peraturan Menteri atau peraturan menteri sesuai kewenangan masing-masing serta diatur dengan peraturan kepala daerah.
Beasiswa harus mencakup sebagian atau seluruh biaya pendidikan yang harus ditanggung peserta didik, termasuk biaya pribadi peserta didik. Pemberian beasiswa oleh pemerintah diatur dengan peraturan menteri atau peratutan menteri agama sesuai dengan wewenang masing-masing. Pemberian yang diberikan oleh pemerintah daerah harus sesuai dengan pertauran kepala daerah ini semua pada pasal 29.
Satuan pendidikan yang diselanggarakan oleh pemerintah atau Pemda wajib menerima biaya nonpersonalia dari pemerintah atau pemerintah daerah bial terjadi penolakan terhadap bantuan biaya nonpersonalia maka satuan pendidikan harus sesuai dengan yang telah diselenggarakan pemerintah atau pemerintah daerah dan satuan pendidikan dilarang memungut biaya tersebut dari peserta didik, orang tua atau wakil peserta didik. Dan jika terjadi pemungutan maka satuan pendidikan tersebut dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Di bab 3 tentang tanggung jawab pendanaan pendidikan oleh penyelenggara atau satuan pendidikan yang didirikan masyarakat pada bantuan biaya pendidikan dan beasiswa pasal 44 yaitu Penyelenggara atau satuan pendidikan yang didirikan masyarakat memberi bantuan biaya pendidikan atau beasiswa kepada peserta didik atau orang tua atau walinya yang tidak mampu membiayai pendidikannya dan memberi beasiswa kepada peserta didik yang berprestasi. Sumber nya bisa dari :
- penyelenggara atau satuan pendidikan yang didirikan masyarakat;
- Pemerintah;
- pemerintah daerah;
- orang tua/wali peserta didik;
- pemangku kepentingan di luar peserta didik dan orang tua/walinya;
- bantuan pihak asing yang tidak mengikat; dan/atau
- sumber lainnya yang sah.
Pasal 45 bantuan biaya pendidikan dan beasiswa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 mencakup sebagian atau seluruh biaya pendidikan yang harus ditanggung peserta didik, termasuk biaya personal. Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian bantuan biaya pendidikan dan beasiswa oleh penyelenggara atau satuan pendidikan yang didirikan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 diatur dengan peraturan penyelenggara atau satuan pendidikan yang bersangkutan.
Pasal 46 satuan pendidikan pelaksana program wajib belajar yang diselenggarakan masyarakat, yang tidak dikembangkan menjadi bertaraf internasional atau berbasis keunggulan lokal, wajib menerima bantuan biaya nonpersonalia dari Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
Hubungan dengan peraturan perundang-udangan yang lain
D. DESKRIPSI TENTANG PP NO 48 TAHUN 2008
Berdasarkan pada Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I Pasal 1, bahwa yang dimaksud dengan Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia, dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.(Penerbit Asa Mandiri, 2007: 50)
Adapun rumusan pengertian tentang Pendidikan Nasional dapat penulis kemukakan pendapat Ki. Hajar Dewantara, seorang tokoh pendidikan Nasional di Indonesia serta yang diangkat oleh Pemerintah sebagai Bapak Pendidikan, menyatakan sebagai berikut:
“Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang beralaskan garis hidup dari bangsanya dan ditujukan untuk keperluan peri-kehidupan yang dapat mengangkat derajat negara dan rakyatnya, agar dapat bekerja bersama-sama dengan lain-lain bangsa untuk kemulian segenap manusia di seluruh dunia”. (Ahmadi & Uhbiyati, 2001: 190)
Dengan demikian nampak erat sekali hubungan antara seorang nasionalisme dengan keyakinan hidup kebangsaan. Hal ini akan dihayati bagi orang yang menyatakan diri dengan hidup bangsanya dan merasa terikat dengan benang sutera kecintaan yang halus dan suci dengan bangsanya.
S. Mangunsarkoro menyatakan:
“Baru jika si pendidik itu sendiri seorang nasionalis, barulah ia bisa menyiarkan keyakinan kebangsaan itu pada tiap-tiap hal yang diajarkannya kepada murid. Dan karena si pendidik itu seorang nasionalis, maka dengan sendirinya ia dapat melihat pekerjaannya sebagai guru itu dalam lingkungan dan susunan pekerjaan kebangsaan yang luas”. (Ahmadi & Uhbiyati, 2001: 191)
Wajib Belajar Pendidikan Dasar (Wajar Dikdas) 9 tahun gratis memang menjadi impian setiap warga. Namun, pendidikan gratis itu sering disalahartikan. Ada yang mengartikan pendidikan gratis adalah tidak membayar uang sekolah berikut segala keperluannya seperti buku, seragam, dan transportasi. Ada pula yang mengartikan pendidikan gratis hanya meliputi biaya operasional sekolah.
Pengertian Wajar Dikdas gratis versi pemerintah, dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), hanya mencakup biaya operasional sekolah seperti uang sekolah dan gaji guru, serta biaya investasi yang meliputi penyediaan sarana dan prasarana, pengembangan sumberdaya manusia, dan modal kerja tetap yang penggunaannya lebih dari satu tahun.
Sedangkan biaya transportasi siswa dari rumah ke sekolah masih dibebankan pada orangtua murid. Dalam PP No 48 Tahun 2008 tentang Pembiayaan Pendidikan, disebutkan bahwa pemerintah hanya menanggung biaya operasional sekolah seperti gaji pokok bagi pegawai pada satuan pendidikan, tunjangan yang melekat pada gaji bagi pegawai pada satuan pendidikan, tunjangan struktural bagi pejabat structural pada satuan pendidikan, dll.
Pengertian biaya dalam ekonomi adalah pengorbanan-pengorbanan yang dinyatakan dalam bentuk uang, diberikan secara rasional, melekat pada proses produksi, dan tidak dapat dihindarkan. Bila tidak demikian, maka pengeluaran tersebut dikategorikan sebagai pemborosan.
Lembaga pendidikan sebagai produsen jasa pendidikan, seperti halnya pada bidang usaha lainnya menghadapi masalah yang sama, yaitu biaya produksi, tetapi ada beberapa kesulitan khusus mengenai penerapan perhitungan biaya ini. J. Hallack mengemukakan tiga macam kesulitan, yaitu berkenaan dengan (1) definisi produksi pendidikan, (2) identifikasi transaksi ekonomi yang berhubungan dengan pendidikan, dan (3) suatu kenyataan bahwa pendidikan mempunyai sifat sebagai pelayanan umum.
Biaya pendidikan dapat dikategorikan dalam beberapa cara, antara lain biaya ini dikategorikan atas (1) biaya langsung dan biaya tidak langsung, (2) biaya sosial dan biaya privat, dan (3) biaya moneter dan biaya non-moneter.
Dilihat dari luasnya, analisis pengeluaran pendidikan dapat dilakukan secara keseluruhan dan secara mikro. Studi biaya pendidikan secara keseluruhan atau nasional menyangkut (1) biaya pendidikan dan produk domestik bruto, dan (2) unsur-unsur biaya pendidikan. Analisis biaya secara mikro, adalah analisis biaya pada tingkat lembaga, yaitu pada tingkat distrik/yayasan dan pada tingkat satuan pendidikan.
Sebagaimana dijelaskan oleh Davis (Robbins, 1999) bahwa: ‘The primaryobjectie at business firm is economic service”. Tidak ada organisasi yang dapat hidup jika tidak memberikan nilai ekonomis. Nilai ekonomis ini dikembangkan melalui aktivitas yang dilakukan oleh para anggotanya untuk menciptakan produk atau jasa organisasi. Aktivitas-aktivitas tersebut kemudian menghubungkan tujuan organisasi dengan hasilnya. Adalah pekerjaan manajemen untuk mengelompokan aktivitas-aktivitas tersebut sedemikian rupa sehingga membentuk sturuktur organisasi. Davis kemudian berkesimpulan bahwa dengan demikian struktur organisasi bergantung pada tujuan-tujuan organisasi.
Keuangan dan pembiayaan merupakan salah satu sumber daya yang secara langsung menunjang efektifitas dan efisiensi pengelolaan pendidikan. Hal tersebut lebih tersa lagi dlam implementasi Manajemen Berbasis Sekolah, yang menuntut kemampuan sekolah untuk merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi serta mempertanggungjawabkan pengelolaan dana secara transparansi kepada masyarakat dan pemerintah.
Dalam penyelenggaraan pendidikan, keuangan dan pembiayaan merupakan potensi yang sangat menentukan dan merupakan bagian yang tak trpisahkan dalam kajian manajemen pendidikan. Komponen-komponen keuangan dan pembiayaan pada suatu sekolah merupakan komponen produksi yang menentukan terlaksananya kegiatan belajar-mengajar di sekolah bersama dengan komponen-komponen yang lain. Dengan kata lain setiap kegiatan yang dilakukan sekolah memerlukan biaya, baik itu disadari maupun yang tidak disadari. Komponen keuangan dan pembiayaan ini perlu dikelola sebaik-baiknya, agar dana-dana yangada dapat dimanfaatkan secara optimal untuk menunjang tercapainnya tujuan pendidikan. Hal ini penting, terutama dalam rangka MBS, yang memberikan kewewenangan kepada sekolah untuk mencari dan memanfaatkan berbagai sumber dana sesuai dengan kebutuhan masing-masing sekolah karena pada umumnya dunia pendidikan selalu dihadapkan pada masalah-masalah keterbatasan dana, apalagi dalam kondisi krisis pada sekarang ini.
Sumber keuangan dan pembiayaan pada suatu sekolah secara garis besar dapat dikelompokkan atas tiga sumber, yaitu:
- Pemerintah, baik pemerintah pusat, daerah maupun kedua-duanya, yang bersifat umum atau khusus dan diperuntukkan bagi kepentingan pendidikan.
- Orang tua atau peserta didik
- Masyarakat, baik mengikat maupun tidak mengikat. Berkaitan dengan penerimaan keuangan dari orang tua dan masyarakat ditegaskan dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional 1989 bahwa karena keterbatasan kemampuan pemerintah dalam pemenuhan kebutuhan dana pendidikan, tanggungjawab atas pemenuhan dana pendidikan merupaka tanggungjawab bersama antara pemerintah, masyarakat dan orang tua. Adapun dimensi pengeluaran meliputi biaya rutin dan biaya pembangunan.
Biaya rutin adalah biaya yang harus dikeluarkan dari tahun ke tahun seperti gaji pegawai (guru dan non guru), serta biaya operasional, biaya pemeliharaan gedung, fasilitas dan alat-alat pengajaran (barang-barang habis pakai). Sementara biaya pembangunan, misalnya biaya pembelian atau pengembangan tanah, pembangunan gedung, perbaikan atau rehab gedung. Dalam implementasi MBS, manajemen komponen keuangan harus dilaksanakan dengan baik dan teliti mulai dari tahap penyusunan anggaran, penggunaan sampai pengawasan dan pertanggungjawaban sesuai dengan ketentuan yang berlaku agar semua dana sekolah benar-benar dimanfaatkan secara efektif, efisien, tidak ada kebocoran-kebocorann serta bebas dari korupsi. Kepala sekolah dalam hal ini, sebagai manajer berfungsi sebagai otorisator dan dilimpahi fungsi ordonator untuk memerintahkan pembayaran. Namun tidak dibenarkan melaksanakan fungsi bendaharawan karena berkewajiban melakukan pengawasan kedalam. Bendaharawan, disamping mempunyai fungsi-fungsi bendaharawan juga dilimpahi fungsi ordinator untuk menguji atas pembayaran.
Tiap unit kerja selalu berhubungan masalah keuangan, demikian pula sekolah. Persoalan yang menyangkut keuangan sekolah pada garis besarnya berkisar pada uang sumbangan pendidikan, uang kesejahteraan personal dan gaji serta keuangan yang berhubungan langsung dengan penyelenggaraan sekolah.
BAB III
PEMBAHASAN
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMBIAYAAN GRATIS SEKOLAH DASAR DI LAPANGAN
A. PROFESIONAL
Penyelenggaraan pendidikan merupakan salah satu instrument bagi pemerintah dalam menerapkan tujuan bangsa yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Globalisasi dan perkembangan teknologi yang memaksakan pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan yang bermutu. Namun, kenyataannya ketika pemerintah mengurangi subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) kekhawatiran pada masyarakat menengah ke bawah terhadap daya beli yang menurun akan berdampak negatif pada partisipasi masyarakat terhadap pendidikan. Misalnya terdapat anak-anak di umur 7-15 tahun terancam putus sekolah, akibat naiknya biaya sekolah. Sehingga pemerintah mengalokasikan subsidi silang yaitu perencanaan subsidi sekolah sebesar 20% dari APBN dan APBD.
Masukan instrumental (instrumental input) yang sangat penting dalam penyelenggaraan pendidikan (sekolah) adalah biaya pendidikan. Biaya pendidikan terbukti tidak dapat diabaikan dalam proses pendidikan (sekolah). Supriadi (2004:3) mengartikan biaya (cost) yakni semua jenis pengeluaran yang berkenaan dengan penyelenggaraan pendidikan, baik dalam bentuk uang maupun barang dan tenaga (yang dapat dihargakan dengan uang). Contohnya adalah iuran siswa, biaya sarana fisik, buku sekolah, dan guru.
1. Pengertian Biaya Operasional sekolah (BOS)
BOS adalah program pemerintah untuk penyediaan pendanaan biaya nonpersonalia bagi satuan pendiidkan dasar sebagai pelaksana program wajib belajar.
2. Tujuan program BOS adalah
- menggratiskan seluruh siswa miskin di tingkat pendidikan dasar dari beban biaya operasional sekolah, baik di sekolah negeri maupun sekolah swasta
- menggratiskan seluruh siswa SD negeri dan SMP negeri terhadap biaya operasional sekolah, kecuali pada Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) dan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI)
- meringankan beban biaya opersional sekolah bagi siswa di sekolah swasta. Hal tersebut menggambarkan bahwa program BOS bermanfaat pada penuntasan wajib belajar 9 tahun, yakni sekolah dasar dan sekolah menengah pertama negeri maupun swasta. Sekolah program kejar Paket A dan B serta SMP terbuka tidak termasuk dalam sasaran dari PKPS-BBM (Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak) bidang pendidikan, karena hampir semua komponen dari ketiga program tersebut dibiayai oleh pemerintah (Santoso, 2007: 20). Madrasah Diniyah juga tidak berhak memperoleh BOS, karena siswanya telah terdaftar di sekolah reguler yang telah menerima BOS.
3. Waktu Penyaluran Dana
Setiap tahun anggaran, dana BOS akan diberikan selama 12 bulan untuk periode Januari sampai Desember, yaitu semester 2 tahun pelajaran 2008/2009 dan semester 1 tahun pelajaran. Penyaluran dana dilakukan setiap periode 3 bulanan, yaitu periode Januari-Maret, Paril-Juni, Juli-September dan Oktober-Desember. Penyaluran diharapkan dilakukan di bulan pertama setiap triwulan.
4. Manfaat BOS Dalam Penyelenggaraan Pendidikan
Membantu peserta didik untuk mandapatkan pendidikan yang bebas biaya dan bermutu. Masyarakat mempunyai pengharapan yang begitu tinggi dengan adanya pendanaan biaya operasional pendidikan oleh pemerintah dan pemerintah daerah dapat berlangsung dengan semestinya dan pihak-pihak yang terkait bertanggung jawab dalam pelaksanaannya. Tahap awal penerapan program ini adalah dengan membebaskan biaya operasional bagi peserta didik yang kurang mampu. Setelah penerapan pertama berlangsung sukses, pemerintah mengubah tujuan BOS menjadi program pendidikan gratis bagi peserta didik di sekolah dasar dan menengah pertama negeri dan swasta. Tujuan tersebut memaksakan sekolah menyelenggarakan pendidikan yang bermutu tanpa mengurangi mutu pendidikan yang telah dicapai oleh sekolah.
Program BOS dalam pemanfaatannya adalah untuk pemerataan dan perluasan akses, program BOS juga merupakan program untuk peningkatan mutu, relevansi dan daya saing serta untuk tata kelola, akuntabilitas dan pencitraan publik. Melalui program ini yang terkait dengan pendidikan dasar 9 tahun, setiap pengelola program pendidikan harus memperhatikan hal-hal berikut:
1) BOS harus menjadi sarana penting untuk meningkatkan akses dan mutu pendidikan dasar 9 tahun
2) tidak adanya peserta didik miskin yang putus sekolah
3) lulusan SD harus diupayakan keberlangsungan pendidikannya ke SMP;
4) kepala sekolah mengajak peserta didik SD yang akan lulus dan berpotensi tidak melanjutkan sekolah ditampung di SMP sementara, apabila terdapat peserta didik SMP yang akan putus sekolah agar diajak kembali ke bangku sekolah
5) kepala sekolah bertanggung jawab mengelola dana BOS secara transparan dan akutabel
6) BOS bukan penghalang bagi peserta didik, orang tua, atau walinya dalam pemberian sumbangan sukarela yang tidak mengikat kepada sekolah. Hal-hal diatas menjelaskan peranan BOS dalam penyelenggaraan pendidikan dasar 9 tahun. BOS adalah bantuan biaya operasional sekolah namun bukan penghalang bagi sumbangan sekolah.
Dalam menetapkan alokasi dan BOS tiap sekolah perlu dipertimbangkan bahwa dalam satu tahun anggaran terdapat dua periode tahun pelajaran yang berbeda, sehingga perlu acuan sebagai berikut: alokasi dana BOS untuk periode tertentu misalnya Januari-Juli 2008-2009 didasarkan pada jumlah siswa tahun 2009, alokasi BOS periode Juli-Desember 2009 didasarkan pada data siswa tahun pelajran 2009/2010 (sekolah diharapkan mengirimkan jumlah data siswa kepada Tim Manajemen BOS Kab/Kota setelah pendaftaran siswa baru tahun 2009 selesai. Untuk besar biaya satuan BOS yang diterima oleh sekolah termasuk BOS Buku, dihitung berdasarkan jumlah dengan ketentuan sebagai berikut :
a) SD/SDLB di kota Rp.400.000,00/siswa/tahun,
b) SD/SDLB di kabupaten Rp.397.000,00/siswa/tahun,
Agar pelaksanaan pendidikan gratis dapat terlaksana dan tercapai sesuai dengan target, maka untuk penyaluran dananya dilakukan secara langsung dari lembaga penyalur yang diberikan kewenangan oleh pemerintah ke rekening sekolah. Oleh karena itu, sekolah penerima BOS harus memiliki rekening sekolah atas nama lembaga yang harus di tandatangani oleh kepala sekolah dan bendahara BOS. Cara tersebut di anggap efektif dalam mekanisme penyaluran dana BOS ke sekolah-sekolah yang dituju. Pengambilan dana BOS dapat dilakukan sewaktu-waktu sesuai keperluan sekolah. Pasalnya, dengan dana BOS yang ada seyogyanya telah membantu pemerintah daerah meringankan biaya operasional yang ditanggung sekolah. Hal ini membuktikan bahwa BOS digunakan untuk membantu kegiatan sekolah yang sesuai dengan kebutuhan sekolah untuk penyelenggaraan pendidikan, sehingga sekolah yang telah mampu memenuhi kebutuhannya dapat mengalihkan dana BOS tersebut kepada siswa yang tidak mampu agar pelaksanaan pendidikan gratis terlaksana. Namun dalam buku panduan BOS tahun 2009, penyaluran dana disalurkan secara bertahap, yaitu setiap periode tiga bulan, disalurkan pada bulan awal dari periode tiga bulan.
Penggunaan dana BOS di atur oleh pemerintah sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan dalam dunia pendidikan. Buku panduan BOS versi 2006 dalam Santoso (2007: 25) diatur penggunaan dana BOS sebagai berikut:
Dana BOS digunakan untuk :
- Pembiayaan seluruh kegiatan dalam rangka penerimaan siswa baru
- Pembelian Buku teks pelajaran dan buku referensi untuk dikoleksi di Perpustakaan.
- Pembelian bahan-bahan habis pakai, misalnya kapur tulis peralat.
- Pembiayaan kegiatan kesiswaan: program remedial, program pengayaan, olahraga, kesenian, karya ilmiah remaja, pramuka, palang merah remaja dan sejenisnya.
- Pembiayaan ulangan harian, ulangan umum, ujian sekolah dan laporan hasil belajar siswa.
- Pengembangan Profesi Guru: pelatihan KKG/MGMP dan KKKS/MKKS.
- Pembiayaan perawatan sekolah. Misalnya pengecatan dan perbaikan atap bocor.
- Pembiayaan langganan daya dan jasa: listrik, air, telepon, termasuk untuk pemasangan baru jika sudah ada jaringan di sekitar sekolah.
- Pembayaran honorarium guru dan tenaga kependidikan honorer sekolah yang tidak di biayai pemerintah dan/atau pemerintah daerah. Tambahan intensif bagi kesejahteraan guru PNS di tanggung sepenuhnya oleh pemerintah daerah.
- Pemberian bantuan biaya transportasi bagi siswa miskin.
- Khusus untuk pesantren Salafiyah dan sekolah agama non Islam, dana BOS dapat digunakan untuk biaya asrama/pondokan dan membeli peralatan ibadah.
- Pembiayaan Pengelolaan BOS: ATK, penggandaan, surat menyurat dan penyusunan laporan.
Telah jelas apabila program BOS dapat diartikan sebagai bantuan pendidikan gratis bagi siswa yang berada di jenjang pendidikan SD. Pelaksanaan BOS ini pun masih perlu monitoring dan evaluasi oleh petugas yang ditunjuk dari sekolah sebagai usaha bagi pemerintah dan pemerintah daerah untuk merealisasikan penuntasan pendidikan wajib belajar dasar 9 tahun yang bermutu, agar dapat menciptakan masyarakat yang beradab dan berdaya saing global.
Pada dasarnya penciptaan masyarakat beradab adalah usaha untuk membuat kehidupan yang lebih baik, apabila mengingat sejarah bangsa kita pada abad sebelum merdeka kita berada pada suatu kondisi yang sangat jauh dari kehidupan yang cerdas. Maka bangsa Indonesia perlu perubahan melalui transformasi budaya. Pendidikan adalah jawaban dari pernyataan sebelumnya. Dengan pendidikan, budaya-budaya yang ada dapat terjamin keberadaannya, terutama pada pendidikan dasar.
B. Penggunaan dana BOS yang dilarang
1) untuk disimpan dalam jangka waktu lama dengan maksud dibungakan; dipinjamkan kepada pihak lain: membiayai kegiatan yang bukan merupakan prioritas sekolah
2) membayar bonus, transportasi, atau pakaian yang tidak berkaitan dengan kepentingan murid
3) melakukan rehabilitasi sedang dan berat
4) membangun gedung/ruanganbaru
5) membeli bahan atau peralatan yang tidak mendukung prosespembelajaran
6) menanam saham dan
7) membiayai kegiatan yang telah dibiayai sumber dana pemerintah pusat atau daerah.
C. FAKTA-FAKTA PENYELEWANGAN DANA BOS IRONI “SEKOLAH GRATIS”
-
- Sebanyak 62.85% sekolah tidak mencantumkan penerimaan BOS dan DPL (indikasi korupsi)
- Sebanyak 62,84% sekolah yang disamping tidak mencantumkan seluruh penerimaan dana BOS dan DPL dalam RAPBS dengan nilai Rp 479,96 miliar [TA 2007] dan Rp 144, 23 miliar [TA 2008 semester I]. Padahal salah satu media perencanaan yang dipakai sekolah dalam pengelolaan keuangannya adalah Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS).
- Penyalahan ini disebabkan oleh :
- Sebanyak 62.85% sekolah tidak mencantumkan penerimaan BOS dan DPL (indikasi korupsi)
1) petunjuk teknis BOS dalam penyusunan RAPBS tidak mengatur
secara jelas cara penyusunan dan mekanisme pengesahan dari RAPBS menjadi APBS dan
secara jelas cara penyusunan dan mekanisme pengesahan dari RAPBS menjadi APBS dan
2) Kepala sekolah tidak transparan dalam mengelola dana sekolah.
Sebanyak 4.12% sekolah tidak mengratiskan biaya operasional sekolah pada siswa didiknya.Dari 4.127 sekolah di 62 kabupaten/kota, diperoleh 47 SD (27 SD Negeri dan 20 SD Swasta) dan 123 SMP (95 SMP Negeri dan 28 SMP Swasta) di 15 kabupaten/kota belum membebaskan biaya/iuran bagi siswa tidak mampu di sekolah dan tetap memungut iuran/biaya pendidikan seperti iuran ekstra kurikuler, sumbangan pengembangan sekolah, dan iuran komputer kepada siswa.
2. Dana BOS sebesar Rp28.14 miliar digunakan tidak sesuai peruntukannya (indikasi korupsi).Sesuai dengan peraturan dan perundangan, dana BOS diperuntukkan untuk :
-
- pembiayaan seluruh kegiatan Penerimaan Siswa Baru (PSB)
- pembelian buku tekspelajaran dan buku penunjang untuk koleksi perpustakaan
- pembelian bahan-bahan habis pakai, misalnya buku tulis, kapur tulis, pensil, bahan praktikum, buku induk siswa, buku inventaris, langganan koran, gula, kopi dan teh untuk kebutuhan sehari-hari di sekolah
- pembiayaan kegiatan kesiswaan, program remedial, program pengayaan siswa, olahraga, kesenian, karya ilmiah remaja, pramuka, palang merah remaja dan sejenisnya
- pembiayaan ulangan harian, ulangan umum, ujian sekolah dan laporan hasil belajar siswa
- pengembangan profesi guru antara lain pelatihan, KKG/MGMP dan KKKS/MKKS
- pembiayaan perawatan sekolah seperti pengecatan, perbaikan atap bocor, perbaikan pintu dan jendela, perbaikan meubelair dan perawatan lainnya
- pembiayaan langganan daya dan jasa
- pembayaran honorarium guru dan tenaga kependidikan honorer sekolah
- pemberian bantuan biaya transportasi bagi siswa miskin
- pembiayaan pengelolaan BOS dan bila seluruh komponen diatas telah terpenuhi pendanaannya dari BOS dan jika masih terdapat sisa dana maka sisa dana BOS tersebut dapat digunakan untuk membeli alat peraga, media pembelajaran sekolah.
Permasalahan-permasalahan mengenai dana BOS bisa diliat dari berbagai artikel sebagai literatur informasai, seperti:
1. Banyak Pengelola Masih Ragu Gunakan Dana BOS
TASIKMALAYA, (PRLM),-Para “stakeholder” di tingkat sekolah sering serba ragu dalam menggunakan bantuan dana BOS (bantuan opersional sekolah), sebab antara anggaran yang dialokasikan dengan penggunaannya senantiasa ada perbedaan, sehingga hal itu menjadi masalah yang menjadi temuan tim pemeriksa.
Wakil Ketua PGRI Kota Tasikmalaya, Drs Derry Daswara, Rabu (21/1) melalui telefon selularnya mengatakan hal tersebut, ketika ditanya tentang permasalahan yang ditemui pada pelaksanaan bantuan dana BOS.
Namun, Kadisdik Kota Tasikmalaya, Endang Suherman membantah, penyaluran dana BOS banyak ditemukan masalah di lapangan. Justru untuk mengantisipasi kerawanan terkait dana bantuan terhadap sekolah, ratusan guru se-Kota Tasikmalaya diikutsertakan dalam workshop rencana pengembangan sekolah (RPS), agar sekolah bisa menyusun RPS dengan benar dan klop dengan kebijakan pemerintah.
Demikian dikemukakan Kepala Dinas Pendidikan (Kadisdik) Kota Tasik, Endang Suherman seusai membuka workshop RPS di aula Al Mutaqin, Jl A.Yani, Kota Tasik, Rabu (21/1).
“Kegiatan itu justru di antaranya untuk mengantisipasi, dan sebagai payung hukum bagi sekolah. Kegiatan itu pun guna meningkatkan akuntabiltas sekolah dalam menyusun RPS ke depan. Untuk masalah relatif, paling tidak ini sebuah proses, pemahaman untuk pelaksanaan program sekolah ke depan,” jelas Endang Suherman.
Ungkapan yang sama disampaikan Ketua Panitia, Dadang Abdul Fatah, yang menjabarkan bahwa kegiatan itu dilakukan untuk menyamakan persepsi antara program pendidikan dengan kebijakan pemerintah.
- 2. Bos Belum Selesaikan Masalah
FAKTA di lapangan, ada sekolah yang merasa terbantu dengan program pemberian bantuan opersional sekolah (BOS).
Namun, ada pula sekolah yang mengaku pemberian BOS tak memberi jawaban terhadap persoalan keuangan.
Kepala Sekolah SMPN I Bantul Bambang Edy adalah salah satu guru yang mengaku tidak menemui kendala terkait pengelolaan dana BOS. Sebab, pencairan dana BOS yang dikirimkan melalui rekening sekolah selalu tepat waktu.
Hanya, pada tahun ajaran baru 2009/2010, Bambang mengaku belum mengetahui apakah telah cair atau belum. Sebab, ia belum mengecek ke bagian keuangan.
“Kami juga sudah diberi pelatihan oleh Dinas Pendidikan Dasar Bantul terkait penggunaan dana BOS, dan laporan penggunaan dana BOS. Sehingga kami tidak menemui kendala,” kata Bambang.
Hanya, pada tahun ajaran baru 2009/2010, Bambang mengaku belum mengetahui apakah telah cair atau belum. Sebab, ia belum mengecek ke bagian keuangan.
“Kami juga sudah diberi pelatihan oleh Dinas Pendidikan Dasar Bantul terkait penggunaan dana BOS, dan laporan penggunaan dana BOS. Sehingga kami tidak menemui kendala,” kata Bambang.
Namun, ia mengakui sering disambati SMP Negeri lain. Keluhan tersebut menyangkut dana BOS sebesar Rp 570 ribu per siswa per tahun asal APBN, dan BOP Rp 130 ribu per siswa per tahun dari Pemkab Bantul.
Dana tersebut tidak cukup untuk membiayai operasional sekolah. “Sehingga untuk mengatasi masalah tersebut tidak ada jalan lain kecuali sekolah melalui komite sekolah menarik dana secara sukarela dari orang tua siswa. Tapi, dana sukarela itu sifatnya incidental. Tidak setiap bulan,” ungkap Bambang.
Berdasarkan perhitungan, per siswa per tahun membutuhkan dana sebesar Rp 1.150.000. Padahal, total dana BOS dan BOP hanya Rp 700 ribu. Karena totalnya kurang dari Rp 1.150.000, dan tidak cukup untuk membiayai operasional sekolah, sekolah terpaksa menarik iuran secara isendental.
Iuran tersebut digunakan untuk biaya pembangunan gedung, les IPA dan keperluan lain yang sifatnya mendadak, atau dana BOS tidak mencukupi. Sebelum ditarik, orang tua murid diundang ke sekolah untuk membicarakan setuju dan tidaknya penarikan tersebut.
Dana tersebut tidak cukup untuk membiayai operasional sekolah. “Sehingga untuk mengatasi masalah tersebut tidak ada jalan lain kecuali sekolah melalui komite sekolah menarik dana secara sukarela dari orang tua siswa. Tapi, dana sukarela itu sifatnya incidental. Tidak setiap bulan,” ungkap Bambang.
Berdasarkan perhitungan, per siswa per tahun membutuhkan dana sebesar Rp 1.150.000. Padahal, total dana BOS dan BOP hanya Rp 700 ribu. Karena totalnya kurang dari Rp 1.150.000, dan tidak cukup untuk membiayai operasional sekolah, sekolah terpaksa menarik iuran secara isendental.
Iuran tersebut digunakan untuk biaya pembangunan gedung, les IPA dan keperluan lain yang sifatnya mendadak, atau dana BOS tidak mencukupi. Sebelum ditarik, orang tua murid diundang ke sekolah untuk membicarakan setuju dan tidaknya penarikan tersebut.
“Besarnya iuran bervariasi. Sesuai kemampuan orang tua,” terang Bambang. Karena itu, sekolah berharap Bupati Bantul Idham Samawi membantu mengatasi masalah kekurangan biaya yang dihadapi sekolah. Kepala Sekolah SMP Nasional Bantul Nuzul Antono mengatakan, dana BOS telah cair 7 Juli lalu.
Namun, dana yang diterima tidak mencukupi untuk membiayai kebutuhan sekolah. Dana BOS dan BOP yang totalnya sebesar Rp 700 ribu per siswa per tahun tidak mencukupi untuk membiayai operasional sekolah.
Berdasarkan perhitungan, biaya yang harus dikeluarkan per siswa per tahun sebesar Rp 950 ribu. “Karena BOS dan BOP tidak cukup, kami sekolah menarik iuran Rp 20 ribu per siswa per bulan yang kami sebut Iuran Dewan Sekolah,” terang Nuzul didampingi bendahara BOS Mudal Wardono.
Iuran digunakan untuk peningkatan mutu siswa, seperti try out, mid semester, les dan kegiatan ekstra kulikuler. Nuzul menambahkan jumlah karyawan di sekolah SMP Nasional Bantul sebanyak 24 orang. Terdiri15 orang guru, dan sembilan orang karyawan. Setiap orang digaji Rp 375 ribu per bulan.
“Gaji guru hitungannya per jam Rp 5 ribu. Kami tidak bisa memberi gaji besar karena keuangan sekolah minim. Padahal, sekolah lain banyak yang berani memberi gaji guru Rp 10 ribu per jam,” terang Nuzul.
Di Sleman, sekolah harus memutar otak untuk menyiasati kekurangan meski ada BOS dan BOP. Wakil Kepala Sekolah SMPN 2 Sleman Harminastiti mengungkapkan harus melakukan pemangkasan anggaran.
Dana pemangkasan biaya peningkatan mutu guru dikumpulkan untuk membeli perlengkapan sekolah yang tidak masuk kategori BOS. Sebelum program sekolah gratis diterapkan Januari 2009, komite sekolah memungut iuran sebesar Rp 15 ribu kepada setiap siswa.
Namun, dana yang diterima tidak mencukupi untuk membiayai kebutuhan sekolah. Dana BOS dan BOP yang totalnya sebesar Rp 700 ribu per siswa per tahun tidak mencukupi untuk membiayai operasional sekolah.
Berdasarkan perhitungan, biaya yang harus dikeluarkan per siswa per tahun sebesar Rp 950 ribu. “Karena BOS dan BOP tidak cukup, kami sekolah menarik iuran Rp 20 ribu per siswa per bulan yang kami sebut Iuran Dewan Sekolah,” terang Nuzul didampingi bendahara BOS Mudal Wardono.
Iuran digunakan untuk peningkatan mutu siswa, seperti try out, mid semester, les dan kegiatan ekstra kulikuler. Nuzul menambahkan jumlah karyawan di sekolah SMP Nasional Bantul sebanyak 24 orang. Terdiri15 orang guru, dan sembilan orang karyawan. Setiap orang digaji Rp 375 ribu per bulan.
“Gaji guru hitungannya per jam Rp 5 ribu. Kami tidak bisa memberi gaji besar karena keuangan sekolah minim. Padahal, sekolah lain banyak yang berani memberi gaji guru Rp 10 ribu per jam,” terang Nuzul.
Di Sleman, sekolah harus memutar otak untuk menyiasati kekurangan meski ada BOS dan BOP. Wakil Kepala Sekolah SMPN 2 Sleman Harminastiti mengungkapkan harus melakukan pemangkasan anggaran.
Dana pemangkasan biaya peningkatan mutu guru dikumpulkan untuk membeli perlengkapan sekolah yang tidak masuk kategori BOS. Sebelum program sekolah gratis diterapkan Januari 2009, komite sekolah memungut iuran sebesar Rp 15 ribu kepada setiap siswa.
Uang itulah yang digunakan untuk membeli sejumlah keperluan sekolah. Termasuk biaya-biaya di luar dana operasional sekolah. Setelah muncul instruksi sekolah gratis, pungutan ditiadakan. Alhasil, setiap sekolah harus mandiri.
“Ada satu gedung sekolah yang pembangunannya mandek setelah pelarangan memungut biaya tambahan kepada siswa. Awalnya gedung itu dibangun oleh komite sekolah dengan memungut iuran dari siswa,” terangnya.
Kata Harminastiti, koperasi menjadi satu-satunya lembaga usaha yang bisa diharapkan untuk menyokong proses belajar-mengajar bagi 657 siswa di SMPN 2 Sleman. Namun, hasilnya tidak seberapa. Harminastiti berharap pemerintah menambah dana BOS.
“Ada satu gedung sekolah yang pembangunannya mandek setelah pelarangan memungut biaya tambahan kepada siswa. Awalnya gedung itu dibangun oleh komite sekolah dengan memungut iuran dari siswa,” terangnya.
Kata Harminastiti, koperasi menjadi satu-satunya lembaga usaha yang bisa diharapkan untuk menyokong proses belajar-mengajar bagi 657 siswa di SMPN 2 Sleman. Namun, hasilnya tidak seberapa. Harminastiti berharap pemerintah menambah dana BOS.
Kepala Dinas Pendidikan Sleman Suyamsih mengatakan, besaran dana operasional setiap siswa SD sebesar Rp 600 ribu per tahun. Siswa SMP mendapat jatah Rp 1 juta per tahun. Siswa SD mendapat Rp 397 ribu berasal dari pemerintah pusat, Rp 100 ribu dari Pemprov DIJ, dan Rp 103 ribu dianggarkan pada APBD. Siswa SMP, dari pemerintah pusat dianggarkan Rp 570 ribu, pemprov DIJ sebesar Rp 200 ribu, dan pemkab Sleman sebesar Rp 230 ribu.
“Itu jumlah rencana awal. Tapi nyatanya, pemerintah provinsi DIJ tidak jadi mencairkan dana sampai sekarang. Padahal jumlah tersebut adalah standar minimal,” keluhnya. Suyamsih menjelaskan, pemkab hanya mengangarkan BOS untuk SD sebesar Rp 103 ribu, dan SMP Rp 230 ribu. Angka ini dengan asumsi akan mendapat bantuan dari pemerintah provinsi DIJ. Artinya, saat ini anggaran BOS untuk SD hanya sebesar Rp 500 ribu/siswa, siswa SMP sebesar Rp 800 ribu. “Jadi, kalau ada sekolah yang ketahuan memungut biaya, jangan langsung disalahkan. Kami harap pemprov ikut bertanggungjawab dan memikirkan keberlangsungan sekolah gratis ini,” harap Suyamsih. Ia menegaskan, BOS hanya untuk kebutuhan operasional sekolah. Sedangkan keperluan pribadi siswa, bukan diartikan sebagai pungutan. “Misalnya, buku dan seragam. Itu kan keperluan pribadi? Sekolah bisa saja meminjami buku. Tapi kalau siswa mau beli ya boleh saja,” terangnya. (mar/yog)
“Itu jumlah rencana awal. Tapi nyatanya, pemerintah provinsi DIJ tidak jadi mencairkan dana sampai sekarang. Padahal jumlah tersebut adalah standar minimal,” keluhnya. Suyamsih menjelaskan, pemkab hanya mengangarkan BOS untuk SD sebesar Rp 103 ribu, dan SMP Rp 230 ribu. Angka ini dengan asumsi akan mendapat bantuan dari pemerintah provinsi DIJ. Artinya, saat ini anggaran BOS untuk SD hanya sebesar Rp 500 ribu/siswa, siswa SMP sebesar Rp 800 ribu. “Jadi, kalau ada sekolah yang ketahuan memungut biaya, jangan langsung disalahkan. Kami harap pemprov ikut bertanggungjawab dan memikirkan keberlangsungan sekolah gratis ini,” harap Suyamsih. Ia menegaskan, BOS hanya untuk kebutuhan operasional sekolah. Sedangkan keperluan pribadi siswa, bukan diartikan sebagai pungutan. “Misalnya, buku dan seragam. Itu kan keperluan pribadi? Sekolah bisa saja meminjami buku. Tapi kalau siswa mau beli ya boleh saja,” terangnya. (mar/yog)
- 3. BOS (an) Bermasalah
SELAIN subsidi langsung tunai (SLT) dan PKPS BBM infrastruktur, bantuan operasional sekolah (BOS) juga merupakan alternatif pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin setelah subsidi BBM dikurangi. Sampai saat ini penggunaan BOS memang belum ada penyimpangan secara signifikan.
Namun, tidak menutup kemungkinan program BOS juga akan bermasalah seperti SLT. Oleh sebab itu, pihak-pihak berkompeten yang mengurusinya tampaknya harus “menyediakan payung sebelum hujan”.
Di Kabupaten Rembang, dana BOS untuk semester Juli-Desember 2005 sebesar Rp 11,250 miliar telah dicairkan ke rekening 435 SD/MI dan 82 SLTP/MTs /salafiyah.
Jumlah tersebut tentunya tidak kecil. Oleh karena itu penggunaan dana tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan secara benar dan tepat. Permasalahannya, banyak pengelola, khususnya di lembaga pendidikan dasar/MI mengeluh karena dibebani administrasi penggunaan BOS yang njelimet.
Seperti yang dikatakan oleh Kepala Dinas Pendidikan Rembang Drs Sadono, aturan pemanfaatan dana itu dinilai kaku, sehingga banyak sekolah mengalami kesulitan mengelolanya (Suara Merdeka 19/10).
Kenyataan di lapangan memang demikian. Banyak kepala sekolah yang bingung untuk membuat surat pertanggungjawaban (SPj) dana itu sesuai dengan aturannya.
Alasan yang dikemukakan mereka rata-rata memang klasik. Mereka mengaku belum berpengalaman mengerjakan administrasi keuangan. Berbeda dengan karyawan kantor/instansi yang setiap hari berkutat dengan berbagai proyek, sehingga masalah pembuatan SPj sudah biasa dan bukan mejadi permasalahan merepotkan.
Tetapi, bagi guru SD/MI administrasi pelaporan keuangan seperti surat perintah perjalanan dinas (SPPD), administrasi pembayaran pajak memang termasuk hal baru. Maklum, waktu sekolah dulu guru-guru SD/MI sedikit sekali menerima pelajaran administrasi keuangan. Maka ketika berhadapan dengan seabrek administrasi pelaporan penggunaan dana BOS mereka merasa kerepotan.
Berbeda dengan lembaga pendidikan sekolah menengah ( SLTP/MTs). Untuk mengerjakan administrasi pelaporan dana BOS tidak terlalu bermasalah. Karena pada umumnya lembaga pendidikan setingkat SLTP dan MTs sudah memiliki tenaga tata usaha. Kepala sekolah tidak repot-repot mengerjakannya sendiri.
Tapi, untuk setingkat SD, kepala sekolahnya masih banyak yang mengajar karena kekurangan tenaga pengajar. Oleh karena idealnya kepala SD itu memang tidak banyak dibebani dengan tugas mengajar agar lebih fokus mengerjakan administrasi sekolah.
Tetapi, apakah karena kesulitan mengerjakan administrasi, dana BOS lantas tidak dipertanggungjawabkan? Jawabnya tentu saja tidak!
Karena betapa beratnya aturan yang dibuat oleh Pemkab, tujuannya tak lain agar pengelola dana BOS yang notabene dana berasal dari rakyat itu harus diselamatkan. Karena pada prinsipnya pembuatan SPj atau surat pertanggungjawaban keuangan merupakan rambu-rambu sehingga pembuatan pelaporan tidak melenceng dari aturan.
Cuma masalahnya, mengapa pelaporan penggunaan dana BOS harus kaku? Tidak fleksibel saja agar mudah dipahami dan dikerjakan oleh pengelolanya?
Sebagai contoh, aturan penggunaan dana BOS antara lain tidak boleh digunakan untuk honor guru yang kelebihan jam mengajar atau mereka yang memberi les murid pada sore hari.
Dalam sisi administrasi memang sulit, karena pemberian honor guru tersebut harus diartikan/dialokasikan sebagai uang transpor. Oleh sebab itu dalam pembuatam pelaporannya harus dilengkapi dengan SPPD.
Sedangkan pembuatan SPPD itu sendiri fungsinya sebagai surat tugas yang ditandatangani oleh kepala sekolah. Aturannya, setelah sampai ke suatu tempat, pembawa SPPD harus minta tanda tangan pejabat/pegawai dari instansi yang dituju.
Sebagai bukti bahwa dirinya telah hadir atau menjalankan tugas dari kepala sekolah. Padahal kalau guru memberi les, lokasinya ya di SD itu sendiri sehingga tidak boleh ditandatangani oleh temannya atau kepala sekolahnya sendiri.
Itulah sulitnya kalau dana BOS dialokasikan untuk honor guru. Mestinya Pemkab mempunyai kebijakan agar dana BOS bisa untuk kelebihan jam menghajar tanpa melampirkan SPPD.
Lantas kenapa dana BOS tidak boleh digunakan untuk honor kelebihan jam mengajar? Bukankah dengan memberi les tambahan, para siswa dari keluarga tidak mampu bisa menikmati les gratis, dan pemerintah cukup memberi honor guru sebagai uang lelah?
Beban Kepala Sekolah
Cara lain untuk mengurangi beban kepala sekolah (pengelola BOS) khususnya SD/MI misalnya dengan memberi tenaga TU/administrasi kepada setiap SD/MI. Risikonya pemerintah harus merencanakan anggaran yang cukup tinggi untuk menggaji mereka. Dan, itu mustahil dilaksanakan oleh pemerintah dalam situasi dan kondisi negara sekarang ini.
Tetapi, bagaimana bila SD/MI atau pengelola BOS itu sendiri yang diperbolehkan mempekerjakan tenaga honor para lulusan SMU/SMK? Tentunya tenaga honor yang tidak mengikat dan tidak menuntut menjadi PNS.
Saya kira dengan honor sebesar Rp 300.000 per bulan (sama dengan honor pegawai kontrak Pemkab Rembang ) tidak terlalu menjadi beban keuangan sekolah atau fungsi penggunaan BOS itu sendiri.
Karena isu-isu yang muncul di lapangan selama ini pihak pengelola BOS masih banyak yang kebingungan membuat laporan pertanggungjawaban dana BOS yang hanya boleh digunakan untuk; perbaikan dan pemeliharaan fisik sekolah, daya dan jasa, pembinaan siswa, alat tulis kantor (ATK), rapat pengurus komite sekolah dan pengawasan.
Tentu saja usulan para peengelola BOS itu bukan harga mati karena yang berhak menentukan atau sebagai decision maker adalah pemerintah yang berwenang.
Namun, apabila suara-suara dari bawah tidak didengarkan dikhawatirkan akan terjadi penyimpangan atau perekayasaan-perekayasaan dalam pembuatan pelaporan (SPj) penggunaan dana BOS. Atau barangkali karena pengelola BOS merasa tidak mampu, mengerjakannya sendiri maka bisa jadi pihak pengelola BOS mengambil jalan pintas dengan njahitke ke pihak lain. Yang penting SPJ jadi tapi penggunaannya bisa direkayasa.
Nah, itulah antara lain masalah di seputar BOS yang harus segera diantisipasi terlebih dahulu guna mencari jalan keluarnya sehingga tak menjadi bom waktu yang kapan pun akan meledak menjadi masalah besar. Para guru tampaknya sudah BOS (an) bermasalah! Sebab, masalah keseharian mereka pun tak bisa dihindarkan dari “tiada hari tanpa masalah”.
- 4. Dana BOS dilalap Oleh BOS
Dana bantuan operasional sekolah (BOS) yang seharusnya diberikan untuk meringankan beban murid seperti Riska seorang murid kelas 6 sekolah dasar sebuah sekolah yang berjualan koran sepulangnya dari sekolah di perempatan Tugu Tani, Jakarta Pusat, ternyata banyak ditilep oknum kepala sekolah ataupun pejabat Diknas. SP/Alex Suban
Pengantar
Dana bantuan operasional sekolah (BOS) yang dikucurkan pemerintah sebagai upaya meringankan beban orangtua siswa akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) sejak 2005 lalu, ternyata banyak bocor. Tujuan penyaluran dana bantuan itu jadi tidak dirasakan orangtua siswa. Selain jumlahnya kecil, di lapangan banyak dilalap para oknum kepala sekolah dan oknum pejabat. Hasil investigasi wartawan SP soal penyimpangan penyaluran dana BOS tersebut disajikan dalam tulisan berikut ini.
Pada Maret dan Oktober 2005, pemerintah mengurangi subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan merelokasi sebagian besar dananya ke empat program besar yang dirancang untuk mengurangi beban masyarakat. Keempat program tersebut adalah untuk bidang pendidikan, kesehatan, infrastruktur pedesaan, dan bantuan langsung tunai.
Lahirnya bantuan operasional sekolah (BOS) dilatarbelakangi adanya kekhawatiran bahwa peningkatan harga BBM akan mengakibatkan turunnya daya beli masyarakat.
Selain itu, juga akan berdampak negatif terhadap akses masyarakat miskin untuk mendapat pendidikan serta menghambat pencapaian wajib belajar pendidikan dasar (wajar dikdas) 9 tahun.
Sedangkan UU 20/2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Pasal 5 ayat (1) menyatakan, setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Selanjutnya, Pasal 11 ayat (1) menyatakan, pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan untuk kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi.
Prinsipnya, program BOS dicetuskan sebagai upaya untuk meningkatkan akses masyarakat, khususnya siswa dari keluarga miskin atau kurang mampu terhadap pendidikan yang berkualitas. Sayangnya, pada tataran pelaksanaannya, pungutan liar (pungli) dan korupsi seolah menodai program ini.
Seorang kepala sekolah dasar (SD) di Kabupaten Serang, Banten, menuturkan, pungli berkedok untuk memuluskan pengucuran dana BOS seolah sudah menjadi “kewajiban” bagi setiap sekolah. Pungli itu, katanya, hampir terjadi di semua SD di Kabupaten Serang.
“Sangat sulit dihentikan. Mungkin ini sudah menjadi simbiosis mutualistis antara sekolah dan dinas pendidikan,” tuturnya, ketika ditemui SP, di Serang, belum lama ini.
Dia mencontohkan, para kepala sekolah diharuskan menyetor uang sebesar Rp 300.000 ke Dinas Pendidikan dengan berbagai alasan. “Upeti” itu disetorkan untuk rehabilitasi bangunan. “Kalau tidak menyetor, bantuan untuk rehabilitasi pasti terganggu,” katanya.
Tidak hanya alasan untuk “memperlancar” rehabilitasi bangunan, dana BOS juga disunat dengan alasan iuran untuk membayar guru honorer. “Setiap siswa biasanya dipungut Rp 3.500 yang dipotong dari kucuran BOS,” ucapnya.
Dia melanjutkan, sistem pengucuran dana BOS memang sudah bagus, yakni langsung masuk rekening sekolah. Hal ini untuk memangkas alur birokrasi. Tapi, sering kali Dinas Pendidikan setempat meminta setoran dari sekolah sebagai “uang terima kasih”.
“Upeti” kepada Dinas Pendidikan setempat ternyata tidak berhenti di situ.
Dia mengungkapkan, sebagian dana BOS juga disunat untuk membayar kegiatan terkait ulangan bersama. Misalnya, honor pengawas ulangan. Padahal, sejak digulirkan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) setiap sekolah berhak mengadakan, mengatur, dan membuat soal ulangan sendiri. “Lha ini, soal ulangan bisa sama sekabupaten. Biayanya? Ya dikutip dari BOS dan orangtua,” ujarnya.
Setiap siswa SD, katanya, mendapatkan hak dana BOS sebesar Rp 254.000 per siswa per tahun. Ditanyakan mengenai Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS), dia menegaskan, sampai saat ini RAPBS tidak partisipatif. Artinya, penyusunan RAPBS tidak melibatkan orangtua murid. Sehingga, sebagian besar orangtua tidak tahu-menahu soal penggunaan dana BOS.
Bisa Berupa Barang
Setoran SD ke Dinas Pendidikan ternyata tidak hanya terjadi di Kabupaten Serang.
Di Depok, Jawa Barat, dan di Jakarta pun demikian. Kepala sekolah di salah satu SD di Depok mengaku setelah menerima dana BOS harus menyetor “sesuatu” ke Dinas Pendidikan. Setoran itu bisa berupa barang atau uang.
“Sama saja seperti di daerah lain. Bisa menyetor ke dinas atau kecamatan,” katanya.
Ditanyakan besar setorannya, kepala sekolah itu enggan menyebutkan. “Kalau tidak menyetor, susah kita mau ngapa-ngapain. Misalnya, minta bantuan dana untuk rehabilitasi atau mengurus izin bangunan atau kegiatan sekolah lainnya,” tuturnya.
Penyaluran dana BOS di lapangan ternyata banyak dilalap para bos (pejabat-Red.) Seorang kepala sekolah di Jakarta yang tak mau disebut identitasnya mengungkapkan, petugas Dinas Pendidikan lazim melakukan pungli terhadap guru-guru di sekolah yang dipimpinnya maupun di sekolah lain. Pungli ini sudah berlangsung bertahun-tahun.
Subsidi atau uang insentif dari pemerintah yang sebetulnya juga milik rakyat (APBN/APBD) untuk guru sebesar Rp 200.000 per bulan itu harus dipotong Rp 10.000 sampai Rp 15.000. Selain itu, jika pengawas datang harus diberi uang. Kalau tidak memberi “uang pelicin” maka sekolahnya akan dikucilkan dan bantuan bisa tak datang-datang.
Pada November-Desember 2007, ungkapnya, bantuan untuk setiap murid sebesar Rp 40.000 per bulan juga dipotong 15 persen. Alasannya untuk administrasi, tapi tak ada kuitansi.
Uang itu disetor ke pengurus di kecamatan atas nama paguyuban sekolah swasta. Dana BOS sebesar Rp 21.166 per siswa per bulan juga dipotong 5-10 persen.
Jika selama ini sekolah dianggap suka “memeras” orangtua murid, ternyata para guru juga “diperas” oleh pejabat.
Aktivis Aliansi Orangtua Peduli Transparansi Dana Pendidikan (Auditan) Teguh Imawan mengakui, kebijakan pemerintah memberikan bantuan pendidikan bagi pelajar SD dan SMP patut diacungi jempol. Namun, pada tataran pelaksanaan pemberian dana BOS cenderung amburadul.
Dia mengungkapkan, korupsi berkedok BOS dan bantuan operasional pendidikan (BOP) sudah sangat sistematis di tingkatan sekolah. Penyimpangan terbesar justru dilakukan di pihak sekolah, contohnya adalah dalam bentuk penyusunan RAPBS.
Hal itu bisa terlihat dalam pembahasan RAPBS yang kerap tidak transparan dan melibatkan komite sekolah. “Pembuatan RAPBS tersebut kerap didesain untuk menyedot uang agar masuk ke sekolah. Padahal, pemerintah sudah mengucurkan BOS. Lebih aneh lagi, tidak ada laporan pertanggungjawaban yang diberikan kepada para orangtua siswa,” katanya.
Dia menuturkan, korupsi sistemik yang dilakukan di tataran sekolah tidak mengenal apakah sekolah tersebut memiliki mutu yang bagus atau tidak.
“Misalnya, berbagai pungutan yang dikeluhkan terjadi pada sebuah SD negeri di Jakarta. Padahal, SD ini sangat bagus dengan berbagai prestasi. Kenyataannya, banyak orangtua murid yang memberikan laporan maraknya pungutan dari sekolah itu,” katanya.
Dia mengemukakan, upaya dalam menyusun RAPBS partisipatif masih menghadapi sejumlah persoalan krusial. Pertama adalah persoalan regulasi. Secara teori RAPBS memang sangat bagus, namun masih lemah pada implementasinya. Kelemahan mendasar ini terletak pada rendahnya kompetensi teknis pihak sekolah, dalam hal ini kepala sekolah, dalam mengelola keuangan.
Persoalan kedua adalah pencairan dana BOS. Pencairan dana BOS atau BOP ke rekening bank sekolah tidak di awal bulan kegiatan belajar mengajar, namun cair di bulan kedua dan ketiga. “Pola ini justru menciptakan bandar-bandar untuk meminjamkan uang mereka,” ucapnya. Persoalan ketiga adalah persoalan yang paling krusial, yakni tidak adanya pengawasan terhadap keuangan sekolah. “Di sinilah, sering terjadi penyimpangan,” katanya
Menurut Manajer Divisi Monitoring dan Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch (ICW) Ade Irawan, beban biaya pendidikan yang ditanggung orangtua makin bertambah di tengah kenaikan anggaran untuk sektor pendidikan dan adanya dana BOS.
Beragam Pungutan
Dia mengatakan, beragam pungutan yang dibebankan kepada orang tua murid sebagian besar tidak ada laporan pertanggungjawabannya.
Hasil penelitian ICW pada orangtua murid di lima daerah, yakni DKI Jakarta, Kabupaten Tangerang, Kabupaten Garut, Kota Padang, dan Kota Banjarmasin selama 2007, menunjukkan, orangtua murid tingkat SD menanggung biaya pendidikan anaknya yang rata-rata sebesar Rp 4,7 juta. Dana sebesar itu, katanya, untuk biaya tidak langsung sebesar Rp 3,2 juta, seperti untuk biaya membeli buku, alat-alat tulis, serta les privat di luar.
“Padahal anggaran dana untuk BOS buku itu Rp 900 miliar, yang berarti setiap siswa mendapatkan Rp 254.000 per tahun, tapi kenyataannya biaya yang dikeluarkan orangtua untuk sekolah terus meningkat,” katanya.
Dia melanjutkan, biaya pungutan sekolah sebesar Rp 1,5 juta, dan pungutan paling sering terjadi adalah pembayaran lembar kerja siswa (LKS) dan buku paket yang kemudian diikuti uang infak, penerimaan siswa baru dan uang bangunan sekolah.
Pengeluaran terbesar dikeluarkan untuk pungutan kursus di sekolah Rp 311.000, kemudian diikuti oleh buku ajar, bangunan serta LKS dan buku paket masing-masing Rp 145.000, Rp 140.000 dan Rp 123.000.
“Bahkan beberapa pungutan yang dilarang bagi SD yang menerima dana BOS, ternyata masih terjadi, seperti uang ujian, uang ekstrakurikuler, uang kebersihan, uang daftar ulang dan uang perpisahan murid, guru dan kepala sekolah,” katanya.
Direktur Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah (Mandikdasmen) Depdiknas Suyanto menegaskan, program BOS dinilai efektif bagi siswa SD dan SMP. “Tingkat efektivitas program mencapai 96,5 persen,” ujarnya mantap.
Karena itu, katanya, pemerintah kembali mengucurkan dana program BOS 2008. Tahun ini nilainya mencapai Rp 11,2 triliun. Adapun sasaran program BOS adalah siswa setingkat SD dan SMP dengan nilai untuk siswa SD dan setaranya Rp 254.000 per siswa per tahun, serta siswa SMP dan setaranya Rp 354.000 per siswa per tahun. Jumlahnya sekitar 40 juta siswa.
Dia menambahkan, beberapa manfaat dana BOS dari hasil penelitian Balitbang Depdiknas, di antaranya siswa yang tidak mampu dapat memanfaatkan BOS dalam bentuk pembebasan iuran sekolah dan bantuan transportasi. BOS juga membantu meningkatkan kesejahteraan guru honorer. [SP/Willy Masaharu]
Sekolah Rawan Korupsi
Ketua Aliansi Orangtua Peduli Pendidikan (Auditan), Handaru Widjatmoko mengungkapkan, sejumlah sekolah di DKI Jakarta masih terindikasi rawan korupsi yang disertai dengan tindakan pelanggaran HAM oleh pihak manajemen sekolah. Permasalahan tentang dana pendidikan yang tidak transparan sudah terjadi sejak lama, tetapi hingga kini belum ada tindakan nyata dari lembaga pemerintahan yang berwenang.
“Masih ada SD negeri yang memberlakukan berbagai pungutan untuk murid baru. Ironisnya, para guru dan orangtua yang melaporkan hal itu malah diancam dan diintimidasi,” kata Handaru, di Jakarta, Selasa (13/5).
Handaru menuturkan, pihaknya bersama sejumlah orangtua murid sebenarnya telah melaporkan masalah itu ke berbagai instansi, antara lain Dinas Pendidikan DKI Jakarta, Kejaksaan Tinggi, hingga ke DPRD DKI Jakarta. Namun, intimidasi masih berlanjut, seperti yang dikeluhkan oleh sejumlah orangtua di sebuah SD negeri di Rawamangun, Jakarta Timur.
“Padahal pada saat pertemuan dengan Komisi E (Bidang Kesejahteraan Rakyat) DPRD, jelas dikatakan bahwa pungutan itu salah dan tidak boleh diteruskan, serta tidak boleh ada intimidasi terhadap orangtua siswa,” kata Handaru.
Dia menuturkan, bentuk perilaku intimidasi yang diskriminatif itu antara lain menangguhkan rapor siswa yang orangtuanya belum membayar uang penerimaan siswa baru maupun sumbangan rutin bulanan. Selain itu, pihak manajemen sekolah mempersilakan siswa yang tidak setuju dengan kebijakan manajemen untuk pindah ke sekolah lain.
Untuk itu, Auditan berharap agar berbagai pihak mengusut tuntas dugaan pelanggaran HAM itu, yang terdiri atas melanggar hak atas informasi, hak atas pendidikan yang layak, dan hak atas kepastian hukum.
Peneliti pendidikan pada Indonesia Corruption Watch (ICW) Febri Hendri, menambahkan, dua sekolah di Jakarta diduga melakukan korupsi dan intimidasi kepada peserta didik telah dilaporkan ke Komnas HAM. Salah satunya adalah sekolah percontohan.
Salah satu orangtua murid, Alex Yuswar, mengatakan, terjadi intimidasi kepada siswa, yang orangtuanya vokal dalam memeriksa laporan keuangan sekolah. “Jika tidak bisa menjawab pertanyaan dari guru, dikatakan bego, bodoh. Gurunya juga ngomong, pantas anaknya bego, orangtuanya banyak omong,” katanya. [W-12]
Sudah Kecil, Dipangkas Lagi
Orangtua murid mengeluhkan pemotongan dana bantuan operasional sekolah (BOS) yang akan dilakukan Pemerintah mulai tahun ajaran baru 2008/2009, Juli 2008. Saat ini saja, orangtua murid sudah terbebani banyak pungutan di sekolah dan biaya sehari-hari anak-anak mereka.
Mardianto (46 tahun), misalnya, orangtua murid yang dua anak perempuannya menimba ilmu di kelas tiga sebuah SMP negeri dan kelas lima SD negeri di kawasan Blimbing, Kota Malang, Jawa Timur, mengaku gelisah ketika pemerintah memastikan bakal mengurangi dana BOS.
Ia yang bekerja sebagai buruh tukang sepatu di Jalan Mahakam, Kota Malang, ini berpenghasilan tidak menentu, karena saat ini tidak banyak orang yang mereparasi sepatu, apalagi memesan sepatu di toko kecil milik majikannya.
“Saya malu Mas, entah bagaimana nanti saya mencari uang agar anak saya bisa menyelesaikan sekolah tanpa harus mengetahui kesulitan orangtua,” ujarnya ketika ditemui SP, beberapa waktu lalu.
Mardianto mengaku, dalam menopang kebutuhan hidup keluarga empat jiwa (satu isteri dan dua anak) sekarang merasakan sangat berat. Apa-apa mahal dan mencari uang sangat sulit. Isterinya yang bekerja sebagai buruh melinting rokok dengan penghasilannya tidak cukup untuk makan.
“Kita gabung penghasilan untuk membiayai sekolah dua anak kami. Kalau istri tidak bekerja mungkin anak-anak saya terpaksa putus sekolah,” tutur Mardianto. Ia berharap, Pemerintah Kota Malang merealisasikan program sekolah gratis yang pernah didengung-dengungkan Wali Kota Peni Suparto ketika masa kampanye, lima tahun lalu.
“Terus terang, saya tidak setuju pemotongan BOS. Ini hak rakyat untuk memperoleh pendidikan yang bagus, tetapi tiba-tiba harus diganggu. Kan moto Jawa Timur jelas dan tegas, yakni Jer Basuki Mawa Bea, artinya sukses itu memerlukan biaya,” ujar Sulthon yang pada tahun ajaran 2007/2008 mendapat alokasi 190 orang (masuk kategori miskin) dari 840 siswanya tercatat sebagai penerima BOS.
Ervina (30 tahun), orangtua murid di SD Budi Satria Medan, Sumatera Utara (Sumut), juga berkeluh-kesah. Menurutnya, bantuan dana BOS yang diberikan Pemerintah bisa lumayan membantu dalam meringankan beban biaya anaknya di sekolah. Potongan uang sekolah, katanya, hanya sebesar Rp 10.000 dari uang sekolah yang wajib dibayar Rp 60.000.
“Sudah kecil, dipangkas lagi. Pemotongan dana BOS belum saatnya dilakukan pemerintah. Pemerintah boleh melakukan hal itu di saat kondisi perekonomian masyarakat sudah stabil. Lihat saja sekarang ini, semua harga kebutuhan pokok melambung tinggi. Sementara penghasilan dari suami tidak mencukupi,” tuturnya.
Kesulitan
Hal senada juga disampaikan Netty (40), orangtua murid di SD Jalan Halat, Kecamatan Medan Area. Dia mengharapkan, pemerintah provinsi dapat mencari solusi agar dana bantuan BOS tersebut tidak dipotong. Bila perlu program pendidikan gratis mulai dicanangkan.
“Pemangkasan BOS ini bukannya meringankan beban orangtua, tetapi malah mematikan program pendidikan secara perlahan-lahan. Biaya hidup sekarang sangat tinggi, apalagi BBM akan naik pula. Berat Bang,” ucapnya. [AHS/070]
Jangan Takut Melapor
Laporan soal penyimpangan dana BOS di lapangan sebenarnya sudah terang benderang dibeberkan masyarakat melalui media massa. Namun, Depdiknas sepertinya lepas tangan dengan alasan otonomi daerah.
Direktur Pembinaan SMP Depdiknas, Hamid Muhammad, mengemukakan, daftar kasus penyimpangan dalam pelaksanaan program BOS selalu ditelaah secara bertingkat oleh Depdiknas. “Penyimpangan itu terjadi di level mana? Jika terjadi di level daerah, maka sudah ada yang berhak untuk mengatasi masalah itu di tingkat kabupaten dan provinsi,” ucapnya.
Depdiknas adalah pembuat tataran kebijakan dan program. Karena itu, lanjutnya, pengawasan Depdiknas adalah pengawasan nasional, pengawasan program, dan pengawasan kebijakan. Tapi pengawasan implementasi itu sudah menjadi tanggung jawab staf pengawas, yaitu BPK, BPKP, dan Bawasda.
Terhadap segala macam kasus penyimpangan dana BOS, katanya, Depdiknas mengimbau kepada seluruh lapisan masyarakat untuk berperan aktif sebagai pengawas pelaksanaan BOS. Depdiknas juga membuka saluran bebas pulsa 0-800-140-1299 dan 021-5725980, sebagai salah satu jalur pengaduan program BOS.
Kita tunggu tindakan nyata sebagai respons pengaduan itu. [W-12]
BAB IV
PENUTUP
- A. KESIMPULAN
Wajib Belajar Pendidikan Dasar (Wajar Dikdas) 9 tahun gratis bukanlah seperti yang diasumsikan oleh masyarakat pada umumnya seperti tidak membayar uang sekolah berikut segala keperluannya seperti buku, seragam, dan transportasi, maupun biaya operasional sekolah. Namun, Wajar Dikdas gratis adalah hanya mencakup biaya operasional sekolah seperti uang sekolah dan gaji guru, serta biaya investasi yang meliputi penyediaan sarana dan prasarana, pengembangan sumberdaya manusia, dan modal kerja tetap yang penggunaannya lebih dari satu tahun.
Walaupun telah diatur dalam UUD 1945 terutama dijelaskan pemerintah dalam pasal ’31 ayat (2) bahwa “setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. Namun, dikarenakan anggaran yang masih minim untuk pendidikan dalam APBN menyebabkan amanah konsitusi ini belum terwujudkan. Sehingga, pemerintah membuat perturan yang berkenaan dengan pendanaan pendidikan yang tertuang didalam PP Nomor 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan, yang mana pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat.
Kemudian, jenis-jenis biaya pendidikan sesuai dengan PP Nomor 48 Tahun 2008 tersebut, dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu Biaya Satuan Pendidikan, Biaya Penyelenggaraan dan/atau Pengelolaan Pendidikan, serta Biaya Pribadi Peserta Didik.
PP Nomor 48 Tahun 2008 ini mempunyai banyak kaitan hukum dan hubungan dengan hukum-hukum ataupun peraturan-peraturan lainnya terutama yang menyangkut dengan pendanaan pendidikan.
- B. REKOMENDASI
- Dalam perencanaan, pelaksanaan, serta pengawasan penggunaan Dana BOS harus lebih Profesional karena menggunakan dana masyarakat untuk Peningkatan Mutu Pendidikan.
- Kepala Sekolah harus transparansi terhadap penggunaan Dana BOS.
- petunjuk teknis BOS dalam penyusunan RAPBS harus mengatur
secara jelas cara penyusunan dan mekanisme pengesahan dari RAPBS menjadi APBS.
DAFTAR PUSTAKA
Bag. Perencanaan. (2010). Biaya Operasional sekolah. [Online]. Tersedia: http://www.mandikdasmen.depdiknas.go.id/web/bos.html [7 April 2010]
Departemen Pendidikan Nasional. (2010). Biaya Operasional Sekolah, Jakarta: Depdiknas.
Fattah, Nanang., Kurniatun, Taufani C., dan Abubakar. (2009). Mata Kuliah: Manajemen Keuangan Pendidikan. Bandung : Universitas Pendidikan Indonesia.
R.I., Peraturan Pemerintah No 11 tahun 2001 tentang informasi keuangan daerah. Pemerintah RI.
R.I., Peraturan Pemerintah No 39 tahun 2001 tentang dekonsentrasi. Pemerintah RI.
R.I., Peraturan Pemerintah No 48 Tahun 2008 Tentang Pendanaan Pendidikan. Pemerintah RI.
R.I., Sistem Pendidikan Nasional No 20 tahun 2003. Menteri Pendidikan Nasional.
Tamin, Sudriman. (2009). Pendidikan Gratis Vs Undang-Undang BHP . Jakarta: Sosmindo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar