A. Pendahuluan
Pendidikan,  pada dasarnya berkaitan dengan transformasi ilmu. Apalagi masalah  pendidikan agama, yang berkaitan dengan ilmu-ilmu agama (ulumuddin)  sangat penting di kalangan kaum muslimin. Manusia pertama yang  memperoleh tranformasi ilmu langsung dari Allah ialah Nabi Adam As.
Selanjutnya  jaman terus berubah, pengetahuan pun berkembang dan manusia dengan  potensi akalnya menemukan hal-hal yang baru, dan atau mengembangkan  ilmu-ilmu yang ada sebelumnya. Dan di antara kaum muslimin yang banyak  andil dalam pengembangan pemikiran Islam adalah Al Ghazali dan Ibnu  Maskawaih.
Ada satu pujian yang menarik yang lahir dari Islamolog  Jerman kepada Imam Ghazali, katanya, "Kalau ada nabi lagi setelah  Muhammad, maka al-Ghazalilah orangnya."
Layaknya beralasan, bila  Islamolog sekaliber Annemarie mengatakan demikian karena berangkat dari  kekagumannya pada pemikiran al-Ghazali secara konprehenshif. Betapa  tidak, al-Ghazali adalah manusia fenomenal yang hidup dalam gelimang  multiaspek dan dinamika kehidupan, yang saat itu puncak peradaban Islam  sedang "mencakar" ketinggian langit.
Dalam kekuasaan Islam yang  merengkuh hampir seluruh untaian benua, muncul kecemerlangan pemikiran  -- yang pada zamannya hingga saat ini -- seluruh mata hampir tak pernah  lepas mencermati tokoh ini. Pusat-pusat kajian keislaman kampus-kampus  Eropa hampir tidak dapat melepaskan kajiannya tentang al-Ghazali.  Al-Ghazali punya peran yang luar biasa, spesial dalam bidang tasawuf,  tetapi juga tidak bisa terpisah dari keahliannya dalam berbagai ilmu.
Saya  yakin bahwa studi tentang al-Ghazali tidak akan bisa dibahas dalam  seminggu atau satu bulan karena al-Ghazali adalah seorang tokoh yang  multidimensi, bahkan pemikirannya menjalar pada supra pemikiran yang  lebih luas. Begitu juga tentang Ibnu Maskawaih.
Dalam makalah singkat  ini, kita akan menyusuri pemikiran al-Ghazali dan Ibnu Maskawaih  seputar sistem pendidikan Islam. Saya mengharapkan akan lahir kontribusi  pemikiran mengapresiasi dua sosok pemikir yang karyanya membanjiri  "ladang-ladang pengetahuan" dan menyentuh seluruh aspek keilmuan ini.
B. Imam Al Ghazali
Imam  Al Ghazali nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad  al-Ghazali ath-Thusi asy-Syafi'i (lahir 1058 di Thus, propinsi Khurasan,  Persia (Iran), wafat 1111, Thus) adalah seorang filosof dan teolog  muslim Persia, yang dikenal sebagai Algazel di dunia Barat abad  Pertengahan.
1. Riwayat Hidup
Imam al-Ghazali dilahirkan pada  tahun 450 Hijrah bersamaan dengan tahun 1058 Masehi di bandat Thus,  Khurasan (Iran). Beliau berkun`yah Abu Hamid karena salah seorang  anaknya bernama Hamid. Gelar beliau al-Ghazali ath-Thusi berkaitan  dengan gelar ayahnya yang bekerja sebagai pemintal bulu kambing dan  tempat kelahirannya yaitu Ghazalah di Bandar Thus, Khurasan. Sedangkan  gelar asy-Syafi'i menunjukkan bahwa beliau bermazhab Syafi'i. Beliau  berasal dari keluarga yang miskin. Ayahnya mempunyai cita-cita yang  tinggi yaitu ingin anaknya menjadi orang alim dan saleh. Imam Al-Ghazali  adalah seorang ulama, ahli fikir, ahli filsafat Islam yang terkemuka  yang banyak memberi sumbangan bagi perkembangan kemajuan manusia. Beliau  pernah memegang jawatan sebagai Naib Kanselor di Madrasah Nizhamiyah,  pusat pengajian tinggi di Baghdad. Imam Al-Ghazali meninggal dunia pada 4  Jumadil Akhir tahun 505 Hijriah bersamaan dengan tahun 1111 Masehi di  Thus. Jenazahnya dikebumikan di tempat kelahirannya.
2. Pendidikan
Pada  tingkat dasar, beliau mendapat pendidikan secara gratis dari beberapa  orang guru karena kemiskinan keluarganya. Pendidikan yang diperoleh pada  peringkat ini membolehkan beliau menguasai Bahasa Arab dan Parsi dengan  fasih. Oleh sebab minatnya yang mendalam terhadap ilmu, beliau mula  mempelajari ilmu ushuluddin, ilmu mantiq, usul fiqih, filsafat, dan  mempelajari segala pendapat keeempat mazhab hingga mahir dalam bidang  yang dibahas oleh mazhab-mazhab tersebut. Selepas itu, beliau  melanjutkan pelajarannya dengan Ahmad ar-Razkani dalam bidang ilmu  fiqih, Abu Nasr al-Ismail di Jarajan, dan Imam Harmaim di Naisabur. Oleh  sebab Imam al-Ghazali memiliki ketinggian ilmu, beliau telah dilantik  menjadi mahaguru di Madrasah Nizhamiah (sebuah universitas yang  didirikan oleh perdana menteri) di Baghdad pada tahun 484 Hijrah.  Kemudian beliau dilantik pula sebagai Naib Kanselor di sana. Beliau  telah mengembara ke beberapa tempat seperti Mekkah, Madinah, Mesir dan  Jerusalem untuk berjumpa dengan ulama-ulama di sana untuk mendalami ilmu  pengetahuannya yang ada. Dalam pengembaraan, beliau menulis kitab Ihya  Ulumuddin yang memberi sumbangan besar kepada masyarakat dan pemikiran  manusia dalam semua masalah.
3. Karya-karyanya
Sebagaimana  disebutkan bahwa Al Ghazali merupakan kontributor terbesar pada masanya  yang meliputi berbagai disiplin ilmu, di antaranya :
a. Bidang Teologi
1) Al-Munqidh min adh-Dhalal
2) Al-Iqtishad fi al-I`tiqad
3) Al-Risalah al-Qudsiyyah
4) Kitab al-Arba'in fi Ushul ad-Din
5) Mizan al-Amal
6) Ad-Durrah al-Fakhirah fi Kasyf Ulum al-Akhirah
b. Tasawuf
1) Ihya Ulumuddin (Kebangkitan Ilmu-Ilmu Agama) merupakan karyanya yang terkenal.
2) Misykah al-Anwar (The Niche of Lights)
3) Kimiya as-Sa'adah (Kimia Kebahagiaan)
c. Filsafat
1) Maqasid al-Falasifah
2)  Tahafut al-Falasifah, buku ini membahas kelemahan-kelemahan para  filosof masa itu, yang kemudian ditanggapi oleh Ibnu Rushdi dalam buku  Tahafut al-Tahafut (The Incoherence of the Incoherence).
d. Fiqih
1) Al-Mushtasfa min `Ilm al-Ushul
e. Logika
1) Mi`yar al-Ilm (The Standard Measure of Knowledge)
2) al-Qistas al-Mustaqim (The Just Balance)
3) Mihakk al-Nazar fi al-Manthiq (The Touchstone of Proof in Logic)
4. Pemikiran al-Ghazali dalam pendidikan
Sejak  kecil, Imam Al Ghazali telah bergelut dengan dunia pendidikan. Maka  tidak diragukan lagi dalam hal yang satu ini, beliau menorehkan  pemikiran-pemikiran yang senantiasa menjadi inspirasi bagi generasi  sesudahnya.
Di antara pemikirannya tentang pendidikan Islam dapat  dilihat dari buku karangannya, yaitu pertama, Fatihatul Kitab  menerangkan berbagai pendapat tentang pendidikan, pengajaran dan latihan  mental, kedua, Ayyuhal Walad yang melukiskan garis-garis besar  kebijakan pendidikan yang ia pandang cocok dengan pendidikan remaja  muslim, dan ketiga, Ihya ‘Ulumuddin yang di dalamnya dikaji  masalah-masalah pendidikan, fikih, akhlak dan tasawwuf. Dari  karangan-karangannya ini terlihat jelas bagaimana filsafat pendidikan  yang ditorehkan oleh Al Ghazali. Hakikat pendidikan menurut Al Ghazali  merupakan jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mendapatkan  kebahagiaan dunia-akhirat.
Secara sistematis, pemikirannya memiliki  corak tersendiri. Ia secara jelas dan tuntas mengungkapkan pendidikan  sebagai suatu sistem yang terdiri dari beberapa komponen. Menurut Dr. H.  Samsul Nizar, M.A., totalitas pandangannya meliputi hakikat tujuan  pendidikan, pendidik, peserta didik, materi, dan metode pendidikan.
a. Hakikat Ilmu dan Amal Menurut Al Ghazali
Intisari  ilmu dalam pandangan Al Ghazali ialah mengetahui apa taat dan ibadah  itu. Menurutnya, taat dan ibadah adalah menuruti segala perintah dan  larangan pembuat syariat, baik dengan ucapan ataupun dengan perbuatan.  Akal manusia karena merupakan alat untuk memperoleh ilmu, maka  al-Ghazali memberikan tempat yang terhormat baginya. Setelah membahas  ilmu dan seluk beluknya pasal terakhir tentang ilmu beliam membuat pasal  tantang akal dan kemuliannya.
Bagi Imam al-Ghazali, ilmu adalah  sesuatu yang sangat mulia, dan sebab itu terlalu murah jika ilmu  ditujukan untuk hal-hal yang sifatnya duniawi. Ilmu haruslah ditujukan  untuk ibadah dan mencari hidayah Allah. Siapapun yang mencari ilmu  dengan niat yang mulia seperti itu, kata beliau, maka para Malaikat akan  melindungi pencari ilmu itu dengan membentangkan sayapnya; dan  ikan-ikan di laut mendoakan si pencari ilmu yang ikhlas dalam  langkahnya.
Jika saat ini kita mengalami krisis ulama, dan pesantren  serta kampus-kampus Islam tidak melahirkan ulama-ulama yang tangguh,  maka kita perlu melakukan introspeksi ke dalam, apakah konsepsi ilmu dan  niat dalam mencari ilmu sudah benar?. Al-Ghazali sangat intens dalam  membahas tentang ilmu. Menurutnya, ilmu dan amal merupakan satu mata  rantai ibarat setali mata uang yang dengannya manusia dapat selamat  ataupun binasa. Ia mengutip hadis Nabi saw. “Orang yang paling berat  siksaannya di hari kiamat adalah orang berilmu yang belum diberi  kesempatan oleh Allah untuk memanfaatkan (mengamalkan) ilmunya".Dan  hadis yang berbunyi :???? ???????? ??????? ??? ???? ??? ?? ???? ????  ??????? ?????? ? ???????
Al Ghazali berkata kepada muridnya, “Duhai  anakku, ilmu tanpa amal adalah kegilaan. Sementara amal tanpa ilmu tak  ada artinya. Keserasian antara amal dan ilmu dengan ketentuan syari’at  sangat beliau tekankan. Bagi penulis, Al Ghazali adalah sufi yang  sebenarnya dan beliau mengkritik kaum sufi yang jauh dari syari’at.  Tasawuf Al - Ghazali menghimpun akidah, syariat dan akhlak dalam suatu  sistematika yang kuat dan amat berbobot, karena teori - teori tasawufnya  lahir dari kajian dan pengalaman pribadi setelah melaksanakan suluk  dalam riyadhah dan mujahadah yang intensif dan berkesinambungan.
b. Tujuan Pendidikan Menurut Al Ghazali
Menurut  Al Ghazali, puncak kesempurnaan manusia ialah seimbangnya peran akal  dan hati dalam membina ruh manusia. Jadi sasaran inti dari pendidikan  adalah kesempurnaan akhlak manusia, dengan membina ruhnya. Hal ini  berlandaskan pada firman Allah SWT, "Sesungguhnya engkau (Muhammad)  benar-benar mempunyai akhlak yang sangat agung". (QS. 68 : 4). Dan sabda  Rasul saw : Innama bu'itstu liutammima makarimal akhlak.
Dan  komponen pendukung sempurnanya insan ialah keseimbangan antara daya  intelektual (kognitif), daya emosi, dan daya nafs, oleh daya  penyeimbang. Al-Ghazali memberikan tamsil dengan menjelaskan orang yang  menggunakan akalnya yang berlebih-lebihan tentu akan akal-akalan, sedang  yang 'menganggurkannya' akan jahil. Jadi pendidikan dikatakan sukses  membidik sasaran sekiranya mampu mencetak manusia yang berakhlakul  karimah.
Secara ringkas, tujuan pendidikan Islam menurut Al Ghazali  dapat diklasifikasikan kepada tiga, yaitu : (1) tujuan mempelajari ilmu  pengetahuan semata-mata untuk ilmu pengetahuan itu sendiri sebagai wujud  ibadah kepada Allah; (2) tujuan utama pendidikan Islam adalah  pembentukan Akhlakul Karimah; (3) tujuan pendidikan Islam adalah  mengantarkan peserta didik mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
c. Pendidik
Pekerjaan  mengajar dalam pandangan al-Ghazali adalah pekerjaan yang paling mulia  sekaligus sebagai tugas yang paling agung. Seperti dikemukakannya :  "Makhluk yang paling mulia di muka bumi adalah manusia, dan bagian tubuh  yang paling berharga adalah hatinya. Adapun guru adalah orang yang  berusaha membimbing, meningkatkan, menyempurnakan serta menyucikan hati,  hingga hati itu menjadi dekat kepada Allah SWT. Oleh karena itu,  mengajarkan ilmu pengetahuan dapat dilihat dari dua sudut pandang,  pertama ia mengajarkan ilmu pengetahuan sebagai bentuk ibadah kepada  Allah, dan kedua menunaikan tugasnya sebagai khalifah Allah di muka  bumi. Dikatakan khalifah Allah karena Allah telah membukakan hati  seorang 'alim dengan ilmu yang dengan itu pula seorang 'alim menampilkan  identitasnya.
Syarat pokok seorang guru, bagi Al Ghazali adalah  berilmu, tetapi tidak semua yang berilmu pantas menjadi guru. Tetapi ia  harus memenuhi kriteria-kriteria yang sangat ketat.
Menurut Al Ghazali, kode etik atau tugas profesi yang harus dipatuhi oleh guru (pendidik) meliputi delapan hal:
  * Pertama, menyayangi para peserta didiknya, bahkan memperlakukan  mereka seperti perlakuan dan kasih sayang guru kepada anaknya sendiri.
  * Kedua, guru bersedia sungguh-sungguh mengikuti tuntunan Rasulullah  SAW. sehingga ia tidak mengajar untuk mencari upah atau untuk  mendapatkan penghargaan dan tanda jaasa.
 * Ketiga, guru tidak boleh mengabaikan tugas memberi nasihat kepada para peserta didiknya.
  * Keempat, termasuk ke dalam profesionalisme guru, adalah mencegah  peserta didik jatuh terjerembab ke dalam akhlak tercela melalui cara  sepersuasif mungkin dan melalui cara penuh kasing sayang, tidak dengan  cara mencemooh dan kasar.
 * Kelima, kepakaran guru dalam  spesialisasi tertentu tidak menyebabkannya memandang remeh disiplin  keilmuan lainnya, semisal guru yang pakar dalam ilmu bahasa, tidak  menganggap remeh ilmu fikih.
 * Keenam, guru menyampaikan materi pengajarannya sesuai dengan tingkat pemahaman peserta didiknya.
  * Ketujuh, terhadap peserta didik yang berkemampuan rendah, guru  menyampaikan materi yang jelas, konkrit dan sesuai dengan tingkat  kemampuan peserta didik dalam mencernanya.
 * Kedelapan, guru mau mengamalkan ilmunya, sehingga yang ada adalah menyatunya ucapan dan tindakan.
d. Peserta Didik
Peserta didik memiliki sepuluh poin kewajiban, atau wadlifah menurut al Ghazali:
  * Pertama, memprioritaskan penyucian diri dari akhlak tercela dan sifat  buruk, sebab ilmu itu bentuk peribadatan hati, shalat ruhani dan  pendekatan batin kepada Allah.
 * Kedua, peserta didik menjaga diri dari kesibukan-kesibukan duniawi dan seyogyanya berkelana jauh dari tempat tinggalnya.
  * Ketiga, tidak membusungkan dada terhadap orang alim (guru), melainkan  bersedia patuh dalam segala urusan dan bersedia mendengarkan  nasihatnya.
 * Keempat, bagi penuntut ilmu pemula hendaknya  menghindarkan diri dari mengkaji variasi pemikiran dan tokoh, baik  menyangkut ilmu-ilmu duniawi maupun ilmu-ilmu ukhrawi.
 * Kelima,  penuntut ilmu tidak mengabaikan suatu disiplin ilmu apapun yang terpuji,  melainkan bersedia mempelajarinya hingga tahu akan orientasi dari  disiplin ilmu tersebut.
 * Keenam, penuntut ilmu dalam usaha  mendalami suatu disiplin ilmu tidak dilakukan secara sekaligus, akan  tetapi perlu bertahap dan memprioritaskan yang terpenting.
 * Ketujuh, penuntut ilmu tidak melangkah mendalami tahap ilmu berikutnya hingga ia benar-benar menguasai tahap ilmu sebelumnya.
 * Kedelapan, penuntut ilmu hendaknya mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan dapat memperoleh ilmu yang paling mulia.
  * Kesembilan, tujuan belajar penuntut ilmu adalah pembersihan batin dan  menghiasinya dengan keutamaan serta pendekatan diri kepada Allah serta  meningkatkan maqam spiritualnya.
 * Kesepuluh, penuntut ilmu  mengetahui relasi ilmu-ilmu yang dikajinya dengan orientasi yang dituju,  sehingga dapat memilah dan memilih ilmu mana yang harus diprioritaskan.
e. Kurikulum/Materi Pendidikan
Adapun  mengenai materi pendidikan, Al Ghazali berpendapat bahwa Al Qur’an  beserta kandungannya adalah merupakan ilmu pengetahun. Dalam hal ini Al  Ghazali membagi ilmu pada dua macam, yaitu : Pertama, Ilmu Syar’iyyah;  semua ilmu yang berasal dari para nabi. Kedua, Ilmu Ghair Syar’iyyah;  semua ilmu yang berasal dari hasil ijtihad ulama atau intelektual  muslim.
Al Ghazali membagi isi kurikulum pendidikan Islam menurut kuantitas yang mempelajarinya kepada dua macam, yaitu:
(1)  Ilmu Fardlu Kifayah, yaitu ilmu yang cukup dipelajari oleh sebagian  muslim saja, seperti ilmu yang berkaitan dengan masalah duniawi misalnya  ilmu hitung, kedokteran, teknik, pertanian, industri, dan sebagainya.  (2) Ilmu Fardlu ‘Ain, yaitu ilmu yang harus diketahui oleh setiap muslim  yang bersumber dari kitabullah.
Sedangkan ditinjau dari  sifatnya, ilmu pengetahuan terbagi kepada dua, yaitu : ilmu yang terpuji  (mahmudah) dan ilmu yang tercela (mazmumah). Ilmu-ilmu yang berkaitan  dengan masalah aqidah dan ibadah wajib, misalnya, termasuk ilmu yang  fardhu ‘ain. Secara ringkas, ilmu yang fardhu ‘ain adalah ilmu yang  diperlukan untuk mengamalkan kewajiban. Untuk orang-orang yang dikarunai  akal yang cerdas, maka beban dan kewajiban untuk mengkaji keilmuan itu  tentu lebih berat. Mereka seharusnya lebih mendalami ilmu-ilmu yang  fardhu ‘ain, lebih daripada orang lain yang kurang kadar kecerdasan  akalnya.
Ilmu yang wajib diajarkan sejak dini menurut Al Ghazali, di antaranya :
1. shalat, puasa, zakat dan haji;
2. Aqidah; dan
3. Ilmu-ilmu yang dapat menjauhkan dari kcelakaan dan meningkatkan derajat.
e. Metode Pendidikan / pengajaran
Filosof  besar ini menandaskan perlunya memilih metode yang tepat dan sejalan  dengan sasaran pendidikan. Oleh karena itu, al-Ghazali membagi ilmu  dalam beberapa himpunan, bagian-bagian, dan cabang-cabangnya.  Berdasarkan hadis Nabi saw., "Sampaikan ilmu sesuai dengan kadar  kemampuan akal", al-Ghazali menganjurkan agar filsafat atau ilmu lainnya  diberikan sesuai dengan tabiatnya, sesuai dengan kemampuan dan kesiapan  manusia. Tidak seperti "memberi daging kepada anak kecil".
Dalam  kitabnya Ayyuhal Walad, Al Ghazali dalam metodenya memberikan pemahaman  kepada muridnya beliau sering mengutip kisah-kisah dan contoh-contoh.  Misalnya kutipan berikut :
”Wahai anakku, diriwayatkan Lukman Al  Hakim berwasiat kepada anaknya: ’Wahai anakku, janganlah ayam jago lebih  pintar darimu. Di waktu sahur ia telah berkokok, sementara engkau masih  terlelap tidur.”
Kisah-kisah yang beliau sampaikan lalu di antaranya beliau buktikan dengan sabda Nabi saw.
Al  Ghazali, dalam mendidik anak lebih menekankan aspek afektif dan  psikomotoriknya dibandingkan dengan aspek kognitif. Hal ini karena jika  anak kecil sudah terbiasa untuk berbuat sesuatu yang positif, masa  remaja atau dewasanya lebih mudah untuk berkepribadian yang saleh, dan  secara otomatis, pengetahuan yang bersifat kognitif lebih mudah  diperolehnya. Tarbiyyah Ruhiyah disampaikan olehnya yaitu dengan  memerintahkan muridnya untuk shalat tahajjud, berdo’a dan dzikir.
f. Komprehensivitas pendidikan
Al-Ghazali  lahir sebagai peletak dasar "perkawinan" multiaspek disiplin ilmu,  seperti kalam, tasawuf, falsafah, dan fikih. Kehidupannya penuh dinamika  yang mencolok dan dihiasi dengan krisis intelektual dan spiritual. Akan  tetapi dalam perjalanan itu, beliau menggoreskan jejak langkah  pengajaran sufistik yang menekankan aspek akhlakul karimah sebagai  mainstream dari Ihya, karya monumentalnya.
Bila kini ahli pendidikan  menyebutnya sebagai kurikulum berbasis komptensi, al-Ghazali jauh  sebelumnya telah meletakkan dasar pondasi yang kuat bahwa perpaduan yang  komprehensif dari kekuatan intelektual, emosional, dan spritual, yang  berpadu pada tasawuf, falsafah dan fikih, satu keniscayaan bagi pelaku  dan peserta didik saat ini.
C. Ibnu Maskawaih
Mungkin jarang  sekali mendengar nama Ibnu Maskawaih, bahkan penulis, -dengan segala  keterbatasan – kesulitan untuk menemukan rujukan yang memadai yang  mengulas tuntas tetangnya, wabilkhusus mengenai pemikiran pendidikannya.  Karena ia bukan ahli pendidikan lainnya halnya Al Ghazali yang banyak  berkecimpung dengan dunia pendidik baik teorits maupun praktis.
1. Riwayat Hidup Ibnu Maskawaih
Dalam  Ensiklopedi Islam dikatakan, Ibnu Maskawaih adalah seorang ahli sejarah  dan filsafat. Disamping itu, ia juga seorang moralis, penyair serta  ahli kimia.Nama lengkapnya adalah Abu Ali Ahmad bin Muhammad bin Yakub  bin Maskawaih. Ia dilahirkan pada 330 Hijrah (941 M)] di Kota Ray  (Teheran sekarang).
Dilihat dari tahun lahir dan wafatnya, Ibnu  Maskawaih hidup pada masa pemerintahan Bani Abbas yang berada di bawah  pengaruh Bani Buwaih yang beraliran Syi’ah dan berasal dari keturunan  Parsi Bani Buwaih yang mulai berpengaruh sejak Khalifah Al Mustakfi dari  Bani Abbas mengangkat Ahmad bin Buwaih sebagai Perdana Menteri (Amirul  Umara) dengan gelar Mu’izz Al Daulah pada tahun 945 M. Puncak prestasi  atau zaman keemasan kekuasaan Bani Buwaih adalah pada masa ’Adhud Ad  Daulah yang berkuasa dari tahun 367 hingga 372 H. Pada masa inilah Ibnu  Maskawaih memperoleh kepercayaan untuk menjadi bendaharawan dan pada  masa ini jugalah Ibn Maskawaih muncul sebagai seorang filosof, tabib,  ilmuwan dan pujangga. Tetapi di samping itu, ada hal yang tidak  menyenangkan hatinya, yaitu kemerosotan moral yang melanda masyarakat.  Oleh karena itulah agaknya ia lalu tertarik untuk menitik beratkan  perhatiannya pada bidang etika Islam.
Setelah kematian Mu’izz, beliau  telah dilantik menjadi Ketua Perpustakaan. Ini telah membuka peluang  kepada Ibnu Maskawaih untuk menambah ilmu pengetahuan karena beliau  berpeluang untuk membaca berbagai buku yang ditulis oleh para ilmuan  Islam dan Yunani.
Beliau kemudian dilantik menjadi Ketua Pemegang  Amanah Khazanah yang bertanggungjawab menjaga perpustakaan Malik Adhdud  Daulah. Sehubungan dengan itu, hasil ketekunan dan kerajinan beliau  dalam mencari ilmu pengetahuan akhirnya memberi hasil yang bernilai  kepadanya. Ibnu Maskawaih telah berhasil membina dan membuktikan  ketokohannya sebagai ilmuan yang mempunyai pengetahuan yang luas dalam  berbagai bidang.
Sejalan dengan segala sumber ilmu yang beliau  pelajari, banyak teori telah dihasilkan Ibnu Maskawaih dan tidak  terbatas dalam satu fokus dan falsafah sahaja. Beliau telah menulis  berbagai kitab yang membicarakan berbagai persoalan. Antara yang  terkenal Kitab al-Fuaz al-Saghir yang menumpukan kepada perbicaraan  berkaitan metafizik tentang Allah, kerasulan dan jiwa.
2. Riwayat Pendidikan Ibnu Maskawaih
Riwayat  detail mengenai riwayat pendidikan Ibn Maskawaih tidak diketahui dengan  jelas. Maskawaih tidak menulis otobiografinya, dan para penulis  riwayatnya pun tidak memberikan informasi yang jelas mengenai latar  belakang pendidikannya. Namun dalam beberap literatur di dapat ketemukan  oleh penulis adalah sebagai berikut : Ia belajar sejarah, terutama  Tarikh At Thabary, kepada Abu Bakar Ahmad bin Kamil al Qaghi (350 H/960  M). Ibn Al Khammar, mufassir kenamaan karya-karya Aristoteles, adalah  gurunya dalam ilmu-ilmu filsafat. Maskawaih mengkaji alkimia bersama abu  At Thayyib ar Razi, seorang ahli alkimia.
3. Karya-karyanya
Adapun karya-karya Maskawaih yang dapat terekam oleh para penulis sejarah di antaranya adalah sebagai berikut :
a. Al Fauzul Ashghar, tentang ketuhanan, jiwa dan kenabian (metafisika).
b. Al Fauzul Akbar, tentang etika.
c. Thabaratun Nafs, tentang etika.
d. Takhzibul Akhlak, tentang etika.
e. Tartibus Sa’adah, tentang etika dan politik.
f. Tajaribul Umam, tentang sejarah.
g. Al Jam’i, tentang ketabiban.
h. Al Adwiyyah, tentang obat-obatan.
i. Al Asyribah, tentang minuman.
j. Al Mustaufi, berisi kumpulan syair-syair pilihan.
k. Maqalat finnafsi wal aql, tentang jiwa dan akal.
l. Jawizan Khard (akal abadi), tentang pemerintahan dan hukum.
Sebenarnya masih banyak karya-karya dari Maskawaih yang tidak dapat disebutkan satu persatu dalam kesempatan ini.
4. Pemikiran Pendidikan Ibnu Maskawaih
a. Pendidikan Akhlak
Berbeda  dengan Al Ghazali, yang secara ekspisit menuangkan bagaimana seharusnya  pendidikan berlangsung. Maskawaih sebagai disebutkan ia sejatinya  adalah filosof muslim yang memusatkan perhatiannya pada etika Islam.  Dari sanalah kita dapat menemukan bagaimana pemikiran filsafat moralnya  yang berimplikasi pada pemikiran pendidikan.
Filsafat moral sangat  berkaitan dengan psikologi, sehingga Maskawaih memulai risalah besarnya  itu dengan akhlak, Takhzibul Akhlak dengan terlebih dahulu membahas  tentang An Nafs. Baru pada bagian kedua ia membahas tentang Al Khulq. Ia  mendefinisikan Al Khulq sebagai berikut :
????? ??? ????? ????? ??? ??? ??????? ?? ??? ??? ??? ????.
Artinya,  ”khuluq adalah keadaan jiwa yang mendorongnya untuk melakukan  perbuatan-perbuatan tanpa dipikirkan dan diperhitungkan sebelumnya”.
Bandingkan dengan definisi akhlak menurut al-Ghazali, sebagai berikut:
?????? ????? ?? ???? ?? ????? ?????? ???? ???? ??????? ?????? ???? ?? ??? ???? ??? ??? ?????
Selanjutnya  ia mengatakan bahwa keadaan jiwa itu dapat merupakan fitrah sejak  lahir, dan dapat pula merupakan hasil latihan membiasakan diri.  Berkenaan dengan pengertian Khuluq yang dikemukakan Maskawaih tersebut,  dapat disimpulkan bahwa akhlak peserta didik dapat dilatih ke arah yang  lebih baik dengan jalan latihan-latihan membiasakan diri, hingga menjadi  sifat kejiwaan (akhlak) yang dapat spontan melahirkan perbuatan yang  baik.
Maskawaih menetapkan kemungkinan manusia mengalami  perubahan-perubahan khuluq, dan dari segi inilah maka diperlukan adanya  aturan-aturan syariat, diperlukan adanya nasihat-nasihat dan berbagai  macam ajaran tentang adab sopan santun.
Dengan memakai aturan pribadi  moral, Maskawaih membagi kebijaksanaan menjadi tujuh : ketajaman  intelegensi, kesigapan akal, kejelasan pemahaman, fasilitas perolehan,  ketepatan dalam membedakan, penyimpanan dan pengungkapan kembali;  sebelas bagian dalam keberanian, yaitu : kemurah hatian, kebersamaan,  ketinggian pengharapan, keteguhan, kesejukan, keterarahan, keberanian,  kesabaran, kerendahdirian, semangat dan kepengampunan; dua belas dalam  kesederhanaan, yaitu : malu, ramah, benar, damai, menahan diri, sabar,  berarti, tenang, saleh, keteraturan, menyeluruh dan kebebasan; dan  sembilan belas bagian dalam keadilan, yaitu : persahabatan, persatuan,  kepercayaan, kasih sayang, persaudaraan, pengajaran, keserasian,  hubungan yang terbuka, ramah tamah, taat, penyerahdirian, pengabdian  pada Tuhan, meninggalkan permusuhan, tidak membicarakan sesuatu yang  menyakiti orang lain, membahas sifat keadilan, tak mengenak  ketidakadilan dan lepas dari mempercayai yang hina, pedagang yang jahat  dan penipu.
Abdurrahman Badawy, dalam menganalisis kitab Tahzibul  Akhlak, beliau mengatakan : Sejauh ini Maskawaih adalah Platonis,  tetapi sejak halaman 29, ia menjadi Aristotelian dan menganggap  kebajikan sebagai jalan tengah di antara dua kejahatan.Menurut Ibnu  Maskawaih, baik buruknya manusia tergantung kemauan manusia itu sendiri.
b. Hubungan Murid dengan Guru
Dalam  hal ini, Maskawaih menyatakan pendapat Aristoteles, dengan cinta murid  kepada gurunya, dan ia berpendapat bahwa cinta yang terakhir ini lebih  mulia dan lebih pemurah, karena guru mengajar ruh kita dan dengan  petunjuk mereka kita memperoleh kebahagian sejati. Guru adalah ”bapak  ruhani dan orang yang dimuliakan; kebaikan yang diberikan kepada  muridnya merupakan kebaikan ilahiah, karena ia membawanya kepada  kearifan, mengisinya dengan kebijaksanaan yang tinggi dan menunjukkan  kepada muridnya kehidupan dan keberkatan yang abadi”.
c. Psikilogi Pendidikan Maskawaih
Maskawaih  berpendapat tentang pentingnya pengawasan akan perkembangan anak serta  menanamkan kebiasaan yang baik guna mencapai kebaikan anak. Penanaman  akhlak dan budi sangat dipentingkan oleh Maskawaih dalam pendidikan  anak. Ia menjelaskan bahwa malu yang kelihatan pada anak merupakan  langkah yang pertama menuju ke arah dan berpikir. Apabila anda melihat  seorang anak dan kelihatan ia merasa malu sambil menundukkan kepalanya  ke tanah dan tidak menentang anda, ”ini merupakan suatu tanda kecerdikan  .... dan jiwa anak ini untuk dididik, patut diberi perhatian  terhadapnya tidak boleh ia dibiarkan dan disia-siakan”.Ia mengatakan  bahwa kejiwaan anak-anak adalah matarantai antara jiwa binatang dan jiwa  manusia berakal.
Pada jiwa anak-anak berakhirlah ufuk binatang dan  mulailah ufuk manusia. Jiwa anak-anak berkembang dari tingkat sederhana  kepada tingkat yang lebih tinggi, semula tanpa ukiran, kemudian  berkembanglah padanya kekuatan perasaan nikmat dan sakit, kemudian  timbul pula kekuatan yang lebih kuat, yaitu kekuatan syahwat, yang  sering disebut dengan nafsu kebinatangan. Dalam perkembangan berikutnya,  timbul pula kekuatan sabu’iyah atau ghadhabiyah. Akhirnya dalam  perkembangan berikutnya lahir pula kekuatan berpikir, atau jiwa cerdas,  yang ditandai dengan timbulnya rasa malu pada anak-anak. Pada tahapan  ini, anak-anak dapat merasakan mana yang baik dan mana yang buruk. Pada  saat inilah paling tepat pendidikan keutamaan mulai ditanamkan pada  anak-anak.
Maskawaih memperhatikan diri sendiri dan mendidiknya  dengan mengenal hakikat, sebab-sebab adanya tujuan dan kekuatan.  Mengetahui bagaimana cara mencapai kesempurnaan atau mengetahui apa yang  menghambatnya untuk sampai kepada kesempurnaan itu.
Menurut Ibnu  Maskawaih, setiap hal tumbuh dan berkembang melalui fase-fase dan  berevolusi. Teori evolusi ini lebih sekedar apa yang dikemukakan oleh  Darwin, karena dalam teori evolusi Maskawaih adalah teori mengenai  peradaban dan evolusi manusia.
Pandangan mengenai kewujudan manusia  yang telah dikemukakan oleh Ibnu Maskawaih ini banyak menarik perhatian  sarjana Barat seperti Charles Darwin yang akhirnya telah memanipulasi  teori Ibnu Maskawaih dengan mendakwa manusia berasal dari kera  sebagaimana yang diterbitkan dalam bukunya Origins of Species mengenai  kejadian asal usul manusia.
Teori Darwin ini adalah hasil  pengekploitasian idea asal Ibnu Maskawaih yang menerangkan tentang  evolusi manusia dari kehidupan babarik (kasar) kepada bertamadun yaitu  dari kehidupan yang serba ringkas dan kurang maju kepada perkembangan  kehidupan sosiologi yang kompleks lalu membentuk peradaban. Ini bukti  pendustaan terbesar sarjana Barat itu terhadap hasil kerja Ibnu  Maskawaih.
Orang awam menganggap Darwin sebagai pelopor teori evolusi  yang digunakan oleh para sarjana dalam bidang antropologi, sosiologi  dan sains evolusi manusia. Akan tetapi mereka tidak mengetahui bahwa  pencetus teori evolusi yang tulen telah diasaskan oleh Ibnu Maskawaih.
Menurut  Ibnu Maskawaih, kecerdikan manusia tidaklah mengatasi kepintaran yang  dimiliki oleh kera. Namun manusia lebih baik dari seeekor kera karena ia  dikaruniai akal fikiran yang menjadi tonggak utama yang membedakan  manusia dengan hewan. Dengan pengalaman yang dilalui oleh manusia maka  mereka mampu berfikir secara rasional dalam membuat keputusan.Evolusi  Manusia, dalam pandangan Maskawaih, tidak terbatas secara fisik, tetapi  berkembang pula tingkat kecerdasannya, cara berpikirnya bertambah maju  sehingga menjadi bijaksana bahkan sampai mendekati derajat para  malaikat.
D. Titik Singgung Pemikiran Pendidikan Antara Al Ghazali dan Ibnu Maskawaih
Penanaman  Akhlak dan budi sangat dipentingkan Ibnu Maskawaih dan Al Ghazali dalam  pendidikan anak. Sebagaimana diungkapkan oleh Azyumardi Azra sebagai  berikut : ”Kalau Al Ghazali telah merintis jalan tasawuf untuk  memperbaiki atau dengan kata lain telah berusaha menciptakan ilmu  pengetahuan akhlak praktis, maka sebelumnya Ibnu Maskawaih dengan  falsafatnya telah berusaha untuk menciptakan filsafat etika teoritis  dalam arti mengupas etika secara analisa ilmu pengetahuan.”
Dari  makalah yang telah disampaikan, kaitannya dengan konsep pendidikan moral  al-Ghazali dan Ibnu Maskawaih ada beberapa persamaan dan perbedaan  antara keduanya.
Persamaannya : Sama-sama menekankan pendidikan moral pada anak sejak dini.
Kedua-duanya  berpandangan bahwa akhlak dapat dirubah oleh sebab itu penting adanya  institusi pendidikan akhlak. Kedua-duanya sama-sama mempunyai pandangan  bahwa di dalam diri manusia itu ada sifat kebinatangan, oleh sebab itu  perlu adanya latihan untuk mengendalikannya.
Walaupun sama-sama  mementingkan pendidikan akhlak, namun terdapat perbedaan di antara  keduanya, yaitu : Al-Ghazali merintis jalan tasawuf untuk memperbaiki  atau dengan kata lain telah berusaha menciptakan ilmu pengetahuan akhlak  praktis, maka Ibnu Maskawaih dengan falsafatnya telah berusaha untuk  menciptakan filsafat etika teoritis dalam arti mengupas etika secara  analisa ilmu pengetahuan. Filsafat Pendidikan Akhlak Al-Ghazali  berangkat dari hati, sedangkan Maskawaih berangkat dari akal.
Penanaman  akhlak imam al-Ghazali melalui jalan/ institusi tasawwauf praktis  (amaliah praktis), sedangkan Maskawaih menempuh jalan teoritis praktis,  tidak menekankan melalui jalan tasawwuf. Menurut al-Ghazali baik dan  buruk ditentukan oleh syari’ah, sedangkan menurut Maskawaih akal manusia  dapat menentukan mana yang baik dan mana yang buruk.
Dan yang lebih penting lagi dari pemikiran pendidikan keduanya adalah aspek suri tauladan dari seorang guru / ustadz / mursyid.
E. Kesimpulan
Dalam  pembahasan di atas, penulis menemukan kajian filsafat pemikiran  pendidikan dari seorang Al Ghazali yang konfrehensip. Ia telah begitu  tuntas membahas baik dari segi epistemologi, ontologi dan aksiologi,  secara teoritis maupun praktis. Unsur-unsur pokok kependidikan yang  sedikitnya terdiri dari murid, guru, dan materi serta metode telah  dipaparkan oleh keduanya. Sementara Ibnu Maskawaih telah memberikan  andil terutama dalam segi teori-teori yang berhubungan dengan akhlak dan  psikologi perkembangan.
F. Penutup
Demikianlah makalah ini  penulis sampaikan, dengan segala keterbatasan tentunya jauh dari  kesempurnaan. Oleh sebab itu, penulis mengharapkan kepada kawan-kawan  untuk sharing dalam masalah ini. Wallahu ’a’lam bish showab.
[1]Dan  dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya,  Kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman:  "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar  orang-orang yang benar!" (Q.S. Al Baqoroh: 31)
[2] Bahruddin, M.P.d, Sasaran Pendidikan Menurut Imam Al Ghazali (Koran Pikiran Rakyat : Edisi Senin, 14 April 2003).
[3] www.wikipedia.com
[4] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Ciputat Press, 2002), hlm. 34
[5] Sembodo Ardi Widodo, M.Ag, Kajian Filosofis Pendidikan Barat dan Islam (Jakarta: Nimas Multima, 2003), hlm. 183.
[6] Samsul Nazar, Ibid., hlm. 87.
[7] Ibid.
[8] Al Ghazali, Ayyuhal Walad ; terj. Gazi Saloom (Jakarta: IIman, 2003), hlm. 11.
[9]  Sebagai diungkapkan oleh Nurkholis Madjid dalam bukunya Kaki langit  Peradaban Islam, bahwa dalam kitab Qisthasul Mustaqiem, Al Ghazali  melakukan usaha pendekatan masalah-masalah keagamaan dengan menggunakan  logika formal, yang kelak menjadi sasaran kritik Ibn Taimiyah.
[10]  Al Ghazali, Mukhtashar Ihya Ulumuddin (Beirut: Darul Fikr, 1993), hlm.  27, lihat pula Al Ghazali, Ayyuhal Walad ; terj. Gazi Saloom (Jakarta:  IIman, 2003), hlm. 5.
[11] Dalam riwayat Ad Darimy berbunyi :
???????????  ?????? ???? ????????? ????? ???????? ????????? ??????? ??? ????????  ?????? ??????? ?????????? ??? ?????????? ???????? ?????? ???????? ????  ??????? ???????[11]
[12] Ibid. Ayyuhal walad, hlm. 5
[13] lihat Ihya hlm. 27 dan Ayyuhal walad , hlm. 11.
[14] Lihat : Al-Ghazali, "Pilar-pilar Ruhani", h. 17-20 dalam www.insist.com
[15] Samsul Nizar, ibid., hlm. 87
[16] lihat Ayyuhal Walad, hlm 17.
[17]  Muhammad Jawad Ridla, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam ; terj.  Dr. Mahmud Arif (Jogya: Tiara Wacana, 2002), hlm 131-132.
[18]. ibid, hlm. 124-128.
[19] Samsul Nizar, op. cit, hlm. 90
[20] Drs. Muhaimin, M.A dan Drs. Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam (Bandung: Trigenda Karya, 1993), hlm. 213.
[21] Adian Husaini, Jakarta, 10 Juni 2005/hidayatullah.com
[22] Al Ghazali, Mukhtashar Ihya Ulumuddin, hlm. 20
[23] Al Ghazali, ibid., hlm 11.
[24] Drs. Muhaimin, M.A dan Drs. Abdul Mujib, ibid., hlm. 134
[25] Ibid., hlm. 10
[26] PR, Senin, 14 April 2003
[27] Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam, hlm 89.
[28]  Demikian terlulis dalam ensiklopedi Islam, tetapi dalam buku Para  Filosof Muslim ditulis Abu Ali bin Ahmad bin Muhammad bin Yakub bin  Maskawaih. Selanjutnya dalam buku itu disebutkan, bahwa belum dapat  dipastikan apakah Miskawaih itu dia sendiri atau dia itu putra (ibn)  Miskawaih.
[29] Mengenai tahun kelahirannya, -sebagai disebutkan oleh  K.H. Ahmad Azhar Basyir, M.A.- para penulis menyebutkannya  berbeda-beda. M.M. Syarif menyebutkan tahun 320 H/932 M. Margoliouth  menyebutkan tahun 330 H/932 M. M. Abdul Aziz Izzat menyebutkan tahun 325  H. Sedang wafatnya (semua sepakat) pada 9 Shafar 421 H/16 Februari 1030  M.
[30] Lihat K.H. Ahmad Azhar Basyir, M.A, Refleksi atas Persoalan  Keislaman: Seputar filsafat, hukum, politik dan ekonomi (Bandung: Mizan,  1993), hlm 92-93.
[31] islamhadhari.net
[32] Ibid., hal. 94. lihat pula M.M. Syarif, Para Filosof Muslim (Bandung: Mizan, 1989), hlm. 84.
[33] Ibid., hal. 92.
[34] Maskawaih menguraikan bahwa jiwa (nafs) manusia mempunyai tiga kekuatan yang bertingkat-tingkat sebagai berikut :
a. An Nafsul Bahimiyah (nafsu kebinatangan) yang buruk.
b. An Nafsus Sabu’iyah (nafsu binatang buas) yang sedang.
c. An Nafsun Nathiqah (jiwa yang cerdas) yang baik.
[35] Ibnu Maskawaih, Tahdzibul Akhlak (CD: Maktabah Syamilah), juz I hlm 10.
[36] Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin (Maktabah Syamilah, 2007), juz 2, hal. 253
[37] Azhar Bashir, op. cit, hlm 101.
[38] Ibid., hlm 15-19. M.
[39] .M. Syarif, Ibid.,hlm 91
[40] Dewan Redaksi, Ibid.
[41] M. Syarif, Ibid., hlm 94
[42]  Dr. Asma, hlm 63 dalam Axyumardi Azra, esei-esei Intelektual Muslim  & Pendidikan Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998), hlm. 84.
[43] Azhar Basyir, Ibid., hlm. 104.
[44] Axyumardi Azra, Ibid., hlm 85.
[45] islamhadhari.net
[46] Drs. Sudarsono, S.H., Filsafat Islam (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), hlm.90.
[47] Azra, op.cit, hlm. 84.

 
jempol,,,,,
BalasHapusbingung dengan keterangan endnote nya, apa ada naskah aslinya, agar saya bisa tau footnote nya?
BalasHapus