STIT AT-TAQWA CIPARAY BANDUNG

Sabtu, 20 Agustus 2011

Perubahan Amandemen dan Konstitusi

Kesepakatan Dasar dalam Melakukan Perubahan Konstitusi
Perubahan konstitusi merupakan suatu hal yang menjadi perdebatan panjang, terutama berkaitan dengan hasil-hasil yang diperoleh dari perubahan itu sendiri. Perdebatan itu menyangkut apakah hasil perubahan itu menggantikan konstitusi yang lama ataukah hasil perubahan itu tidak menghilangkan dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari konstitusi yang lama.
Dalam sistem ketatanegaraan modern, paling tidak ada dua sistem yang berkembang dalam perubahan konstitusi yaitu renewal (pembaruan) seperti yang dianut oleh negara-negara Eropa Kontinental dan amandement (perubahan) seperti yang dianut oleh negara-negara Anglo-Saxon. Sistem perubahan konstitusi renewal adalah perubahan konstitusi secara keseluruhan sehingga yang diberlakukan kemudian adalah konstitusi yang benar-benar baru. Negara-negara yang menganut sistem ini antara lain Belanda, Jerman, dan Prancis.

Sistem perubahan konstitusi amandemen adalah perubahan konstitusi dengan tetap memberlakukan konstitusi yang asli. Hasil perubahan tersebut merupakan bagian atau lampiran yang menyenai konstitusi asli. Negara yang menganut sistem ini antara lain Amerika Serikat.
Adapun cara yang dapat digunakan untuk mengubah konstitusi adalah melalui jalan penafsiran.
Menurut KC Wheare, caranya melalui:
a. beberapa kekuatan yang beradat primer (some primary sources)
b. perubahan yang diatur dalam konstitusi (formal amandement)
c. penafsiran secara hukum (judicial interpretation);
d. kebiasaan yang terdapat dalam bidang ketatanegaraan (usage and convention).
Sementara itu, menurut Miriam Budiardjo, ada empat macam prosedur dalam perubahan konstitusi, yaitu sebagai berikut:
a. Sidang badan legislatif dengan ditambah beberapa syarat, misalnya dapat ditetapkan kuorum untuk sidang yang membicarakan usul perubahan undang-undang dasar dan jumlah minimal anggota badan legislatif untuk menerimanya,
b. Referendum atau plebisit.
c. Negara-negara bagian dalam negara federal (misalnya Amerika Serikat,3/4 dari 50 negara bagian harus menyetujui).
d. Musyawarah khusus (special convention).
PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR 1945
Perubahan/Amandemen UUD 1945
Sesuai dengan perkembangan di berbagai bidang kehidupan dalam berbangsa dan bernegara di Indonesia, sejak masa reformasi telah menimbulkan pemikiran yang serius dari bangsa dan negara Indonesia untuk melakukan koreksi atas berbagai penyimpangan yang terjadi dalam praktik penyelenggaraan negara. Dalam rangka pelaksanaan penyelenggaraan hidup bernegara, termasuk jalannya ketatanegaraan, bangsa Indonesia telah mengalami momen sejarah baru, yaitu reformasi. Tepatnya terjadi pada sekitar tahun 1998 setelah tumbangnya pemerintahaan Orde Baru yang sebelumnya telah berlangsung selama lebih kurang 32 tahun.
Bangsa Indonesia telah menginginkan terbentuknya suatu sistem kehidupan berbangsa dan bernegara yang baru, demokratis dengan menempatkan kedaulatan rakyat pada posisi kedaulatan tertinggi.
Dengan terjadinya berbagai penyimpangan dalam praktik kenegaraan, baik pada masa pemerintahan Orde Lama (Soekarno), maupun pada masa pemerintahan Orde Baru (Soeharto), yang mengarah kepada kekuasaan bersifat sentralistik, tertutup dan otoriter, yang salah satu sumber penyebabnya adalah pada konstitusi negara kita, yaitu UUD 1945 yang dinilai tidak cukup kuat untuk menampung segenap prinsip-prinsip konstitusional serta prinsip ke arah kehidupan yang demokratis maka diperlukan suatu koreksi terhadap konstitusi/UUD 1945.
Sebenarnya para penyusun dan perumus Undang-Undang Dasar 1945 pada saat itu telah menyadari bahwa Undang-Undang Dasar 1945 masih belum lengkap dan tidak sempurna mengingat saat perumusan/penyusunannya dalam waktu yang sangat sempit dan serba tergesa-gesa sehingga undang-undang dasar belum memiliki mekanisme atau sistem check and balance (pengawasan dan keseimbangan) antarlembaga negara yang ada.
Presiden Soekarno dalam pidatonya di depan rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 18 Agustus 1945 pernah menyatakan bahwa Undang-Undang Dasar 1945 masih berifat sementara dan kilat sehingga kelak pada sesudah suasana menjadi lebih tenteram dan stabil dapat dibuat undang-undang dasar baru yang lebih lengkap dan sempurna. Dalam Ayat (2) Aturan Tambahan Undang-Undang Dasar 1945 (lama) dinyatakan bahwa dalam enam bulan sesudah Majelis Permusyawaratan Rakyat terbentuk, majelis ini bersidang untuk menetapkan undang-undang dasar. Peluang perubahannya dilandaskan pada Pasal 37 Undang-Undang Dasar 1945 yang mensyaratkan harus dihadiri oleh dua pertiga anggota MPR dalam sidang, dan disetujui oleh dua pertiga dari anggota yang hadir, sedang perubahannya harus mempertimbangkan kepentingan aspirasi dengan pelaksanaannya.
Perubahan juga harus mempertimbangkan kecermatan dan kehati-hatian serta hal-hal lain yang memungkinkan akan mengakibatkan kesulitan dalam pelaksanaannya, termasuk pentingnya melibatkan masyarakat dalam proses sosialisasi. Perubahan UUD 1945, sesuai dengan Pasal 37, sesungguhnya perubahan itu belum secara lengkap dari rakyat. Oleh karena itu, perubahannya nanti diharapkan dapat meningkatkan kualitas demokrasi dan penegakan hak asasi manusia dalam Undang-Undang Dasar 1945. Seperti diketahui bahwa kesepakatan di MPR yang menyatakan tidak dimungkinkannya melakukan perubahan terhadap Pembukaan UUD 1945 menunjukkan masih diterimanya Pancasila sebagai ideologi negara mengingat letak Pancasila ada dalam paragraf IV Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Perubahan Sistem Ketatanegaraan Setelah Amandemen UUD 1945
Sejak era reformasi, MPR hasil Pemilu 1999 telah melakukan empat kali amandemen UUD 1945. yaitu amandemen pertama (19 Oktober 1999), amandemen kedua (18 Agustus 2000), amendemen ketiga (9 November 2001), dan amandemen keempat (10 Agustus 2002).
Perubahan pertama sampai keempat UUD 1945 tersebut telah mengubah hampir selurun sistem ketatanegaraan di negara Indonesia (berbeda dengan sistem ketatanegaraan yang dianut oleh UUD 1945), seperti lahirnya lembaga-lembaga baru, yaitu Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial. Adapun perubahan tersebut di antaranya adalah sebagai berikut:
a. Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar.
b. MPR tidak lagi dikenal sebagai lembaga tertinggi negara karena setelah amandemen menggunakan sistem bikameral (sistem majelis perundang-undangan kembar), yang terdiri atas Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)dan Dewan Perwekilan Daerah (DPD); sedangkan Utusan Golongan di MPR tidak ada lagi. DPR dan DPD dipilih melelui pemilihan umum.
c. MPR berwenang mengubah dan menetapkan undang-undang dasar, melantik Presiden dan Wakil Presiden, serta dapat memberhentikan presiden dan wakil presiden dalam masa jabatannya.
d. Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan dan dihantu oleh seorang wakil presiden dan menteri-menteri negara.
e. Presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat untuk masa jahatan selama lima tahun, den sesudah itu dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan.
f. Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR.
g. Keberadaan lembaga Dewan Pertimbangan Agung dihapuskan dari lembaga tinggi negara dan menjadi lembaga di dalam struktur pemerintahan negara yang dibentuk oleh presiden.
h. DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Setiap rancangan undang-undang dibahasoleh DPR dan presiden untuk mendapat persetujuan bersama.
i. Anggota DPD dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum.
j. Badan Pemeriksa Keuangan bertugas untuk memeriksa pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara.
k. Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.
l. Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
m. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan hasil pemilihan umum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar