STIT AT-TAQWA CIPARAY BANDUNG

Kamis, 27 Oktober 2011

ALIRAN PEMIKIRAN MODERN DAN PENGARUHNYA TERHADAP STUDI ISLAM

Pendahuluan
Bagi masyarakat Eropa, abad ke 15 Masehi adalah titik kulminasi yang menghantarkan mereka kepada kemajuan serta berlepas diri dari abad kegelapan (the dark age). Sebelum memasuki abad 15, masyarakat Eropa mengalami berbagai guncangan sejarah, dimana peradaban mereka sangat tertinggal dari anak benua lain, terutama jika dibandingkan dengan peradaban Islam yang saat itu sedang berada di titik kejayaannya.
Perubahan nasib masyarakat Eropa tersebut dimulai dengan terjadinya revolusi industri di Inggris dan Parncis, dimana geliat ilmu pengetahuan semakin mulai terlihat, yang ditandai dengan ditemukannya berbagai teknologi terapan yang menjadi cikal bakal kemajuan Eropa dan masyarakat dunia pada umumnya. Oleh sebab itu, tidak heran jika banyak yang menghitung perubahan di Eropa tersebut sebagai titik mula dimulainya abad modern.
Setahap demi setahap, kemajuan ilmu pengetahuan di Eropa tidak dapat dibendung dan sangat deras, karena selain memanfaatkan warisan keilmuan tradisi Yunani, Eropa juga belajar banyak dari peradaban Islam yang baru saja runtuh dan telah banyak menymbangkan perkembangan luar biasa dalam ilmu-ilmu eksakta.
Kemajuan di Eropa tersebut diiringi dengan semakin maraknya gerakan anti-agama (baca: Gereja). Setidaknya ada dua faktor yang telah menyebabkan masyarakat Eropa menjauhi agama: pertama, akibat trauma kemunduran yang sebelumnya dialami masyarakat Eropa, dimana gereja sangat mendominasi seluruh sisi kehidupan masyarakat. Kedua, perkembangan ilmu-ilmu empiris yang sangat pesat, telah banyak mementahkan doktrin-doktrin gereja yang banyak mengandung unsur irasionalitas.

Satu hal yang harus diingat, bahwa masa peralihan yang dialami masyarakat Eropa dari the dark age menuju kepada peradaban modern, ditopang oleh berbagai pemikiran yang berkembang saat itu, terutama filsafat dan ilmu-ilmu eksakta, seperti terjadinya Aufklarung di Jerman. Minimal ada empat faktor yang telah mengantarkan Eropa mencapai renaissance:
  1. Penerjemahan buku-buku hasil karya kaum Muslimin ke dalam bahasa Latin. Hal ini berlangsung antara abad 13 dan 14 Masehi. Pengaruh pemikiran Arab inilah yang telah memberi amunisi besar bagi masyarakat Barat untuk melanjutkan berbagai inovasi dan penemuan ilmiah ilmuwan Arab-Muslim.
  2. Ketika Turki berhasil menaklukkan Konsatntinovel pada tahun 1452 M, banyak ilmuwan Yunani yang hijrah ke Italia dan bekerjasama dengan komunitas yang sudah lama berusaha menghidupkan tradisi filsafat Platonis.
  3. Mulai banyak berdirinya lembaga-lembaga pendidikan yang mempelajari ilmu pengetahuan secara independen dan jauh dari tekanan gereja.[1]
Selain itu, kebangkitan Eropa tersebut mulai dirintis semenjak 12 Masehi dan berlanjut hingga abad 15 sampai 16 Masehi yang ditandai dengan:
  1. Kebangkitan dalam dunia sastra. Kebangkitan ini telah dirintis di Itali yang tercermin dalam tokoh-tokoh satra Itali yang di antaranya adalah Dante (1265-1321).
  2. Studi dalam bidang-bidang humaniora yang dilakukan di lembaga-lembaga pendidikan Eropa. Saat itulah, kebangkitan Eropa mulai merembes hingga masuk ke sebelah utara yang meliputi Jerman, Pancis dan Belanda.
  3. Gerakan reformasi agama yang dipimpin oleh Martin Luter, seorang pendeta di Jerman. Reformasi ini merembes ke wilayah-wilayah lain di Eropa, dan berhasil menanamkan sikap kritis terhadap gereja.
  4. Berkembangnya ilmu-ilmu alam melalui eksperimen yang di antaranya dilakukan oleh Copernicus (1473-15-43).[2]
Inilah awal mula kebangkitan ilmu pengetahuan di Eropa yang mengantarkan mereka ke gerbang kemajuan.
Perkembangan pemikiran dan ilmu pengetahuan serta filsafat di Eropa, mengikuti perkembangan gaya hidup dan ideologi masyarakatnya. Dari sinilah kita akan menemukan lahirnya berbagai aliran pemikiran (baca: filsafat), yang pada beberapa abad kemudian banyak mepengaruhi masyarakat Timur; dan di antaranya adalah umat Islam.
Peta Aliran Pemikiarn Modern
Pada dasarnya kita tidak dapat menggeneralisir peta pemikiaran yang berkembang di era modern, maka—minimal—kita hanya dapat melakukan pemetaan terhadap perkembangan pemikiran tersebut. Oleh sebab itu, secara garis besar, peta pemikiran Barat Modern dapat diklasifikasi ke dalam beberapa kategori: filsafat; agama, politik, ekonomi dan ilmu sosial.
Agar pembahasan tidak terlalu melebar, disini penulis hanya akan mencoba memetakan pemikiran modern yang sangat berpengaruh dan sering bersentuhan dengan pemikiran keagamaan dalam Islam.
Dengan tidak bermaksud menyederhanakan perkembangan pemikiran filsafat modern, pada dasarnya perkembangan pemikiran politik, ekonomi dan ilmu sosial di Barat, sangat dipengaruhi oleh pemikiran filsafat. Filsafatlah yang melahirkan berbagai metode ilmu pengetahuan, hingga ia melahirkan teori-teori terapan dalam ilmu-ilmu eksakta yang saat ini berkembang pesat di Barat.
a. Sejarah Pemikiran Filsafat Barat Modern
Menurut para penulis sejarah filsafat, sejarah filsafat dapat dibagi kepada tiga fase: zaman klasik, zaman pertengahan dan zaman modern. Hanya saja, kita tidak akan menemukan kata sepakat untuk membatasi tiap fase. Untuk sekedar memberikan gambaran perkembangan filsafat pada tiga fase tersebut, tidak ada salahnya jika di sini penulis menggunakan kaca mata sebagian penulis sejarah filsafat yang mengatakan bahwa sejarah zaman modern filsafat Barat dimulai semenjak Renaissane pada akhir abad 15 atau awal abad 16 M sampai hari ini. Adapun zaman pertengahan adalah semenjak runtuhnya kekuasaan Romawi Barat pada tahun 476 M hingga datangnya masa kebangkitan dan terjadinya Renaissance. Adapun zaman klasik terjadi sebelum itu, termasuk era Yunani.
Idealnya, untuk dapat memahami peta pemikiran modern tersebut, kita harus memulainya dari tiga fase sejarah pemikiran filsafat yang telah membentuk sejarah peradaban dan kemajuan Barat. Hanya saja karena beberapa keterbatasan, penulis tidak akan mengemukakannya terlalu jauh.
Secara umum, kelahiran filsafat Barat modern dimulai oleh Roger Bacon dan Rene Descartes yang terkenal dengan Cogito ergu Sum-nya. Kemunculan Descartes menandai berakhirnya hegemoni filsafat Skolastik yang sangat kuat dipengaruhi gereja.
Setelah kemunculan Descartes, pada awal abad 17 Masehi, muncul para filosof rasionalis yang banyak mengambil teori “pengetahuan fitri’ dari Descartes. Di antara mereka adalah: Spinoza, Leibniz dan Wolf. Tidak jauh dari kemunculan mereka, pada abad yang sama muncullah kaum empiris yang dikomandani oleh John Lock, George Barkeley dan David Hume. Saat itu juga, lahir para filosof materialis yang untuk pertama kalinya disempurnakan oleh Thomas Hobes. Beberapa tahun kemudian diikuti oleh kemunculan Immanuel Kant yang mencoba melakukan kritik ulang terhadap ilmu dan filsafat yang mulai berkembang pesat di zamannya. Setelah itu, pada abad 18 dan 19 M, di Barat banyak bermunculan aliran-aliran filsafat lainnya, terutama di Inggris, Parncis dan jerman, seperti idealisme, positivisme, empirisisme, materialisme dan lain sebagainya.[3]
b. Pemikiran Barat Kontemporer dan Pengaruhnya Terhadap Studi Islam
Menurut hemat penulis, dari sekian banyak aliran pemikiran filsafat modern di Barat, di antaranya ada yang berkaitan secara langsung dengan pemikiran dan studi keislaman. Selain itu, di antara persoalan besar yang dihadapi masyarakat Barat adalah “pertikaian” antara filsafat dengan agama. Dalam konteks ini, kita akan menemukan dua arus besar yang menjadi main stream pemikiran sejarah filsafat Barat modern. Hanya saja dua arus besar tersebut antara satu dengan yang lainnya saling bertentangan. Dua arus tersebut adalah arus yang senantiasa menjauhkan filsafat dari doktrin-doktrin agama, terutama masalah metafisika. Arus ini di antaranya dipimpin oleh Hobes dan Hume serta para filosof alam lainnya. Arus lainnya adalah mereka yang senantiasa berupaya memadukan doktrin agama dengan filsafat, bahkan mereka mencoba mencapai kebenaran agama melalui pintu metafisika. Arus ini di antaranya dipimpin oleh Leibniz, Barkeley, Ficthe dan Hegel dll.
Arus pertama yang senantiasa berupaya menjauhkan agama dari filsafat, melahirkan berbagai aliran pemikiran yang pada akhirnya membesarkan paradigma materialistik dan atheistik. Adapun yang kedua, mereka inilah yang mempertahankan eksistensi agama dalam pemikiran filsafat Barat.
Oleh sebab itu, berbagai aliran pemikiran yang saat ini dihadapi oleh kaum Muslimin (terutama di Timur), banyak dimunculkan dari aliran-aliran filsafat Barat. Di antara aliran tersebut adalah: Empirisisme, positivisme dan materialisme yang banyak melahirkan pemikiran atheis.
Pada awalnya, pemikiran dalam filsafat Barat—sebagaimana filsafat pada umumnya—berangkat dari upaya mencari hakikat kebenaran yang sejati. Ia mulai mempertanyakan realitas dunia dan segala fenomena yang ada di dalamnya. Ia juga mulai mempertanyakan makna “tahu” dan “pengetahuan” bagi manusia. Dari manakah manusia dapat mengetahui? Apa saja yang dapat diketahui?; dan bagaimanakah cara mengetahui? Inilah wilayah epistemologis yang sering diperdebatkan oleh para filosof. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas, menentukan paradigma berfikir serta bentuk aliran filsafat. Ia bisa dinilai empirisis, positivis, materialis, atheis ataupun theis.
Saat ini, hasil kreativitas masyarakat Barat dalam mengembangkan filsafat, ilmu pengetahuan dan teknologi, sebagian di antaranya menjadi persoalan bagi masyarakat dunia, terutama kaum beragama (baca: Islam). Hal ini disebabkan bahwa liberalisasi pemikiran yang dilahirkan di Barat, telah menjadikan segala sesuatu sebagai hal yang “boleh”, selama ia dapat diverifikasi dan dibenarkan oleh ilmu pengetahuan. Persoalannya muncul ketika ia merembet masuk ke dalam wilayah metafisika. Karena segala sesuatu yang bersifat metafisik tidak diverifikasi oleh indra, maka sebagian pemikir Barat menegasikan keberadaan Tuhan dan hal-hal gaib lainnya. Selain itu, kita juga sering menemukan pengembangan ilmu pengetahuan tanpa batasan etika, sehingga ketika teknologi kloning ditemukan, maka ia menjadi persoalan tersendiri bagi kaum Muslimin.
Selain itu, kelahiran berbagai pemikiran filsafat di Barat, sangat dilatarbelakangi oleh kondisi sosial politik masyarakat yang dihadapinya. Oleh sebab itu, penolakan sebagian besar ilmuwan dan filosof Barat kepada hal-hal yang berbau agama, bukan berarti mereka menolak kehadiran seluruh agama. Saat itu, agama yang mereka tolak adalah agama yang tidak memberikan kesempatan untuk ilmu; dan agama yang ajarannya selalu bertentangan dengan penemuan ilmu pengetahuan. Sebagai contoh, penolakan Karl Marx terhadap agama (baca: Kristen) adalah karena ia sangat kecewa dengan gereja yang saat itu memberikan lahan subur untuk tumbuhnya kapitalisme di Eropa. Saat itu agama hanya dijadikan sebagai alat penghibur masyarakat dan tidak memberikan solusi yang adil bagi kaum ploretar.[4]
Saat ini, metode-metode filsafat bukan hanya digunakan untuk pengembangan ilmu-ilmu eksakta, tetapi ia juga digunakan sebagai pisau analisis untuk mengkaji berbagai cabang keilmuan lainnya, termasuk berbagai studi tentang agama. Inilah yang dilakukan oleh para orientalis dalam setiap kajian mereka tentang masyarakat timur, baik yang berkenaan dengan budaya maupun agama. Satu hal yang cukup berbahaya serta menodai objektivitas ilmu adalah ketika studi yang dikembangkan ini tidak hanya bertujuan untuk berkhidmah pada ilmu, tetapi telah disusupi kepentingan politik seperti imperialisme dan kolonialisme. Oleh sebab itu, seluruh cabang ilmu pengetahua yang berhasil mereka kembangkan, digunakan untuk mempelajari masyarakat Timur, tetapi bukan untuk mensejahterakan mereka. Ia digunakan untuk mencaplok mereka, baik dengan kekuatan militer maupun ideologi.
Akibat dari upaya-paya tersebut, masyarakat Barat bukan hanya menjual produk-produk iptek, tetapi juga mereka “mendakwahkan” kultur (bahkan agama) yang mereka peluk. Akibatnya, masyarakat Timur bukan hanya mengkonsumsi produk teknologi, tetapi juga harus menelan pil pait kultur Barat yang bertentangan dnegan kultur Timur, bahkan merasa bangga mengikuti Barat secara membabi buta.
Di antara pemikiran Barat yang saat ini dicangkokkan ke dalam pemikiran keagamaan (baca: Islam) adalah liberalisasi pemikiran, teologi inklusivisme, pluralisme, sekularisme, materialisme, Marxisme, kapitalisme dan lain sebagainya.[5]
Pada dasarnya, ketika buah pemikiran Barat modern tersebut dibawa ke dalam Islam, ia dapat menjadi unsur positif yang sangat bermanfaat untuk pengembangan studi Islam, tetapi pada waktu yang bersamaan ia juga dapat menjadi penyakit berbahaya. Terdapat banyak hal positif yang dapat kita ambil dari metode pemikiran Barat modern, tetapi juga terdapat duri yang—jika kita ingin—selamat, maka duri tersebut harus kita singkirkan dan setelah durinya tersingkir, kita bisa menikmati dagingnya tanpa was-was tertusuk duri.
Dengan kata lain, mengingat metode-metode tersebut lahir di Barat yang memiliki kultur dan pandangan hidup yang berbeda dengan Islam, maka Islam harus dijadikan sebagai “sabun” pembersih duri agar produk pemikiran Barat tersebut steril. Yang jadi persoalan kita adalah ketika produk Barat kita ekspor dan kita telan mentah-mentah tanpa melihat kondisi kita sebagai masyarakat Timur Muslim, padahal saat masyarakat Eropa mengambil metode pengembangan ilmu dari Islam, mereka juga tidak menelannya mentah-mentah.
Oleh sebab itu, jika kita sudah mensterilkan metode Barat dari warna Barat, maka hasil studi mereka tentang agama dan masyarakat dapat dijadikan sebagai sarana untuk memperkaya khazanah Islam. Hal seperti inilah yang telah dilakukan oleh beberapa orientalis yang objektif ketika mereka mengkaji Islam. Mereka dapat menghasilkan karya tentang Islam, padahal umat Islam sendiri belum mencapai kesana. Selain itu, tidak akan ada pertentangan lagi antara studi Islam hasil kajian orientalis dengan hasil umat Islam. Yang akan bermasalah adalah ketika hasil kajian orientalis didompleng oleh kepentingan Kristenisasi atau kolonialiasi. Oleh sebab itu, ketika di Barat berbicara tentang kebebasan, maka kita dapat menerapkan kebebasan Barat dengan ukuran al-Quran. Demikian pula ketika kita melihat isu-isu HAM, demokratisasi, pluralisasi dan lain sebagainya.
Jika hal ini berhasil kita lakukan, maka suatu saat kita tidak akan curiga dengan hasil kajian orientalis tentang Islam. Demikian pula para pendakwah pemikiran Barat tidak akan direpotkan oleh resistensi masyarakat Islam.
Wallahu ‘Alam

· Disampaikan pada acara: Up-Grading Anggota Lembaga Buhuts Islamiyyah Pwk. PP Persis, Cairo, 12 Oktober 2006/19 Ramadhan 1427 H.

End Note:
[1] Prof. Dr. Hamdi Zaqzuq. Dirasat fi al-Falsafah al-Haditsah. Dar al-Fikr al-Arabi: Cairo. Cet. 3, 1993. hal. 16-18.
[2] Ibid. hal. 19-20.
[3] Untuk dapat memberikan gambaran yang lebih detail mengenai perkembangan pemikiran filsafat di barat serta berbagai persoalan yang dihadapinya, lihat: IM. Bochenski. La Philosophie ContemropaineEn Europe yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab, dengan judul: Al-Falsafah al-Mu’ashirah Fi Urubba oleh: Dr. Ezzat Qarni. Alam al-Ma’rifah: Kuwaiat, edisi: 165. atau pula dapat dibaca dalam Tarikh al-Falsafah al-Haditsah karya Yusuf Kiram, terbitan Darul Ma’arif, Kairo.
[4] Untuk dapat melihat peranan Kristen Protestan dalam menumbuhsuburkan kapitalisme di eropa, lihat tulisan Max Weber (salah seorang bapak sosilogi terkemuka) yang dalam edisi Arab berjudul: al-Akhlaq al-Brutistantiyyah war uh al-Ra’su al-Maliyyah, dalam Alam al-Ma’rifah: Kuwait, edisi 309 tahun 2004 yang diedit oleh: J. Timmons Roberts dan Amy Hite.
[5] Untuk melihat definisi aliran-aliran ini, lihat buku: Peta Filsafat: Pendekatan Kronologis dan Tematis. Karya: Milton D. Hunnex. Diterjemahkan oleh Zubair. Teraju: Jakarta. 2004.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar