STIT AT-TAQWA CIPARAY BANDUNG

Sabtu, 13 Agustus 2011

POLITIK SERTA KEBIJAKAN TENTANG PENDIDIKAN

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bangsa Indonesia dewasa ini sedang menghadapi sejumlah tantangan yang sangat besar dalam pengembangan mutu sumber daya mansusia. Selain menghadapi globalisasi dan dorongan untuk mengembangkan mutu sumber daya manusia, juga tantangan dalam menghadapi krisis ekonomi, yang berdampak kepada krisis politik, sosial dan bahkan kepada disintegrasi bangsa. Gerakan reformasi nasional telah merubah kebijaksanaan pembangunan menjadi lebih demokratis, mengakui persamaan derajat manusia, dan pembangunan yang lebih terdesentralisasi dalam rangka menuju Masyarakat Madani. Sehubungan dengan pergeseran pembangunan itu, terdapat sejumlah isu serta masalah pendidikan nasional baik yang bersifat mikro maupun makro. Masalah kualitas dan relevansi merupakan isu pada level mikro sedangkan masalah persamaan, desentralisasi dan manajemen pendidikan merupakan  isu pada level makro.

Ciri utama Masyarakat Indonesia adalah masyarakat demokratis yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, persamaan dan keadilan, toleransi dan penegakan hukum (Fadjar, 2001). Dalam rangka itu, pemberdayaan individu dan masyarakat mutlak diperlukan, sebab suatu masyarakat madani membutuhkan motivasi dan kemampuan yang kuat, disertai partisipasi nyata dari masyarakat. Dalam hubungan ini, pendidikan diyakini merupakan faktor yang paling berperan bagi upaya pemberdayaan individu dan masyarakat itu.
Beberapa kunci yang dipandang dapat memberdayakan itu adalah:
  1. pengembangan manusia seutuhnya, termasuk pengembangan skill yang mampu beradaptasi dengan perubahan
  2. pengembagan pendidikan masyarakat yang dapat menumbuhkan perspektif historis, yaitu kesadaran akan nilai-nilai yang diyakini sangat dibutuhkan guna mewujudkan masyarakat madani Indonesia itu, dan
  3. pengembangan pendidikan massal melalui pemberdayaan dan pemanfaatan media komunikasi massa tradisional, cetak dan elektronik.
Dalam proses perubahan itu, pendidikan harus mampu memberikan sumbangan optimal bagi transformasi menuju terwujudnya masyarakat madani. Dalam rangka itu, dan karenanya perumusan filosofi yang lengkap diperlukan guna menyeimbangkan antara pendidikan di satu sisi, dengan dinamika perubahan masyarakat di sisi lain. Dalam konteks ini, pendidikan mempunyai tiga arti yang prosesnya berjalan simultan, yaitu sebagai proses belajar, sebagai proses ekonomi, dan sebagai proses sosial-budaya.
Sebagai proses belajar, pendidikan harus mampu menghasilkan individu dan masyarakat religius yang secara personal memiliki integritas dan kecerdasan. Sebagai proses ekonomi, pendidikan merupakan suatu investasi yang dalam tingkat tertentu harus memberi keuntungan. Sebagai proses sosial-budaya, pendidikan merupakan bagian integral dari proses sosial-budaya yang berlangsung terus tanpa akhir. Karena itu, berkaitan dengan nilai-nilai dasar pendidikan nasional dapat diidentifikasi sebagai berikut: nilai agama, kebebasan, nasionalisme, kesesuaian, kebudayaan, kemerdekaan, kemanusiaan, kekeluargaan, disiplin dan kebanggaan nasional. Nilai-nilai tersebut harus secara simultan dapat diakomodasi, baik pada level mikro maupun makro, dan tercermin pada semua aspek dalam sistem pendidikan nasional: isi, proses, organisasi, lembaga sampai kepada manajemennya.
Sementara itu, lingkungan global ditandai oleh sistem pasar terbuka yang didasarkan atas perubahan yang sangat cepat serta penerapan teknologi komunikasi yang sangat maju. Selain itu, kebutuhan akan sumberdaya manusia yang berkualitas semakin meningkat sejalan dengan perubahan lingkungan yang begitu cepat. Pada skala nasional, krisis nasional yang telah melahirkan reformasi nasional, setidaknya mengandung empat aspek, yaitu: reformasi ekonomi, politik, hukum, dan sosial-budaya.
Jadi diperlukan paradigma serta arah pengembangan baru dalam sistem pendidikan nasional. Paradigma baru tersebut, dibandingkan dengan paradigma lama sebagai berikut  (Jalal & Dedi Supriadi, 2001): Paradigma lama: sentralistik, top-down, orientasi pengembangan parsial; pendidikan untuk pertumbuhan ekonomi, stabilitas politik dan teknologi perakitan, peran pemerintah sangat dominan, dan lemahnya peran institusi nonsekolah. Pada paradigma baru, keadaannya sudah bergeser: desentralistik, bottom-up, orientasi pengembangan holistik pendidikan untuk pengembangan kesadaran untuk bersatu dalam kemajemukan budaya, menjunjung tinggi nilai moral, kemanusiaan dan agama, kesadaran kreatif, produktif, dan kesadaran hukum.
Adapun prinsip-prinsip yang terkandung dalam arah baru pengembangan pendidikan nasional adalah:
  1. kesetaraan sektor pendidikan dengan sektor lain
  2. berorientasi rekonstruksi sosial
  3. dalam rangka pemberdayaan bangsa
  4. pemberdayaan infra-struktur sosial
  5. pembentukan kemandiarian dan keberdayaan untuk mencapai keunggulan
  6. penciptaan iklim yang kondusif untuk tumbuhnya toleransi dan konsensus dalam kemajemukan
  7. perencanaan terpadu secara horizontal (antar-sektor) dan vertikal (antar-jenjang)
  8. berorientasi peserta didik
  9. pendidikan multi-kultural, dan
  10. pendidikan dengan perspektif global.
Pendidikan  dalam arti human investment hendaknya mampu menghasilkan perancang perubahan (change designers) dan pendorong perubahan (change pusers) yang berjiwa entrepreneur dan inovator. Dalam proses modernisasi menuju masyarakat tekonologi. Salah satu permasalahan pendidikan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan, khususnya pendidikan dasar dan menengah. Berbagai usaha telah dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional, melalui pengembangan kurikulum nasional dan lokal, peningkatan kompetensi guru melalui pelatihan, pengadaan buku dan alat pelajaran, pengadaan dan perbaikan sarana dan prasarana pendidikan, dan peningkatan mutu manajemen sekolah. Namun demikian berbagai indikator mutu pendidikan belum menunjukan peningkatan yang berarti.
Dengan demikian perlu adanya solusi yang tepat untuk mengatasi permasalahan-permasalahan diantaranya seperti: pemerataan pendidikan, daya serap dunia kerja, mutu lulusan, akuntabilitas dan pencitraan publik, khususnya dalam menghadapi tuntutan global dengan merevitalisasi pendidikan sebagai human investment.
B. Rumusan Masalah
Permasalahan yang akan diangkat serta dikaji, yaitu:
  1. Apa makna dari Human Investment?
  2. Bagaimana peran Politik Pendidikan?
  3. Bagaimana Implementasi Kebijakan Pendidikan?
C. Tujuan
Hasil yang ingin dicapai setelah pembuatan Paper ini, adalah:
  1. Mengetahui makna dari Human Investment.
  2. Megetahui peran Politik Pendidikan.
  3. Mengetahui Implementasi Kebijakan Pendidikan.
  4. Menjadi bahan kajian bagi Stakeholders yang mempunyai Permasalahan yang sama terkait Politik serta Kebijakan tentang Pendidikan.
BAB II
LANDASAN TEORITIK
A. Konsep Politik Pendidikan
Dale mebedakan antara politik pendidikan dan pendidikan politik dengan mengemukakan pernyataanya. Menurutnya, pendidikan politik adalah studi terhadap efektifitas sistem pendidikan dan bentuk-bentuk pengelolaan pendidikan dalam mencapai tujuan yang dibebankan kepada mereka. Dale kemudian mengemukakan tiga ciri utama studi ini:
  1. mempertanyakan proses pembuatan keputusan
  2. mereduksi politik menjadi administrasi, dan
  3. terfokus pada machinary (perangkat kerja).
Sedangkan politik pendidikan menurut Dale adalah relasi antara produksi tujuan-tujuan dan bentuk-bentuk pencapainya. Fokusnya ada pada kekuatan yang menggerakkan machinary, bagaimana dan dimana machinary tersebut diarahkan. Konsentrasi kajian politik pendidikan bagi Dale ada pada peranan negara. Ia yakin dengan melalui studi tentang politik pendidikan dapat menerangkan pola-pola, kebijakan, dan proses pendidikan dalam masyarakat secara memadai, disamping memungkinkan kita untuk mempertanyakan persoalan-persoalan diseputar asumsi, maksud dan outcome berbagai strategi perubahan pendidikan.
Istilah politik pendidikan merupakan proses pembuatan keputusan-keputusan penting dan mendasar dalam bidang pendidikan baik ditingkat lokal maupun nasional. Definisi ini dikemukakan Kimbroug dengan meminjam pengertian politik yang disampaikan Kammerer sebagai proses pembuatan keputusan-keputusan penting yang melibatkan masyarakat luas. Kimbroug lalu menyatakan bahwa pendidikan publik bersifat politis. Mereka yang terlibat dalam manajemen pendidikan publik adalah para politisi, manakala mereka menuntut keputusan, harus melalui proses politik. Dari pernyataan Kimbrough ini kita dapat menyatakan bahwa proyek-proyek penting dalam bidang pendidikan terkait dengan konsep ekonomi, sistem sosial, keuangan, fungsi pemerintah, dan bisinis yang kesemuanya melahirkan aktivitas politik dan bersifat partisan. Oleh sebab itu para pimpinan  lembaga pendidikan akan berhasil, jika memahami elemen-elemen penting dari struktur kekuasaan dan menggunakan pengetahuan ini dalam melaksanakan politik sekolah. Ketidaktahuan atas proses politik, pimpinan lembaga pendidikan akan mengalami disinformasi tentang sejauhmana prsedur demokratis terlibat dalam pembuatan keputusan. Para administrator pendidikan saatnya harus melihat aktor-aktor lain dalam sistem pengambilan keputusan. Pada konteks berfikir seperti inilah wawasan tentang politik pendidikan penting bagi siapapun yang konsern dengan persoalan pendidikan.
Berdasarkan pemikiran yang telah disampaikan di atas politik pendidikan, dapat dimaknai sebagai penggunaan kekuasaan untuk mendesakkan kebijakan pendidikan. Sifatnya,  bisa keras dan bisa lunak. Politik pendidikan dikategorikan keras apabila melibatkan kekuatan (fisik) untuk mendesakkan implementasi kebijakan tertentu. Sebaliknya, politik pendidikan lunak menekankan implementasi kekuasaan secara halus (subtle) lewat strategi taktis. Aksi pemogokan guru, unjuk rasa para guru, merupakan wujud politik pendidikan yang keras. Dalam aksi itu, para pendidikan mengolah potensi kekuasaan kolektif—mogok—untuk menghasilkan kekuatan nyata guna memengaruhi tatanan keseharian masyarakat (menghentikan kegiatan belajar-mengajar). Strategi politik seperti itu digunakan untuk melawan politik ”lunak” pemerintah terkait anggaran pendidikan dan tunjangan kesejahteraan guru dan sebagainya. Sementara upaya yang dilakukan oleh kalangan Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia dengan jalan memberi masukan kepada pemerintah tentang kebijakan pendidikan merupakan bagian dari strategi politik lunak. Pencantuman pasal tentang besaran anggaran pendidikan yang harus dilaksanakan pemerintah dan pemerintah daerah dalam UUD 1945 merupakan keberhasilan dalam menjalankan strategi lunak para pendidik.
Kalangan pendidik saatnya mencoba menyelami dunia politik. Maksudnya, masyarakat pendidikan harus aktif mempengaruhi para pengambil keputusan di bidang pendidikan. Dengan begitu kaum pendidik tidak lagi terkungkung dalam dunianya, melainkan memiliki ruang gerak yang lebih leluasa dan signifikan. Jangan sampai ada apriori berlebihan yang menganggap politik itu selalu bermuka dua dan berkubang kemunafikan, sehingga dengan mempolitikkan pendidikan berarti melakukan perbuatan tercela. Paling tidak kaum pendidik harus berani memberikan pencerahan kepada para politisi bahwasanya pendidikan itu bersifat antisipatoris dan prepatoris, yaitu selalu mengacu ke masa depan dan selalu mempersiapkan generasi muda untuk menghadapi kehidupan mendatang. Kalau kemudian ada kesan bahwa pendidikan tak dapat berbuat apa-apa saat ini, harus dimaklumi namun ke depan, ia akan punya andil yang sangat besar dalam membentuk tata kehidupan ekonomi dan politik.
Inilah yang disebut dengan keberanian kaum pendidik meluruskan arah pemikiran politisi tentang pendidikan sudah barang tentu merupakan terobosan besar, yang pada saatnya nanti diharapkan akan mampu melahirkan suatu budaya politik baru, budaya politik yang akan mendorong pelaku politik kita bertindak jujur dan cerdas, atau paling tidak bersedia meredusir unsur-unsur hedonistis dan mengoptimalkan watak humanistik-patriotik. Inilah alasan belakangan disebut sebagai pendidikan politik.
Fungsi Politik Pendidikan
Paling tidak ada dua pernyataan yang turut mempengaruhi berkembangnya pemikiran politik pendidikan. Pernyataan pertama dikemukakan oleh David Easton dalam artikel terkenalnya The Function of Formal Education in a Political System pada tahun 1957 dan  Thomas H. Eliot dengan artikelnya American Political Science Review ada tahun 1959. easton mengatakan bahwa institusi pendidikan memainkan fungsi politik penting dan membuktikan secara singkat sebagai agen sosial politik. Eliot mendemonstrasikan aspek-aspek politik di tingkat lokal. Ia mengatakan bahwa suka atau tidak suka, para pengelola sekolah terlibat dalam politik, karena sekolah-sekolah lokal adalah unit-unit pemerintahan. Eliot menegaskan bahwa politik mencakup pembuatan keputusan-keputusan pemerintah, dan upaya atau perjuangan untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan untuk membuat keputusan-keputusan tersebut. Sekolah-sekolah publik adalah bagian dari pemerintah. Maka dari itu lembaga ini merupakan entitas politik.
Dari pendekatan yang dikemukakan Eliot dan Easton, kita dapat menyelami nilai manfaat kajian politik pendidikan. Tugas utama kajian ini mengungkapkan cara-cara yang digunakan kelompok-kelompok kependidikan dalam upaya mereka untuk menciptakan lingkungan kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangan mereka dan untuk memaksimalkan alokasi dana pemerintah untuk mereka. Dalam kaitan ini, maka studi politik pendidikan mengungkapkan cara-cara yang ditempuh pemerintah dalam menggunakan pendidikan sebagai alat untuk memperkuat posisinya dan menutup peran-peran aktivitas subversif terhadapnya. Contohnya, bagaimana rezim otoriter memperkuat posisinya dengan ketat mengontrol pendidikan dan bagaimana semua rezim menggunakan pendidikan memperkuat sentimen kebangsaan dalam rangka memaksimalkan kekuasaan negara. Pertanyaanya adalah bagaimana hal itu dilakukan? Tentu dalam hal dimana institusi pendidikan memiliki ketergantungan terhadap rejim berkuasa (pemerintah). Sekolah-sekolah dan Perguruan Tingi memiliki kepentingan yang sangat tinggi pada pemerintah, terutama dalam hal akses pendanaan, penempatan lulusan dan sebagainya. Sekolah dan Perguruan Tingi tentu tidak bisa berjalan sendiri, tanpa input dari pemerintah, dan dalam konteks itulah maka pemerintah yang dipimpin oleh rezim berkuasa memiliki ikatan bersama dengan lembaga-lembaga pendidikan. Dengan begitu, pendidikan menjadi alat yang dapat dimanfaatkan untuk mengungkap persaingan kekuasaan baik secara internal maupun eksternal. Diantara berbagai institusi dan praktek yang secara signifikan mempengaruhi stabilitas dan transformasi sistem politik adalah pendidikan.
Melalui pendekatan filosofis, fungsi politik dalam pendidikan mengungkap jenis-jenis penyelenggaraan pendidikan, pengembagan kurikulum maupun pengembangan organisasi, dalam rangka menanamkan konsep-konsep filosofis tentang masyarakat politik yang baik atau tatanan sosial yang baik. Berkenaan dengan fungsi ini, maka Easton kemudian mengajukan pertanyaan, apa peran yang harus dimainkan oleh pendidikan dalam rangka membangun warga negara yang baik? Kajian tentang hal ini telah banyak dijawab dalam beberapa karya Reisner (1992), McCully (1959), Talmon (1952), dan Cobban (1938). Dari mereka para pendidik mendapatkan pernyataan bahwa sekolah atau lembaga-lembaga pendidikan mempersiapkan generasi muda untuk menjadi warga negara yang aktif. Para insan pendidikan telah memusatkan tugas-tugas mereka pada pengembangan program-program pelatihan kewarganegaraan dengan mempromosikan kesetiaan kepada gagasan pemerintahan demokrasi.
Dale dan Apple, (1989) melihat fungsi politik pendidikan dari sudut pandang relasi negara dan pendidikan. Keduanya menemukan bahwa sekolah menjadi salah satu objek politik modern dimana kita dapat menyaksikan bagaimana kesadaran (consent) dan hegemoni tertentu terbangun dan mengalami kehancuran.Perubahan kurikulum disetiap periodesasi kepemimpinan di departemen pendidikan nasional adalah salah satu bukti tentang kesadaran hegemoni terbangun dan hancur.
Berbagai persoalan yang muncul belakangan dalam dunia pendidikan seperti unjuk rasa para guru, mahasiswa, depat publik tentang isu-isu pendidikan, terutama alokasi anggaran pendidikan dalam APBN dan APBD, otonomi lembaga pendidikan, tidak hanya membutuhkan pemahaman superficial tentang konteks politik dimana sekolah diselenggarakan, tetapi juga membutuhkan pemahaman tentang proses-proses yang menghasilkan berbagai keputusan mendasar tentang pendidikan disemua jenjang administratif. Disinilah fungsi politik pendidikan menjadi sangat diperlukan.
B. Konsep Kebijakan Pendidikan
Kebijakan (policy) seringkali disamakan dengan istilah seperti politik, program, keputusan, undang-undang, aturan, ketentuan-ketentuan, kesepakatan, konvensi, dan rencana strategis.
Sebenarnya dengan adanya definisi yang sama dikalangan pembuat kebijakan, ahli kebijakan, dan masyarakat yang mengetahui tentang hal tersebut tidak akan menjadi sebuah masalah yang kaku. Namun, untuk lebih memperjelasnya bagi semua orang yang akan berkaitan dengan kebijakan, maka alangkah baiknya definisi policy haruslah dipahamkan.
Berikut adalah definisi kebijakan.
United Nations (1975) :
Suatu deklarasi mengenai suatu dasar pedoman bertindak, suatu arah tindakan tertentu, suatu program mengenai aktifitas –aktivitas tertentu atau suatu rencana(Wahab, 1990).
James E. Anderson (1978) :
perilaku dari sejumlah aktor (pejabat, kelompok, instansi pemerintah) atau serangkaian aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu (Wahab, 1990).
Prof. Heinz Eulau dan Kenneth Prewitt :
a standing decision characterized by behavioral consistency and repetitiveness on the part of both those who make it and those who abide by it (Jones, 1997).
1. Kebijakan Negara
Kemudian, mengenai definisi kebijakan Negara; dimana hal itu adalah sebuah konsep yang berlaku dalam sebuah negara (nation), maka berikut ini adalah dua definisi tentang kebijakan negara.
W.I Jenkins (1978) :
a set of interrelated decisions taken by a political actor or group of actors concerning the selection of goals and the means of achieving them within a specified situation where these decisions should, in principle, be within the power of these actors to achieve (seperangkat keputusan-kepurusan yang saling berhubungan antar-satu sama lainnya; dibuat oleh para pelaku politik (politisi) atau kelompok politisi menyangkut pemilihan tujuan dan orientasi pencapaian tujuan tersebut dalam situasi khusus dimana keputusan itu berada, secara prinsipil, berada dalam kekuasaan para politisi ini).
Chief J.O Udouji (1981) :
an sanctioned course of action addressed to a particular problem or group of related problems that effect society at large (sebuah rangkaian keputusan dalam hal pelaksanaan yang ditujukan untuk sebagian masalah atau sekelompok masalah-masalah (yang saling berkaitan) dimana seluruh masalah itu mempengaruhi masyarakat banyak).
2. Kebijakan Pendidikan
Definisi kebijakan pendidikan sebagaimana adanya dapat disimak melalui pernyatan-pernyataan berikut ini.
Carter V. Good (1959) (dalam Imron, 2002:18) menyatakan, Educational policy is judgment, derived from some system of values and some assesment of situational factors, operating within institutionalized adecation as a general plan for guiding decision regarding means of attaining  desired educational objectives.
Pengertian pernyataan di atas adalah, bahwa kebijakan pendidikan adalah suatu penilaian terhadap sistem nilai dan faktor-faktor kebutuhan situasional, yang dioperasikan dalam sebuah lembaga sebagai perencanaan umum untuk panduan dalam mengambil keputusan, agar tujuan pendidikan yang diinginkan bisa dicapai.
Hal menarik lainnya dapat disimak dalam sebuah konstitusi Jepang, yakni Undang-Undang Pendidikan yang ditetapkan pada Tahun 1947. Pokok-pokok undang-undang tersebut adalah i) Prinsip Legalisme, ii) Prinsip Administrasi yang Demokratis, iii) Prinsip Netralitas, iv) Prinsip Penyesuaian dan Penetapan Kondisi Pendidikan, dan v) Prinsip Desentralisasi. (Research and Statistic Planning Division, Ministry of Education, Science, Sports and Culture of Japan, 2000).
Prinsip yang pertama menetapkan bahwa mekanisme pengelolaan diatur dengan undang-undang dan peraturan-peraturan. Sebelum Perang Dunia II masalah pendidikan diputuskan oleh Peraturan Kekaisaran dan pendapat parlemen dan warga negara diabaikan. Namun, setelah reformasi pendidikan pasca perang urusan pendidikan diatur oleh undang-undang dan peraturan di parlemen. Prinsip kedua mengindikasikan bahwa sistem administrasi pendidikan harus dibangun berdasarkan konsensus nasional dan mencerminkan kebutuhan masyarakat dalam membuat formulasi kebijakan pendidikan dan prosesnya. Prinsip ketiga menjamin bahwa kewenangan pendidikan harus independen dan tidak dipengaruhi dan diinterfensi oleh kekuatan politik. Prinsip keempat mengidikasikan bahwa pemegang kewenangan pusat dan lokal mempunyai tanggung jawab untuk menyediakan kesempatan pendidikan yang sama bagi semua dengan menyediakan fasilitas-fasilitas pendidikan yang cukup untuk mencapai tujuan pendidikan. Prinsip kelima menyatakan bahwa pendidikan harus dikelola berdasarkan otonomi pemerintah lokal karena pendidikan merupakan fungsi dari pemerintah lokal.
Dapat disimpulakan bahwa kebijakan pendidikan adalah suatu produk yang dijadikan sebagai panduan pengambilan keputusan pendidikan yang legal-netral dan disesuaikan dengan lingkugan hidup pendidikan secara moderat.
3. Kriteria Kebijakan Pendidikan
Kebijakan pendidikan memiliki karakteristik yang khusus, yakni:
1.   Memiliki tujuan pendidikan
Kebijakan pendidikan harus memiliki tujuan, namun lebih khusus, bahwa ia harus memiliki tujuan pendidikan yang jelas dan terarah untuk memberikan kontribusi pada pendidikan.
2.   Memenuhi aspek legal-formal
Kebijakan pendidikan tentunya akan diberlakukan, maka perlu adanya pemenuhan atas pra-syarat yang harus dipenuhi agar kebijakan pendidikan itu diakui dan secara sah berlaku untuk sebuah wilayah. Maka, kebijakan pendidikan harus memenuhi syarat konstitusional sesuai dengan hirarki konstitusi yang berlaku di sebuah wilayah hingga ia dapat dinyatakan sah dan resmi berlaku di wilayah tersebut. Sehingga, dapat dimunculkan suatu kebijakan pendidikan yang legitimat.
3.   Memiliki konsep operasional
Kebijakan pendidikan sebagai sebuah panduan yang bersifat umum, tentunya harus mempunyai manfaat operasional agar dapat diimplementasikan dan ini adalah sebuah keharusan untuk memperjelas pencapaian tujuan pendidikan yang ingin dicapai. Apalagi kebutuhan akan kebijakan pendidikan adalah fungsi pendukung pengambilan keputusan.
4.   Dibuat oleh yang berwenang
Kebijakan pendidikan itu harus dibuat oleh para ahli di bidangnya yang memiliki kewenangan untuk itu, sehingga tak sampai menimbulkan kerusakan pada pendidikan dan lingkungan di luar pendidikan.  Para administrator pendidikan, pengelola lembaga pendidikan dan para politisi yang berkaitan langsung dengan pendidikan adalah unsur minimal pembuat kebijakan pendidikan.
5.   Dapat dievaluasi
Kebijakan pendidikan itu pun tentunya tak luput dari keadaan yang sesungguhnya untuk ditindaklanjuti. Jika baik, maka dipertahankan atau dikembangkan, sedangkan jika mengandung kesalahan, maka harus bisa diperbaiki. Sehingga, kebijakan pendidikan memiliki karakter dapat memungkinkan adanya evaluasi terhadapnya secara mudah dan efektif.
6.   Memiliki sistematika
Kebijakan pendidikan tentunya merupakan sebuah sistem jua, oleh karenanya harus memiliki sistematika yang jelas menyangkut seluruh aspek yang ingin diatur olehnya. Sistematika itu pun dituntut memiliki efektifitas, efisiensi dan sustainabilitas yang tinggi agar kebijakan pendidikan itu tidak bersifat pragmatis, diskriminatif dan rapuh strukturnya akibat serangkaian faktof yang hilang atau saling berbenturan satu sama lainnya. Hal ini harus diperhatikan dengan cermat agar pemberlakuannya kelak tidak menimbulkan kecacatan hukum secara internal. Kemudian, secara eksternal pun kebijakan pendidikan harus bersepadu dengan kebijakan lainnya; kebijakan politik; kebijakan moneter; bahkan kebijakan pendidikan di atasnya atau disamping dan dibawahnya.
4. Pembuat Kebijakan Pendidikan
Dalam prespektif Halligan, J dan J Power. 1992 dalam buku Political Management in the Nineties dinyatakan bahwa :
…three principle dimensions of policy process in government, expanding on the first model. The three dimensions are:
(i) Administrative. Administrators maintain policy. They are primarily concerned that all regulations are complied with. They strive for impartiality, continuity, and procedural correctness. Administrators tend to be conservative, but are generally willing to follow changes in policy once agreed, as their function is to maintain policy. They strive to assure that any change does not upset stability.
(ii) Management. Managers launch activities within the frameworks given. Management focuses on implementing changes, and thus are primarily concerned with outputs than regulations and procedures.
(iii) Political. The political process within the executive is led by politicians, the elected head of government and ministers, who often rely on their senior officials for political guidance. This function is the steering of change. The political process initiates change, gains endorsement for change by attending to numerous interest for and against change.
Sehingga, sebagai kesimpulannya, bahwa para pembuat kebijakan itu adalah; 1)administrator; 2) manajer; 3) politisi yang berada pada posisi masing-masing sesuai dengan kekuasaan dan kewenangan mereka dalam bidang yang mereka tanggungjawabi.
Para administrator itu akan memberikan program-program yang dirancangnya dari konsep hingga praktis; manajer akan menjabarkan program-program itu dengan pengembangan yang teknis; dan para politisi akan merancang gerakan kebijakan yang mampu mewujudkan perubahan signifikan dalam konteks jangka panjang (long-term) yang mengatur program-program pada tingkatan struktur politik di daerah tempat program-program tersebut diselenggarakan.
5. Anatomi Kebijakan Pendidikan Indonesia
Pada dasarnya, bahwa kebijakan pemerintah Indonesia 2004-2009 yang memiliki orientasi basis ekonomi sesuai dengan Rencana Strategis Pendidikan Nasional 2005-2009 mengacu pada amanat UUD 1945, amandemen ke–4 pasal 31 tentang Pendidikan; Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan; Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional; UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah; UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen; PP Nomor 20 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah; PP Nomor 21 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja dan Anggara Kementerian/Lembaga, dan PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Setiap kebijakan yang berkaitan dengan pendidikan akan berdampak pada pengambilan keputusan oleh para pembuat kebijakan dalam bidang pendidikan baik di tingkat makro (masional); tingkat messo (daerah); dan tingkat mikro (satuan pendidikan).
Keberadaan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)-Republik Indonesia (RI) sebagai sebuah lembaga negara yang memiliki kewenangan untuk membuat sebuah kebijakan paling tinggi di Indonesia tentunya sangat memperngaruhi eksistensi dan prosesi pendidikan yang diharapkan memiliki standar mutu yang layak di dalam lingkungan masyarakat dalam negeri dan luar negeri. Kemudian keberadaan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Pemerintah Pusat yang dipimpin oleh Presiden—eksekutif nomor satu yang dibantu oleh Wakil Presiden; jajaran Kementerian; dan jajaran badan/lembaga kelengkapan eksekutif negara—adalah para pembuat kebijakanyang bisa mempengaruhi dunia pendidikan Indonesia.
Namun, khususnya pada tingkat makro, para pengambil keputusan khusus masalah pendidikan di tingkat DPR RI adalah Komisi X DPR RI Presiden RI, dan Menteri Pendidikan Nasional RI (pemimpin Departemen Pendidikan Nasional).Sehingga, segala bentuk kebijakan pendidikan nasional yang dihasilkan oleh ketiga elemen ini akan mempengaruhi kebijakan pendidikan di seluruh daerah dan seluruh satuan pendidikan di Indonesia.
Adapun, dengan peran pengambil kebijakan yang bisa mempengaruhi masalah pendidikan di tingkat daerah ialah DPRD dan Pemerintah Daerah (Pemda). Khususnya dalam masalah pendidikan, posisi Komisi E di DPRD dan Dinas Pendidikan di Pemda sangatlah berperan untuk memfasilitasi adanya pemberlakuan kebijakan pendidikan di tingkat daerahnya masing-masing yang didasari oleh peraturan perundang-undangan dari hasil permusyawaratan policy maker nasional.
Akhirnya, keberadaan satuan pendidikan pun tak kalah pentingnya untuk membuat kebijakan pendidikan yang akan mempengaruhi fenomena pendidikan yang berlangsung di satuan pendidikannya masing-masing.
Berikut ini adalah ilustrasi berupa bagan tentang anatomi kebijakan pendidkan nasional berdasarkan kajian terhadap data Renstra Pendidikan Nasional 2005-2009 dan aspek empirik yang tengah berlangsung saat ini di Indonesia dengan konsentrasi khusus untuk pengaturan pendidikan dasar dan menengah (lihat di kiri atas; klik untuk resolusi besar).
BAB III
PEMBAHASAN
A. Makna Human Investment
Makna pendidikan sebagai human investment yaitu bahwa pendidikan merupakan investasi jangka panjang, dalam arti bahwa pendidikan dapat dinikmati hasilnya setelah orang yang mengenyam pendidikan tersebut dapat merasakan manfaat dari pendidikannya itu. Sedangkan bila diperhatikan dari nilai-nilai equity (keadilan) dan equality (pemerataan), maka makna pendidikan berarti memiliki nilai investasi yang sangat penting bagi kelangsungan hidup dan kehidupan manusia. Yang dimaksud equity adalah keadilan (fairness) yaitu menempatkan sesuatu pada tempatnya dan memberlakukan peserta didik secara manusiawi dalam mendapatkan pendidikan, khususnya pendidikan dasar. Investasi pendidikan yang berkeadilan selalu mengutamakan pemberlakuan sumber-sumber pendidikan bagi semua kalangan baik miskin maupun kaya perlakuannya harus sama. Sedangkan equality adalah persamaan hak atau pemerataan, artinya bahwa setiap peserta didik dapat merasakan dan menikmati proses pendidikan yang berkualitas dengan tidak membeda-bedakan suku, ras, warna kulit dan agama. Equality memberikan kesempatan yang sama bagi semua anak usia sekolah.
Nilai pengembalian (rate of return) adalah pendekatan yang paling sering digunakan dalam penelitian investasi pendidikan. Beberapa aspek dari efek pendidikan adalah pendapatan, produktivitas dan perubahan efek-efek ekonomi dari pendidikan. Bahkan Becker (1979) memberi taksiran yang sesuai dengan kemampuan (para lulusan) dibagi menjadi tiga kelompok dengan prosentase sekitar 18, 16, dan 20 prosen, bahwa kemampuan lulusan SD dan Sekolah  Lanjutan sangat berbeda: rata-rata IQ lulusan sekolah menengah lebih tinggi 30 persen, dengan keyakinan yang didasarkan bahwa kemajuan ekonomi yang direfleksikan dalam kesejahteraan yang cenderung semakin tinggi seiring dengan meningkatnya investasi pendidikan dan kualitas sumberdaya manusia.
Investasi pendidikan akan memperoleh peningkatan skuer dalam suplay bagi SDM  yang berkualitas ditentukan oleh semakin tingginya tingkat pendidikan. Sedangkan sumber daya manusia yang berkualitas dibutuhkan pendidikan yang berkualitas dengan tenaga pendidik yang berkualitas pula.
Tenaga Kependidikan merupakan komponen yang diterminan dalam penyelenggaraan pemberdayaan SDM dan menempati posisi kunci dalam Sistem Pendidikan nasional (PP No. 38, 1992). Dampak kualitas kemampuan professional dan kinerjanya bukan hanya akan berkontribusi terhadap kualitas lulusan yang dihasilkannya (output) melainkan juga akan berlanjut pada kualitas kinerja dan jasa para lulusan tersebut (outcomes) dalam pembangunan, yang pada gilirannya kemudian akan nampak pengaruhnya terhadap kualitas peradaban dan martabat hidup masyarakat, bangsa, serta umat manusia pada umumnya.
Banyak studi dan hasil penelitian yang menunjukkan sentralnya kedudukan tenaga kependidikan, khususnya tenaga pendidik dalam setiap lembaga pendidikan, misalnya yang dikemukakan oleh  Castetter, (1981:316),  bahwa: “staff development is closely related to institusional change”, sehingga pengembangan pendidikan secara kualitatif erat berkaitan dengan mutu tenaga pendidiknya.
Di pihak lain, fungsi manajemen pendidikan adalah merancang, melaksanakan dan mengevaluasi hasil-hasil belajar serta hasil pendidikan secara keseluruhan. Hal ini terutama berkaitan dengan perencanaan tenaga kependidikan, karena ia merupakan langkah awal untuk memperoleh mutu tenaga kependidikan yang baik, dan mutu yang baik merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan belajar, sedangkan perencanaan adalah salah satu fungsi manajemen yang utama. Maka manajemen pendidikan yang baik akan mampu menata situasi dan kondisi yang kurang menguntungkan, jadi menguntungkan. Sebaliknya, manajemen yang buruk menjadikan kondisi dan potensi yang baik, menjadi buruk (Uwes, 1999).
Pengelolaan tenaga kependidikan merupakan bagian dari human resources development. Banyak istilah lain, seperti: personal management, personnel administration, human resources administration, yang merupakan salah satu substansi dari administrasi atau manajemen pendidikan. Bahwa posisi dan peran sumberdaya manusia dalam proses pendidikan sangat penting, karena produktifitas pendidikan akan sangat tergantung pada kontribusi yang diberikan sumberdaya manusia melalui pelaksanaan fungsi dan aktifitasnya.
Pengelolaan SDM pada dasarnya merupakan deskripsi dari administrasi atau manajemen pendidikan dengan mengidentifikasi fungsi-fungsinya ke dalam suatu rangkaian proses administrasi atau manajemen pendidikan yang saling berkaitan guna mengarahkan perilaku anggota kepada tujuan-tujuan individu maupun organisasi. Morphet dan kawan-kawan (1982) mengidentifikasi fungsi-fungsi tersebut ke dalam proses: “human resources planning, compensation, recruitment, selection, induction, appraisal, development, maintaining and improving performance, security, union relation, and information.” Sementara Randall (1987: 29) mengidentifikasi fungsi-fungsi tersebut sebagai meliputi: “planning, staffing, appraising, compensation, and training.”
Ciri utama Masyarakat Indonesia adalah masyarakat demokratis yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, persamaan dan keadilan, toleransi dan penegakan hukum (Fadjar, 2001). Dalam rangka itu, pemberdayaan individu dan masyarakat mutlak diperlukan, sebab suatu masyarakat madani membutuhkan motivasi dan kemampuan yang kuat, disertai partisipasi nyata dari masyarakat. Dalam hubungan ini, pendidikan diyakini merupakan faktor yang paling berperan bagi upaya pemberdayaan individu dan masyarakat itu.
B. Peran Politik Pendidikan
3.1. Kepemimpinan Visioner
Kepemimpinan adalah “Leadership is an attempt at influencing the activities followers through the communication process toward the attainment of some goals” Gibson et.al (1985). Kepemimpinan visioner adalah pola kepemimpinan yang ditujukan untuk member arti pada kerja dan usaha yang perlu dilakukan bersama-sama oleh para anggota lembaga organisasi dengan cara memberi arahan dan makna pada kerja dan usaha yang dilakukan berdasarkan visi yang jelas (Diana Kartanegara, 2003).
Dalam kepemimpinan visioner, visi menjadi bagian penting dalam membangun organisasi, kepemimpinan yang efektif, mempunyai rencana yang matang dan berorientasi penuh pada hasil, mengadopsi visi-visi baru yang menantang dalam menetapkan arah baru organisasi yang lebih baik. Dalam kepemimpinan visioner, pemimpin adalah juru bicara visi, pemimpin adalah agen perubahan bagi visi, dan pemimpin sebagai pelatih bagi visi. Kepemimpinan visioner = Tujuan bersama + orang-orang yang diberdayakan + perubahan organisasional yang tepat + pemikiran strategis.
Tidak semua tujuan dapat disebut visi, karena visi adalah tujuan yang memiliki persyaratan tertentu. visi hendaknya dapat menjadi acuan pemimpin dan para pengikutnya kearah tertentu untuk masa mendatang dan dapat memberikan motivasi dalam melakukan perubahan. Lebih lanjut Wirawan (2002: 118) mengemukakan bahwa visi adalah apa yang diimpikan, keadaan masyarakat yang diciptakan, apa yang ingin dicapai oleh pemimpin dan pengikutnya dimasa yang akan datang. Sementara Bennis dan Nanus (1985: 80) menerapkan visi sebagai “mental image of possible and desirable future state of the organization; a vision always refers to a future state a condition that does not presently exist and never existed before. Wish a vision, the leader provides the all important bridge from the present to the future of the organization”.
Visi bukan hanya untuk kepentingan pemimpin melainkan juga para pengikutnya, oleh karena itu dalam menciptakan visi seorang pemimpin dapat melakukannya dengan berbagai cara, misalnya dengan melakukan penelitian sejarah perkembangan masyarakat atau mungkin melakukan dialog dengan berbagai pihak terkait.
Senge (1995) menjelaskan bahwa pemimpin memiliki kedudukan dan peran kritikal, karena ia sebagai desiner, guru dan sekaligus sebagai pramugara. Oleh karena itu, pemimpin berkewajiban memiliki sifat visioner terhadap masa depan sehingga kepemimpinan yang akan ia tampilkan bersifat visioner pula. Kepemimpinan visioner adalah kepemimpinan yang mampu melihat masa depan dan berbeda dengan kepemimpinan modern. Konsep kepemimpinan menurut Burt dan Nanus (2000) mengandung kemampuan-kemampuan pemimpin sebagai penentu arah, agen perubahan, juru bicara dan pelatih.
Pertama, pemimpin sebagai penentu arah. Disaat organisasi sedang mengalami kebingungan menghadapi beragam perubahan dan struktur baru, pemimpin visioner tampil sebagai pelopor penentu arah yang akan dituju melalui pikiran-pikiran yang cerdas dan mengarahkan perilaku-perilaku bergerak menuju arah yang dikehendaki.
Kedua, pemimpin sebagai agen perubahan. Pemimpin visioner bertanggung jawab untuk merangsang perubahan lingkungan internal, ia tidak nyaman dengan situasi organisasi yang statis  dan status quo, ia memimpikan kesuksesan organisasi melalui gagasan-gagasan baru yang memicu kinerja dan menerima tantangan dengan menerjemahkannya kedalam agenda kerja yang jelas dan rasional.
Ketiga, pemimpin sebagai juru bicara. Pemimpin visioner tidak saja memilii kemampuan meyakinkan orang dalam kelompok internal, tetapi juga kemampuan memperluas aksesibilitas pada lingkungan ekternal untuk memperkenalkan dan mensosialisasikan keunggulan visi organisasi. Pemimpin visioner adalah seorang negosiator utama dan ulung dalam hubungan dengan organisasi lain atau hierarki yang lebih tinggi.
Keempat, pemimpin sebagai pelatih. Pemimpin visioner adalah pemberi teladan, pemberi semangat, pembangun rasa percaya diri, dan pemberi penghargaan atas keberhasilan orang lain, ia mampu mengkomunikasikan, mensosialisasikan, dan bekerjasama dengan orang-orang untuk membangun, mempertahankan, dan mengembangkan visinya.
Perbedaan utama anatara pemimpin dan manajer terletak pada visinya. Kalau seorang pemimpin selalu mempunyai visi, sedangkan seorang manajer tidak selalu mempunyai visi. Yang dimaksud dengan visi adalah apa yang diimpikan
Thomas Sowell (1987:14) menjelaskan pengertian konsep visi sebagai berikut: “Visi has beeb described as a pre-analitic cognitive act. It is what we sense or feel before we have constructed any systematic reasoning that could be called theory much less deduced any specific consequences as hypotheses to be tested agains evidence. A vision s our sense of how the wordl works.”
Sowell menyamakan vsi dengan teori dan hipotesis dalam peneltian yang pelu diuji terhadap bukti yang harus diciptakan oleh pemimpin dan para pengikutnya di masa mendatang. Sedangkan Gregory G Dess dan Alex Miller (1993:24) menyatakan mengenai visi sebagai berikut: ….. a Vison refers to the goals that are broadest, most general, and all-inclusive. A vision describes aspiration of the future, without specifying the mean necessary to achieve those desired ends.”
Pada dasarnya visi merupakan tujuan yang ingin dicapai atau suatu fokus pikiran yang akan dicapai oleh pemimpin dan pengikutnya. Akan tetapi tidak semua tujuan dapat disebut visi. Menurut Wirawan (2002:96-97) Bahwa sebuah tujuan dapat disebut visi, jika memenuhi salah satu syarat sebagai berikut:
Visi merupakan sebuah abstraksi dari sebuah keadaan yang dicita-citakan, yang ingin dicapai dimasa yang akan datang. Karena merupakan sebuah hasil dari abstraksi. Visi lebih bersifat abstrak dan kurang konkrit. Visi hanya mengandung pengertian umum akan tetapi bukan pengertian rinci yang menggunakan angka-angka kuantitatif. Misalnya, Visi bangsa Indonesia yang dicita-citakan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta, yaitu kita harus merdeka karena kemerdekaan merupakan jembatan emas menuju masyarakat yang adil dan makmur. Demikian juga visi Mahatma Gadhi: pesannya memegang teguh kebenaran (Satyagraha) tanpa kekereasan (Ahimsa).
Visi relative tetap berada di benak seorang pemimpin dan pengikut untuk waktu yang panjang. Bukan berarti visi tidak dapat berubah. Visi pada umumnya berubah jika terjadi perubahan lingkungan internal dan lingkungan eksternal masyarakat maupun organisasi. Misalnya, visi suatu perusahaan biasanya ditinjau 5-20 tahun. Visi pendidikan ditinjau setiap 5 tahun sekali. Visi dilukiskan dengan kata-kata atau kalimat filosofis dan menggunakan kalimat pendek tetapi mengandung pengertian yang luas serta dapat diberi isi yang berbeda dari waktu ke waktu. Visi memberikan aspirasi dan motivasi kepada pemimpin dan pengikutnya.
3.2. Kepemimpinan Transformasional
Kepemimpinan Transformasional merupakan model kepemimpinan bagi seorang pemimpin yang cenderung untuk memberikan motivasi kepada bawahan untuk bekerja lebih baik serta menitikberatkan kepada perilaku utnuk membantu trasformasi antara individu dengan organsiasi. Gaya kepemimpinan transformasinal, meliputi:
  1. Charisma/ Idealized influence
  2. Inspirational Motivation
  3. Intelectual Stimulation
  4. Individualized Consideration
Kepemimpinan transformational muncul dilatarbelakangi oleh pola pikir ahli manajemen yang sudahberwawasan cukup baik dalam mengidentifikasi konsep manajemen mutakhir. Burn (1978) menjelaskan bahwa kepemimpinan transformational sebagai suatu proses yang pada dasarnya “para pemimpin dan pengikut saling meneikan diri ketingkat moralitas dan motivasi yang lebih t inggi”. Pemimpin transformational memiliki visi yang jelas, memiliki gambaran holistic yang jelas tentang bagaimana organisasi dimasa depan ketika semua tujuan dan sasarnnya telah tercapai. Kepemimpinan Transformational dapat dipandang secara makro dan mikro. Jika dipandang secara mikro kepemimpinan transformational merupakan proses saling mempengaruhi antar individu, sementara secara makro merupakan proses memobilisasi kekuatan untuk mengubah sistem social dan kelembagaan.
Kepemimpinan transformational dikemukakan untuk menjawab tantangan zaman yang penuh dengan perubahan. Zaman yang dihadapi saat ini bukan zaman ketika manusia menerima segala apa yang menimpanya, tetapi zaman dimana manusia dapat mengkritik dan meminta yang layak dari apa yang diberikannya secaea kemanusiaan. Bahkan dalam terminologinya motivasi maslow, manusia di era ini adalah manusia yang memiliki keinginan mengaktualisasi dirinya. Yang berimplikasi pada bentuk pelayanan dan penghargaan terhadap manusia itu sendiri. Kepemimpinan transformational tidak saja didasarkan pada kebutuhan akan penghargaan diri, tetapi menumbuhkan kesadaran pad pemimpin untuk berbuat yang terbaik sesuai dengan kajian perkembangan manajemen dan kepemimpinan yang memandang manusia, kinerja, dan perumbuhan organsiasi adalah sisi yang paling mempengaruhi. Menurut Burn (1978) menjelaskan kepemimpinan transformational sebagai suatu proses yang pada dasarnya “para pemimpin dan pengikut saling menaikkan diri ketingkat moralitas dan motivasi yang lebih tinggi. Para pemimpin adalah orang yang sadar akan prinsip perkembangan organisasi dan kinerja manusia sehingga berupaya mengembangkan segi kepemimpinannya secara utuh melalui pemotivasian terhadap staf dan kemanusiaan bukan didasarkan atas emosi seperti misalnya keserakahan, kecemburuan atau kebencian.
Pemimpin transformational adalah pemimpin yang memiliki wawasan jauh kedepan dan berupaya memperbaiki dan mengembangkan organsiasi bukan untuk saat ini tetapi di masa mendatan. Oleh karena itu, pemimpin transformational adalah pemimpin yang dapat dikatakansebagai pemimpin yang visioner. William B. Catetter (1996), mengaitkan administrasi pendidikan dengan mengembangkan struktur social yaitu “educational administration is a social process that place within the context of social system”.
Berdasarkan uraian diatas, menurut Nurdin disimpulkan bahwa fungsi adminstrasi pendidikan merupakan alat untuk mengalokasikan dan menintegrasikan peranan maupun fasilitas guna tercapainya tujuan sistem pendidikan. sedangkan secara operasional, merupakan proses mengatur hubungan manusia dengan manusia yang ada dalam sistem pendidikan tersebut. Sehingga tidaklah berlebihan jika dikatakan demikianlah pentingnya kedudukan administrasi pendidikan sehubungan dengan pengelolaan pendidikan perguruan tinggi. Inilah sekelumit kapasitas kepemimpinan yang dielaborasikan melalui pendekatan dan tindakan kedua gaya dan model sangat berperan dengan cara menampilkan keunggulan bertindak sesuai dengan kaidah “visionary leadership” dan “Transformational leadership” yang diwujudkan melalui fungsi dosen sebagai tenaga akademik di suatu perguruan tinggi.
C. Implementasi Kebijakan Pendidikan
Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (BHP) sangat menarik untuk diperbincangkan terutama setelah muncul berbagai kontroversi yang menyertai kemunculan undang-undang tersebut. BHP adalah badan hukum bagi penyelenggaraan dan atau satuan pendidikan formal, yang berfungsi memberikan pelayanan pendidikan kepada peserta didik, berprinsip nirlaba, dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan. Undang-undang BHP telah memberikan otonomi dan kewenangan yang besar dalam pengelolaan pendidikan formal terutama dalam penerapan manajemen berbasis sekolah sebagai embrio dari otonomi pendidikan.
Dalam praktek penyelenggaraan pendidikan, BHP berpedoman pada prinsip-prinsip otonomi, akuntabilitas, transparansi, penjaminan mutu, layanan prima, akses yang berkeadilan, keberagaman, keberlanjutan, serta partisipasi atas tanggung jawab Negara. Dengan prinsip ini, pengelolaansistem pendidikan formal di Indonesia ke depan diharapkan makin tertata dengan baik, makin professional, dan mampu membuat satu system pengelolaan pendidikan yang efektif dan efisien untuk meningkatkan mutu, akuntabilitas, dan daya saing.
Adapun beragam isu persoalan yang masih melekat dalam Undang-undang BHP pada masa kini adalah:
  1. konsep otonomi perguruan tinggi dan komersialisasi perguruan tinggi
  2. eksistensi yayasan dan lembaga penyelenggara pendidikan tinggi dari unsur masyarakat
  3. tanggung jawab pemerintah terhadap pendidikan tinggi
  4. kelayakan implementasi BHP-Milik Negara atas seluruh satuan pendidikan formal
  5. kontroversi audit keuangan dan pelaporan BHP
  6. keterlibatan Notaris sebagai legislator akta BHP bersama Mendiknas
  7. ekses Miss-leading BHP berpotensi mengeksploitasi dana masyarakat
  8. eksistensi model administrasi dan pola manajerial lembaga pendidikan BHP
  9. ekses-utang-piutang biaya penyelenggaraan BHP
10.  eksistensi dan sustainabilitas jaminan pendidikan formal yang bermutu dari tingkat dasar sampai pendidikan tinggi
11.  kesipan sumber daya kependidikan menjelang pemberlakuan BHP
12.  kewajiban pendidikan tinggi terhadap Negara dan masyarakat.
3.1 Isu Komersialisme Pendidikan.
Dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasioanl (Sisdiknas) menegaskan bahwa BHP berprinsip Nirlaba yang berarti semua sisa lebih dari kegiatan yang dilakukan lembaga BHP, harus dikembalikan untuk kepentingan pengelolaan satuan pendidikan didalam lembaga BHP. Dari prinsip ini, maka sebenarnya konsep komersialisasi pendidikan tidak ada. Prinsip nirlaba yang menjadi roh Undang-undang Badan Hukum Pendidikan, diharapkan bisa mencegah terjadinya praktek komersialisasi dan kapitalisasi dunia pendidikan. Hal ini dikarenakan prinsip nirlaba dalam penyelenggaraan pendidikan, menekankan kegiatan pendidikan yang tujuan utamanya tidak mencari laba, melainkan sepenuhnya untuk kegiatan meningkatkan kapasitas dan atau mutu layanan pendidikan.
3.2 Mengapa Isu tersebut muncul?
Isu komersialisme pendidikan muncul karena BHP dengan berprinsip nirlaba para mahasiswa dan aktivis pendidikan lainnya menganggap akan menjadi masalah dalam proses implementasinya. Dengan digulirkannya konsep BHP pada lembaga pendidikan yang diselenggarakan pemerintah terutama perguruan tinggi, dikuatirkan akan menjadi ladang komersialisasi pendidikan. yaitu dengan tidak memanfaatkan dan menggunakan sisa anggaran kegiatan operasional satuan pendidikan untuk memperbaiki pelayanan dan mutu pendidikan melainkan dikuatirkan malah masuk pada pundi-pundi keuangan pribadi belaka.
Alasan lain isu komersialisme muncul, karena dengan adanya BHP dikuatirkan penyelenggara PTN, akan menggunakan dalih otonomi demi menaikan biaya pendidikan dengan alasan untuk pengembangan kampus, menaikan kesejahteraan dosen, dan lain-lain. Selain itu, dengan otonomi ini maka PTN akan dengan mudah membuat unit bisnis bagi menambah pundi-pundi keuangan lembaga dengan mendirikan hotel dikampus, membuka unit konsultan, menyewakan peralatan kampus dan membuka kelas ekstensi tanpa batas, padahal semua merupakan fasilitas Negara.
3.3 Bagaimana kajian dimensi masalahnya?
Kajian dimensi masalah komersialisme pendidikan terletak pada prinsip nirlaba yang menjadi roh undang-undang BHP, padahal prinsip nirlaba yang sebenarnya menekankan kegiatan pendidikan dengan tujuan utama untuk kegiatan meningkatkan kapasitas dan mutu layanan pendidikan, bukan semata-mata mencari laba.
Terobosan ketentuan pengelolaan pendidikan yang diatur dalam undang-undang BHP tersebut, akan semakin menjamin kemudahan semua warga Negara Indonesia Negara Indonesia dalam mendapatkan haknya di bidang pendidikan secara adil dan merata, mulai dari pendidikan dasar, pendidikan menengah, hingga pendidikan tinggi. Pendidikan yang berkualitas dan bermutu akan bisa dinikmati segenap anak bangsa dari berbagai lapisan manapun, tanpa ada diskriminasi dan stratifikasi ekonomi. Selagi mereka berprestasi dan memiliki bakat unggul, maka ia berhak mendapatkan pelayanan pendidikan. dengan demikian, maka pandangan bahwa BHP akan menyeret system pendidikan kita pada praktek komersialisme dan kapitalisme serta perdagangan ilmu pengetahuan akan terbantahkan.
3.4 Bagaimana Analisis Impact dari sudut pandang politik sebagai kebijakan?
Analisis outcomes/impact dari sudut pandang politik sebagai kebijakan adalah persepsi stake holder pendidikan terhadap undang-undang BHP yang menggunakan prinsip nirlaba. Ada konsep dalam kalimat nirlaba, bahwa nirlaba adalah prinsip kegiatan yang tujuan utamanya bukan mencari sisa lebih, sehingga apabila timbul sisa lebih hasil usaha dari kegiatan BHP, maka seluruh sisa hasil kegiatan tersebut harus ditanamkan kembali ke dalam BHP untuk meningkatkan kapasitas dan mutu layanan pendidikan. Dari kalimat “apabila timbul sisa lebih hasil usaha harus ditanamkan kembali” inilah yang mungkin menjadi pemicu kontroversi undang-undang BHP. Dari persepsi pemerintah dalam memberikan otonomi perguruan tinggi BHP berdampak pada Dikotomi antara perguruan tinggi Negeri dan Swasta, dalam hal ini model BHP tidak bermasalah, melainkan sosialisasi dan implementasinya.
3.5 Bagaimana Strategi untuk mewujudkan outcomes/impacts tersebut.
Strategi untuk mewujudkan lembaga pendidikan yang mandiri dan maju yaitu dengan mengawasi pelaksanaan BHP dari setiap kontroversi atas penyelenggaraan BHP untuk segera diluruskan oleh pemerintah dengan tanpa memandang adanya dikotomi perguruan tinggi negeri (PTN) ataupun perguruan tinggi swasta (PTS), serta pemerintah mengusahakan dengan diimplementasikannya undang-undang BHP dapat membuat biaya pendidikan semakin terjangkau oleh semua kalangan.
Pada prinsipnya pemerintah perlu memperhatikan empat aspek agar penyusunan UU yang diperintahkan pasal 53 ayat (1) UU sisdiknas sesuai dengan UUD 1945.
Pertama, aspek fungsi Negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, kewajiban Negara dan pemerintah dalam bidang pendidikan, serta hak dan kewajiban warga Negara dalam bidang pendidikan.
Kedua, aspek filosofis, yakni cita-cita untuk membangun system pendidikan nasional yang berkualitas dan bermakna bagi kehidupan bangsa.
Ketiga, aspek pengaturan mengenai badan hukum pendidikan dalam undang-undang dimaksud harus merupakan implementasi tanggung jawab Negara.
Keempat, aspek aspirasi masyarakat harus dapat perhatian dalam pembentukan undang-undang agar tidak menimbulkan kekacauan dan permasalahan baru dalam dunia pendidikan.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kajian kebijakan dan politik pendidikan merupakan landasan konsep keilmuan dalam bidang administrasi pendidikan yang harus dipahami secara komprehensif oleh setiap tenaga pendidik dan kependidikan. Kebijakan dan politik pendidikan menekankan pada pengembangan sumber daya manusia yang menjadi pusat perhatian semua sektor dan subsektor pembangunan nasional menunjukkan bahwa Indonesia memiliki kekuatan yang kuat untuk mencapai keunggulan di dalam menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi agar memiliki tempat yang sejajar dengan negara-negara lain di dunia. Pemerintah menyadari peran dari mutu sumber daya manusia di dalam menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai suatu faktor pengaturan dalam mencapai keunggulan. Berbagai kebijakan pendidikan digulirkan seiring dengan banyaknya kepentingan-kepentingan politik yang mendorong maupun menghambat kelancaran implementasi kebijakan dalam bidang pendidikan. diantara kebijakan tersebut meliputi equity dan equality of education, perubahan kebijakan undang-undang pendidikan kearah desentralisasi pendidikan, dan kepemimpinan pendidikan dalam menyongsong quality of life.
B. Rekomendasi
Tenaga kependidikan khususnya pada bidang Administrasi Pendidikan sebagai Pengelola Pendidikan harus mempelajari keilmuan mengenai Politik serta Kebijakan tentang Pendidikan. Dengan mengetahui keilmuan tersebut maka akan mengetahui bagaimana cara mengelola perilaku-perilaku manusia dan bagaimana suatu kebijakan akan mempengaruhi proses roda organisasi khususnya di bidang pendidikan. Dan semua itu akan lebih baik apabila kita menguasai Teknologi khususnya computer untuk mempromosikan atau memasarkan jasa untuk peningkatan sebuah kebijakan meliputi equity dan equality of education sehingga quality of life akan tercapai.
DAFTAR PUSTAKA
Becker.S.Gary (1983). Human Resources Development: A Theoritical and Empirical Analysis with Special Reference to Educaation.
Castetter, William B. (1981). The Personnel Function In Educational Administration. New York: MacMillan Publishing co.
Departemen Pendidikan Nasional. (2005). Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2005-2009. Jakarta: Depdiknas.
Desler, Gary, (1997). Manajemen Sumber Daya Manusia (Alih Bahasa Benyamin Molan). Gramedia: Jakarta.
Gibson, (1990). Organisasi dan Manajemen Perilaku, Struktur, dan Proses (Alih Bahasa Djoerban Wahid). Erlangga: Jakarta.
Haneman, H.G. (1981). Managing Personnel and Human Resources:  Strategies and Programs. Illionis: Richard D. Irwin Inc.
Hasugian, Jimmy. (2004). Konsep Kepemimpinan. Industrial Automation Using PLC and SCADA.
Jung, Dong, I (2001). Transformational and Transactional Leadership and Their Effects on Creativity in Groups. Creativity Research Journal. 2001 Vol. 13. No. 2 Hal. 185-195.
Miller, K, (2003). School, Teacher, and Leadership Impacts on Student Achievement. Office for Standards in Education and Institut of Education. London
Morphet, E.L., et al. (1982). Educational Organization and Adminstration: Concepts, Practice and Issue. New York: Prentice-Hall Inc.
Pusposutardjo, Suprodjo. (2002). Kebijakan Pengembangan Pendidikan Tinggi di Era Kehidupan Mendunia. Jakarta: Depdiknas.
Schuler, Randall S. (1987). Personnel and Human Resource Management. St. Paul USA: West Publishing Company.
Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003. Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Fokusmedia.
Walter W. McMahon & Terry, George, Geske, (1999). Financing Education: Overcoming Ineffeciency and Inequity. University of Illionis: USA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar