STIT AT-TAQWA CIPARAY BANDUNG

Senin, 14 November 2011

BELAJAR DASAR-DASAR METAFISIKA

oleh Sobar Alghazal
ABSTRAK
Belajar merupakan suatu aktivitas yang melibatkan indera, akal, dan qalbu menuju perubahan secara terencana, agar tahu, mau, dan mampu hidup pada masanya. Belajar Dasar-dasar Metafisika turut mengarahkan manusia untuk berupaya mengerti lebih dalam keberadaannya, sehinga berpikir matefisis sebagai pengaruh dari belajar dasar-dasar metafisika tersebut dapat meredam hedonisme dan materialisme. Hal ini selaras dengan karakteristik metafisika yang menekankan kepada pengetahuan akal budi, di mana isi dari pengetahuan akal budi itu lebih pasti ketimbang dengan pengetahuan inderawi yang senantiasa dalam perubahan, yang justru metafisika bila dipelajari mendorong orang untuk mempergunakan akal budi dalam proses mencapai realitas ruhaniah sebagai realitas mutlak sang pengatur seluruh alam, dan memang realitas mutlak ini dapat digapai oleh akal budi, sehingga memposisikan realitas material tidak penting manakala menghambatnya. Namun watak metafisika mengakui mengenai tetapnya ada perubahan antara ruhani dan jasmani.   

KATA KUNCI: Belajar, Dasar-dasar, dan Metafisika

PENDAHULUAN
Bila manusia adalah makhluk berakal. Ia dengan akalnya memungkinkan untuk dapat berpikir. Inti berpikir dilihat dari posisi akal berdampingan dengan wahyu, adalah berfilsafat. Sedangkan berfilsafat intinya bermetafisika, bahkan metafisika adalah filsafat itu sendiri, yakni bermetafisis berpikir itu sendiri. Maka manusia adalah makhluk yang bermetafisika.

Memang dunia filsafat dimulai dari pencarian arche (prinsip dasar alam semesta). Menurut Thales, rinsip dasar alam raya ialah air. Anaximandros menekankan to apeiron sebagai arche. Anaximenes, pemikir kelahiran Miletos, melihat udara sebagai prinsip dasar. Dari sini dapat disimpulkan bahwa manusia disebut makhluk metafisik. Maksudnya, manusia adalah makhluk yang mampu berpikir, bernalar. Manusia tidak saja mampu memikirkan dan memahami apa yang dilihatnya secara empiris dan yang bersifat relatif, tetapi juga, dan lebih hebat dari itu, ia mampu mengatasi semua itu. Manusia mampu melihat di balik pohon mangga ini, kerbau besar ini dan manusia ini, sesuatu yang mutlak. Idea mengenai yang-ada, mengenai yang mutlak dan sang realitas merupakan pusat dan dasar semua metafisika. Manusia, dari hakikatnya, metafisik; ini berarti, diri manusia tidak hanya sesuatu yang kodrati-alami saja, tetapi juga sesuatu yang mengatasi yang fisik. Daya yang mengatasi yang kodrati itu disebut daya rohani. Ia dalam pengetahuan dan seluruh eksistensinya melebihi kodrat: Homo additus naturae (Lorens Bagus, 1991 p. 4-5).

Manusia sebagai makhluk yang bermetafisika dapat menjadi postulat yang mendasari bahwa manusia berkeharusan sekaligus dapat mencari dan menangkap apa yang terdapat di balik yang tampil atau tampak secara fisikal.
...Jika kita menerima bahwa manusia adalah makhluk rasional, kita akan mengakui pula bahwa manusia adalah makluk filosofis. dengan demikian kita mengakui juga bahwa manusia adalah makhluk metafisik. Inti dari filsafat tidak lain mencari apa yang ada di belakang yang fisik. (Lorens Bagus, 1991 p. 1).

Postulat tersebut juga mendasari bahwa manusia harus dan dapat belajar, di mana belajar itu proses penyelenggaraan perubahan, pengugahan, dan penggubahan diri secara terencana ke arah yang terbaik. Lompatan ini bersifat metafisis mengingat gerakan dalam perubahan itu ada semacam aktualisasi petensia menuju ke arah format atau bentuk diri yang terbaik, yang justeru bentuk diri terbaik berada di balik proses aktualisasi diri yang tampil fisikis itu. karena itu ada keselarasan antara belajar dengan dasar-dasar metafisika yang harus dan dapat dipelajari itu; dengan demikian juga bahwa belajar dasar-dasar metafisika menjadi suatu kesemestian, yang manakala mengabaikannya sama dengan mengabaikan diri sebagai manusia yang merupakan manusia karena bermetafisik tadi.

Uraian tersebut di atas secara tersirat menunjukkan bahwa masalah metafisis adalah masalah universal, yang mengandung arti bahwa bermetafisis dan metafisika itu berlangsung sejak manusia ada hingga manusia yang mendatang; yang memang secara kebetulan, tidak secara keseharusan, penemuan yang berlanjut secara artifisial dikonstruk secara sistematis bahwa metafisis dan metafisika itu diterbitkan di Yunani.

Kekentalan mengenal metafisika Yunani kuno menjadi bahan ajar dalam kerangka pendasaran berpikir metafisis, dan menjadi pendasaran titiktolak metafisika; demikian pula arti metafisika pada beberapa filosof, serta ciri metafisika cukup membatu dalam kerangka belajar dasar-dasar metafisika, yang tujuanya harus dan dapat bermetafisis sebagai pemanusiaan manusia menjadi manusia.

APA METAFISIKA ITU?
Andronikos dari Rhodes, penganut Aristoteles, menyatakan bahwa buku Aristoteles yang berjudul Prima Philosophia (Filsafat Pertama) diletakkan sesudah atau setelah jajaran buku-buku beliau mengenai Ilmu Alam (Fisika); sedangkan dalam bahasa Yunani Setelah atau sesudah fisika itu, adalah, ta meta ta physica, dengan demikian buku beliau tersebut diberi nama Metafisika. 

Arti dasar istilah ini ialah "yang mengikuti fisika" atau "yang datang setelah fisika" (ta meta ta physica). Nama ini didasarkan pada pembagian karya Aristoteles yang dibuat oleh Andronikos dari Rodi (Abad I sebelum Masehi). Nama metafisika yang diberikan pada karya Aristoteles dapat dilihat dari beberapa segi. (a) Metafisika sebagai etiket bibliografis atas karya Aristoteles. Ini berhubungan dengan maksud tulian Aristoteles dan ia sendiri belum membuat pembagian-pembagian isi tulisannya. Pembagian-pembagian ini dibuat sesudah ia meninggal dan tentu nama yang ditempelkan pada kelompok tulisannya antara lain nama "metafisika" sama sekali tidak dibuat olehnya sendiri... (b) Metafisika dari segi pedagogis. Nama metafisika ini dapat dilihat pula dari segi pedagogis. Sebagaimana dalam dunia pendidikan, biasanya yang gampang diajarkan lebih dahulu dan yang sulit kemudian, demikian pula kiranya karya-karya mengenai yang-ada. karena sulit, diberikan atau diajarkan, dalam konteks karya Aristoteles, "sesudah fisika"... (c) Metafisika dalam arti filosofis. Pada abad pertengahan istilah metafisika mempunyai arti filosofis. Metafisika oleh para filsuf Skolastik diberi arti filosofis dengan mengatakan bahwa metafisika ialah ilmu tentang yang-ada, karena muncul sesudah dan melibihi yang fisika (post phisicam et supra physicam). Istilah "sesudah" tidak boleh diartikan secara temporal. Istilah "sesudah" yang dimaksudkan di sini ialah bahwa objek metafisika sendiri berada pada abstraksi ketiga. Metafisika sebagai abstraksi datang sesudah fisika dan matematika. Kata "melebihi" (supra) berarti metafisika melebihi abstraksi yang lain, menempati posisi tertinggi dari semua kegiatan abstraksi, karena menempati jenjang abstraksi paling akhir. (Lorens Bagus, 1991 p. 17-19).

Jamil Shaliba (1982 p. 300) menjelaskan Ma Ba'da 'l-Thabi'iyyah (Al-Mitafiziqa: fi 'l-Faransiyyah Metafiphysique, fi 'l-Inkiliziyyah Metaphysics, fi 'l-Latiniyyah Metaphysica) bahwa 'Ilmu Ma Ba'da 'l-Thabi'iyyah huwa 'l-Ismu 'l-Ladzi Nuthliquhu 'l-Yauwma 'ala Maqalati Aristhu 'l-Makhshushati bi 'l-Falsafati 'l-Uwla. Summiyat bi Hadza 'l-Ismi li Anna Andruwniqusa 'l-Rudisiyyi 'l-Ladzi Jama'a Kutuba Aristhu fi 'l-Qarni 'l-Awwali Qabla 'l-Miladi Wadha'a 'l-Falsafata 'l-Uwla fi Tartibi Hadzihi 'l-Kutubi ba'da 'l-'Ilmi 'l-Thabi'iyy. 

Metafisika pada masa sekarang menjadi bidang filsafat yang memikirkan dan mempelajari hal-hal yang "mengatasi" atau "di luar" pembahasan tentang hal-hal yang fisik dan empiris; di mana sudut pandang metafisika mengatasai fisika (metaphysica).

METAFISIKA YUNANI KUNO
Filsafat muncul ketika para pengamat alam yang tampak tampil ini mulai mempertanyakan "apa dasar yang paling mendasar dari realitas yang tampak tampil ini?".

Pandangan para pengamat tersebut dalam kerangka  menawarkan pemecahan terhadap persoalan tersebut, telah mengarah ke sesuatu di luar fisik, katakan saja "dunia yang kasat mata atau dunia indera".

Thales berpandangan bahwa dasar yang paling mendasar, adalah, 'air' meskipun terma ini masih berbau fisik, namun yang dimaksud air adalah bukan air yang ada di sekitar kita, tetapi yang bermakna hakikat kehidupan, seperti tergambar pada tindakan Bima sebagai Dewa Ruci mencari air menenggelamkan diri ke dalam laut; jelas air yang dicari adalah air hakiki bukannya air semisal air laut. Karena itu Anaximenes menyatakan bahwa dasar itu adalah to apeiron, yakni "yang tak terpikirkan".

Metafisika oleh Aristoteles dikatakan sebagai ilmu mengenai yang-ada dalam dirinya sendiri. Filsafat mengenai yang-ada berkaitan dengan realitas. Dengan metafisika orang ingin memahami realitas dalam dirinya sendiri. Berbicara mengenai yang-ada berarti bergaul dengan sesuatu yang sungguh-sungguh real, sejauh yang-ada itu sebagai kondisi semua realitas. ...Metafisika tidak bergaul dengan hal konkret, misalnya pohon ini atau itu. Metafisika mempunyai objek kajian yang mengatasi pengalaman inderawi yang bersifat individual. Metafisika bertugas mencari kedudukan yang individual itu dalam konteks keseluruhan. Metafisika mengajak orang untuk tidak terpaku pada pohon ini atau itu, atau masalah kesehatan manusia dan lain-lain yang tertentu, tetapi melihat semuanya itu dalam konteks bahwa semua itu ada. (Lorens Bagus, 1991 p. 3-4).

Dengan demikian, metafisika tidak hanya memikirkan sesuatu yang-ada, tetapi sesuatu yang tetap, yang mendasari segalanya. Xenophenes menyatakan metafisika menyangkut sesuatu yang ilahiah; sesuatu yang berbudi Logos, Nous.

Parmenides dan Herakleitos adalah dua filosof yang memunculkan dua pandangan baru mengenai sifat dasar alam semesta ini.

Parmenides memandang bahwa dasar alam semesta ini, ialah, "yang-ada" (being; to on); yang prinsipnya "yang-ada" adalah ada; "yang-tidak ada" adalah tidak ada. Yang-ada ini satu, mutlak, tak berubah. Karena itu, pluralitas dan gerakan adalah semu, yakni tidak ada.

Herakleitos menandaskan bahwa, karena dari kenyataan bahwa semuanya berubah dan bergerak. Maka yang ada adalah perubahan (becoming, ongoingness). Gerak, yakni proses substansi dasar alam ini, ialah, api. Namun memang gerakan alam semesta ini tidak liar, karena diatur yang-ada; di mana yang-ada ini oleh Anaxagoras merupakan kekuatan pengatur yang disebut Nous (akal budi).

Pemikiran metafisis Protagoras dan Kaum Sofis menyangkut suatu pandangan mengenai manusia dan alam semesta, sehingga mereka mengajarkan pandangan bahwa yang nyata adalah "apa yang terinderai". Karena "apa yang terinderai itulah ada". Sedangkan persoalan "apakah ada 'dasar segala yang ada' di alam yang terinderai sebagai yang nyata?", mereka berpandangan bahwa hal itu "tidak dapat dipastikan", karena semua relatif, tergantung dari manusia.

Pemikiran metafisis Plato dan Aristoteles terus mempengaruhi dunia hingga dewasa ini. Mereka berdua menyerap inti persoalan dan tergelitik oleh pendapat para filosof sebelumnya, yang ajarannya meliputi bahwa, 1). Diakaui sesuatu yang mendasari yang-ada yang tetap, tidak berubah, kekal, dan berbudi; 2). diakui kenyataan bahwa dunia yang kita inderai selalu berubah bergerak, sehingga menimbulkan persoalan "apakah yang terinderai itu ada?".

Pemikiran metafisis Plato bertolak dari nilai pengetahuan, di mana menurut beliau bahwa pengetahuan yang mengacu ke perubahan, yang tidak tetap itu, hanya rendah tingkatannya; karena itu pengetahuan inderawi rendah tingkatannya; di mana apa yang diketahui secara inderawi disebut phenomena. Beliau ingin pengetauan tetap, ingin tentang hal yang tetap dan tak berubah. Pengetahuan tetap dicapai melalui akal budi; yang diketahui melalui akal budi disebut noema. Beliau menyusun pemikiran metafisisnya bertolak dari noema tersebut. Beliau atas dasar tersebut, membelah dunia kepada 1). Dunia bawah, yaitu dunia dengan kenyataan yang sudah berubah; 2). Dunia Atas, yaitu dunia idea. Duania idea adalah Dunia Realitas yang sungguh-sungguh. Kenyataan di Dunia Bawah hanya semu, bayang-bayang dari Dunia Idea. Beliau sebenarnya merangkum pendapat para filosof sebelumnya, yang mencakup:
a). Yang ada sesunggunya tak berubah, tetap, kekal, dan satu;
b). Yang berubah memang nyata, tetapi bukan realitas sesungguhnya;
c). Nilai pengetahuan inderawi rendah;
d). Dunia Idea dicapai melalui akal budi.

Aristoteles menyatukan Dunia idea dan Dunia Kasat mata (inderawi, empiris) dalam teorinya yang disebut Hylemorphisme. Dunia Inderawi memang berubah tetapi yang diinderai itu memang betul ada, namun ada yang berubah. Beliau menganggap perlu realitas yang kekal, tak berubah, namun beliau tidak memisahkan Dunia Atas dan Dunia bawah, tetapi menyatukan dalam realitas dunia ini. Semua yang ada di dunia ini berubah dan bergerak. Berubah dan begerak dimungkinkan karena "yang ada" ini persatuan dari dua unsur, yaitu 1). "Sesuatu yang membuat sesuatu itu ada", disebut Hyle: materia; dan 2). "Sesuatu yang membuat sesuatu itu ada seperti ia berada", disebut Morphe: forma (bentuk). Setiap benda berbah karena ingin mencapai formanya yang mendasar.


Aristoteles berdasarkan Hylemorphsisme menemukan teori Actus dan Potentia, di mana semua yang ada merupakan materia yang diberi forma atau potentia yang diactuskan. Setiap yang ada karena dapat beubah memiliki potentia, yang lalu harus diberi forma baru, sehingga dia berubah. Umpama: sepotong kayu, yang berpotentia menjadi papan, diberi forma papan, diacuskan menjadi papan. Papan punya potentia menjadi meja, diberi forma meja. Begitu seterusnya. Beliau juga menjelaskan teori tentang sebab; di mana semua berubah karena 4 sebab, yaitu 1). Causa Materialis (materia), 2). Causa Formalis (forma), 3). Causa Efficiens (Daya yang mengactuskan: kerja), dan 4). Causa Finalis (Daya tarik yang mengarahkan: tujuan). Realitas dasar yang mengactuskan, ialah, "penggerak yang tak digerakkan". "Penggerak Pertama" ini oleh Thomas Aquinas disebut "Tuhan". Realitas dunia ini realitas yang campuran. Ada yang satu mutlak, ialah, Tuhan: Actus Purus (Actus Murni) dan Forma Pura (Forma Murni). Tujuan akal budi adalah mencapai Actus Purus, menggapai Tuhan. Beliau memisahkan hal yang tinggi, ilahi, dengan hal yang berubah dari dunia ini.

METAFISIKA BEBERAPA FILOSOF
Rene Descartes melalui metode menyangsikan segalanya, ia sampai kepada kepastian "Aku Berpikir, Jadi Aku Ada" (Cogito Ergo Sum). Dari postulat ini Descartes menarik posisi metafisisnya. Semua yang ada terdiri atas hal ruhani, budi, yang pasti, abadi, dan tetap. Dan materi yang mempunyai extension (luas, panjang, lebar), benda material. Barang material diketahui melalui indera, sifatnya tidak pasti. Dua hal tersebut terpisah. Hubungan keduanya terletak dalam "Pinegal Gland" dalam otak, yang cara bekerjanya mungkin oleh tindakan Tuhan.

Spinoza memandang bahwa seluruh realitas berada pada tingkatan ruhani. Realitas dasar ialah Tuhan. Tuhan adalah ada yang tak terbatas, substance yang memiliki sifat yang tak terbatas. Semua yang ada hanyalah mengambil bentuk dan sifat dari yang tak terbatas. Realitas dasar itu adalah satu.

Locke berpendapat semua pengetahuan datang dari pengalaman inderawi, karena itu kita tidak dapat tahu. Realitas dasar itu tidak ada.


Immanuel Kant berupaya merangkum posisi filosof di atas dalam suatu pandangan baru; dan mengajarkan bahwa dunia yang kita amati ini hanya kita amati lapis luarnya yang terinderai disebut phenomena (Ersceinung). Apa yang kita inderai harus diolah oleh budi kita, sehingga pengetahuan kita teratur dan jelas, di mana hal itu dilakukan oleh penalaran kita (Verstand/Vernunt). Namun ada dunia yang melampaui pengetahuan ini, yang berasal dari suatu sinar institusi. Dunia transcendental. Beliau menekankan bahwa dunia phenomena  (das Ding fur Mich),   tidak penting. Akal budi, ialah, yang menerangi dunia phenomena. Itulah yang penting. Sedangkan dengan intuitie kita mungkin dapat menangkap dunia transcendental, dunia das Ding Ansich.

Metafisis Heidegger menandaskan bahwa "ada" hanya dimengerti oleh manusia. Karena itu bicara tentang keberadaan manusia. Keberadaan manusia ialah suatu Dasein, "terdampar di sana" dengan kekhawatirannya karena dia tahu, dia manusia terbatas. Dia perlu hidup bersama (Mitsein) dengan pasrah kepada cinta bersama, dan kepada cinta Tuhan. Dengan demikian, filsafat bukanlah cinta kebijaksanaan tetapi kebijaksanaan cinta. Jadi metafisika bergulat dengan realitas manusia, di mana berbicara tentang ada berarti berbicara tentang manusia.

KESIMPULAN
Metafisik menyangkut keberadaan manusia, alam semesta, dan Tuhan. Mempelajari metafisika untuk bermetafisis adalah suatu kesemestian baik secara antropologis, kosmologis, maupun teologis. Kemungkinan untuk harus dan dapat belajar metafisika bertolak dari bahwa manusia itu adalah makhluk metafisik.

Hampir semua filosof dihantui oleh persoalan mencari yang pasti, mutlak dan menghadapi yang tidak pasti dan berubah.

Metafisika menyangkut persoalan ache segala sesuatu, yang mencakup persoalan apakah segala itu  ada atau tidak ada; apakah segala yang-ada itu satu atau banyak; juga menyangkut masalah kausalitas, kebebasan dan keterikatan, pengetahuan beserta metodenya apakah induktif atau deduktif.

Adapun karakteristik metafisika, ialah, 1). Menekankan pengetahuan akal budi; isi pengetahuan akal budi lebih pasti ketimbang pengetahuan indrawi yang berubah; 2). Ada realitas ruhani, bahkan realitas mutlak, pengatur seluruh alam, yang dapat digapai oleh akal budi; namun tetap ada perubahan antara yang ruhani dan jasmani, namun realitas material yang jasmani dianggap tidak penting; 3). Metafisika mendorong untuk berupaya mengerti lebih dalam keberadaan manusia.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur'anu 'l-Karim.
Jamil Shaliba, Al-Mu'jamu 'l-Falsafiy
Lorens Bagus, Metafisika
Siddi Gazalba, Sistematika Filsafat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar