STIT AT-TAQWA CIPARAY BANDUNG

Jumat, 25 November 2011

PENTINGNYA ILMU MAWARITS

Jika hukum-hukum syari at, seperti shalat, zakat, haji dan yang lainnya
dijelaskan secara global oleh Allah Subhanahu wa Ta ala lalu diperinci oleh
Rasulullah Shallallahu  alaihi wa sallam dalam Sunnah, sedangkan hukum
mawarits diterangkan oleh Allah Subhanahu wa Ta ala secara terperinci di
dalam Al-Qur an.
Sebagai contoh, ketika Allah Subhanahu wa Ta ala berfirman :  Dirikanlah
shalat dan tunaikan zakat   [Al-Baqarah : 43] atau : Dan bagi Allah atas
manusia untuk berhaji ke Baitullah, bagi siapa yang mampu  [Ali-Imran : 97],
baru kemudian Sunnah menjelaskan tata caranya dengan detail.
Adapun pembagian harta warisan, Allah Subhanahu wa Ta ala telah menjelaskan
di awal dan di akhir surat An-Nisa. Allah sendiri yang langsung membagi
warisan demi kemaslahatan mahlukNya. Allah Subhanahu wa Ta ala menetapkan
laki-laki memperoleh dua bagian dari perempuan, tidak ada seorangpun yang
boleh menyangkal hukum dan peraturanNya, karena Dia-lah Dzat yang Maha Adil
dan Bijaksana.

SEKILAS PERBANDINGAN PEMBAGIAN HARTA WARISAN ANTARA ADAT JAHILIYAH DENGAN
ISLAM
Pada zaman Arab Jahiliyah dahulu, harta warisan berpindah ke tangan anak
sulung si mayit, atau kepada saudaranya atau pamannya sepeninggalnya. Mereka
tidak memberikan kepada wanita dan anak-anak. Alasan mereka, karena wanita
dan anak-anak tidak bisa memelihara keamanan dan tidak bisa berperang.
Sebagaimana yang berlaku pada kedua putri Sa ad bin Rabi Radhiyallahu  anhu,
bahwa paman mereka mengambil semua harta peninggalan ayah mereka. Ketika
permasalahan tersebut sampai kepada Rasulullah Shallallahu  alaihi wa
sallam, maka beliau Shallallahu  alaihi wa sallam memerintahkan pamannya
tersebut untuk memberi kemenakannya dua pertiga, dan ibu mereka
seperdelapan, dan sisanya barulah dia ambil.
Ibnu Katsir rahimahullah berkata,  Orang-orang jahiliyah menjadikan seluruh
pembagian kepada laki-laki, tidak kepada perempuan. Oleh karena itu, Allah
Subhanahu wa Ta ala memerintahkan mereka untuk berbagi sama dalam pembagian,
kemudian melebihkan di antara dua kelompok dengan menjadikan laki-laki
memperoleh dua bagian perempuan. Hal itu, karena laki-laki menangggung biaya
nafkah, tanggungan, beban bisnis dan usaha, serta menanggung kesusahan,
Maka, layak dia memperoleh dua kali lipat dari bagian perempuan  [Lihat
Tafsir Ibnu Katsir 1/433]
Pada sebagian suku di Indonesia, terutama yang mengambil nasab kepada ibu,
misalnya di Minangkabau, mereka memberlakukan pembagian harta warisan kepada
perempuan. Karena tugas yang semestinya diemban oleh laki-laki, ternyata
harus dibebankan kepada perempuan, mulai dari pengasuhan orang tua ketika
lanjut usia, sampai pada pemberian uang saku untuk kemenakan dan famili.
Karena itu, suami dianjurkan (baca : diharuskan) tinggal di rumah orang tua
perempuan. Dan merupakan aib bagi suami, jika ia tinggal satu rumah dengan
orang tuanya sendiri, jika memang terpaksa harus tinggal di rumah orang tua.
Bahkan di sebagian daerah Minang, laki-laki dibeli dengan uang sebagaimana
dibelinya barang. Setelah itu, sang suami harus lebih banyak bertandang ke
rumah orang tua isteri dari pada ke rumah orang tuanya sendiri.
Fakta seperti ini berlawanan dengan adat jahiliyah Arab yang menempatkan
laki-laki sangat dominan dan diuntungkan. Dan sebaliknya, pada adat Minang
ini, laki-laki selalu dirugikan. Dikatakan oleh seorang ulama Minang, Buya
Hamka rahimahullah dalam salah satu karangannya : Jika ada laki-laki yang
paling sengsara, maka dialah laki-laki Minang. Bagaimana tidak, sewaktu dia
masih kecil yang seharusnya dia mendapatkan nasihat dan keputusan dari orang
tuanya dalam semua urusannya dari sekolah hingga menikah, itu semua diambil
alih oleh mamaknya (paman dari pihak ibu), ketika dia telah menikah dia
menjadi semanda di rumahnya sendiri, yang duduk harus di bawah dan di
tepi-tepi, ketika sudah tua renta dan mulai pula sakit-sakitan, dia harus
siap-siap untuk menyingkir karena pembagian rumah dan harta hanya untuk anak
perempuan, maka terpaksalah dia tidur di surau dan kalau makan harus pergi
ke lapau (kedai nasi)
Ada pula pemikiran yang menyimpang, dengan mengusung isu persamaan gender
yang awalnya didengungkan para orientalis barat, kemudian di negeri kita
dikembangkan oleh orang-orang Islam sendiri yang sekulit dan satu bahasa
dengan kita. Pendapat aneh tersebut ialah, tentang pembagian mawarits harus
disama-ratakan antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan pembagian waris
antara laki-laki dan perempuan  menurut mereka- tidak adil. Pendapat seperti
ini telah lama dan banyak dilontarkan tokoh-tokoh Islam yang terkontaminasi
oleh pemikiran orientalis, yang kemudian diikuti dan dikembangkan oleh
kelompok yang menamakan diri Jaringan Islam Liberal.
Tentu saja, anggapan aneh seperti diatas tidak terbukti. Karena syari at
Islam memberlakukan keadilan dan keseimbangan, dia sampaikan semua hak
kepada pemiliknya. Nabi Shallallahu  alaihi wa sallam bersabda :
Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta ala telah memberi setiap yang mempunyai
hak akan haknya. Maka tidak ada wasiat bagi ahli waris  [Hadis Riwayat Abu
Dawud 3565, Tirmidzi 2/16, Ibnu Majah 2713, Baihaqi 6/264, Syaikh Al-Albani
rahimahullah berkata  sanadnya hasan ]
Jika adat jahiliyah di luar syariat Islam hanya melihat kemaslahatan
orang-orang kuat, maka Islam menjaga kemaslahatan orang-orang lemah, karena
mereka yang layak dikasihi dan dilindungi. Disabdakan oleh Rasulullah
Shallallahu  alaihi wa sallam :  Sesungguhnya engkau lebih baik meninggalkan
ahli warismu dalam keadaan kaya, daripada engkau biarkan mereka miskin
meminta-minta kepada manusia  [Hadist Riwayat Bukhari, Bab Wasiat/2, dan
Muslim, Bab Wasiat/5]
Islam juga tidak mengabaikan orang-orang kuat dan tidak menyia-nyiakan yang
lemah. Setiap orang yang telah memenuhi semua syarat dan tidak ada
penghalang yang menghalanginya, maka dia berhak memperoleh warisan, baik dia
besar maupun kecil, laki-laki maupun perempuan, lemah maupun kuat.
Jika adat jahiliyah hanya mendahulukan kepentingan orang yang dapat
memberikan manfaat, tidak akan mendapatkan warisan kecuali yang ikut serta
dalam berperang dan menjaga kehormatan, atau yang menjaga orang tua dan yang
menjaga tanah persukuan, maka dalam Islam tidak menapikan andil yang lain.
Bahkan Allah Subhanahu wa Ta ala menyatakan, ayah-ayah kalian dan anak-anak
kalian tidak akan mengetahui mana yang lebih banyak manfaatnya. Lihat
An-Nisa ayat 11
Dari paparan sekilas ini, kita dapat menyimpulkan ciri khas pembagian
mawarits dalam Islam sebagaimana berikut.
[1]. Ketetapan warisan merupakan peraturan yang bersifat sosial dan mengikat
bagi siapa saja yang telah bersaksi bahwa Allah Subhanahu wa Ta ala sebagai
Rabb-nya dan Muhammad sebagai rasul.
[2]. Bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta ala telah menempatkan setiap pemilik
hak pada posisinya yang layak.
[3]. Dengan pembagian yang adil sesuai syariat tersebut, berarti Islam telah
berusaha memperkuat jalinan persaudaraan dan memperkokohnya dengan tali
silaturrahim. Allah Subhanahu wa Ta ala berfirman :  Dan orang-orang yang
punya jalinan darah sebagian mereka lebih berhak dari sebagian yang lainnya,
merupakan ketetapan dalam Kitab Allah . Lihat Al-Qur an surat Al-Anfaal ayat
75
[4].Islam sangat mempedulikan kepemilikan individu, sehingga mendorong
seseorang untuk berusaha sekuat tenaga, dengan harapan orang-orang yang dia
cintai akan ikut merasakan manisnya hasil usahanya tersebut. Hal seperti ini
tidak didapatkan pada masa jahiliyah Arab dan hukum adapt.
[5]. Pembagian harta waris berdasarkan kebutuhan. Semakin seseorang
membutuhkan kepada harta warisan, semakin banyak pula dia memperolehnya.
Oleh karena itu, laki-laki memperoleh bagian lebih besar, karena laki-laki
lebih membutuhkannya daripada perempuan.
ANCAMAN JIKA TIDAK MENGGUNAKAN HUKUM ISLAM DALAM PEMBAGIAN WARISAN
Orang yang tidak memakai hukum mawarits dalam pembagian hartanya, sama
halnya dengan orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah Subhanahu wa
Ta ala. Ancaman terhadap mereka sama dengan ancaman terhadap siapa saja yang
tidak berhukum dengan Allah Subhanahu wa Ta ala. Firman Allah Subhanahu wa
Ta ala.
Artinya : Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan
Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir  [Al-Maidah : 44]
Artinya : Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan
Allah, maka mereka adalah orang-orang yang zhallim  [Al-Maidah : 45]
Artinya : Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan
Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik  [Al-Maidah : 47]
Ibnul Jauzi rahimahullah berkata,  Pernyataan tegas (dalam permasalahan ini)
ialah, barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah
Subhanahu wa Ta ala disertai pengingkaran, sedangkan ia mengetahui bahwa
Allah Subhanahu wa Ta ala menurunkan hukum tersebut, sebagaimana yang
diperbuat oleh Yahudi, maka dia telah kufur. Dan barangsiapa yang tidak
berhukum dengan hukum Allah Subhanahu wa Ta ala karena lebih condong kepada
hawa nafsu tanpa pengingkaran (terhadap hukum tersebut), maka dia telah
berbuat zhalim atau fasik  [Zadul Masir 2/366]
Dalam masalah pembagian harta waris, secara khusus Allah Subhanahu wa Ta ala
menyebutkan ancaman bagi orang yang menetapkan pembagian harta waris apabila
tidak berdasarkan hukum Allah. Allah Suhanahu wa Ta ala berfirman setelah
ayat mawarits.
Artinya ; (Hukum-hukum mawarits tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan
dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan RasulNya, niscaya Allah
memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai,
sedangkan mereka kekal di dalamnya, dan itulah kemenangan yang besar. Dan
barangsiapa yang mendurhakai Allah dan RasulNya dan melanggar
ketentuan-ketentuanNya, niscaya Allah memasukannya ke dalam api neraka,
sedangkan ia kekal di dalamnya dan baginya siksa yang menghinakan  [An-Nisa
13-14]
Ayat di atas menerangkan, Allah Subhanahu wa Ta ala menjanjikan surga bagi
orang yang membagi harta waris sesuai ketentuannya. Sebaliknya, Allah
Subhanahu wa Ta ala mengancam setiap orang yang melampaui batas, tidak
memperdulikan atau berpaling, dan menambah atau mengurangi dengan adzab yang
sangat pedih.
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu  anhu, ia berkata, Rasuluillah
Shallallahu  alaihi wa sallam telah bersabda : Seseorang beramal dengan amal
orang yang shalih selamah tujuh puluh tahun. Kemudian ketika berwasiat, ia
melakukan kezhaliman dalam wasiatnya. Maka Allah Subhanahu wa Ta ala akan
menutup amalannya dengan seburuk-buruk amalan, hingga membuatnya masuk
neraka. Dan sesungguhnya, seseorang beramal dengan amal orang fasik selama
tujuh puluh tahun, kemudian dia berlaku adil dalam wasiatnya, niscaya ia
dapat menutup amalnya dengan amal yang terbaik, sehingga dia masuk surga
Abu Hurairah berkata :  bacalah kalau kalian mau . Kemudian beliau membaca
ayat di atas. [Hadits riwayat Abu Dawud, 2867, Ibnu Majah 22/3/2703 dan
Ahmad /447/7728. Ahmad Syakir berkata,  Sanadnya Shahih ]
Demikian secara singkat pembahasan ilmu mawarits yang sangat penting bagi
kaum Muslimin. Sebagi pengingat, supaya kita tidak melalaikannya. Dan
mudah-mudahan bermanfaat.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi Khusus/Tahun IX/1426H/2005M. Penerbit
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183]
______
Maraji.
[1]. Tafsir Al-Qur anul Azhim, Ibnu Katsir, Maktabah Ulum wal Hikam
[2]. Tafsir Zadul Masir, Ibnu Jauzi
[3]. Irwa ul Ghalil Fi Takhrijil Manaris Sabil, Al-Albani, Al-Maktabul
Islami
[4]. At-Tahqiqatul Mardhiah Fil Mabahits Al-Faradhiyah, Shalih Al-fauzan,
Maktabah Al-Ma arif
[5]. Tashil Al-Mawarits wal Washaya, Abdul Karim Muhammad Nashr, Maktabah
Haramain

Tidak ada komentar:

Posting Komentar