BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Al-Qur’an sebagai pedoman dalam semua aspek kehidupan ummat manusia, harus bisa memberi solusi terhadap semua masalah kemanusiaan. Namun ternyata pada masa Nabipun tidak semua masalah yang dihadapi dapat terselesaikan dengan al-Qur’an yang terkadang tidak turun memberi solusi. Hal ini telah memaksa Nabi untuk melakukan “ijtihad” dengan cara menafsirkan dan memperluas aturan-aturan umum al-Qur’an, bahkan tidak jarang melakukan musyawarah dengan sahabat-sahabatnya, karena ternyata diantara ayat-ayat al-Qur’an yang bertalian langsung dengan hukum hanya memuat prinsip-prinsip dasar secara global, sedangkan perincian-perinciannya diserahkan pada Nabi baik dalam lapangan Akidah-ibadah atau non Akidah-Ibadah (Mu’amalah). Rincian-rincian ini kelak dikenal dengan al-Sunnah yang disepakati sebagai sumber kedua dalam Islam.
Dalam lapangan Akidah-Ibadah karena merupakam wilayah yang transenden secara rinci telah dijelaskan oleh Nabi dengan batasan-batasannya, sehingga tudak ada ruang untuk ijtihad, Nabi bersabda: من عمل عملا ليس عليه امرنا, sedangkan dalam lapangan non Akidah-Ibadah (Mu’amalah) oleh Nabi lebih banyak diserahkan pada ummat, karena mereka lebih mengetahui kebutuhan-kebutuhannya, seperti yang ada dalam haditsnya yaitu:
انما انا بشر اذا امرتكم بشئ من دينكم فخدوا به واذا امرتكم بشئ من رايي فانما انا بشر انتم اعلم بامور ديناكم
Hadits diatas dilatar belakangi oleh kejadian yang disaksikan Nabi, yaitu ada sekelompok sahabat sedang mengawinkan mayang kurma, lalu ditegur oleh Nabi; ”seandainya kamu tidak berbuat demikian niscaya kurma itu akan baik juga dan mereka mengikuti saran Nabi, tapi ternyata tidak selebat ketika dikawinkan.
Dari sini dapat dimengerti bahwa ketika dihadapkan pada masalah non-Aqidah Ibadah, Nabi lebih tampak sisi manusia biasanya yang dimungkinkan salah dalam berijtihad ditimbang sisi keNabiannya yang secara umum dikatakan, setiap apa yang datang dari Nabi adalah merupakan wahyu, terbukti dengan asbab al-nuzulnya ayat 68 surat al-Anfal tentang teguran Allah bahwa keputusannya meminta tebusan terhadap tawanan perang Badar adalah keliru. Keputusan itu didasarkan atas usulan Abu Bakar RA. sedangkan Umar RA.mengusulkan membunuh mereka.
Dalam perkembangan lebih lanjut terutama setelah wafatnya Nabi, masalah yang dihadapi oleh umat Islam semakin kompleks, hal ini bukan saja disebabkan karena mereka telah kehilangan tempat penyelesaian masalahnya akan tetapi karena pesatnya arus perubahan yang dibawa oleh Nabi sehingga muncul banyak masalah baru sementara preseden yang ada ternyanta tidak selalu dialogis ketika dihadapkan pada masalah-masalah realitas.
Masalah yang mula-mula dihadapi oleh ummat Islam adalah masalah politik, tentang siapa yang berhak mengganti kedudukan Nabi sebagai kholifah. Dalam menyelesaikan masalah ini, para sahabat telah memakai prinsip musyawarah mufakat (Ijma’) seperti yang dianjurkan oleh al-Qur’an, prinsip ini juga mereka pakai dalam menyelesaikan masalah hukum yang tidak ditemukan presedennya dalam al-Qur’an dan al-Hadith. Namun ketika wilayah domain Islam semakin meluas, prinsip musyawarah mufakat (Ijma’) sudah tidak bisa diterapkan, karena terpencarnya para yuris sahabat diwilayah domain tersebut, dan mereka melakukan istinbat} hukum atau Ijtihad dengan cara dan metodenya sendiri sesuai sosio-kultur dan realitas yang dihadapi. Kenyataan ini sebetulnya sejak dini telah disadari oleh Nabi, terbukti dengan hadis dari Mu’ad bin Jabal tentang restu Nabi dalam melakukan ijtihad terhadap masalah yang tidak ditemukan secara jelas presedennya dalam al-Qur’an dan al-Hadith.
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Al-Qur’an sebagai pedoman dalam semua aspek kehidupan ummat manusia, harus bisa memberi solusi terhadap semua masalah kemanusiaan. Namun ternyata pada masa Nabipun tidak semua masalah yang dihadapi dapat terselesaikan dengan al-Qur’an yang terkadang tidak turun memberi solusi. Hal ini telah memaksa Nabi untuk melakukan “ijtihad” dengan cara menafsirkan dan memperluas aturan-aturan umum al-Qur’an, bahkan tidak jarang melakukan musyawarah dengan sahabat-sahabatnya, karena ternyata diantara ayat-ayat al-Qur’an yang bertalian langsung dengan hukum hanya memuat prinsip-prinsip dasar secara global, sedangkan perincian-perinciannya diserahkan pada Nabi baik dalam lapangan Akidah-ibadah atau non Akidah-Ibadah (Mu’amalah). Rincian-rincian ini kelak dikenal dengan al-Sunnah yang disepakati sebagai sumber kedua dalam Islam.
Dalam lapangan Akidah-Ibadah karena merupakam wilayah yang transenden secara rinci telah dijelaskan oleh Nabi dengan batasan-batasannya, sehingga tudak ada ruang untuk ijtihad, Nabi bersabda: من عمل عملا ليس عليه امرنا, sedangkan dalam lapangan non Akidah-Ibadah (Mu’amalah) oleh Nabi lebih banyak diserahkan pada ummat, karena mereka lebih mengetahui kebutuhan-kebutuhannya, seperti yang ada dalam haditsnya yaitu:
انما انا بشر اذا امرتكم بشئ من دينكم فخدوا به واذا امرتكم بشئ من رايي فانما انا بشر انتم اعلم بامور ديناكم
Hadits diatas dilatar belakangi oleh kejadian yang disaksikan Nabi, yaitu ada sekelompok sahabat sedang mengawinkan mayang kurma, lalu ditegur oleh Nabi; ”seandainya kamu tidak berbuat demikian niscaya kurma itu akan baik juga dan mereka mengikuti saran Nabi, tapi ternyata tidak selebat ketika dikawinkan.
Dari sini dapat dimengerti bahwa ketika dihadapkan pada masalah non-Aqidah Ibadah, Nabi lebih tampak sisi manusia biasanya yang dimungkinkan salah dalam berijtihad ditimbang sisi keNabiannya yang secara umum dikatakan, setiap apa yang datang dari Nabi adalah merupakan wahyu, terbukti dengan asbab al-nuzulnya ayat 68 surat al-Anfal tentang teguran Allah bahwa keputusannya meminta tebusan terhadap tawanan perang Badar adalah keliru. Keputusan itu didasarkan atas usulan Abu Bakar RA. sedangkan Umar RA.mengusulkan membunuh mereka.
Dalam perkembangan lebih lanjut terutama setelah wafatnya Nabi, masalah yang dihadapi oleh umat Islam semakin kompleks, hal ini bukan saja disebabkan karena mereka telah kehilangan tempat penyelesaian masalahnya akan tetapi karena pesatnya arus perubahan yang dibawa oleh Nabi sehingga muncul banyak masalah baru sementara preseden yang ada ternyanta tidak selalu dialogis ketika dihadapkan pada masalah-masalah realitas.
Masalah yang mula-mula dihadapi oleh ummat Islam adalah masalah politik, tentang siapa yang berhak mengganti kedudukan Nabi sebagai kholifah. Dalam menyelesaikan masalah ini, para sahabat telah memakai prinsip musyawarah mufakat (Ijma’) seperti yang dianjurkan oleh al-Qur’an, prinsip ini juga mereka pakai dalam menyelesaikan masalah hukum yang tidak ditemukan presedennya dalam al-Qur’an dan al-Hadith. Namun ketika wilayah domain Islam semakin meluas, prinsip musyawarah mufakat (Ijma’) sudah tidak bisa diterapkan, karena terpencarnya para yuris sahabat diwilayah domain tersebut, dan mereka melakukan istinbat} hukum atau Ijtihad dengan cara dan metodenya sendiri sesuai sosio-kultur dan realitas yang dihadapi. Kenyataan ini sebetulnya sejak dini telah disadari oleh Nabi, terbukti dengan hadis dari Mu’ad bin Jabal tentang restu Nabi dalam melakukan ijtihad terhadap masalah yang tidak ditemukan secara jelas presedennya dalam al-Qur’an dan al-Hadith.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari ijtihad?
2. Dimanakah ruang lingkup penerapan dari ijtihad itu?
3. Apa macam-macam ijtihad?
4. Dimanakah ijtihad dapat diterapkan?
5. Apa saja tingkatan mujtahid?
6. Apa macam-macam dari mujtahid?
7. Bagaimanakah kedudukan ijtihad dalam hukum islam?
C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui pengertian dari ijtihad.
2. Untuk mengetahui ruang lingkup penerapan dari ijtihad.
3. Untuk mengetahui macam-macam ijtihad.
4. Untuk mengetahui ijtihad dapat diterapkan.
5. Untuk mengetahui tingkatan mujtahid.
6. Untuk mengetahui macam-macam dari mujtahid.
7. Untuk mengetahui kedudukan ijtihad dalam hukum islam.
BAB II
PEMBAHASAN
Teori Ijtihad dan Penerapannya
A. Pengertian Ijtihad
Ijtihad adalah kata arab dalam bentuk masdar dari kata ijtahada, dengan kata dasar j-h-d yang berarti berusaha dengan sungguh-sungguh atau mengerahkan segala daya upaya untuk mencapai suatu tujuan. Dijelaskan oleh Sayyid Muhammad Musa Tuwana dan Wahbah al-Zuhaily bahwa kata dasar j-h-d dan semua kata yang berasal dari kata dasar ini, biasanya dipakai untuk arti yang berhubungan dengan suatu pekerjaan yang tidak biasa/berat, keadaan yang memberatkan atau tidak disenangi. Kata ini telah menjadi istilah teknis dikalangan para ahli hukum/para Yuris terutama para ahli Usul Fiqh.
Ijtihad yang telah menjadi istilah teknis ini, oleh para ulma didefinisikan dalam bentuk dan redaksi yang sangat beragam namun pada intinya adalah sama, al-Shairazi memberi definisi meluangkan kesempatan dan mengerahkan segenap kemampuan dalam mencari ketentuan hukum Shar'i. Al-Subki dan al-Amidy memberi defisi yang lebih mengarah pada kedudukan hukum hasil ijtihad dan lapangan ijtihad, yaitu pengerahan kemampuan seorang Yuris untuk memperoleh sangkaan kuat (Zann) adanya hukum, lebih jelas lagi Abd al-Wahhab Khallaf memberi definisi, pengerahan kemampuan untuk menghasilkan hukum Shar'i dari dalil-dalilnya secara terinci. Dan diperjelas oleh Abu Zahrah atau dalam aplikasinya.
Dari beberapa definisi diatas secara umum dapat disimpulkan bahwa ijtihad adalah penalaran maksimal seorang Yuris untuk memperoleh prediksi logis atau estimasi hukum dalam masalah aktual yang secara jelas tidak ada pernyataan Nas dalam al-Qur'an, al-Hadith ataupun ijma’.
B. Macam-macam Ijtihad
Para ulama membagi ijtihad kedalam dua bagian yaitu:
1. Ijtihad Sempurna, yaitu teknik ijtihad yang hanya bisa dilakukan oleh sekelompok orang yang betul-betul mampu menggali hukum dan menetapkan hukum dari sumber aslinya secara independen dalam arti mereka tidak terpengaruh oleh metodologi ijtihad pendahulunya dan betul-betul menggali hukum dengan metode sendiri yang orisinil, seperti yang telah dilakukan oleh para ulama Sahabat, Tabi'in dan para imam Madhhab seperti imam Maliki, Hanafi, Shafi'i dan Ahmad bin Hambal dan termasuk juga al-Auza'i, al-Thabari dan imam Ja'far Sadiq dari golongan Shi'ah.
2. Ijtihad Pengembangan atau teknik ijtihad yang dilakukan oleh ulama yang hanya mampu menerapkan dan mengembangkan metodologi atau teori-teori hukum yang dihasilkan oleh pemula-pemulanya, seperti yang dilakukan oleh Abu Yusuf al-Anshari, Muhammad bin Hasan al-Shaibani, Abul Hasan al-Karkhi dan Muhammad bin Abi Sahal al-Sarkhisi dari madhhab Hanafi, Abdullah Ziyad bin Abdurrahman al-Qurtuby, Isa bin Dinar Abd Rahman bin Qosim al-'Idqi dan Muhammad bin yahya al-Andalusi dari madhhab maliki, Abu al-Ma’ali Abd al-Malik bin Abd Allah al-Juwainy, Abu Ibrahim al-Muzanni, Abu al-Qasim al-Rafi'i dan Abu Zakaria al-Nawawi dari madhhab Shafi'i, serta Ahmad bin Muhammad al-Barwasi dari madhhab Hambali.
Al 'Imrithi dalam kitab Nazm al-Waraqat karangan Abu al- Ma'ali al-Juwaini yang dikenal dengan imam al-Haramain, mengklasifikasikan ijtihad dengan melihat kepada validitas hukum yang dihasilkan yaitu kepada ijtihad yang valid dan ijtihad yang invalid. Pembagian ini didasarkan kepada hadith yang diriwayatkan oleh Muslim tentang pahala ganda bagi mujtahid yang valid dalam ijtihadnya dan satu pahala bagi yang invalid dalam ijtihadnya.
Sedangkan Mahmud Hilmi membagi ijtihad dengan melihat jumlah personil mujtahid dan kekuatan mengikat dan tidaknya hukum yang dihasilkan kedalam dua macam yaitu:
a. Ijtihad Kolektif (jama'i) yaitu ijtihad yang dilakukan oleh sekelompok ulama terhadap suatu topik atau masalah hukum yang diajukan oleh ulil amri untuk dicari ketetapan hukumnya yang kemudian disepakti sebagai ketentuan hukum yang bersifat mengikat kepada setiap masyarakat secara umum.
b. Ijtihad Individual (fardi) yaitu ijtihad yang dilakukan oleh badan perseorangan yang mempunyai kapasitas dan kualifikasi yang memadai. Hasil ini sifatnya tidak mengikat atau tidak mempunyai kekuatan hukum kecuali pada pencetusnya.
C. Lapangan Aplikasi Ijtihad
Sesuai dengan pengertian teknis yang telah dikemukakan oleh para ulma' diatas, maka lapangan aplikasi ijtihad adalah semua masalah realitas yang bisa dibedakan dalam dua kategori yaitu:
1. Masalah yang menyangkut materi hukum dalam arti nas-nas} yang bisa menjadi lapangan aplikasi ijtihad.
2. Masalah yang menyangkut kasus hukum yang membutuhkan penyelesaian dengan cara mengembalikan kepada sumber pokok yang telah disepakati yaitu al-Qur'an dan al-Sunnah, karena setiap masalah dalam pandangan Islam telah ada ketentuan hukumnya hanya ternyata mayoritas ketentuan tersebut tidak dijelaskan secara rinci terutama yang menyangkut masalah non akidah-ibadah (mu'amalah), bahkan tidak sedikit diantara masalah-masalah tersebut seperti masalah pidana, perdata, tata negara, hukum niaga dan lain sebagainya tidak ditemukan ketentuan yang jelas dalan nas al-Qur'an dan al-Sunnah.
Mengenai masalah yang terkait dengan masalah hukum, diketahui bahwa dalam Shari'at Islam secara umum ada dua sifat materi hukum, yaitu:
1. Qat’i atau materi hukum yang menunjuk pada makna tertentu, dapat dipahami dengan gamblang dan tidak membutuhkan ta'wil.
2. Zanni atau materi hukum yang menunjuk pada suatu makna dan dimungkinkan adanya makna lain.
Adapun nas-nas yang bisa menjadi lapangan ijtihad adalah nas yang Zanni indikasi/dalalahnya, terdiri dari al-Qur'an atau al-Sunnah, atau nas al-Hadith yang Zanni eksistensi/wurudnya. Adapun tugas mujtahid terhadap nas yang Zanni eksistensinya adalah meneliti sanad sampai pada Nabi, sifat-sifat perawi dari segi kejujuran, keadilan, dan thiqahnya, dan terhadap materi hukum (al-Hadith) yang Zanni indikasinya adalah memberi tafsir dan ta'wil, mencari kuatnya petunjuk terhadap makna yang dikehendaki, menyelamatkan apabila terjadi ta'arud, menentukan bahwa materi hukum tersebut menunjuk pada salah satu hukum taklifi.
Sedangkan masalah yang menyangkut kasus hukum setelah dikembalikan pada sumber aslinya, maka dapat dibedakan kedalam masalah yang tidak bisa menjadi lapangan aplikasi ijtihad dan masalah yang bisa menjadi lapangan aplikasi ijtihad.
Masalah-masalah yang tidak bisa dijadikan lapangan aplikasi ijtihad:
1. Kasus-kasus hukum yang ditetapkan nas secara pasti qat’i indikasi dan eksistensinya seperti kewajiban shalat dan zakat, dan kewajiban berpuas di bulan Ramadhan dan kewajiban menunaikan haji atau yang ditetapkan dengan metode penalaran yang telah disepakati, seperti kaidah-kaidah umum yang dihasilkan dari nas-nas secara kumulatif, kohesif dan konprehensif seperti kaidah-kaidah kulliyah yang lima.
2. Kasus-kasus hukum yang tidak ada nas} akan tetapi para ulama telah sepakat mengenai ketetapan hukumnya atau kasus-kasus hukum yang tidak diketahui kejelasannya hukumnya dari agama seperti memberikan seperenam_bagian waris kepada nenek dan tidak sah perkawinannya wanita Islam dengan laki-laki non-Islam.
Sedangkan kasus-kasus hukum yang bisa menjadi lapangan apliksi ijtihad yaitu:
1. Kasus-kasus hukum yang ada nasnya tetapi indikasi dan eksistensinya diragukan Zanni. Kondisi ini bisa ditemukan pada hadith-hadith Ahad dan macam-macamnya. Sedangkan tugas mujtahid dalam masalah ini adalah meneliti keabsahan sanad dan menjelaskan petunjuk nas terhadap masalah yang akan diselesaikan.
2. Kasus-kasus hukum yang ditetapkan dengan nas qat’i tetapi indikasi-dalalah-hukumnya tidak jelas. Kondisi ini bisa ditemukan dalam nas-nas al-Qur'an dan hadith mutawatir.karena kadangkala, meskipun nas-nas tersebut menunjuk pada makna yang jelas (Zahir al-ma'na) namun yang dimaksud bukanlah makna Zahirnya, dan juga kadangkala berbentuk kata 'am, mutlak, mushtarak dan mutaradif. Sedangkan tugas mujtahid dalam hal ini adalah menjelasan makna dan memastikan petunjuknya pada salah satu hukum taklifi.
3. Kasus-kasus hukum yang ditetapkan dengan nas qat’i tetapi eksistensinya diragukan. Keadaan ini bisa ditemukan pada hadith-hadith Ahad. Adapun tugas mujtahid dalam masalah ini adalah meneliti keabsahan sanadnya.
4. Kasus-kasus hukum yang tidak ada nas hukumnya dan ketetapan hukumnya belum pernah disepakati oleh para ulama. Dalam hal ini para ulama betul-betul melakukan ijtihad, karena harus mencari ketentua hukumnya dengan metode-metode penalarannya.
D. Mujtahid dan Tingkatan-Tingkatannya
Ijtihad adalah suatu pekerjaaan yang tidak semua orang dapat melakukannya, karena pekerjaan ini terkait langsung dengan hak-hak Shari' (Allah dan RasulNya) dalam arti, setiap ketentuan hukum yang dihasilkan oleh seorang mujtahid adalah mewakili kehendak tuhan, atau singkatnya ia adalah kepanjangan tangan tuhan dalam mengatur hamba-Nya. Oleh sebab itu tidak salah kalau para ulama menetapkan syarat-syarat, meskipun syarat-syarat tersebut menurut Iqbal hampir tidak mungkin direalisasikan pada badan perseorangan karena terlalu di idealkan dengan capaian-capaian masa lalu para imam madhhab.
1. Syarat-Syarat Mujtahid
Syarat-syarat Mujtahid yang ditetapkan oleh ulama dikelompokkan menjadi:
a. Syarat-syarat Umum
Yang termasuk syarat umum adalah; Dewasa, berakal sehat, mempunyai IQ. (Intellegence Quotient) tinggi dan beriman.
b. Syarat-syarat Pokok
Diantara syarat-syarat pokok yang telah dirumuskan oleh ulama adalah:
1. Menguasai bahasa Arab dan ilmu-ilmu yang berhubungan dengannya seperti, Nahwu, Sharraf dan Balaghah, memahami makna-makna kosa kata serta, sehingga bisa mengetahui susunan dan redaksi suatu kalimat dan juga pada bentuk-bentuk muhkam dan mutashabih, haqiqah dan majaz, muthlaq dan muqayyad, mujmal dan mubayyan serta 'am dan khasnya.
2. Memahami al-Qur'an dan ilmu-ilmu ikutannya, seperti ilmu Asbab al-Nuzul dan nasikh-mansukh, agar hasil ijtihadnya tidak termasuk dalam hukum nas yang telah dimansukh .
3. Menguasi al-Sunnah serta mengetahui jalan-jalan periwayatannya sehingga bisa mengetahui tingkatan tingkatan kehujjahan dalam bentuk mutawatir, masyhur dan ahad-nya, serta mengetahui tingkatan-tingkatan keabsahan dalam bentuk shahih, hasan dan dha'if-nya.
4. Mengusai metode-metode kias, karena menurut al-Shafi’i, ijtihad tidak lain adalah Kias, sedangkan untuk menguasainya dibutuhkan tiga penguasaan, yaitu:
a. Mengetahui latar belakang materi hukum yang menjadi dasar serta illat-illat hukumnya, agar proses penalaran dan analoginya tidak salah.
b. Menguasai dengan pasti aturan-aturan serta batasan batasan dalam mengoperasikan kias.
c. Mengetahui metodologi ulama-ulama klasik dalam mencari illat hukum dan sifat-sifat yang dijadikan alasan dalam menetapkan ketentuan hukum.
Sehubungan dengan syarat-syarat yang telah disebutkan diatas, al-Shafi'i menyatakan bahwa syarat-syarat tersebut adalah bersifat kumulatif (bukan alternatif) artinya, apabila salah satu dari syarat-syarat tersebut tidak dijumpai dalam diri seorang mujtahid, maka ia terlarang untuk melakukan ijtihad.
5. Mengetahui kaidah-kaidah umum.
Yang dimaksud kaidah-kaidah umum ini, menurut al-Subki yaitu kaidah-kaidah pokok fiqhiyah (al-qawa'id al-fiqhiyat al-kulliyat) yaitu al-umur bi maqasidiha, al-yaqin la yuzalu bi al-Shak, al-Mashhaqqat tajlib a-Ttaisir, al-dararu yuzalu dan al 'adat muhakkamat.
6. Mengetahui teori tarjih ketika terjadi perlawanan (ta'arudh) antara dua dalil, karena jika terjadi pertentangan antara dua dalil maka pertama-kali yang harus dilakukan adalah mentauqif dan apabila tidak memungkinkan maka harus diadakan tarjih dan wajib berpegang pada salah satu dari kedua dalil tersebut.
7. Memahami ideal moral Shari'ah atau Maqasid al-Tashri' atau ruh al-Shari’ah. Sehubungan dengan syarat yang terakhir ini, al-Shathibi mengatakan bahwa ideal moral Shari'ah adalah syarat yang sangat pokok dalam melakukan ijtihad sedangkan syarat-syarat yang telah disebutkan diatas adalah syarat yang mengiringinya atau syarat pelengkap.
c. Syarat-syarat Pelengkap
Diantara syarat pelengkap yang dimaksud adalah:
1. Tidak ditemukan dalil qat’i dalam suatu kasus hukum, baik berupa dalil nas atau ijma’ atau masalah yang belum ada kepastian hukumnya.
2. Mengetahui masalah-masalah yang diperselisihkan oleh ulama.
2. Macam-macam Mujtahid
Dengan melihat beberapa definisi ijtihad diatas, maka secara umum, mujtahid bisa diklasifiksikan dalam dua macam yaitu:
a. Mujtahid Mutlak
Mujtahid mutlak atau mujtahid fi al Shar'i atau mujtahid kamil adalah seorang ulama yang mampu menggali hukum-hukum agama_dari dalil-dalilnya secara langsung dan mampu menetapkan metodologi dan dasar-dasar pokok dalam aktivitas ijtihadnya.
Tingkatan mujtahid yang pertama ini dapat dibedakan dalam dua hal, yaitu:
1. Mujtahid mutlak mustaqil atau mujtahid yang mampu_menggali hukum-hukum baru dengan metodologinya yang_orisinil tanpa terpengaruh oleh ulama-ulama pendahulunya seperti yang telah dilakukan oleh ulama-ulama sahabat, tabi'in seperti Sa'id bin Musayyab dan Abdu al-Rahman al-Nakha'i para pendiri madhhab seperti Abu Hanifah, Malik bin Anas, Muhammad bin Idris al-Shafi'i dan Ahmad bin Hambal dan lain sebagainya.
2. Mujtahid Mutlak Muntasib atau ulama yang mencapai tingkatan mujtahid mutlak hanya saja mereka tidak menetapkan hukum dengan metodenya sendiri tetapi memakai metodologi yang dipakai oleh mujtahid mustaqil dan juga memakai keterangan-kerangannya dalam hukum asal sebagai landasan penalaran dalam penggalian hukum masalah-masalah cabang
b. Mujtahid Madhhab
Mujtahid madhhab adalah ulama yang mengikuti metodologi salah satu imam madhhab dalam hukum asal atau cabang dan hanya mampu mengembangkan dan menerapkannya serta mengistimbatkan hukum yang belum terdapat di dalam madhhabnya..
Tingkatan mujtahid yang kedua ini dapat diklasifikasikan dalam dua tingkatan, yaitu:
1. Mujtahid takhrij atau ulama yang mengeluarkan ketentuan hukum yang belum ditetapkan dengan metodologi pendahulunya.
2. Mujtahid tarjih atau mujtahid fatwa ialah ulama yang mentarjih pendapat yang berbeda dalam madhhhabnya untuk memperoleh pendapat yang paling kuat dan lebih mendekati pada nas} atau kias yang benar atau yang paling sesuai dengan kebutuhan manusia.
Disamping pembagian ijtihad diatas, dengan melihat_kapasitas dan kualifikasi mujtahidnya dapat dibedakan juga kepada:
1. Mujtahid umum (general) atau mujtahid yang mampu melakukan ijtihad dalam semua aspek kajian hukum Fiqh.
2. Mujtahid khusus (parsial) atau mujtahid yang hanya mampu berijtihad dalam masalah parsial hukum Fiqh seperti melakukan ijtihad dalam hukum keluarga, hukum pidana dan dalam masalah-masalah yang lain yang sifatnya parsial.
E. Kedudukan Ijtihad dalam Hukum Islam
1. Hukum Melakukan Ijtihad
Jika ijtihad pada masa Nabi telah bisa dilakukan, baik yang dilakukan dihadapan Nabi seperti yang dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar ataupun dilakukan tidak berada dihadapan Nabi seperti yang dilakukn oleh Mu'ad bin Jabal, maka pada masa sesudah wafatnya lebih bisa dilakukan, bahkan wajib dilakukan, karena disamping semakin banyak masalah aktual yang tidak ditemukan dimasa Nabi, juga karena wahyu al-Qur'an (atau Nabi sebagai tempat penyelesaian masalah-masalahnya) telah terputus.
Adapun orang yang terbebani untuk melakukan ijtihad adalah orang-orang yang mempunyai nyali dalam arti mau mendobrak status quo ijtihad yang telah dinyatakan tertutup dan sudah barang tentu didukung dengan intensitas pemahaman keagamaan yang memamadai.
Mengenai hukum-hukumnya secara rinci dijelaskan oleh al-Umari yaitu:
1. Wajib 'ain, yaitu kewajiban bagi seseorang dimintai fatwa dalam suatu masalah hukum dan masalah tersebut dikhawatirkan lenyap tanpa memperoleh kepastian hukum.
2. Wajib kifai, yaitu kewajiban bagi orang yang dimintai fatwa dan orang tersebut tidak khawatir hilangnya masalah tersebut tanpa memperoleh suatu kepastian hukum karena masih banyak mujtahid lain yang mampu memutuskannya
3. Mubah, yaitu melakukan prediksi hukum dalam masalah-masalah yang belum terjadi.
4. Makruh, yaitu melakukan ijtihad dalam masalah-masalah yang tidak mungkin terjadi.
5. Haram, yaitu melakukan ijtihad untuk memperoleh ketentuan hukum yang berlawanan dengan nas} atau Qawa’id Us{u>liyah dan Qawa’id Fiqhiyah yang masyhur atau ijtihad yang dilakukan oleh orang yang tidak memenuhi kualifikasi karena orang tersebut tergolong dalam kelompok orang orang yang wajib bertanya apabila tidak tahu.
2. Alasan-Alasan kewajiban Ijtihad
Alasan-alasan kewajiban ijtihad secara umum dibagi menjadi dua alasan yaitu alasan-alasan internal dan alasan-alasan eksternal. Alasan-alasan internal yang dimaksud adalah alasan-alasan yang berasal dari dalam sumber hukumnya, sedangkan alasan-alsan eksternal adalah masalah-masalah realitas yang harus disikapi agar tenaungi oleh hukum Islam.
a. Alasan-Alasan Internal
Dalam al-Qur'an memang tidak ditemukan nas-nas yang secara langsung menyuruh melakukan ijtihad, namun demikian, ungkapan-ungkapannya tentang keharusan berfikir, secara umum banyak ditemukan terutama dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan yang sangat menggugah untuk segera disikapi. Seperti diantaranya pernyataan-pernyataan afala tatafakkarun , afala yatadabbarun , afala ta'lamun , dan afala tadhakkarun bahkan lebih jelas lagi, al-Qur'an mempertanyakan dalam bentuk pengingkaran (istifham inkari) tentang keberadaan seseorang yang tahu dan yang tidak tahu, orang-orang yang mau melihat dan peduli pada realitas dengan orang orang-orang yang acuh pada realitas .
Dalam kesempatan yang sama al-Qur'an menyuruh mengambil contoh dan ibarat terhadap ayat yang diturunkanNya , serta menyuruh untuk mengkaji, memperdalam dan memahami materi-materi hukum dengan cara mengembalikan setiap kasus hukum kedalam naungan wahyu yang diturunkan-Nya sebagai sumber pokok dalam Shari'ah . Sementara disatu sisi, al-Qur'an mengancam orang-orang yang enggan menjadikan hukum Allah sebagai rujukan dengan gelar "Zalimun , fasiqun , lebih ekstrem lagi dengan gelar kafirun , dan disisi lain, al-Qur'an menjanjikan petunjuk (huda) dan kedudukan yang tinggi disisi Allah bagi orang-orang yang mau berusaha keras dan berjuang dalam agama-Nya baik dengan harta maupun dengan jiwanya . Termasuk dalam pengertian jihad al-nafs adalah jihad intelektual yang juga dianjurkan oleh al-Qur'an yaitu memperdalam pengetahuan tentang agama atau tafaqquh fi al-din ketika orang-orang Islam keluar semua untuk berjihad fisik dan dimaksudkan agar bisa menyelesaikan masalah-masalah realitas.Alasan yang juga tak kalah pentingnya yang juga termasuk alasan internal adalah, diketahui bahwa dalam al-Qur'an banyak ditemukan statement-statement umum dan global seperti bentuk-bentuk mutlaq, mujmal harus ditetapkan indikasinya untuk diaplikasikan dalam masalah-masalah parsial (juz'i), terlebih lagi dalam al-Qur'an terdapat ayat-ayat yang samar (mutashabihat) yang harus dijelaskan artinya (ta'wil).
Adapun alasan-alasan kewajiban yang terdiri dari al-Hadith adalah banyak sekali baik yang dimengerti dari tindakan-tindakan Nabi ketika menghadapi kasus-kasus hukum yang tidak terselesaikan dengan wahyu al-Qur'an, atau anjuran-anjuran dan persetujuan Nabi terhadap para sahabatnya dalam menghadapi kasus yang secara jelas tidak ditemukan bukti tekstual. Dalam hal ini, Mahmasani mengutip Hadis:
انا اقضي بينكم بالرءي فيما لتم ينزل فيه وحي
Dan perkataan Nabi kepada Ibn Mas’ud yang secara langsung menyuruh melakukan ijtihad, yaitu :
اقض بالكتاب والسنة اذاوجدتهما فاذا لم تجدالحكم فيهما اجتهد رءيك
Dan Hadith yang diriwayatkan oleh Mu'ad bin Jabal ketika ia dan Abu Musa al-Ash’ari diutus ke Yaman.
Disamping alasan-alasan diatas, ternyata para ulama madhhab yang selama ini - selalu dijadikan acuan, dengan jelas mengatakan tidak boleh bertaqlid, seperti perkataan Abu Hanifah dan Abu Yusuf yang dikutip oleh Mahmasani yaitu:
لايحل لاحد ان يقول بقولنا حتي يعلم من اين قلناه
Dan perkataan Ahmad bin Hambal yaitu:
لا تقلدوني ولامالكاولاالشافعي ولاالثوري وخدوامن حيث اخدوه
b. Alasan-Alasan Eksternal
Disamping alasan-alasan internal yang telah disebutkan diatas, alasan-alasan yang paling mendesak untuk melakukan ijtihad adalah alasan-alasan yang bersifat eksternal, yaitu berupa masalah-masalah yang terbias dari transformasi peradaban manusia yang semakin berkembang yang setelah dikonsultasikan pada preseden yang ada, tidak ditemukan secara jelas kepastian aturan-aturannya. Dan meskipun al qur'an merupakan sumber norma dan nilai-nilai normatif yang sudah komplit dan setiap masalah menurut pengakuannya telah dijelaskan , ternyata ketika dihadapkan pada masalah-masalah realitas, sangat sulit menafsirkan dan menentukan indikasinya, dengan kata lain preseden al-Qur'an atau al-Hadith telah tidak dialogis dan dialektis lagi seperti halnya ketika diturunkan atau diriwayatkan yang selalu memberi solusi terhadap masalah realitas. Sementara disatu sisi, dikatakan oleh ulama, bahwa al-Qur'an yang harus dijadikan rujukan, ternyata hanya memuat kurang lebih 500 ayat (atau 600 ayat menurut sebagian ulama yang dianngap muhkam atau yang mengandung elemen hukum dari keseluruhan ayat yang berjumlah 6219, itupun mayoritas berkaitan dengan masalah ritual sedangkan yang bertalian langsung dengan hukum hanya berjumlah 80 ayat, jadi kelengkapan dan keuniversalannya justru teletak pada pada keumuman dan keglobalan ungkapan ungkapannya yang akan dihadapkan pada masalah aktual dan disisi lain, al-Hadith sebagai sumber dan penjelas bagi al Qur'an, mayoritas adalah merupakan spesifik dari masalah-masalah realitas di waktu al-Hadith tersebut dikeluarkan, jadi tanpa menggali dan mengembalikan pada motif-motif keniscayaan keduanya sangat sulit mengaplikasikan pada masalah aktual.
3. Kedudukan Hukum hasil Ijtihad
Kedudukan hasil ijtihad apabila dilihat produk hukumnya secara umum dapat dibagi kedalam ijtihad valid dan yang invalid, ini didasarkan pada pernyataan Nabi tentang pahala ganda bagi yang valid hasil ijtihadnya dan satu pahala bagi yang invalid.
Sedangkan apabila dilihat dari mengikat (multazim) dan tidaknya, hukum hasil ijtihad adalah tidak mengikat kecuali kepada diri pencetusnya, dan tidak menjadi hujjah kepada seluruh ummat manusia dan tidak seorangpun yang wajib mengikuti dan bertindak sesuai dengan hasil ijthad tersebut, sebab masalah yang telah ditetapkan oleh seorang mujtahid didasarkan pada dalil Shar'i yang Zanni yang memungkinkan perbedaan hukum karena perbedaan penalaran, metode yang dipakai serta situasi dan kondisi yang melatari tersebut, akan tetapi hukum ijtihadi bersifat mengikat kepada orang yang secara khusus meminta fatwa dalam suatu masalah
4. Metode-Metode Ijtihad dalam Hukum Islam
Metode yang dipakai oleh para ulama dalam rangka istinbat hukumnya sangat beragam sekali terutama setelah tidak menemukan bukti tekstual yang akan dijadikan landasan penetapan hukumnya. Keadaan ini lebih banyak dipengaruhi oleh sosio-kultur dan aliran penalaran hukum mereka.
Metode-metode tersebut yaitu: metode Ijma’, Kias, Istihsan, Istislah dan istidlal (mencari dalil) yang menurut istilah ulama Usul Fiqh adalah dalil yang bukan terdiri dari nas, ijmak dan kias atau juga dipakai sebagai istilah dalam menyandarkan suatu ketentuan pada nas} atau ijmak (Hakim, tth:128). sedangkan Metode-metode yang digolongkan kedalam istidlal adalah: Istishab atau baraah asliyyah dan Sadd al-Dhari'ah yang akan dijelaskan secara khusus dalam kesempatan yang bebeda
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Sebagai akhir dari makalah ini dapat disimpulkan:
1. Islam sebagai agama universal “harus bisa” memberi solusi terhadap semua masalah realitas dengan jalan ijtihad, sehingga semua masalah ternaungi oleh hukum Islam.
2. Ijtihad sebagai prinsip gerak dalam hukum Islam harus dilakukan oleh ulama / yuris yang mempunyai potensi sesuai dengan kualifikasi yang telah ditetapkan dalam rangka memberi label / estimasi hukum terhadap masalah realitas yang belum mempunyai status hukum yang jelas dalam nas dan Ijma’ atau masih terabaikan oleh yuris yang lain.
3. Status Hukum ijtihadi adalah relatif, tidak mengikat kepada seorangpun kecuali kepada pencetusnya atau orang yang secara khusus minta fatwa dan tidak bisa membatalkan hukum ijtihadi yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Zahroh, Muhammad. Usul al-Fiqh. Cairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 1958.
Al-Badakhsi, Sharh al-Badakhsy Minhaj al-`Uqul.Juz.III. (Bairut: Dar al-Kutub al-`Ilmiyah, tth.
Al-Madani, Muhmmad, Mawat}in al-Ijtihad fi Shari`ah al-Islamiyah, Kuwait: Maktabah al-Manar, tth.
Al-Qur’an al-Karim
Al-Shairazi, Abu Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf, al-Luma` fi Usul al-Fiqh, Surbaya: Matba`ah al-Hi¬dayah, tth.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar