STIT AT-TAQWA CIPARAY BANDUNG

Sabtu, 13 Agustus 2011

PEMIKIRAN HADIS KONTEMPORER

PENDAHULUAN
Hadis Rasulullah adalah sebagai peedoman hidup yang utama setelah al-Qur’an. Tingkah laku manusia yang tidak ditegaskan ketentuan hukumnya, tidak diterangkan cara mengamalkannya, tidak diperindikan menurut dalil yang masih utuh, tidak dikhususkan menurut petunjuk dalil yang masih mutlak dalam al-Qur’an, hendaklah dicari penyelesaiannya dalam al-Hadis. Suatu problema, saat hadis tersebut diketemukan banyak sekali yang tidak shohih, bahkan banyak hadis palsu. Banyak kaum muslim pula ragu tentang hadis yang mereka jadikan pedoman. Bahkan mereka yang sudah meyakini suatu hadis, hanya karena hal kecil mereka meninggalkan hadis tersebut dikarenakan tidak menemukan kebenaran hadis.
Setiap zaman senantiasa muncul para pemikir yang tertarik untuk meneliti hadis. Ini dapat di lihat dari buku-buku ilmu hadis yang banyak berkembang dewasa ini. Kajian hadis dalam karya-karya tersebut pada umumnya bersifat filosofis. Para penulis lebih banyak membicarakan apa yang seharusnya disebut hadis, bukan apa senyatanya dari hadis tersebut. Sementara kajian yang didasarkan pada pendekatan murni ilmiah, baru terjadi pada abad 19, yang dilakukan oleh para orientalis. Hingga ukiran pena merekan sampai sekarang digunakan umat islam sebagai jalan meneliti suatu hadis.

PEMIKIRAN HADIS KONTEMPORER
A. Ahmad Amin
Lahir di Kairo, pada 1878 dan meninggal pada 30 Mei 1954. Pernah menjadi Guru Besar di Universitas Kairo pada 1934-1941. Dia dikenal sebagai sejawaran Islam. Adapun karya-karyanya: Fajrul Islam, Duhal Islam, Zuhrul Islam, dll.
Ahmad Amin menjabarkan tujuh aspek penting dalam kritik hadis:
1. Tidak adanya pembukuan
2. Pemalsuan hadis
3. Sebab-sebab pemalsuan hadis
4. Gerakan Ulama’ untuk meluruskan pemalsuan dan langkah-langkah yang diambilnya dari berbagai cara
5. Tokoh-tokoh hadis terkemuka
6. Usaha-usaha yang diambil dari pembukuan hadis
7. Khazanah hadis dalam penyebaran kebudayaan
Ahmad Amin menganggap pemalsuan Hadis telah terjadi semenjak Rasul masih hidup. Berdasarkan hadis من كذب علي متعمد فليتبوء مقعده من النار. Amin tak percaya kalau semua para sahabat bersifat ‘adil. Alasannya: di antara para sahabat saja sering terjadi kritik-mengkritik. Thalhah, Zubair, Aisyah Vs. Ali, Muwaiyah dan Amr bin Ash Vs. sahabat lain. Juga ditambah dengan adanya al-fitnah al-kubra I (pasca kematian Utsman) dan al-fitnah al-kubra II (pasca kematian Ali).
Dari peristiwa tersebut para sahabat tidak netral lagi. Terjadi blok-blok dan perang mengeluarkan hadis sesuai kepentingannya masing-masing, dan menyerang yang lain. Generasi pasca tabi’in hingga sekarang yang mengkultuskan bahwa para sahabat ‘adil semua.
Amin memperkuat dengan alasan lainnya: Ibnu Abbas menolak hadis Abu Hurairoh yang berbunyi ‘Barangsiapa membawa mait, maka berwudhulah’. Aisyah juga menolak hadis Abu Hurairoh berbunyi ‘barangsiapa bangun dari tidurnya maka basuhlah tangannya’.
B. Fazlur Rahman
Fazlur Rahman lahir pada tahun 1919 di daerah Barat Laut Pakistan. Ia dibesarkan dalam keluarga yang bermazhab Hanafi. Ketika itu Rahman belum terpecah kedalam negara Merdeka yakni India Pakistan. Rahman dikenal sebagai seorang pemikiran Islam Liberal seperti Syah Wali Alloh, Sir Syayid Ali dan Iqbal. Sejak kecil sampai umur belasan tahun selain mengenyam pendidikan formal, Rahman juga menggali ilmu tradisional dari ayahnya seoarang Kiyai yang mengajar di masrasah tradisonal. Ketika usia Rahman 10 tahun, dia hafal Al Quran. Rahman juga meneria ilmu Hadist dan ilmu Syariah lainnya.
Pendekatan historis dalam “penafsiran situasional” ala Fazlur Rahman mengisyaratkan adanya beberapa langkah strategis. Pertama, memahami makna teks Nabi kemudian memahami latar belakang situasionalnya, yakni menyangkut situasi Nabi dan masyarakat pada periode nabi secara umum (asbab al-wurud makro), termasuk di sini pula sebab-sebab munculnya hadis (asbab al-wurud mikro). Di samping itu juga memahami petunjuk-petunjuk al-Qur’an yang relevan. Hal ini penting, karena Rahman memandang bahwa kreterium penilai yang handal untuk otentisitas pemaknaan hadis adalah dua hal, yakni sejarah dan al-Qur’an. Dari langkah ini dapat dipahami dan dibedakan nilai-nilai nyata atau sasaran hukumnya (ratio legis) dari ketetapan legal spesifiknya, dan dengan demikian dapat dirumuskan prinsip idea moral dari hadis tersebut. Langkah berikutnya adalah penumbuhan kembali hukumnya, yakni prinsip idea moral yang didapat tersebut diaplikasikan dan diadaptasikan dalam latar sosiologis dewasa ini. Inilah yang dimaksud Rahman dengan “pencairan” hadis menjadi “sunnah yang hidup”. Dengan demikian, penafsiran situasional Rahman ini mengkombinasikan pendekatan historis dengan pendekatan sosiologis.
Dengan fenomena historis tersebut, yang menjadi perhatian akademis atau kegelisahan akademis Fazlur Rahman, adalah:
1. Umat Islam mengalami krisis metodology yang tampaknya sebagai penyebab kemunduran pemikiran Islam ke masa depan, karena menurutnya metodology sebagai titik pusat penyelesaian krisis intelektual Islam.
2. Pada zaman Sahabat awal periode I, umat Islam menggunakan dua sumber pokok (al-Qur’an dan Hadits) yang sifatnya sangat dinamis dan historis, tetapi pada akhir periode I dan awal periode II pemikiran keagamaan umat Islam menjadi normatif yang sifatnya kaku dan formal, sehingga hasil pemikiran Islam bersifat a hirtoris dan dokmatis. Fenomena ini disebabkan oleh pengaruh (penetrasi) pemikiran Barat.
3. Fazlur Rahman, melihat ada kekeliruan konsepsional pemikiran sarjana-sarjana Barat tentang konsep Sunnah yang menyebabkan sarjana-sarjana Barat tersebut menolak konsep Sunnah Nabi.
4. Rahman menyatakan bahwa ketidakserasian hubunganantara “Sunnah - Ijtihad - dan ijma’”  dan evolusi serta perkembangan Sunnah Nabi menjadi Hadits, yang menurutnya pemikiran umat Islam akan menjadi statis dan menghadap ke masa lampau. Melihat fenomena ini Rahmanmenyatakan umat Islam memerlukan pemikiran secara metodologis tentang Islam Normatif dan Islam Historis dengan membedakannya secara tegas.
Dalam mengkaji karya-karya Fazlur Rahman, kita perlu mengetahui metode-pendekatan yang digunakan dalam menulis karya-karyanya. Fazlur Rahman, sering menyebutkan dua istilah metodik dalam buku-bukunya yaitu Historico critical method dan Hermeneutic method. Kedua istlah tersebut merupakan ”kata kunci” untuk menelusiri metode pemikiran Fazlur Rahman.
1. Historico critical method (metode kritik sejarah), merupakan sebuah pendekatan kesejarahaan yang pada prinsipnya bertujuan menemukan fakta-fakta obyektif secara utuh dan mencari nilai-nilai (values) tertentu yang terkandung di dalamnya.
2. Hermeneutic method yaitu metode untuk memahami dan menafsirkan teks-teks kuno seperti kitab suci, sejarah, hukum juga dalam bidang filsafat.
Sehubungan dengan ini, ”Fazlur Rahman membuat kategori Islam menjadi dua, yaitu: Islam Normatif dan Islam Historis. Critical History sebagai sebuah metode yang digunakan sepenuhnya oleh Fazlur Rahman dalam mengkaji Islam historis dalam segala aspeknya. Pengembangan metode ini oleh Fazlur Rahman tampak dengan jelas dalam kajian-kajian historisnya, seperti dalam bukunya Islamic Methodology in History dan Islam andModernity Transformaton of an Intellectual Tradition.  Critical history oleh.
C. Nashirudhin Al-Bani
Syaikh Nashiruddin  al-Albani  lahir  tahun  1914 masehi  atau  bertepatan  dengan  tahun  1333 Hijriyah,  di  ibukota  Albania  saat  itu,  Asyqodar.  Keluarga  beliau  boleh  dibilang  termasuk kalangan kurang berada, namun bertradisi kuat dalam menuntut ilmu agama. Ayahanda beliau bernama al-Haj Nuh, lulusan  lembaga pendidikan  ilmu-ilmu syari’ah di ibukota negara dinasti Utsmaniyah  (kini  Istambul)  dan menjadi  rujukan  orang-orang  dalam masalah  agama  karena keluasan ilmunya.
Albani dan juga ulama masa kini cukup melakukannya dengan Library Reseach. Karena memang  pengembaraan  fisik  keluar masuk  satu  negeri  ke  negeri  yang  lain meneliti kebenaran mata rantai dan silsilah sanad tidak diperlukan lagi. Berdasarkan  hal  di  atas  maka  penilaian  Albani  paling  tidak  mempunyai  tiga  kekuatan dengan paparan sebagi berikut:
Apabila  Hadits  tersebut  asalnya  adalah  Hadits  shahih  melalui  penilaian  ulama  Hadits sebelumnya kemudian dikuatkan keshahihannya oleh Albani maka Hadits tersebut mempunyai kekuatan mengikat yang bisa dijadikan landasan fiqih dalam menggali hukum-hukumnya. Sementara  itu  apabila Hadits  tersebut  adalah Hadits  yang di  nilai maudlu’  oleh Albani, maka dalam hal ini Hadits tersebut tidak bisa di jadikan hujjah dan harus beralih ke Hadits lain. Hal  ini  didasarkan  pada  kenyataan  bahwa  penilaian  Albani  telah  di  akui  oleh  ulama  sesuai dengan  standar  penilaian  ulama Hadits  pada  umumnya  bahkan  dalam  beberapa  hal  Albani menampakkan ketelitian dan kejeliannya mengungkap Hadits-hadits maudlu’  yang  selama  ini tidak di ketahui banyak orang. Disatu sisi yang lain, Albani tidak menilai suatu Hadits dengan penilaian  maudlu’  kecuali  dengan  jelas  ia  menyatakan  alasan-alasannya  mengapa  Hadits tersebut  tidak  bisa  diterima  baik melalui  Jarh maupun  lainnya,  yang  dalam  hal  ini menurut penulis  siapapun  yang membaca  alasan-alasan Albani dan  karyanya  akan  sangat  sukar  untuk tidak menerimanya, apalagi mengingkarinya.
Kemudian Hadits-hadits yang di dla’ifkan oleh Albani, dalam hal  ini penulis sepakat  dengan  apa  yang  dikatakan  Syaikh  Yusuf  al-Qaradhawi  bahwa  pendla’ifan  Syaikh  Albani  masih  memungkinkan  di  diskusikan  sebab  kadang-kadang  ada  pula  ulama  sekarang    yang  berbeda  pendapat  dengannya  dalam  menilai  suatu Hadits,  seperti  Syaikh  al-Allamah Habibur  Rahman  al-‘Azhami,  Syaikh  Syu’aib  al-Arna’uth, Syaikh Abdul Fatah, Abu Ghadah, dan lain-lainnya. Dengan demikian, lapangan ini menerima ijtihad dan perbedaan pendapat, yang dalam hal ini  kadang-kadang  terdapat  sesuatu  yang  diketahui  oleh  seseorang  yang  “kelasnya”  lebih rendah, yang luput dari pengetahuan orang yang “ kelasnya” lebih tinggi.
D. M. Musthofa al-azami
Beliau adalah salah seorang cendekiawan terkemuka di bidang ilmu Hadis, lahir di Mau, India pada awal tahun tiga puluhan. Pendidikan pertama di Dar al-`Ulum Deoband, India (1952), Universitas al-Azhar, Kairo, (M.A., 1955), Universitas Cambridge (Ph.D., 1966). Guru Besar Emeritus (pensiun) pada Universitas King Sa’ud (Riyad) dan beliau pernah menjabat sebagai kepala jurusan Studi Keislaman, dan memiliki kewarganegaraan Saudi Arabia. Profesor A’zami pernah menjabat sebagai Sekretaris Perpustakaan Nasional, Qatar; Associate Profesor pada Universitas Umm al-Qura (Mekah) ; Sebagai Cendekiawan tamu pada Universitas Michigan (Ann Arbor); Fellow Kunjungan pada St. Cross College (Universitas Oxford).
Menurut M.Musthofa Azami bahwa meneliti hadis adalah menemukan bentuknya yang baku seperti yang dipelajari di pesantren-pesantren maupun di perguruan tinggi islam Indonesia dewasa ini, yang meliputi bidang-bidang:
1. pemahaman dan penghafalan tek-tek hadis terkenal untuk mendidik keimanan, akhlak dan pengetahuan dasar-dasar keagamaan islam.
2. Penguasaan kategori hadis (ta’rif al-hadis min jihati sihiyatiha), sehingga menjadi sebuah disiplin yang berdiri sendiri, yang terkenal dengan nama ilmu Mustolah Al-Hadis.
3. Penelitian kedudukan dan kekuatan para periwayat hadis, baik perawi penerima maupun perawi penyampai (ruwwal, transmitters). Seperti yang dicakup oleh bidang ilmu hadis yang dikenal dengan nama Ilmu Rijal Al-Hadis, Tobaqoh Al-Muhaditsin dan sebagainya.
4. Penelitian cara-cara pengambilan hokum agama dari teks hadis, yang dikenal dengan istilah Istinbath Al-Ahkam Min Al-Hadis.
E. Yusuf Al-Qardhawi
Yusuf Al-Qardhawi adalah pemikir kontemporer yang lahir di Mesir pada tahun 1926 di desa Saft al-Turab. Ketika usianya belum genap sepuh tahun, ia telah berhasil menghafalkan al-Qur’an. Sama dengan Al-Ghazali, Yusuf Al-Qardhawi juga mantan aktivis Al-Ikhwan Al-Muslimun. Banyak karya yang dihasilkan dari Al-Qardhawi yang dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia.
Di antara para pemikir kontemporer, Al-Qardhawi memberikan  penjelasan yang luas tentang bagaimana pemikirannya tentang hadis yang dikembangkan menjadi metode sistematis untuk menilai otentisitas hadis. Menurut Al-Qardhawi, sunnah nabi mempunyai 3 karakteristik, yaitu komprehensif (manhaj syumul), seimbang (manhaj mutawazzun), dan memudahkan (manhaj muyassar). Ketiga karakteristik ini akan mendatangkan pemahaman yang utuh terhadap suatu hadis.
Atas dasar inilah maka Al-Qardhawi menetapkan tiga hal juga yang harus dihindari dalam berinteraksi dengan sunnah, yaitu pertama, penyimpangan kaum ekstrim, kedua, manipulasi orang-orang sesat, (Intihal al-Mubthilin), yaitu pemalsuan terhadap ajaran-ajaran Islam, dengan membuat berbagai macam bid’ah yang jelas bertentangan dengan akidah dan syari’ah, dan ketiga, penafsiran orang-orang bodoh (ta’wil al-jahilin). Oleh sebab itu, pemahaman yang tepat terhadap sunnah adalah mengambil sikap moderat (wasathiya), yaitu tidak berlebihan atau ekstrim, tidak menjadi kelompok sesat, dan tidak menjadi kelompok yang bodoh.
Untuk merealisasikan metodenya, Yusuf Qardhawi menerapkan metode pemahaman hadis dengan prinsip-prinsip dasar yang harus ditempuhnya ketika berinteraksi dengan sunnah, yaitu;
  1. Meneliti kesahihan hadis sesuai dengan acuan umum yang ditetapkan oleh pakar hadis yang dapat di percaya, baik sanad maupun matan.
  2. Memahami sunnah sesuai dengan pengetahuan bahasa, konteks, asbab al-wurud teks hadis untuk menentukan makna suatu hadis yang sebenarnya.
  3. Memastikan bahwa sunnah yang dikaji tidak bertentangan dengan nash-nash yang lebih kuat.
Adapun untuk melakukan prinsip-prinsip dasar itu, maka Al-Qardhawi mengemukakan 8 langkah yaitu;
1. Memahami Hadis Sesuai dengan Petunjuk al-Qur’an.
Menurut Al-Qardhawi, untuk memahami suatu hadis dengan benar harus sesuai dengan petunjuk al-Qur’an. Karena terdapat hubungan yang signifikan antara hadis dengan al-Qur’an. Oleh karena itu tidak mungkin kandungan suatu hadis bertentangan dengan ayat-ayat al-Qur’an yang muhkam, yang berisi keterangan-keterangan  yang jelas dan pasti.
2. Menghimpun Hadis-Hadis yang Setema.
Menurut Al-Qardhawi, untuk menghindari kesalahan dalam memahami kandungan hadis yang sebenarnya perlu menghadirkan hadis-hadis lain yang setema. Adapun prosedurnya ialah dengan menghimpun hadis sahih yang setema kemudian mengembalikan kandungan hadis yang mutasyabih kepada yang muhkam, mengantarkan yang mutlaq kepada yang muqayyad, yang ‘am ditafsirkan dengan yang khas. Hal ini dikarenakan posisi hadis untuk menafsirkan al-qur’an, dan menjelaskan maknanya, maka sudah pasti bahwa ketentuan-ketentuan tersebut harus berlaku bagi hadis secara keseluruhan.
Dalam hal ini, Al-Qardhawi menguraikan contoh sebuah hadis tentang hukum pertanian. Pertama-tama beliau mengemukakan hadis yang mencela orang yang membawa alat pertanian masuk rumah. Dari abu ‘Umamah al-Bahili ketika melihat alat untuk membajak, ia berkata; saya mendengar Nabi saw bersabda; لايدخل هذا بيت قوم إلا أدخله الله الذلّ
(‘Tidak akan masuk (alat) ini ke dalam rumah suatu kaum, kecuali Allah pasti memasukkan kehinaan ke dalamnya)
Setelah itu, ia mengemukakan pula hadis-hadis yang menunjukkan keutamaan bercocok tanam, diantaranya;
ما من مسلم يغرس غرسا او يزرعزرعا فيأكل منه طير او إنسان أو بهيمة إلاّ كان له به صدقة
(Tidak seorang Muslim menanam tanaman, lalu buahnya dimakan burung atau manusia atau binatang, kecuali ia pasti beroleh sedekah.)
3. Kompromi atau Tarjih terhadap Hadis-Hadis yang Kontradiktif.
Dalam pandangan Al-Qardhawi, pada dasarnya nash-nash syari’at tidak akan saling bertentangan. Pertentangan yang mungkin terjadi adalah bentuk lahiriyahnya bukan dalam kenyataan yang hakiki. Adapun solusi yang ditawarkan Al-Qardhawi adalah, al-jam’u (penggabungan atau pengkompromian). Bagi Al-Qardhawi, hadis yang tampak bertentangan dengan hadis yang lain dapat dilakukan dengan cara mengompromikan hadis tersebut.
4. Memahami Hadis Sesuai dengan Latar Belakang, Situasi dan Kondisi serta Tujuannya.
Menurut Al-Qardhawi, dalam memahami hadis nabi, dapat memperhatikan sebab-sebab atau latar belakang diucapkannya suatu hadis atau terkait dengan suatu illat tertentu  yang dinyatakan dalam hadis, atau dipahami dari kejadian yang menyertainya. Hal demikian mengingat hadis nabi dapat menyelesaikan problem yang bersifat lokal, partikular, dan temporer. Dengan mengetahui hal tersebut seseorang dapat melakukan pemahaman atas apa yang bersifat khusus dan  yang umum, yang sementara dan abadi.  Dengan demikian, menurut Al-Qardhawi, apabila kondisi telah berubah dan tidak ada illat lagi, maka hukum yang berkenaan dengan suatu nas akan gugur dengan sendirinya. Hal itu sesuai dengan kaidah hukum berjalan sesuai dengan illatnya, baik dalam hal ada maupun tidak adanya. Maka yang harus dipegang adalah maksud yang dikandung dan bukan pengertian harfiyahnya.
5. Membedakan antara Sarana yang Berubah-ubah dan Tujuan yang Tetap.
Menurut Al-Qardhawi, memahami hadis nabi harus memperhatikan makna substansial atau tujuan, sasaran hakekat teks hadis tersebut, sarana yang tampak pada lahirnya hadis dapat berubah-ubah. Untuk itu tidak boleh mencampuradukkan antara tujuan hakiki yang hendak dicapai hadis dengan sarana temporer atau lokal. Dengan demikian, bila suatu hadis menyebutkan sarana tertentu untuk mencapai tujuan, maka sarana tersebut tidak bersifat mengikat, karena sarana tersebut ada kalanya berubah karena adanya perkembangan zaman, adat dan kebiasaan.
6. Membedakan antara yang Hakekat dan Ungkapan
Teks-teks hadis banyak sekali yang menggunakan majas atau metafora, karena rasulullah adalah orang Arab yang menguasai balaghah. Rasul menggunakan majas untuk mengemukakan maksud beliau dengan cara yang sangat mengesankan. Adapun yang termasuk majas adalah; majas lughawi, aqli, isti’arah. Misalnya hadis tentang sifat-sifat Allah. Hadis semacam ini tidak bisa secara langsung dipahami, tapi harus perhatikan berbagai indikasi yang menyertainya, baik yang bersifat tekstual ataupun kontekstual.
7. Membedakan antara yang Gaib dan yang Nyata.
Dalam kandungan hadis ada hal-hal yang berkaitan dengan alam gaib, misalnya hadis yang menyebutkan tentnag makhluk-mahluk yang tak dapat dilihat seperti malaikat, jin, syetan, iblis, ‘ars, kursy, qalam dan sebagainya. Terhadap hadis-hadis tentang alam gaib, Al-Qardhawi sesuai dengan Ibnu Taimiyah, yaitu menghindari ta’wil serta mengembalikan itu kepada Allah tanpa memaksakan diri untuk mengetahuinya
8. Memastikan Makna Kata-kata dalam Hadis
Untuk dapat memahami hadis dengan sebaik-baiknya, menurut Al-Qardhawi penting sekali untuk memastikan makna dan konotasi kata-kata yang digunakan dalam susunan hadis, sebab konotasi kata-kata tertentu adakalanya berubah dalam suatu masyarakat ke masyarakat lainnya
Agar sukses memahami hadis secara benar, Qardhawi menegaskan bahwa kita harus menghimpun Hadis Shahih yang berkaitan dengan suatu tema tertentu. Kemudian mengembalikan kandungan yang mutasyabih kepada yang muhkam, mengaitkan yang mutlak dengan muqayyad, dan menafsirkan yang ‘am dengan khass. Dengan cara itu, suatu hadis dapatlah dimengerti maksudnya dengan lebih jelas dan tidak dipertentangkan antara hadis yang satu dengan yang lain.
PENUTUP
Ahmad Amin menjabarkan tujuh aspek penting dalam kritik hadis diantaranya dengan tidak adanya pembukuan, pemalsuan hadis, sebab-sebab pemalsuan hadis, gerakan Ulama’ untuk meluruskan pemalsuan dan langkah-langkah yang diambilnya dari berbagai cara, tokoh-tokoh hadis terkemuka, usaha-usaha yang diambil dari pembukuan hadis dan khazanah hadis dalam penyebaran kebudayaan.
Albani dan juga ulama masa kini cukup melakukannya dengan Library Reseach. M. Musthofa Azami meneliti hadis dengan menemukan bentuknya yang baku seperti yang dipelajari di pesantren-pesantren maupun di perguruan tinggi islam Indonesia. Fazlurrohman dengan dengan menitikberatkan dengan strategi pendekatan historis. Dengan memahami makna teks Nabi kemudian memahami latar belakang situasionalnya. Selain itu, membutuhkan petunjuk-petunjuk al-Qur’an yang relevan. Hal ini penting. Langkah berikutnya adalah penumbuhan kembali hukumnya, yakni prinsip idea moral yang didapat tersebut diaplikasikan dan diadaptasikan dalam latar sosiologis dewasa ini. Inilah yang dimaksud Rahman dengan “pencairan” hadis menjadi “sunnah yang hidup”. Dengan demikian, penafsiran situasional Rahman ini mengkombinasikan pendekatan historis dengan pendekatan sosiologis.

DAFTAR PUSTAKA
Ervan Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan A-Sunnah (Jakarta: Prenada Media, 2003), 92.
httpjournal.uii.ac.idindex.phpJHIarticleview247242
http://www.foxitsoftware.com   For evaluation only. Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software
Khaeruman, Badri. Otentisitas Hadis Studi Kritik Atas Kajian Hadis Kontemporer. Bandung, PT Remaja Rozdakarya, 2004.
Yusuf Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadis Nabi SAW, (Bandung: karisma, 1999), hlm. 92.
al-’Asqalani, Ibnu Hajar. Bulugh al-Maram.Surabaya: al-Hidayah, t.th.


Ervan Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan A-Sunnah (Jakarta: Prenada Media, 2003), 92.
httpjournal.uii.ac.idindex.phpJHIarticleview247242
 http://www.foxitsoftware.com   For evaluation only. Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software
Badri Khaeruman, Otentisitas Hadis Studi Kritik Atas Kajian Hadis Kontemporer (Bandung, PT Remaja Rozdakarya, 2004), 244-245.
Yusuf Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadis Nabi SAW, (Bandung: karisma, 1999), hlm. 92.
Ibid., hlm. 94-188
Riwayat Bukhari bab al-Muzara’ah. Lihat Ibnu Hajar al-’Asqalani, Bulugh al-Maram, (Surabaya: al-Hidayah, t.th), hlm. 194
Riwayat Bukhari dan Muslim dari Anas. Lihat Ibnu Hajar al-’Asqalani, Ibid., hlm. 195

Tidak ada komentar:

Posting Komentar