STIT AT-TAQWA CIPARAY BANDUNG

Jumat, 23 Desember 2011

Ruang Lingkup, Tujuan, dan Fungsi PAI di Sekolah

Dalam Pedoman Pengembangan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar dijelaskan bahwa mata pelajaran Pendidikan Agama Islam di sekolah memuat materi al-Quran dan Hadits, Aqidah/Tauhid, Akhlak, Fiqih, dan Sejarah Kebudayaan Islam (SKI). Ruang lingkup tersebut menggambarkan materi pendidikan agama yang mencakup perwujudan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan hubungan manusia dengan Allah SWT, diri sendiri, sesama manusia, makhluk lainnya, maupun lingkungannya (hablum minallah, hablum minannas wahablum minal ’alam).
Pendidikan agama di sekolah bertujuan menumbuhkan dan meningkatkan keimanan melalui pemberian dan pemupukan pengetahuan, penghayatan, pengamalan, serta pengalaman peserta didik tentang agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang terus berkembang dalam hal keimanan, ketaqwaannya terhadap Allah SWT serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dan dapat melanjutkan pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi.
Pendidikan agama dimaksudkan untuk peningkatan potensi spiritual dan membetuk peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia. Akhlak mulia mencakup etika, budi pekerti, dan moral sebagai perwujudan dari pendidikan agama. Peningkatan potensi spiritual mencakup pengamalan, pemahaman, dan penanaman nilai-nilai keagamaan, serta pengamalan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan individual ataupun kolektif kemasyarakatan. Peningkatan potensi spiritual tersebut pada akhirnya bertujuan pada optimalisasi berbagai potensi yang dimiliki manusia yang aktualisasinya mencerminkan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan.
Dengan demikian, Pendidikan Agama Islam diharapkan menghasilkan manusia yang selalu berupaya menyempurnakan iman, takwa, dan akhlak, serta aktif membangun peradaban dan keharmonisan kehidupan, khususnya dalam memajukan peradaban bangsa yang bermartabat. Manusia seperti itu diharapkan tangguh dalam menghadapi tantangan, hambatan, dan perubahan yang muncul dalam pergaulan masyarakat baik dalam lingkup lokal, nasional, regional maupun global.
Adapun tujuan Pendidikan Agama Islam di Sekolah Menengah Tingkat Atas adalah sebagai berikut:
a. Menumbuhkembangkan akidah melalui pemberian, pemupukan, dan pengembangan pengetahuan, penghayatan, pengamalan, pembiasaan, serta pengalaman peserta didik tentang Agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang terus berkembang keimanan dan ketakwaannya kepada Allah SWT.
b. Mewujudkan manusia Indonesia yang taat beragama dan berakhlak mulia yaitu manusia yang berpengetahuan, rajin beribadah, cerdas, produktif, jujur, adil, etis, berdisiplin, bertoleransi (tasamuh), menjaga keharmonisan secara personal dan sosial serta mengembangkan budaya agama dalam komunitas sekolah.
Sedangkan pendidikan agama yang diselenggarakan di sekolah umum berfungsi untuk:
a. Pengembangan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT serta akhlak mulia peserta didik secara optimal, yang telah ditanamkan lebih dahulu dalam lingkungan keluarga.
b. Penanaman nilai ajaran Islam sebagai pedoman dalam meniti kehidupan untuk mencapai kebahagiaan hidup baik di dunia ini maupun di akherat kelak.
c. Penyesuaian mental peserta didik terhadap lingkungan fisik dan sosial melalui penanaman nilai-nilai pendidikan agama Islam yang berkaitan dengan hubungan sosial kemasyarakatan.
d. Perbaikan kesalahpahaman, kesalahan dan kelemahan peserta didik dalam keyakinan, pemahaman dan pengamalan agama Islam dalam kehidupan sehari-hari.
e. Pencegahan peserta didik dari hal-hal negatif baik yang berasal dari pengaruh budaya asing maupun kehidupan sosial kemasyarakatan yang dihadapinya dalam kehidupan sehari-hari.
f. Pengajaran tentang pengetahuan ilmu keagamaan secara umum, sistem dan fungsionalnya dalam kehidupan sehingga terbentuk peribadi muslim yang sempurna.
g. Penyiapan dan penyaluran peserta didik untuk mendalami pendidikan agama ke lembaga pendidikan yang lebih tinggi.
Untuk mengimplementasikan fungsi pendidikan agama tersebut, maka pendidikan agama tidak bisa berdiri sendiri dan terpisah dengan mata pelajaran lainnya, sebaliknya pendidikan Islam justru harus menjadi ruh dan spirit bagi mata pelajaran lain.
Dilihat dari posisi dan hubungannya dengan mata pelajaran lain, terdapat tiga model yang digunakan dalam mengembangkan pendidikan Agama Islam, yaitu :
a. Model Dikotomis
Dalam paradigma ini, aspek kehidupan dipandang dengan sangat sederhana, dan kata kuncinya adalah dikoto¬mi atau diskrit, sehingga dikenal ada istilah pendidikan agama dan pendidikan umum. Karena itu, pengembangan pendidikan agama Islam hanya berki¬sar pada aspek kehidupan ukhrowi yang terpisah dengan kehidupan duniawi, atau aspek kehidupan rohani yang terpisah dengan kehidupan jasmani. Pendidikan (agama) Islam hanya mengurusi persoalan ritual dan spiritual, sementara kehidupan ekonomi, politik, seni-budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni dan sebagainya dianggap sebagai urusan duniawi yang menjadi bidang garap pendidikan non agama.
b. Model Mekanis
Paradigma mekanis memandang kehidupan terdiri atas berbagai aspek, dan pendidikan dipandang sebagai penana¬man dan pengembangan seperangkat nilai kehidupan, yang masing-masing bergerak dan berjalan menurut fungsinya, bagaikan sebuah mesin yang terdiri atas beberapa komponen atau elemen-elemen, yang masing-masing menjalankan fung¬sinya sendiri-sendiri, dan antara satu dengan lainnya bisa saling berkonsultasi atau tidak.
Aspek-aspek atau nilai-nilai kehidupan itu sendiri terdiri atas: nilai agama, nilai individu, nilai sosial, nilai politik, nilai ekonomi, nilai rasional, nilai estetik, nilai biofisik, dan lain-lain. Dengan demikian aspek atau nilai agama merupakan salah satu aspek atau nilai kehidupan dari aspek-aspek atau nilai-nilai kehidu-pan lainnya. Hubungan antara nilai agama dengan nilai-nilai lainnya dapat bersifat horizontal-lateral (inde¬pendent) atau lateral-sekuensial.
c. Model Organis
Pandangan semacam itu menggarisbawahi pentingnya kerangka pemikiran yang dibangun dari fundamental doctrines dan funda¬mental values yang tertuang dan terkandung dalam al-Qur’an dan al-Sunnah sebagai sumber pokok. Ajaran dan nilai-nilai Ilahi/agama/wahyu didudukkan sebagai sumber konsultasi yang bijak, sementara aspek-aspek kehidupan lainnya didudukkan sebagai nilai-nilai insani yang mem¬punyai hubungan vertikal-linier dengan nilai Ilahi/agama.
Melalui upaya semacam itu, maka sistem pendidikan diharapkan dapat mengintegrasikan nilai-nilai ilmu pengetahuan, nilai-nilai agama dan etik, serta mampu melahirkan manusia-manusia yang menguasai dan menerapkan ilmu pengeta¬huan, teknologi dan seni, memiliki kematangan profesional, dan sekaligus hidup di dalam nilai-nilai agama.
Setidaknya, apa yang dikhawatirkan oleh Tilaar cukup menjadi dasar pilihan paradigma tersebut. Menurutnya, apabila ilmu-ilmu agama diposisikan secara terpisah (formisme) atau dalam posisi sejajar (mekanisme), maka akan sangat membahayakan eksistensi kehidupan manusia. Misalnya kasus kloning yang mulai dikembangkan pada manusia sebagai bentuk kemajuan dari bioteknologi adalah wujud kongrit ketika agama dan ilmu pengetahuan diposisikan dalam hubungan yang terpisah dan independent (horizontal-lateral).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar