Dalam pembahasan ini akan dikemukakan dua landasan pendidikan agama Islam (PAI) di sekolah, yaitu: landasan historis dan landasan perundang-undangan sebagai sumber hukum positif. Kedua landasan itu dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Landasan Historis
Ketika Pemerintah Sjahrir menyetujui pendirian Kementrian Agama (sekarang Departemen Agama) pada 3 Januari 1946, elit Muslim menempatkan agenda pendidikan menjadi salah satu agenda utama Kementrian Agama selain urusan haji, peradilan, dan penerangan. Sebagai reaksi terhadap kenyataan lembaga pendidikan yang tidak memuaskan harapan mereka, elit Muslim tersebut dalam alam proklamasi memusatkan perhatian kepada dua upaya utama yang satu sama lain saling berkaitan. Pertama ialah mengembangkan pendidikan agama (Islam) pada sekolah-sekolah umum yang sejak Proklamasi berada di bawah pembinaan Kementrian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan (Kementrian PPK). Upaya ini meliputi: (1) memperjuangkan status pendidikan agama di sekolah-sekolah umum dan pendidikan tinggi, (2) mengembangkan kurikulum agama, (3) menyiapkan guru-guru agama yang berkualitas, dan (4) menyiapkan buku-buku pelajaran agama. Kedua, upaya yang dilakukan oleh Kementrian Agama ialah peningkatan kualitas atau “modernisasi” lembaga-lembaga pendidikan yang selama ini telah memberi perhatian pada pendidikan/pengajaran agama Islam dan pengetahuan umum modern sekaligus. Strateginya ialah: (1) dengan cara memperbarui kurikulum yang ada dan memperkuat porsi kurikulum pengajaran umum modern sehingga tak terlalu ketinggalan dari sekolah-sekolah umum, (2) mengembangkan kualitas dan kuantitas guru-guru bidang umum, (3) menyediakan fasilitas belajar seperti buku-buku bidang studi umum, dan (4) mendirikan sekolah Kementrian Agama di berbagai daerah/wilayah sebagai percontohan atau model bagi lembaga pendidikan Islam setingkat.
Dari landasan sejarah di atas dapat kita pahami bahwa salah satu perjuangan elit Muslim Indonesia sejak awal kemerdekaan pada bidang pendidikan adalah memperkokoh posisi pendidikan agama Islam (PAI) di sekolah-sekolah umum sejak tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Dari perjuangan ini dapat kita pahami bahwa masuknya PAI pada kurikulum sekolah umum seluruh jenjang merupakan perjuangan gigih para tokoh elit Muslim sejak awal kemerdekaan hingga sekarang ini. Maka dari itu, keberadaan dan peningkatan mutunya tentunya merupakan kewajiban kita khususnya kalangan akademis di lingkungan PTAI maupun para praktisi pendidikan di lapangan.
b. Landasan Perundangan-undangan.
Landasan perundang-undangan sebagai landasan hukum positif keberadaan PAI pada kurikulum sekolah sangat kuat karena tercantum dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Bab V Pasal 12 ayat 1 point (a), bahwasannya setiap peserta didik dalam setiap satuan pendidikan berhak: (a) mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama.
Peningkatan iman dan taqwa serta akhlak mulia dalam UU No.20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Bab X Pasal 36 ayat 3 bahwasannya kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan: (a) peningkatan iman dan taqwa. Dan pasal 37 ayat 1, bahwasannya kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat: (a) pendidikan agama. Dengan merujuk beberapa pasal dalam UUSPN No. 20/2003, maka semakin jelaslah bahwa kedudukan PAI pada kurikulum sekolah dari semua jenjang dan jenis sekolah dalam perundang-undangan yang berlaku sangat kuat.
Dalam PP No 19 Thn 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pada Pasal 6 ayat 1 dijelaskan bahwa kurikulum untuk jenis pendidikan umum, kejuruan, dan khusus pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas: kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia; kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian; kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi; kelompok mata pelajaran estetika; kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga, dan kesehatan.
Selanjutnya pada pasal 7 ayat 1 dijelaskan bahwa kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia pada SD/MI/SDLB/Paket A, SMP/MTs/SMPLB/Paket B, SMA/MA/SMALB/Paket C, SMK/MAK, atau bentuk lain yang sederajat dilaksanakan melalui muatan dan/atau kegiatan agama, kewarganegaraan, kepribadian, ilmu pengetahuan dan teknologi, estetika, jasmani, olah raga, dan kesehatan.
Dari beberapa landasan perundang-undangan di atas sangat jelas bahwa pendidikan agama merupakan salah satu mata pelajaran yang wajib ada di semua jenjang dan jalur pendidikan. Dengan demikian, eksistensinya sangat strategis dalam usaha mencapai tujuan pendidikan nasional secara umum.
Sementara itu, bila dilihat dari proses pengembangan kurikulum, maka ketika KBK diterapkan di beberapa sekolah sejak tahun 2004 atau bahkan ada yang telah menetapkannya sejak tahun 2003, maka kurikulum itu masih dalam taraf uji coba (eksperimen) dan belum ditetapkan dalam bentuk peraturan pemerintah. Namun demikian, pemerintah tetap menghargai terhadap mereka yang telah melakukan eksperimen KBK tersebut, sehingga di dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2005 tentang Ujian Nasional tahun pelajaran 2005/2006 pada pasal 8 dinyatakan bahwa “Bahan ujian nasional disusun berdasarkan kurikulum 1994 atau standar kompetensi lulusan “Kurikulum 2004”. Dengan kata lain satuan pendidikan dapat memilih di antara kedua kurikulum tersebut. Bagi sekolah atau madrasah yang menetapkan kurikulum 2004, bahan ujian disesuaikan dengan kurikulum 2004.
Uraian di atas menggarisbawahi bahwa pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) antara lain menggunakan pendekatatan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang memiliki ciri-ciri antara lain:
a. Menitik beratkan pencapaian target (attainment targets) kompetensi dari pada penguasaan materi.
b. Lebih mengakomodasikan keragaman kebutuhan dan sumber daya pendidikan yang tersedia.
c. Memberikan kebebasan yang luas kepada pelaksana pendidikan di lapangan untuk mengembangkan dan melaksanakan program pendidikan sesuai dengan kebutuhan.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat ditarik benang merah bahwa esensi pengembangan KTSP adalah “mengembangkan pendidikan yang demokratis dan non-monopolistik”. Karena itulah kurikulum yang dikembangkan di pusat cukup sebagai rambu-rambu umum tentang standar isi dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) yang harus dicapai. Di pusat tidak perlu sampai mengatur urutan perbulan/minggu dan seterusnya, yang diberlakukan untuk sekolah/madrasah di daerah, apalagi sampai memaksakan suatu metode dan teori mengajar tertentu.
Terkait dengan hal di atas, pendidikan agama yang hanya 2 (dua) Jam Pelajaran perminggu, dapat disiasati oleh para guru agama dalam mencapai tujuan pembelajaran. Guru agama memiliki keleluasaan dalam mengembangkan materi agama sehingga tidak selalu terpaku pada pencapaian target dari rentetan materi yang ada, tetapi lebih terfokus pada tercapainya tujuan dari setiap sub bahasan yang disampaikan.
a. Landasan Historis
Ketika Pemerintah Sjahrir menyetujui pendirian Kementrian Agama (sekarang Departemen Agama) pada 3 Januari 1946, elit Muslim menempatkan agenda pendidikan menjadi salah satu agenda utama Kementrian Agama selain urusan haji, peradilan, dan penerangan. Sebagai reaksi terhadap kenyataan lembaga pendidikan yang tidak memuaskan harapan mereka, elit Muslim tersebut dalam alam proklamasi memusatkan perhatian kepada dua upaya utama yang satu sama lain saling berkaitan. Pertama ialah mengembangkan pendidikan agama (Islam) pada sekolah-sekolah umum yang sejak Proklamasi berada di bawah pembinaan Kementrian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan (Kementrian PPK). Upaya ini meliputi: (1) memperjuangkan status pendidikan agama di sekolah-sekolah umum dan pendidikan tinggi, (2) mengembangkan kurikulum agama, (3) menyiapkan guru-guru agama yang berkualitas, dan (4) menyiapkan buku-buku pelajaran agama. Kedua, upaya yang dilakukan oleh Kementrian Agama ialah peningkatan kualitas atau “modernisasi” lembaga-lembaga pendidikan yang selama ini telah memberi perhatian pada pendidikan/pengajaran agama Islam dan pengetahuan umum modern sekaligus. Strateginya ialah: (1) dengan cara memperbarui kurikulum yang ada dan memperkuat porsi kurikulum pengajaran umum modern sehingga tak terlalu ketinggalan dari sekolah-sekolah umum, (2) mengembangkan kualitas dan kuantitas guru-guru bidang umum, (3) menyediakan fasilitas belajar seperti buku-buku bidang studi umum, dan (4) mendirikan sekolah Kementrian Agama di berbagai daerah/wilayah sebagai percontohan atau model bagi lembaga pendidikan Islam setingkat.
Dari landasan sejarah di atas dapat kita pahami bahwa salah satu perjuangan elit Muslim Indonesia sejak awal kemerdekaan pada bidang pendidikan adalah memperkokoh posisi pendidikan agama Islam (PAI) di sekolah-sekolah umum sejak tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Dari perjuangan ini dapat kita pahami bahwa masuknya PAI pada kurikulum sekolah umum seluruh jenjang merupakan perjuangan gigih para tokoh elit Muslim sejak awal kemerdekaan hingga sekarang ini. Maka dari itu, keberadaan dan peningkatan mutunya tentunya merupakan kewajiban kita khususnya kalangan akademis di lingkungan PTAI maupun para praktisi pendidikan di lapangan.
b. Landasan Perundangan-undangan.
Landasan perundang-undangan sebagai landasan hukum positif keberadaan PAI pada kurikulum sekolah sangat kuat karena tercantum dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Bab V Pasal 12 ayat 1 point (a), bahwasannya setiap peserta didik dalam setiap satuan pendidikan berhak: (a) mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama.
Peningkatan iman dan taqwa serta akhlak mulia dalam UU No.20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Bab X Pasal 36 ayat 3 bahwasannya kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan: (a) peningkatan iman dan taqwa. Dan pasal 37 ayat 1, bahwasannya kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat: (a) pendidikan agama. Dengan merujuk beberapa pasal dalam UUSPN No. 20/2003, maka semakin jelaslah bahwa kedudukan PAI pada kurikulum sekolah dari semua jenjang dan jenis sekolah dalam perundang-undangan yang berlaku sangat kuat.
Dalam PP No 19 Thn 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pada Pasal 6 ayat 1 dijelaskan bahwa kurikulum untuk jenis pendidikan umum, kejuruan, dan khusus pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas: kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia; kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian; kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi; kelompok mata pelajaran estetika; kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga, dan kesehatan.
Selanjutnya pada pasal 7 ayat 1 dijelaskan bahwa kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia pada SD/MI/SDLB/Paket A, SMP/MTs/SMPLB/Paket B, SMA/MA/SMALB/Paket C, SMK/MAK, atau bentuk lain yang sederajat dilaksanakan melalui muatan dan/atau kegiatan agama, kewarganegaraan, kepribadian, ilmu pengetahuan dan teknologi, estetika, jasmani, olah raga, dan kesehatan.
Dari beberapa landasan perundang-undangan di atas sangat jelas bahwa pendidikan agama merupakan salah satu mata pelajaran yang wajib ada di semua jenjang dan jalur pendidikan. Dengan demikian, eksistensinya sangat strategis dalam usaha mencapai tujuan pendidikan nasional secara umum.
Sementara itu, bila dilihat dari proses pengembangan kurikulum, maka ketika KBK diterapkan di beberapa sekolah sejak tahun 2004 atau bahkan ada yang telah menetapkannya sejak tahun 2003, maka kurikulum itu masih dalam taraf uji coba (eksperimen) dan belum ditetapkan dalam bentuk peraturan pemerintah. Namun demikian, pemerintah tetap menghargai terhadap mereka yang telah melakukan eksperimen KBK tersebut, sehingga di dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2005 tentang Ujian Nasional tahun pelajaran 2005/2006 pada pasal 8 dinyatakan bahwa “Bahan ujian nasional disusun berdasarkan kurikulum 1994 atau standar kompetensi lulusan “Kurikulum 2004”. Dengan kata lain satuan pendidikan dapat memilih di antara kedua kurikulum tersebut. Bagi sekolah atau madrasah yang menetapkan kurikulum 2004, bahan ujian disesuaikan dengan kurikulum 2004.
Uraian di atas menggarisbawahi bahwa pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) antara lain menggunakan pendekatatan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang memiliki ciri-ciri antara lain:
a. Menitik beratkan pencapaian target (attainment targets) kompetensi dari pada penguasaan materi.
b. Lebih mengakomodasikan keragaman kebutuhan dan sumber daya pendidikan yang tersedia.
c. Memberikan kebebasan yang luas kepada pelaksana pendidikan di lapangan untuk mengembangkan dan melaksanakan program pendidikan sesuai dengan kebutuhan.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat ditarik benang merah bahwa esensi pengembangan KTSP adalah “mengembangkan pendidikan yang demokratis dan non-monopolistik”. Karena itulah kurikulum yang dikembangkan di pusat cukup sebagai rambu-rambu umum tentang standar isi dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) yang harus dicapai. Di pusat tidak perlu sampai mengatur urutan perbulan/minggu dan seterusnya, yang diberlakukan untuk sekolah/madrasah di daerah, apalagi sampai memaksakan suatu metode dan teori mengajar tertentu.
Terkait dengan hal di atas, pendidikan agama yang hanya 2 (dua) Jam Pelajaran perminggu, dapat disiasati oleh para guru agama dalam mencapai tujuan pembelajaran. Guru agama memiliki keleluasaan dalam mengembangkan materi agama sehingga tidak selalu terpaku pada pencapaian target dari rentetan materi yang ada, tetapi lebih terfokus pada tercapainya tujuan dari setiap sub bahasan yang disampaikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar