Tafsir Sya'rawi merupakan salah satu dari beberapa tafsir yang lahir di era modern ini yang memuat semua ayat Al-Qur'an. Penamaan tafsir ini (Tafsir asy-Sya'rawi) adalah satu wujud kehati-hatian sekaligus tawadhu’ penulisnya. Seperti dikatakan di dalam muqaddimahnya; “Bagaimanapun ini adalah penafsiran seorang anak manusia yang tidak luput dari kesalahan”.
Kitab tafsir ini pernah dimuat dalam majalah al-Liwa dari 1986 – 1989, volume 251-332, kemudian diterbitkan di Kairo oleh Idarat al-Kutub wa al-Maktabat pada tahun 1411 H/1991 M (Ali-Iyasi: 268).
Kitab ini merupakan tafsir modern yang cukup diperhitungkan. Hal ini terbukti setelah beliau merampungkan tulisannya, ia mendapat sambutan besar dari para ulama Mesir saat itu. Selain itu, ia pun menerima hadiah dari negara Kuwait hingga ribuan dollar,[1] yang dihibahkan untuk membantu para mahasiswa Thailand.
Dalam penulisan kitab tafsir ini, Syekh Muhammad Mutawalli Sya'rawi terlebih dahulu memberikan pengantar yang cukup panjang lebar (35 halaman), yang berkenaan dengan al-Qur'an dan tafsir. Di setiap lembar pendahuluannya ia selalu mencantumkan ayat dan juga riwayat sebagai penguat dan penyejuk hati pembaca. Ia mengatakan bahwa al-Qur'an harus dijadikan manhaj dalam kehidupan manusia dan merupakan hukum taklif yang wajib diikuti, demikian disebutkan dalam pendahuluan kitabnya.[2]
DR. Faraj Fodah pada pendahuluan menceritakan bahwa salah satu hal yang mendorong Mutawalli Sya'rawi menyelesaikan kitab tafsirnya ialah untuk membuktikan bahwa ia tidak hanya berorientasi pada bidang ekonomi belaka, akan tetapi juga ingin menunjukkan dirinya sebagai seorang ilmuan (mufassir), sebagaimana para ulama lainnya, seperti Kadafi, Anwar Syadat, Ayatullah Khomaeni, dan Yusuf Qardhawi. Atau mungkin, untuk menafikan anggapan sebagian kelompok minoritas yang memberikan penilaian negatif terhadapnya.
Secara spesifik tafsir ini tidak membahas satu atau beberapa hal saja, seperti Tanthawi Jauhari yang cenderung pada ayat-ayat fisika dan ilmu hayat, atau al-Alusi yang cenderung pada “maqam qalbi”. Sya'rawi terlihat lebih makro dan universal dalam membahas semua ayat, tidak ada kecenderungan yang menjadi perhatian khusus atas isi tafsirnya.[3] Akan tetapi, model Tafsir Sya'rawi ini sedikit banyak memberikan siraman rohani (taujihat) kepada para pembaca. Kecenderungan ini sudah termaktub mulai dari halaman pertama, pembatas setiap sub judul, judul besar, dan lain sebagainya.
Sebelum menafsirkan suatu ayat, terlebih dahulu Syekh Muhammad Mutawalli Sya'rawi memberikan pendahuluan (hantaran) yang berkenaan dengan al-Qur'an dan tafsir secara luas dan panjang lebar. Bahasan dalam pendahuluan itu berkaitan dengan al-Qur'an sejak diturunkan sebagai mukjizat, bukti kebenaran-Nya, dan kebenaran Muhammad Saw.[4]
Ada beberapa contoh penafsiran beliau. Dalam menafsirkan surat al-Fatihah terlebih dahulu ia menerangkan banyak hal tentang bismillah. Menurutnya, al-Qur'an diturunkan ke bumi bersama dengan nama Allah Swt., karena itu setiap membacanya harus diawali "dengan nama Allah Swt.". Hal ini sangat sinkron dengan ayat yang pertama kali diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. (QS. Al-‘Alaq: 1-5). Selain itu, beliau juga merujuk pada surat Yunus ayat 16, di mana Allahlah yang memberikan kemampuan kepada manusia untuk membaca atau berbuat apapun. Membacanya berarti bersyukur terhadap pemberian-Nya, sehingga manusia dituntut untuk mengawali segala sesuatunya dengan bismillah.
Sama halnya ketika ia menafsirkan surat al-Baqarah, terlebih dahulu ia menerangkan beberapa hal yang berkenaan dengan nama surat al-Baqarah. Menurutnya, al-Qur'an diturunkan dalam suasana yang "serba aneh", dimana bangsa Arab ketika itu tidak mengenal hewan yang bernama sapi. Inilah kisah tentang al-Baqarah pada ayat: 67-73. Tapi, ada hikmah imaniah dibalik semuanya ini. Dalam menjelaskan nama surat ini, Sya'rawi banyak mengutip QS: Kahfi: 72, QS: Taubah: 101, dan Al-Maidah: 82.[5]
Deskripsi di atas menjelaskan bahwa Tafsir Sya'rawi ini menggunakan metode tafsir al-Qur'an yufassiru ba'dhuhum ba'dha,[6] dan ini sangat nampak pada setiap penafsirannya. Artinya, dalam menerangkan satu ayat Syekh Sya'rawi banyak memperjelasnya dengan mengambil ayat lain yang memiliki konotasi dengan tafsirnya. Di samping itu, Sya'rawi juga tidak monoton dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an tetapi terlebih dahulu ia menerangkan beberapa hal yang berkaitan dengan surat atau ayat yang akan dibahas, serta yang memiliki sinkronisasi makna dan maksud dengannya.
Pada lain sisi, selain menafsirkan satu ayat dengan ayat lainnya, ia juga mengutip beberapa riwayat,[7] kendatipun tidak menyebutkan sumber aslinya dan hanya menyebutkan periwayatnya saja, sebagaimana terdapat pada pendahuluan kitabnya.
Dalam menafsirkan al-Qur'an, beliau sama sekali tidak mencantumkan kutipan pendapat para mufassir, baik mufassir klasik maupun modern. Terlepas dari mengutip atau tidaknya beliau dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an, yang jelas dalam kitabnya tidak terdapat kutipan-kutipan seperti kitab tafsir lainnya, sama halnya dengan kitab tafsir Ma’ani at-Tanzil karya Syekh al-Baghawi. Hal ini menunjukkan bahwa Sya'rawi memiliki konsistensi tentang keotentikan al-Qur'an sebagai mukjizat, yang mampu menjawab semua permasalahan tafsir yang dimunculkan oleh al-Qur'an itu sendiri.
Sebagai alumnus Fakultas Bahasa Arab, tentunya Sya'rawi memiliki kapabilitas kebahasaan yang cukup. Akan tetapi, keahliannya itu tidak banyak beliau tampakkan dalam kitab tafsir ini, misalnya memberikan paparan sebuah mufradat sesuai dengan sejarah, asal muasal, akar kata, atau kata yang sepadan dengannya, sebagaimana yang terdapat dalam kitab tafsir Bintu Syath’i, At-Tafsir al-Bayani li al-Qur’an al-Karim. Kendatipun demikian, bukan berarti ia sama sekali tidak menjelaskan kata dari suatu ayat.[8] Hal ini mungkin untuk menghindari perbedaan pandangan ahli-ahli bahasa tentang pengertian suatu ayat (kata), seperti yang terdapat dalam kitab tafsir Bintu Syath’i.
Dalam hal lain, beliau tidak menggunakan bahasa yang sulit untuk dicerna dalam kitab tafsirnya,[9] tetapi sebaliknya yang mudah dimengerti, karena posisinya sebagai seorang da'i. Logikanya, seorang da'i akan disenangi dan digemari oleh para hadirin lantaran tutur bahasa yang digunakan mudah dan dapat dipahami secara jelas oleh semua kalangan pendengar. Hal ini nampak terlihat dalam tafsirnya. Semua metodologi tersebut kelihatannya tidak terlepas dari latar belakang Syekh Muhammad Mutawalli Sya'rawi sebagai seorang da'i.
[1]Informasi ini didapat dari beberapa mahasiswa yang pernah mengenyam pendidikan di Universitas Al-Azhar. Mereka juga berpendapat bahwa ada dua pendapat tentang penyelesaian kitab itu: Pertama, penulisan kitab tafsirnya sudah rampung dalam bentuk jilidan sebelum ajal menjemputnya; Kedua, Ada juga yang mengatakan tafsirnya sudah rampung 30 juz tetapi baru sebagian saja yang dijilid, kemudian ajal menjemputnya. Wallahu a'lam.
[3]Yang dimaksud dengan perhatian khusus ialah Sya'rawi tidak tertuju hanya pada satu perhatian khusus, misalnya dari segi bahasa saja, seperti Bintu as-Syathi'. Akan tetapi, ada juga tafsirannya yang dapat menjadi perhatian khsusus atau sedikit bersipat isyari. Ini terbukti ketika ia menafsirkan surat al-Kahfi. Menurutnya, surat al-Kahfi merupakan salah satu surat yang di dalamnya penuh dengan kisah-kisah unik dan misterius. Di dalam surat ini, Allah Swt. mempertontonkan berbagai adegan yang harus dipikirkan dan dicari hikmahnya. Apabila kita coba melihat penafsiran beliau tentang kisah Ashabul Kahfi terlihat berbeda dengan mufassir lainnya, akan tetapi beliau tidak mendiskreditkan apalagi menyalahkan pendapat-pendapat para mufassir klasik maupun modern. Uniknya, beliau banyak memberikan soal-soal renungan yang penuh dengan tanda tanya, seperti kapan terjadinya peristiwa tersebut? Di mana tepatnya kejadian tersebut? Berapa jumlah mereka sebenarnya? dan lain sebagainya. Kelihatannya pendapat ini sengaja ia munculkan untuk melegitimasi pendapat-pendapatnya terdahulu tentang Mukjizat al-Qur'an. Artinya, kebenaran itu dari Allah Swt. dan kita dituntut untuk mencari dan menemukannya. Lihat Sya'rawi, Qishash al-Qur'an fi Surah al-Kahfi, Mesir: Maktabah Syi'r al-Islamiyah, 1990, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh H. Salim Basyarahil, Kisah-kisah dalam Surat al-Kahfi, Gema Insani Press, 1994.
[4]Buktinya, Khalifah Umar ibn Khattab masuk Islam. Sejarah mencatat bagaimana sejarah anaknya (Fatimah) dan suaminya (Said bin Zaid) yang masuk Islam tanpa sepengetahuannya. Lalu, Umar ingin membunuh Said tetapi dilarang oleh anaknya, sehingga Umarpun memukul putrinya sampai berdarah. Melihat hal itu, Umar pun hiba dan menyuruh Zaid untuk menunjukkan dan membacakan ayat yang tadi dibaca (surat Thaha) dan Umarpun bergumam "Alangkah indah dan mulia bacaan ini". Akhirnya, iapun masuk Islam. Ada hal yang menarik, kenapa Rasulullah Saw. pada saat turunnya al-Qur'an tidak menafsirkan ayat-ayat Munqati’ atau Fawatih as-Suwar, dan orang-orang kafir mempengaruhi hati orang kafir, juga rasul memberikan kesempatan kepada umatnya untuk ikut serta memberikan interpretasi terhadap ayat-ayat al-Qur'an, yang akan menjadi beku bila tidak ada seorangpun yang menafsirkannya lagi.
[5]Lebih lanjut, lihat Tafsir Sya'rawi, hal 95-96. Nampaknya setiap kali Sya'rawi akan menafsirkan suatu surat dalam al-Qur'an terlebih dahulu ia menerangkan beberapa hal yang berkaitan langsung dengan surat yang akan dibahas, ex, nama surat, dll.
[6]Kendatipun ia menggunakan metode al-Qur'an Yufassiru Ba'dhuhum Ba'dha, juga tidak terlepas dari peran ra’yu. Pada sisi ini ra’yu sangat berperan dalam pencarian ayat yang akan dijadikan sebagai penafsir ayat lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar