STIT AT-TAQWA CIPARAY BANDUNG

Sabtu, 13 Agustus 2011

MUHKAM DAN MUTASYABIH

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ayat-ayat yang terkandung dalam Al-qur’an ada kalanya yang berbentuk lafadz, ungkapan dan uslub yang berbeda tetapi artinya tetap satu, sudah jelas maksudnya sehingga tidak menimbulkan kekeliruan bagi orang yang membacanya. Ayat-ayat Al-qur’an seperti itu dinamakan muhkam. Di sisi lain, terdapat pula ayat-ayat al-qur’an yang bersifat umum dan samar-samar yang menimbulkan keraguan bagi yang membacanya, sehingga ayat yang seperti ini menimbulkan ijtihad bagi para mujtahid untuk dapat mengembalikan pada makna yang jelas dan tegas.  maka ayat yang demikian dinamakan mutasyabih.
Muhkam wal mutasyabih merupakan salah satu dari sekian banyak dari diri Al-Qur’an. Artinya muhkam wal mutasyabih merupakan sebuah pembahasan yang berhubungan langsung dengan diri Al-Qur’an secara internal.
Terlepas dari itu semua, jika kita renungkan bersama ternyata dengan adanya ayat-ayat muhkam wal mutasyabih terutama ayat-ayat mutasyaih dapat memunculkan kreaksi-kreaksi, usaha-usaha yang kreaktif dan konsep-konsep baru dalam berbagai cabang ilmu. Untuk lebih jelasnya, maka akan saya uraikan lebih rinci mengenai muhkam wal mutasyabih sesuai pengetahuan dan informasi yang saya peroleh.

B. Rumusan Masalah
Dalam pembahasan kali ini saya bermaksud menguraikan arti dari muhkam wal mutasyabih, pembagian ayat-ayat mutasyabih, sikap ulama terhadap ayat-ayat mutasyabih.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
1. Lughawi (bahasa)
Muhkam wal mutasyabih berasal dari bahasa Arab محكم dan  متشابه. Secara etimologis “muhkam” berasal dari “Ihkam”yang menurut Al-Zarqaini mempunyai berbagai konotasi namun mengacu pada satu pengertian yaitu “Al-man’u”yang berarti mencegah. Jika diartikan dengan ayat-ayat Al-qur’an itu disusun secara rapi dan kokoh, sedikitpun tidak ada cela untuk mengkritiknya dari sudut mana pun karena, baik kata-kata penepatannya dalam kalimat maupun susunan-susunan dalam kalimatnya sangat rapi dan kokoh serta tepat dan akurat. Seperti dalam firman Allah Q.S Hud Ayat 1:
Artinya :”Alif laam raa, (Inilah) suatu Kitab yang ayat-ayatNya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci”.
Maksudnya: diperinci atas beberapa macam, ada yang mengenai ketauhidan, hukum, kisah, akhlak, ilmu pengetahuan, janji dan peringatan dan lain-lain.
Kata “mutasyabih”dalam bahasa Indonesia diartikan “mirip” atau “samar-samar”. Juga mengandung berbagai konotasi yang biasanya membawa kapada ketidak pastian atau ragu (iltibas). Kondisi inilah yang dijumpai dalam ayat Al-Qur’an. Sangking miripnya ayat yang satu dengan ayat yang lain. Maka tidak dapat dibedakan antara masing-masing ayat tersebut karena semuanya berbeda pada level yang sama dari segi balaqahnya. Kemukjizatannya, kebenaran informasi yang dibawanya penempatan kata yang akurat dan susunan kalimat yang kokoh, sehingga hal ini pun mampu menimbulkan keraguan bagi yang membacanya. Pengertian lughawi ini terdapat dalam firman Allah surat Al Zumar ayat 23:
Artinya: “Allah Telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang”.
Berdasarkan pengertian secara lughawi Nampak bahwa kedua istilah diatas saling mendukung (tidak bertentangan). Artinya ayat-ayat al-Qur’an tersebut tersusun dengan rapi dan kokoh hingga tanpak dan terasa sekali pada keseluruhan ayat-ayat nya tanpa kecuali, sehingga pada kesemua ayat ini memiliki daya tarik dan I’jaz yang sama.
2. Istilahi
Meskipun secara lughawi kedua istilah ini tidak bertentangan namun secara istilah terdapat perbedaan yang sangat tajam diantara keduanya. Hal ini seperti yang difirmankan dalam surat Al- Imron ayat 7 yang artinya:”dialah Allah yang telah menurunkan kepadamu al-kitab (Al-qur’an). Diantara isinya ada ayat-ayat yang muhkamat: itulah pokok-pokok (isi) Al-Qur’an (Al-kitab). Dan yang lain (Ayat-ayat) mutasyabihat. Adapun orang-orang yang di dalam hatinya condong kepada kesesatan. Maka mereka mengikuti pengertian yang samar-samar dari ayat-ayat yang mutasyabihat itu dengan tujuan untuk menimbulkan fitnah (kegaduhan, mala peteka dan sebagainya) dikalangan umat dan untuk mencari-cari takwilnya;padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya. Mereka mengatakan kami mempercayai sepenuhnya bahwa semua itu datang dari tuhan kami. Dan hanya yang dapat mengambil pelajaran (dari ayat-ayat mutasyabihat itu) adalah mereka yang berakal.”
Dari ayat tersebut sudah jelas bahwa kedua istilah memang sangat berbeda. Muhkam merupakan sesuatu yang jelas dan terang adalah atau pengertiannya, sementara mutasyabihat adalah sesuatu yang samar-samar dan kabur adalah atau pengertiannya. Dari sinilah timbul berbagai pendapat yang diantaranya sebagai berikut:
a. Menurut As-Suyuti, muhkam adalah sesuatu yang sudah jelas artinya, sedangkan mutasyabih adalah sebaliknya.
b. Menurut Imam Ar-Razi muhkam adalah ayat-ayat yang dalalahnya kuat, baik maksud maupun lafadnya, sedangkan mutasyabih adalah ayat-ayat yang dalalahnya lemah, masih bersifat mujmal, memerlukan takwil dan sulit dipahami.
c. Menurut Mnna’ Al-Qathathan, muhkam adalah ayat-ayat yang maksudnya dapat diketahui secara langsung tanpa memerluakan keterangan lain, sedangkan mutasyabih  tidak seperti itu, ia memerlukan penjelasan dengan menunjuk kepada ayat lain.
ü Dari berbagai penjelaan dan pendapat-pendapat diatas, maka dapat disimpulkan bahwa:
Ø Ayat muhkamat adalah ayat yang sudah jelas baik lafadz maupun maksudnya sehingga tidak menimbulkan keraguan dan kekeliruan bagi orang yang memahaminya.
Ø Sedangan ayat mutasyabih merupakan sekumpulan ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang masih belum jelas maksudnya, hal ini dikarenakan ayat mutasyabih bersifat mujmal (global) dan rincian lebih dalam. Selain bersifat mujmal, ayat-ayat tersebut juga bersifat Mu’awwal sehingga karena sifatnya ini seseorang dapat mengetahui maknanya setelah melakukan pentakwilan.
B. Pembagian ayat-ayat mutasyabih
Ayat-ayat mutasyabih dapat dikatagorikan menjadi tiga bagian, yakni:
1. Mutasabih dari segi lafadz, yang dibagi menjadi dua:
a. Kosakata Tunggal مفردات
ü Kekaburan makna pada suatu kosa kata biasanya disebabkan kata tersebut tidak bias dipakai غريب atau lafadz itu mempunyai banyak konotasi مشترك
ü Contoh I kekaburan arti karena tidak biasa dipakai. Lafadz didalam ayat 31 dari surat Abasa: وفاكهة وابا sahabat utama Rasul yakni Abu Bakar dan ‘Umar tidak dapat menjelaskan maksud kata tersebut.
ü Contoh II, kekaburan arti disebutkan banyak-banyak konotasi: lafadz يمين yang menunjuk kepada “tangan kanan” atau “kekuatan”, ataupun “sumpah” dalam ayat 93 surat Al-sfakat
فراغ عليهم ضربا باليمين . kata يمين dalam ayat tersebut konotasinya tidak jelas. Apakah berarti “tangan kanan” atau “kekuatan”. Keduanya terpakai dalam bahasa Arab. Apabila diartikan kata tersebut dengan tangan “kanan”, maka maksud ayat itu adalah “ Nabi Ibrahim memukul berhala-berhala tersebut dengan tangan kanannya tanpa alat”. Dan apabila diartikan dengan “kekuatan”, maka dapat dipahami bahwa Nabi Ibrahim memukul berhala-berhala tersebut dengan kekuatan penuh, baik dilakukannya dengan tangan kanan langsung atau dengan alat-alat pemukul lainya.
ü Contoh lain lafal قروء dalam ayat 228 surat Al-Baqoroh:
Kata قروء dalam bahasa Arab dapat berarti “suci” dan dapat pula berarti “haid” mereka yang memahami lafal قروء dalam pengertian “suci” maka akan menetapkan. Bahwa idah wanita terletak ialah tiga kali suci, sebaliknya mereka yang meyakini kata قروء itu berkonotasi “haid” maka akan mengistinbatkan huku darinya bahwa ialah wanita yang tertalak telah tiga kali haid. Inilah salah satu sebab yang membuat ulama berbeda penetapan hukum.
b. Pola susunan kalimat ترتيب terbagi menjadi dua:
1) Mutasyabih karena terlalu “padat” nya ungkapan. Misalnya, ayat 3 dari  surat Al-Nisa’:
Sepintas tidak jelas maksud ungkapan tersebut, terutama hubungan antara berlaku adil terhadap anak yatim dengan perintah menikahi wanita. Menurut Al-Zarqani perlu diberi penjelasan sebagai berikut :
Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi.”
2) Susunan kata kurang berurutan.
Misal lafadz  قيما dalam ayat  1-2 dari surat Al-kahfi:
Dari segi logika pemikiran, kata tersebut seyogyanya ditempatkan setelah lafadz  الكتاب karena afal قيما merupakan “keterangan” sifat yang menjelaskan tentang keadaan الكتاب itu sendiri. Dengan ditempatkan jauh darinya, bahkan masuk pada ayat tersebut. Dari itu bila kata قيما itu didekatkan dengan  الكتاب maka susunanya akan menjadi:

Artinya:“segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hambanya Al-Kitab yang lurus, dan tidak pernah ada penyimpangan didalamnya.”
Sementara kekaburan maksud sebuah ungkapan yang dikarenakan terlalu panjang kalimat, sementara makna yang ikandungnya sedikit. Ternyata setelah diamati bersama hal itu tidak mengakibatkan kekaburan makna. Dalam hal ini Al- Zarqoni mengemukakkan contoh Ayat 11 dari As-syura’ : ليس كمثله شي .
“tidak ada yang serupa yang mirip dengan Allah sesuatu juapun”. Dan sudut kebebasan semata, barangkali ungkapan  كمثله tersebut memang terasa agak janggal, dan membuat konotasinya menjadi kabur karena ك (adat tasybih)berarti مثل jadi كمثله sama artinya dengan مثل مثله .
Sehingga dengan begitu ungkapan “ليس كمثله شي” itu sama dengan “ليس مثل مثله شي” jadi dari segi kebahasaan ungkapan semacam itu merupakan pemborosan kata. Namun bila direnungkan secara mendalam maka akan dirasakan bahwa ungkapan Al-Qr’an itulah yang tepat. Karena yang dimaksudkan Allah dalam ayat ini adalah menanamkan keyakinan ke dalam hati sanubari umat manusia bahwa jangankan yang serupa dengan-Nya. Bahkan yang serupa dengan yang semisal engan-NYa pun tidak ada. Jadi ayat tersebut emberikan informasi yang sangat tepat dan lebih mendalam tentang kondisi ketuhanan Allah yang dengan sangat jauh  antara Dia dengan makhluk-Nya.
2. Mutasyabih dari segi makna
Terjadi tasyabuh terhadap pengertian yang terkandung oleh suatu ayat, biasanya aat-ayat yang menginformasikan berita-berita ghoib seperti sifat-sifat Tuhan, malaikat, kondisi akherat seumpama surge, neraka, hari kiamat dan sebagainya. Semua itu tidak jelas bagi siapapun belum ada yang mengalaminya, sehingga yang diinformasikan oleh Al-Qur’an tidak bias dibayangkan secara tepat dan actual dalam benak kita.
Contoh-contoh dari pertanyaan diatas antara lain seperti nash-nash yang engimformasikan tentang Tuhan, seperti يد الله فوق ايديهم (الفتاح 10) “Tangan Allah diatas tangan-tangan mereka.”
الرحمن علي الاعرش استوي (طه : 5) (Ar-rahman bersila dfiatas Arasy), dan sebagainya. Pengertian semua itu samar-samar dan semua bagi kita. Tidak ada yang  tahu hakekat yang sebenarnya dibalik ungkapan trsebut. Dari situlah dapat disimpulkan bahwa semua yang diinformasikan tuhan tentang dari –Nya dan All-Qur’an atau adist Nabi dan sebagainya adalah symbol-simbol semu yang tidak diketahui oleh manusia hakikat sebenarnya di balik symbol-simbol tersebut, meskipun Tuhan menyatakan secara tegas :” Dia punya tangan, Dia bersila diatas ‘Arsy dan seterusnya, namun semua keterangan itu tak sama dengan yang ada dalam presepsi manusia. Kondisi inilah yang membuat pengertian ayat-ayat tersebut menjadi kabur bagi kita.
3. Lafal dan makna
Menurut Al-roaghib al-Ishfatani, kkaburan yang dilihat dari segi makna dan lafal tersebut dapat dilihat dari lima asek, yaitu kuantitas, kualitas, waktu, tempat dan persyaratan sah atau batalnya perbuatan. Hal ini dilihat dalam surat Al-Baqoroh ayat 189 :
)dan bukanlah kebaikan itu bahwa kamu memasuki rumah-rumah dari belakangnya). Kata Al-zarqani, ungkapan itu sulit sekali dipahami. Dari itu perlu diberi penjelasan, misalnya dengan menambahkan setelah lafal
“ ان كنتم محرمين بحج او عمرة”. Dengan demikian ayat itu mengandung pemahaman;” dan bukanlah kebaikan itu bahwa kamu memasuki rumah-rumah dari belakangnya jika kamu dalam keadan ihram pada waktu pelaksanaan haji atau umrah. Meskipun telah diberi penjelasan. Namun masih tetap belu rumah. Madar jika ihram membuat pintu (lubang) dibelakang Lalu mereka keluar dari belakang tirai secara sembunyi-sembunyi. Lalu turunlah ayat:
Dari gambaran tersbut tampan kepada kita bahwa kekaburan maksud ayat itu terasa dari dua segi lafal dan makna sekaligus.
C. Sikap ulama terhadap ayat-ayat mutasyabih
Para ulama mempunyai beberapa pendapat yang berbeda berhubungan dengan ayat-ayat mutasyabih diatas. Khususnya ayat-ayat yang berkenaan dengan sifat-sifat tuhan benar-benar menjadi kontroveksi dikalagan para ulama. Sedangkan ayat-ayat yang lain, maka tidak terlalu mempersoalkannya.
Apabila ditelusuri pendapat-pendapat ulama berkenaan dengan ayat-ayat mutsayabihat tentang sifat-sifat Tuhan, maka secara garis besarnya terbagi kedalam dua kelompok besar, yaitu:
1) Menerima tanpa takwil
Mereka yang menerima dan mempercayai begitu saja secara apriori ayat-ayat mutasyabihat ini disebut dengan aliran salaf. Mereka tidak mau mempermasalahkannya, melainkan menyerahkan saja maksudnya kepada Allah. Menurut ulama ini kita sebagai ciptaan Allah tidak perlu mencari-cai takwil tentang ayat-ayat mutasyabih, tetapi kita harus menyerahkan persoalannya kepada Allah semata.
2) Menerima dengan takwil
Jika ulama salaf tidak memperolehkan pembahasan ayat-ayat mutasyabihat. Mereka mulai sedikit toleran dan berlapang dada dalam menghadapi pemikiran-pemikiran yang tumbuh berkenaan dengan pemahaman ayat-ayat mutasyabihat tersebut. namun sebagian besar mereka masih tetap memegangi pendapat lama yang menolak setiap upaya interpertasi terhadap ayat-ayat mutasyabihat dalam bentuk apapun.
Ulama Khalaf inipun dibagi menjadi dua kelompok, yang pertama dipelopori oleh Abu Al- Hasan al-Asy’ari, yang menakwilkan ayat-ayat mutasyabihat itu sesuai dengan sifat-sifat yang diterima (dari-Nya)tanpa diketahui maksudnya secara tegas (pasti). Kelompok dua menakwilkan ayat-ayat mutasyabihat itu sesuai dengan makna tau sifat-sifat yang dimaklumi oleh manusia. Dengan demikian kelompok ini berusaha memalingkan makna yang terkandung dalam ayat-ayat mutasyabihat kepada mmakna yang dipahami manusia, tapi pantas dengan keagunggan Allah ditinjau dari segi logika dan agama.
Untuk lebih jelasnya, maka disini akan kami paparkan contoh ayat Al-Qur’an yang menyebutkan sifat-sifat mutasyabihat- Nya seperti:
a) Qs. Thaha ayat 5 yang memiliki arti “(Allah) maha pengasih bersemayam di atas ‘Arasy”.
b) Qs. Al-fajr ayat 2, yang memiliki arti “ Dan datanglah kepada Tuhanmu sedang para malaikat berbaris-baris.
c) Qs. Al-An’am ayat 61 yang memiliki arti “ Dan Dialah yang mempunyai kekuasaan tertinggi diatas hamba-hamba-Nya.”
d) Qs. Ar-Rahman ayat 27. Yang memiliki arti “dan tetap kekal wajah Tuhan-Mu.”
e) Qs. Thaha ayat 39, yang memiliki arti “agar engkau diasuh diatas mata-Ku.”
f) Qs. Al-Fath ayat 10, yang memiliki arti “tangan Allah diatas tangan mereka.”
g) Qs. Ali imon ayat 28, yang artinya “ Allah memperingatkan kamu terhadap diri-Nya.” Dst..
Itulah beberapa contoh ayat-ayat mutasyabih tentang sifat-sifat tersebut terdapat kata-kata bersemayam, dating diatas, sisi, wajah, mata, tangan, dan diri yang dijanjikan “sifat Allah”. Keadaan tersebut menunjukkan keadaan, tempat dan anggota yang layaknya dipakai bagi makhluk yang misalnya manusia. Kaena kata-kata tersebut dibangsakan Allah, maka sulit dipahami akan maksud yang sebenarnya. Namun, jika ada pertanyaan apa maksud dari ayat-ayat tersebut? Maka disini terdapat perbedaan jawaban antara ulama salaf dan ulama Khalaf, sebagai berikut:
ü Ulama salaf
Ulama ini mempercayai dan memahami ayat-ayat tentang sifat-sifat mutasyabihat itu dan menyerahkan hakikatnya kepada Allah. Pada intinya, mereka menyerahkan urusan hakikat mereka ayat-ayat tersebut kepada Allah.
ü Ulama Khalaf
Ulama ini lebih dikenal dengan nama Muawwilah atau madzhab takwil. Mereka menakwilkan semua sifat-sifat yang terdapat pada ayat-ayat mutasyabihat diatas dengan takwilan yang rasional. Bersemayam mereka takwilkan dengan pengendalian Allah terhadap ala mini tanpa mereasa kesulitan. Kedatanggan Allah mereka artikan dengan kedatangan perintah –Nya. Allah berada diatas Hamba-Nya diartikan dengan Allah maha tinggi, bukan berada pada suatu tempat. Kata sisi, mereka artikan hal Allah. Wajah mereka artikan dzat Allah. Mata mereka artikan dengan pengawasan. Tangan mereka artikan dengan kekuasaan Allah. Diri mereka artikan dengan siksaan-Nya.
Demikianlah dua pendapat ulama’ yang berbeda dalam menanggapi ayat-ayat mutasyabihat tesebut.
D. Hikmah keberadaan ayat-ayat mtasyabih dalam al-qur’an
Diantara hikmah kebeadaan ayat-ayat mutasyabih di dalam al-qur’an dan ketidak mampuan akal untuk mengetahuinya adalah sebagai berikut:
1. Memperlihatkan kelemahan akal manusia.
2. Teguran bagi orang-orang yang mengotak-atik ayat mutasyabih
3. Memberikan pemahaman abstrak-ilahah kepada manusia melalui pengalaman indrawi yang biasa disaksikannya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Jika kita coba renungkan bersama, maka kita akan mnemukan satu hikmah bahwa adanya ayat-ayat mutasyabihat tersebut sangat strategis dan teramat penting, terutama dalam rangka mengembangkan potensi akal-budi dan nalar pikiran. Dengan ayat-ayat mutasyabihat yang kurang terang pemahaman tersebut, maka para ulama, pakar, ilmuan dan sebagainya berusaha mengerahkan segenapkemampuan, daya piker dan zikir mereka untuk mengetahui makna-makna yang terselubung dibalik ungkapan yang samar-samar.
Perlu diketahui bahwa hal-hal yang sifatnya selalu mendorong seseorang untuk mengetahui hakikat dibalik kesamaran it. Dengan demikian, terjadilah usaha-usaha yang kreaktif dan inovatif secara berkesinambungan untuk mencapai suatu cita-cita. Kondisi inilah kemudian yang membuat peradaban islam berkembang sebagaimana tercatat dalam sejarah dunia khususnya pada abad-abad pertengahan yang dikenal dengan zaman keemasan Islam. Dimana semua bidang ilmu agama, maupun ilmu umum berkembang dengan sangat pesat.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar,Abu. Ulumul Qur’an. Pekan baru: Ambah, 2002
As-Sholih, Subhi, Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1990
Baidan, Nasruddin, Wawasan baru ilmu tafsir. Yogyakarta: Pustaka belajar, 2005
Djalal, Abdul. Ulumul Qur’an. Surabaya: Dunia Ilmu, 1998
Syanehchi, Mudhir Kathim dkk. Al-Qur’an buku yang menyesasatkan dan buku yang mencerahkan. Jakarta: PT Gugus Press, 2002
Rosihon anwar, ulum qur’an, pustaka setia, Bandung, 2007

Abu Anwar, Ulumul Qur’an, pecan baru, Amzah, cet I 2002, hal. 77.
ibid
Nasrudin Baidan, wawasan baru ilmu tafsir, Yogyakarta, pustaka belajar, cet. I. 2005, Hal. 9.
As-Suyuti, Al-itqan fi ulumul Qur’an, juz 2, dan Al-fikr, hal 2.
Muhammad Al-Bakn Ismail, dirosat fi ulumul Al-Qur’an, cet I, dan Al-manar, 1991, hal.211.
Abu anwar, Ulumul qur’an, Pekan baru, Amzah, cet I, 2002, Hal 78.
Al-Subri Soleh, Terjemah pustaka firdaus, Mabahits fi ulumul Qur’an, pustaka firdaus, Jakarta, 1993, hal 372.
Nasrudin Baidan, op.cit, hal 157.
Subhi Saleh, op.cit, hal 372.
. Rosihon anwar, ulum qur’an, pustaka setia, Bandung, 2007, hal. 134-135

Tidak ada komentar:

Posting Komentar