C. Bentuk-bentuk Waris
- Hak waris secara fardh (yang telah ditentukan bagiannya).
- Hak waris secara 'ashabah (kedekatan kekerabatan dari pihak ayah).
- Hak waris secara tambahan.
- Hak waris secara pertalian rahim.
Pada bagian berikutnya butir-butir tersebut akan saya          jelas secara detail.
D. Sebab-sebab Adanya Hak Waris
Ada tiga sebab yang menjadikan seseorang mendapatkan hak          waris:
- Kerabat hakiki (yang ada ikatan nasab), seperti kedua orang tua, anak, saudara, paman, dan seterusnya.
- Pernikahan, yaitu terjadinya akad nikah secara legal (syar'i) antara seorang laki-laki dan perempuan, sekalipun belum atau tidak terjadi hubungan intim (bersanggama) antar keduanya. Adapun pernikahan yang batil atau rusak, tidak bisa menjadi sebab untuk mendapatkan hak waris.
- Al-Wala, yaitu kekerabatan karena sebab hukum. Disebut juga wala al-'itqi dan wala an-ni'mah. Yang menjadi penyebab adalah kenikmatan pembebasan budak yang dilakukan seseorang. Maka dalam hal ini orang yang membebaskannya mendapat kenikmatan berupa kekerabatan (ikatan) yang dinamakan wala al-'itqi. Orang yang membebaskan budak berarti telah mengembalikan kebebasan dan jati diri seseorang sebagai manusia. Karena itu Allah SWT menganugerahkan kepadanya hak mewarisi terhadap budak yang dibebaskan, bila budak itu tidak memiliki ahli waris yang hakiki, baik adanya kekerabatan (nasab) ataupun karena adanya tali pernikahan.
E. Rukun Waris
Rukun waris ada tiga:
- Pewaris, yakni orang yang meninggal dunia, dan ahli warisnya berhak untuk mewarisi harta peninggalannya.
- Ahli waris, yaitu mereka yang berhak untuk menguasai atau menerima harta peninggalan pewaris dikarenakan adanya ikatan kekerabatan (nasab) atau ikatan pernikahan, atau lainnya.
- Harta warisan, yaitu segala jenis benda atau kepemilikan yang ditinggalkan pewaris, baik berupa uang, tanah, dan sebagainya.
 F. Syarat Waris
Syarat-syarat waris juga ada tiga:
- Meninggalnya seseorang (pewaris) baik secara hakiki maupun secara hukum (misalnya dianggap telah meninggal).
- Adanya ahli waris yang hidup secara hakiki pada waktu pewaris meninggal dunia.
- Seluruh ahli waris diketahui secara pasti, termasuk jumlah bagian masing-masing.
Syarat Pertama: Meninggalnya pewaris
Yang dimaksud dengan meninggalnya pewaris --baik secara          hakiki ataupun secara hukum-- -ialah bahwa seseorang telah          meninggal dan diketahui oleh seluruh ahli warisnya atau          sebagian dari mereka, atau vonis yang ditetapkan hakim          terhadap seseorang yang tidak diketahui lagi keberadaannya.          Sebagai contoh, orang yang hilang yang keadaannya tidak          diketahui lagi secara pasti, sehingga hakim memvonisnya          sebagai orang yang telah meninggal.
Hal ini harus diketahui secara pasti, karena bagaimanapun          keadaannya, manusia yang masih hidup tetap dianggap mampu          untuk mengendalikan seluruh harta miliknya. Hak          kepemilikannya tidak dapat diganggu gugat oleh siapa pun,          kecuali setelah ia meninggal.
Syarat Kedua: Masih hidupnya para ahli waris
Maksudnya, pemindahan hak kepemilikan dari pewaris harus          kepada ahli waris yang secara syariat benar-benar masih          hidup, sebab orang yang sudah mati tidak memiliki hak untuk          mewarisi.
Sebagai contoh, jika dua orang atau lebih dari golongan          yang berhak saling mewarisi meninggal dalam satu peristiwa          --atau dalam keadaan yang berlainan tetapi tidak diketahui          mana yang lebih dahulu meninggal-- maka di antara mereka          tidak dapat saling mewarisi harta yang mereka miliki ketika          masih hidup. Hal seperti ini oleh kalangan fuqaha          digambarkan seperti orang yang sama-sama meninggal dalam          suatu kecelakaan kendaraan, tertimpa puing, atau tenggelam.          Para fuqaha menyatakan, mereka adalah golongan orang yang          tidak dapat saling mewarisi.
Syarat Ketiga: Diketahuinya posisi para ahli waris          
                    Dalam hal ini posisi para ahli waris hendaklah diketahui          secara pasti, misalnya suami, istri, kerabat, dan          sebagainya, sehingga pembagi mengetahui dengan pasti jumlah          bagian yang harus diberikan kepada masing-masing ahli waris.          Sebab, dalam hukum waris perbedaan jauh-dekatnya kekerabatan          akan membedakan jumlah yang diterima. Misalnya, kita tidak          cukup hanya mengatakan bahwa seseorang adalah saudara sang          pewaris. Akan tetapi harus dinyatakan apakah ia sebagai          saudara kandung, saudara seayah, atau saudara seibu. Mereka          masing-masing mempunyai hukum bagian, ada yang berhak          menerima warisan karena sebagai ahlul furudh, ada yang          karena 'ashabah, ada yang terhalang hingga tidak mendapatkan          warisan (mahjub), serta ada yang tidak terhalang. 
G. Penggugur Hak Waris
Penggugur hak waris seseorang maksudnya kondisi yang          menyebabkan hak waris seseorang menjadi gugur, dalam hal ini          ada tiga:
1. Budak
Seseorang yang berstatus sebagai budak tidak mempunyai          hak untuk mewarisi sekalipun dari saudaranya. Sebab segala          sesuatu yang dimiliki budak, secara langsung menjadi milik          tuannya. Baik budak itu sebagai qinnun (budak murni),          mudabbar (budak yang telah dinyatakan merdeka jika tuannya          meninggal), atau mukatab (budak yang telah menjalankan          perjanjian pembebasan dengan tuannya, dengan persyaratan          yang disepakati kedua belah pihak). Alhasil, semua jenis          budak merupakan penggugur hak untuk mewarisi dan hak untuk          diwarisi disebabkan mereka tidak mempunyai hak milik.
2. Pembunuhan
Apabila seorang ahli waris membunuh pewaris (misalnya          seorang anak membunuh ayahnya), maka ia tidak berhak          mendapatkan warisan. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah          saw.:
"Tidaklah seorang pembunuh berhak mewarisi harta orang yang dibunuhnya. "
Dari pemahaman hadits Nabi tersebut lahirlah ungkapan          yang sangat masyhur di kalangan fuqaha yang sekaligus          dijadikan sebagai kaidah: "Siapa yang menyegerakan agar          mendapatkan sesuatu sebelum waktunya, maka dia tidak          mendapatkan bagiannya."
Ada perbedaan di kalangan fuqaha tentang penentuan jenis          pembunuhan. Misalnya, mazhab Hanafi menentukan bahwa          pembunuhan yang dapat menggugurkan hak waris adalah semua          jenis pembunuhan yang wajib membayar kafarat.
Sedangkan mazhab Maliki berpendapat, hanya pembunuhan          yang disengaja atau yang direncanakan yang dapat          menggugurkan hak waris. Mazhab Hambali berpendapat bahwa          pembunuhan yang dinyatakan sebagai penggugur hak waris          adalah setiap jenis pembunuhan yang mengharuskan pelakunya          diqishash, membayar diyat, atau membayar kafarat. Selain itu          tidak tergolong sebagai penggugur hak waris.
Sedangkan menurut mazhab Syafi'i, pembunuhan dengan          segala cara dan macamnya tetap menjadi penggugur hak waris,          sekalipun hanya memberikan kesaksian palsu dalam pelaksanaan          hukuman rajam, atau bahkan hanya membenarkan kesaksian para          saksi lain dalam pelaksanaan qishash atau hukuman mati pada          umumnya. Menurut saya, pendapat mazhab Hambali yang paling          adil. Wallahu a'lam.
3. Perbedaan Agama
Seorang muslim tidak dapat mewarisi ataupun diwarisi oleh          orang non muslim, apa pun agamanya. Hal ini telah ditegaskan          Rasulullah saw. dalam sabdanya:
"Tidaklah berhak seorang muslim mewarisi orang kafir, dan tidak pula orang kafir mewarisi muslim." (Bukhari dan Muslim)
Jumhur ulama berpendapat demikian, termasuk keempat imam          mujtahid. Hal ini berbeda dengan pendapat sebagian ulama          yang mengaku bersandar pada pendapat Mu'adz bin Jabal r.a.          yang mengatakan bahwa seorang muslim boleh mewarisi orang          kafir, tetapi tidak boleh mewariskan kepada orang kafir.          Alasan mereka adalah bahwa Islam ya'lu walaayu'la 'alaihi          (unggul, tidak ada yang mengunggulinya).
Sebagian ulama ada yang menambahkan satu hal lagi sebagai          penggugur hak mewarisi, yakni murtad. Orang yang telah          keluar dari Islam dinyatakan sebagai orang murtad. Dalam hal          ini ulama membuat kesepakatan bahwa murtad termasuk dalam          kategori perbedaan agama, karenanya orang murtad tidak dapat          mewarisi orang Islam.
Sementara itu, di kalangan ulama terjadi perbedaan          pandangan mengenai kerabat orang yang murtad, apakah dapat          mewarisinya ataukah tidak. Maksudnya, bolehkah seorang          muslim mewarisi harta kerabatnya yang telah murtad?
Menurut mazhab Maliki, Syafi'i, dan Hambali (jumhur          ulama) bahwa seorang muslim tidak berhak mewarisi harta          kerabatnya yang telah murtad. Sebab, menurut mereka, orang          yang murtad berarti telah keluar dari ajaran Islam sehingga          secara otomatis orang tersebut telah menjadi kafir. Karena          itu, seperti ditegaskan Rasulullah saw. dalam haditsnya,          bahwa antara muslim dan kafir tidaklah dapat saling          mewarisi.
Sedangkan menurut mazhab Hanafi, seorang muslim dapat          saja mewarisi harta kerabatnya yang murtad. Bahkan kalangan          ulama mazhab Hanafi sepakat mengatakan: "Seluruh harta          peninggalan orang murtad diwariskan kepada kerabatnya yang          muslim." Pendapat ini diriwayatkan dari Abu Bakar          ash-Shiddiq, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas'ud, dan lainnya.          
Menurut penulis, pendapat ulama mazhab Hanafi lebih rajih          (kuat dan tepat) dibanding yang lainnya, karena harta          warisan yang tidak memiliki ahli waris itu harus diserahkan          kepada baitulmal. Padahal pada masa sekarang tidak kita          temui baitulmal yang dikelola secara rapi, baik yang          bertaraf nasional ataupun internasional.
Perbedaan antara al-mahrum dan al-mahjub
Ada perbedaan yang sangat halus antara pengertian          al-mahrum dan al-mahjub, yang terkadang membingungkan          sebagian orang yang sedang mempelajari faraid. Karena itu,          ada baiknya saya jelaskan perbedaan makna antara kedua          istilah tersebut.
Seseorang yang tergolong ke dalam salah satu sebab dari          ketiga hal yang dapat menggugurkan hak warisnya, seperti          membunuh atau berbeda agama, di kalangan fuqaha dikenal          dengan istilah mahrum. Sedangkan mahjub adalah hilangnya hak          waris seorang ahli waris disebabkan adanya ahli waris yang          lebih dekat kekerabatannya atau lebih kuat kedudukannya.          Sebagai contoh, adanya kakek bersamaan dengan adanya ayah,          atau saudara seayah dengan adanya saudara kandung. Jika          terjadi hal demikian, maka kakek tidak mendapatkan bagian          warisannya dikarenakan adanya ahli waris yang lebih dekat          kekerabatannya dengan pewaris, yaitu ayah. Begitu juga          halnya dengan saudara seayah, ia tidak memperoleh bagian          disebabkan adanya saudara kandung pewaris. Maka kakek dan          saudara seayah dalam hal ini disebut dengan istilah mahjub.          
Untuk lebih memperjelas gambaran tersebut, saya sertakan          contoh kasus dari keduanya.
Seorang suami meninggal dunia dan meninggalkan seorang          istri, saudara kandung, dan anak --dalam hal ini, anak kita          misalkan sebagai pembunuh. Maka pembagiannya sebagai          berikut: istri mendapat bagian seperempat harta yang ada,          karena pewaris dianggap tidak memiliki anak. Kemudian          sisanya, yaitu tiga per empat harta yang ada, menjadi hak          saudara kandung sebagai 'ashabah
Dalam hal ini anak tidak mendapatkan bagian disebabkan ia          sebagai ahli waris yang mahrum. Kalau saja anak itu tidak          membunuh pewaris, maka bagian istri seperdelapan, sedangkan          saudara kandung tidak mendapatkan bagian disebabkan sebagai          ahli waris yang mahjub dengan adanya anak pewaris. Jadi,          sisa harta yang ada, yaitu 7/8, menjadi hak sang anak          sebagai 'ashabah.
Seseorang meninggal dunia dan meninggalkan ayah, ibu,          serta saudara kandung. Maka saudara kandung tidak          mendapatkan warisan dikarenakan ter- mahjub oleh adanya ahli          waris yang lebih dekat dan kuat dibandingkan mereka, yaitu          ayah pewaris.       

 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar