STIT AT-TAQWA CIPARAY BANDUNG

Minggu, 30 September 2012

Kedudukan Dan Fungsi Al-Qur’an Dalam Kehidupan Beragama

I.   PENDAHULUAN.
Belakangan ini, agama adalah sebuahnama yang terkesan membuat gentar, menakutkan, dan mencemaskan. Agama di tangan para pemeluknya sering tampil dengan wajah kekerasan. Dalam beberapa tahun terakhir banyak muncul konflik, intoleransi, dan kekerasan atas nama agama. Pandangan dunia keagamaan yang cenderung anakronostik memang sangat berpotensi untuk memecah belah dan saling klaim kebenaran sehingga menimbulkan berbagai macam konflik. Fenomena yang juga terjadi saat ini adalah muncul dan berkembangnya tingkat kekerasan yang membawa-bawa ama agama (mengatasnamakan agama) sehingga realitas kehidupan beragama yang muncul adalah saling curiga mencurigai, saling tidak percaya, dan hidup dalam ketidak harmonisan.
Al-Qur’an memiliki pandangan sendiri dalam menyikapi kehidupan umat beragama tersebut.Terhadap Ahli Kitab (meliputi Yahudi, Nashrani, Majusi, dan Shabi’ah), umat Islam diperintahkan untuk mencari titik temu (kalimat sawa`). Kalau terjadi perselisihan antara umat Islam dan umat agama lain, umat Islam dianjurkan untuk berdialog (wa jâdilhum billatî hiya ahsan). Terhadap siapa saja yang beriman kepada Allah, meyakini Hari Akhir, dan melakukan amal kebajikan, al-Qur`an menegaskan bahwa mereka, baik beragama Islam maupun bukan, kelak di akhirat akan diberi pahala. Tak ada keraguan bahwa orang-orang seperti ini akan mendapatlan kebahagiaan ukhrawi. Ini karena, sebagaimana dikemukakan Muhammad Rasyid Ridla, keberuntungan di akhirat tak terkait dengan jenis agama yang dianut seseorang.
Sekarang ini umat beragama dihadapkan pada tantangan munculnya benturan-benturan atau konflik di antara mereka. Yang paling aktual adalah konflik antar umat beragama di Poso. Potensi pecahnya konflik sangatlah besar, sebesar pemilahan-pemilahan umat manusia ke dalam batas-batas objektif dan subjektif peradaban. Maka disini perlunya kajian secara mendetail terkait masalah kehidupan agama terutama kajian mengenai sumber pokok ajaran agama islam yaitu al-Qur’an menyikapi tentang kehidupan beragama.
Maka disini kami akan mencoba mengurai sedikit tentang kedudukan dan fungsi al-Qur’an dalam kehidupan beragama, semoga dapat menambah wawasan kita dalam hidup di tengah-tengah masyarakat.

II.   POKOK MASALAH.
1)      Bagaimana Perspektif tentang kehidupan beragama ?
2)      Konsep kehidupan beragama ?
3)      Bagaimana kedudukan dan fungsi al-Qur’an dalam hal kehidupan beragama ?
III.   PEMBAHASAN
A.    Perspektif tentang kehidupan beragama.
Di dalam kehidupan kita harus mengarah kepada sikap terbuka dan mau mengakui adanya berbagai macam perbedaan, baik dari sisi suku bangsa, warna kulit, bahasa, adapt-istiadat, budaya, bahasa, serta agama. Ini semua merupakan fitrah dan sunnatullah yang sudah menjadi ketetapan Tuhan. Landasan dasar pemikiran ini adalah firman Allah dalam QS. Al-Hujurat ayat 13:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوباً وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوباً وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ (13)

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu.  Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (QS. Al-Hujurat ayat 13) .
Seluruh manusia tidak akan bisa menolak sunnatullah ini. Dengan demikian, bagi manusia, sudah selayaknya untuk mengikuti petunjuk Tuhan dalam menghadapi perbedaan-perbedaan itu. Dalam kehidupan beragama yang berbeda termasuk ke dalam salah satu risalah penting yang ada dalam system teologi Islam. Karena Tuhan senantiasa mengingatkan kita akan keragaman manusia, baik dilihat dari sisi agama, suku, warna kulit, adapt-istiadat, dsb.
Dalam kehidupan beragama bukan berarti kita hari ini boleh bebas menganut agama tertentu dan esok hari kita menganut agama yang lain atau dengan bebasnya mengikuti ibadah dan ritualitas semua agama tanpa adanya peraturan yang mengikat. Akan tetapi, toleransi beragama harus dipahami sebagai bentuk pengakuan kita akan adanya agama-agama lain selain agama kita dengan segala bentuk system, dan tata cara peribadatannya dan memberikan kebebasan untuk menjalankan keyakinan agama masing-masing.
Pada dasarnya, manusia itu sejak lahir memiliki naluri beragama. Menurut Greidanus Wiermersma naluri agama ditempatkan dalam rangkaian naluri-naluri seperti naluri atau nafsu polemos, egocentros, dan eros. Dan didalam tasawwuf islam, naluri-naluri agama tersebut dinamakan naluri atau nafsu amarah, lawwamah,sufiah yang merupakan naluri pokok manusia, yang disebut nafsu muthmainah. Menurut Islam, manusia itu diciptakan untuk beragama, sebagaimana yang ditegaskan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an surah Ar-Ruum ayat 30.

فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفاً فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ (30)


Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui,(Q.S. ar-Ruum :30)[1]
Agama islam memiliki prinsip kebebasan memilih agama dengan menjaga perdamaian diantara semua pemeluk agama dengan menjaga perdamaian di antara semua pemeluk agama yang berbeda satu dengan yang lain. Mereka juga memiliki kebebasan bertukar pikiran dalam masalah agama yang berkenaan dengan kehidupan dan urusan-urusan sosial. Pada zaman khalifah Bani Abbas, tokoh-tokoh Islam sering mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh agama lain, untuk bertukar pikiran tentang masalah akidah dan saling menghormati atas agama yang dianut masing-masing. Yang harus dijaga disini adalah jangan sampai terjadi pemaksaan untuk menganut suatu agama. Adapun dalam bertukar pikiran perlu didukung dengan adanya bukti kebenaran itu.
Allah Swt berfirman dalam surah al- Baqarah ayat 111.
قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ إِنْ كُنتُمْ صَادِقِينَ ….
Katakanlah: "Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar".
Selanjutnya Allah berfirman lagi dalam surah Al-An’aam Ayat 148
قل هل عندكم من علم فتخرجوه
Katakanlah: "Adakah kamu mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga dapat kamu mengemukakannya kepada Kami?"
Tukar pikiran antara penganut agama yang berbeda ini dilakukan dengan saling menghormati, juga saling mengemukakan dalil, akal. Dan logika yang benar. Jika ada persoalan yang dihadapi hendaklah tidak diselesaikan secara sepihak yang dapat menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan.[2]
 Islam secara tegas memberikan kebebasan sepenuhnya kepada manusia dalam masalah agama dan keberagamaan. Ia merujuk ayat al-Qur’an yang menyatakan bahwa “tak ada paksaan dalam agama.”[3] Ia juga merujuk ayat yang menunjukkan  bahwa Tuhan mempersilahkan siapa saja yang  mau beriman atau kufur terhadap-Nya.[4]  Menurutnya, Islam sama sekali tidak menafikan agama-agama yang ada. Islam mengakui eksistensi agama-agama tersebut dan tidak menolak nilai-nilai ajarannya. Kebebasan beragama dan respek terhadap agama dan kepercayaan orang lain adalah ajaran agama, disamping itu memang merupakan sesuatu yang penting bagi masyarakat majemuk. Dengan demikian, membela kebebasan beragama bagi siapa saja dan menghormati agama dan kepercayaan orang lain dianggap sebagai bagian dari kemusliman.  Ia merujuk ayat al-Qur’an yang menyatakan keharusan membela kebebasan beragama yang disimbolkan dengan sikap mempertahankan rumah-rumah ibadah seperti biara, gereja, sinagog, dan masjid.[5]
Hal yang sama juga dikemukan oleh Nurcholis Madjid. Ia mengemukakan ketidaksetujuannya dengan absolutisme, karena absolutisme adalah pangkal dari segala permusuhan. Ia mengatakan:
“Petunjuk konkret lain untuk memelihara ukhuwah adalah tidak dibenarkannya sama sekali suatu kelompok dari kalangan orang-orang beriman untuk memandang rendah atau kurang menghargai kelompok lainnya, sebab siapa tahu mereka yang dipandang rendah itu lebih baik daripada mereka yang memandang rendah. Ini mengajajarkan kita –dalam pergaulan dengan sesama manusia, khususnya sesama kalangan yang percaya kepada Tuhan—tidak melakukan absolutisme, suatu pangkal dari segala permusuhan.”[6]

Nurcholish menegaskan betapa pentingnya kehidupan beragama. Ia tidak menjelaskan secara tegas apakah yang dimaksud agama di sini adalah agama Islam saja. Artinya, agama yang dimaksud adalah agama secara umum. Namun, dengan bahasa yang dialektis, ia melakukan otokritik terhadap pemeluk agama. Ia mengakui bahwa dalam agama-agama, lebih tepatnya, dalam lingkungan para penganut agama-agama, selalu ada potensi kenegatifan dan perusakan yang amat berbahaya.[7]
Nurcholish melihat bahwa peta tahun 1992 sedang ditandai oleh konflik-konflik dengan warna keagamaan. Diakui, agama memang bukan satu-satunya faktor, tapi jelas sekali bahwa pertimbangan keagamaan dalam konflik-konflik itu dan dalam eskalasinya sangat banyak memainkan peran. Setiap warna keagamaan dalam suatu konflik seringkali melibatkan agama formal atau agama terorganisir (organized religion). Ia menyebut tempat-tempat konflik; Irlandia, sekitar Perancis dan Jerman, Bosnia-Herzegovina, Cyprus, Palestina, Timur Dekat, Afrika Hitam, Sudan, Perang Teluk, Pakistan, Srilangka, Burma, Thailang, dan Filipina.[8]
Merujuk pada Kitab Suci al-Qur’an, Nurcholish menegaskan bahwa setiap umat atau golongan manusia telah pernah dibangkitkan atau diutus seorang utusan Tuhan, dengan tugas menyeru umatnya untuk menyembah kepada Tuhan saja (dalam pengertian paham Ketuhanan Yang Maha Esa yang murni). Ia mengutip Surat al-Nahl (16): 36.  Berdasarkan firman-firman Allah itu dikatakan bahwa:
“... semua agama Nabi dan  Rasul  yang telah dibangkitkan dalam setiap umat adalah sama, dan inti dari ajaran semua Nabi dan Rasul itu ialah Ketuhanan Yang Maha Esa dan perlawanan terhadap kekuatan-kekuatan tiranik. Dengan perkataan lain, Ketuhanan Yang Maha Esa dan perlawanan terhadap tirani adalah titik pertemuan, common platform atau, dalam bahasa al-Qur’an, kalimatun-sawâ’ (kalimat atau ajaran yang sama) antara semua kitab suci.”[9]
Menurut Nurcholish, kesamaan-kesamaan yang ada dalam agama-agama bukanlah sesuatu yang mengejutkan. Ia berargumentasi, semua yang benar berasal dari sumber yang sama, yaitu Allah, Yang Maha Benar (al-Haqq). Semua Nabi dan Rasul membawa ajaran kebenaran yang sama. Sementara itu, adanya perbedaan itu hanyalah dalam bentuk-bentuk responsi khusus tugas seorang Rasul kepada tuntutan zaman dan tempatnya. Ditegaskan bahwa perbedaan itu tidaklah prinsipil, sedangkan ajaran pokok atau syariat para Nabi dan Rasul adalah sama. Dalam rangka menjelaskan hal ini, ia mengutip al-Qur’an, yakni dalam Surat Al-Syûrâ (42):13,  al-Nisâ’ (4):163-165, al-Baqarah (2):136, al-Ankabût (29):46, Al-Syûrâ (42):15, dan al-Mâidah (5):8. Ayat-ayat yang dikutip itu berkenaan dengan kesamaan antara syariat Muhammad dengan syariat Nuh, Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub, Ayyub, Yunus, Harun, Musa, Sulaiman, Dawud, Isa dan kepada rasul-rasul yang tidak dikisahkan kepada Muhammad.[10] Ayat-ayat itu  menunjukkan adanya kesinambungan, kesatuan dan persamaan agama-agama para Nabi dan Rasul Allah. Nurcholish mengritik masyarakat sekarang ini, baik Muslim maupun yang bukan, karena banyak yang tidak menyadari adanya pandangan itu.
Menjelasakan tentang titik temu agama-agama,  ada empat prinsip yang dikemukakan oleh Nurcholish. Pertama, Islam mengajarkan bahwa agama Tuhan adalah universal, karena Tuhan telah mengutus Rasul-Nya kepada setiap umat manusia. Kedua, Islam mengajarkan pandangan tentang kesatuan nubuwwah (kenabian) dan umat yang percaya kepada Tuhan. Ketiga, agama yang dibawa Nabi Muhammad adalah kelanjutan langsung agama-agama sebelumnya, khususnya yang secara “genealogis”  paling dekat ialah agama-agama Semitik-Abrahamik. Keempat, umat Islam diperintahkan untuk menjaga hubungan yang baik dengan orang-orang beragama lain, khususnya para penganut kitab suci (Ahl al-Kitab).[11] Semua prinsip itu mengarah pada ajaran “tidak boleh ada paksaan dalam agama”.
Oleh karena itu, umat Islam tidak dilarang  untuk  berbuat baik dan adil kepada siapapun dari kalangan bukan Muslim yang tidak menunjukkan permusuhan, baik atas nama agama atau lainnya, seperti penjajahan, pengusiran dari tempat tinggal dan bentuk penindasan yang lain.
B.     Konsep Kehidupan Beragama.
Sekarang ini umat beragama dihadapkan pada tantangan munculnya benturan-benturan atau konflik di antara mereka. Yang paling aktual adalah konflik antar umat beragama di Poso. Potensi pecahnya konflik sangatlah besar, sebesar pemilahan-pemilahan umat manusia ke dalam batas-batas objektif dan subjektif peradaban. Menurut Samuel P. Huntington, unsur-unsur pembatas objektif adalah bahasa, sejarah, agama, adat istiadat, dan lembaga-lembaga. Unsur pembatas subjektifnya adalah identifikasi dari manusia. Perbedaan antar pembatas itu adalah nyata dan penting.[12] Secara tidak sadar, manusia terkelompok ke dalam identitas-identitas yang membedakan antara satu dengan lainnya.
Dari klasifikasi di atas, agama merupakan salah satu pembatas peradaban. Artinya, umat manusia terkelompok dalam agama Islam, Kristen, Katolik, Kong Hucu dan sebagainya. Potensi konflik antar mereka tidak bisa dihindari. Oleh karena itu, untuk mengantisipasi pecahnya konflik antar umat  beragama perlu dikembangkan upaya-upaya dialog untuk mengeliminir perbedaan-perbedaan pembatas di atas.
Mukti Ali menjelaskan bahwa ada beberapa pemikiran diajukan orang untuk mencapai kerukunan dalam kehidupan beragama. Pertama, sinkretisme, yaitu pendapat yang menyatakan bahwa semua agama adalah sama. Kedua, reconception, yaitu menyelami dan meninjau kembali agama sendiri dalam konfrontasi dengan agama-agama lain. Ketiga, sintesis, yaitu menciptakan suatu agama baru yang elemen-elemennya diambilkan dari pelbagai agama, supaya dengan demikian tiap-tiap pemeluk  agama merasa bahwa sebagian dari ajaran agamanya telah terambil dalam agama sintesis (campuran) itu. Keempat, penggantian, yaitu mengakui bahwa agamanya sendiri itulah yang benar, sedang agama-agama lain adalah salah; dan berusaha supaya orang-orang yang lain agama masuk dalam agamanya. Kelima, agree in disagreement (setuju dalam perbedaan), yaitu percaya bahwa agama yang dipeluk itulah agama yang paling baik, dan mempersilahkan orang lain untuk mempercayai bahwa agama yang dipeluknya adalah agama yang paling baik. Diyakini bahwa antara satu agama dan agama lainnya, selain terdapat perbedaan, juga terdapat persamaan.[13]
Di sinilah kemudian diperlukan suatu pendekatan dan metodologi yang proporsional baik secara intra-agama maupun antar agama untuk menghindari lahirnya truth claim yang mungkin justru akan memperuncing benturan. Tawaran-tawaran yang telah dikemukakan oleh para cendekiawan muslim Indonesia merupakan sumbangan pemikiran yang dapat menjadi moralitas yang bersifat universal atau menjadi global etik yang dapat dipakai oleh semua orang. Apa yang dikemukakan oleh Rasjidi dengan pluralisme agama secara sosiologis, toleransi agama dan hak asasi manusia, Natsir dengan konsep modus vivendi dan persaudaraan universal yang penuh dengan nuansa hak-hak asasi manusia dan kebebasan beragama, Mukti Ali dengan agree in disagreement, Djohan Effendi dengan dimensi moral dan etisnya, Abdurrahman Wahid dengan self-kritiknya dan pluralisme dalam bertindak dan berpikir, Nurcholish Madjid dengan samhah al-hanîfiyyah-nya, dan Alwi Shihab dengan sikap toleransi dan  sikap pluralisme serta perlunya memahami pesan Tuhan, merupakan upaya untuk mencari solusi bagaimana umat beragama bisa hidup damai dan harmonis. 
Dialog adalah upaya untuk menjembatani bagaimana benturan bisa dieliminir. Dialog memang bukan tanpa persoalan, misalnya berkenaan dengan standar apa yang harus digunakan untuk mencakup beragam peradaban yang ada di dunia. Menurut hemat penulis, perlu adanya standar yang bisa diterima semua pihak. Dengan kata lain, perlu ada standar universal untuk semua. Standar itu hendaknya bermuara pada moralitas internasional atau etika global, yaitu hak asasi manusia, kebebasan, demokrasi, keadilan dan perdamaian. Hal-hal ini bersifat universal dan melampaui kepentingan umat tertentu.[14]
Selanjutnya, suatu dialog akan dapat mencapai hasil yang diharapkan apabila, paling tidak, memenuhi hal-hal berikut ini. Pertama, adanya keterbukaan atau transparansi. Terbuka berarti mau  mendengarkan semua pihak secara proporsional,  adil dan setara. Dialog bukanlah tempat untuk memenangkan suatu urusan atau perkara, juga  bukan tempat untuk menyelundupkan berbagai “agenda yang tersembunyi” yang tidak diketahui dengan partner dialog.[15] 
Kedua adalah menyadari adanya perbedaan. Perbedaan adalah sesuatu yang wajar dan memang merupakan suatu realitas yang tidak dapat dihindari. Artinya, tidak ada yang berhak menghakimi atas suatu kebenaran atau tidak ada “truth claim” dari salah satu pihak. Masing-masing pihak diperlakukan secara sama dan setara dalam memperbincangkan tentang kebenaran agamanya.[16] 
C.     Kedudukan Dan Fungsi Al-Qur’an Dalam Hal Kehidupan Beragama
Kebutuhan untuk menggali dan merumuskan petunjuk (hidayah) Al-Qur'an untuk kehidupan umat Islam di seluruh lini kehidupan semakin dirasa mendesak. Apalagi akhir-akhir ini, di tengah kegamangan dalam memilih sikap dan pandangan hidup, justru kaum muslim menunjukkan animo yang luar biasa besar dalam masalah keagamaan yang menjadi panduan segala hal yang terkait urusan dunia dan akhirat.
Kiranya hubungan intra dan antar umat beragama dalam konteks sosial menjadi tema yang sangat aktual untuk dibicarakan. Apalagi di Indonesia, sebagai negara demokrasi ketiga terbesar di dunia dan dihuni oleh mayoritas muslim, tentu saja wacana dan pedoman yang dianut oleh mayoritas penduduk muslim dalam menerapkan praktek demokrasi akan menjadi mainstream fokus hubungan antara Islam dan demokrasi di satu sisi dan peran Islam dalam membimbing hubungan antar umat beragama di sisi lain.
Sikap kehidupan antar umat beragama biasa dimulai dari hidup bertetangga baik dengan tetangga yang seiman dengan kita atau tidak. Sikap toleransi itu direfleksikan dengan cara saling menghormati, saling memuliakan dan saling tolong-menolong. Hal ini telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. ketika suatu saat beliau dan para sahabat sedang berkumpul, lewatlah rombongan orang Yahudi yang mengantar jenazah. Nabi saw. langsung berdiri memberikan penghormatan. Seorang sahabat berkata: “Bukankah mereka orang Yahudi wahai rasul?” Nabi saw. menjawab “Ya, tapi mereka manusia juga”. Jadi sudah jelas, bahwa sisi akidah atau teologi bukanlah urusan manusia, melainkan Tuhan SWT dan tidak ada kompromi serta sikap toleran di dalamnya. Sedangkan kita bermu’amalah dari sisi kemanusiaan kita.
            Mengenai system keyakinan dan agama yang berbeda-beda, al-Qur’an menjelaskan pada ayat terakhir surat al-kafirun
Bahwa perinsip menganut agama tunggal merupakan suatu keniscayaan. Tidak mungkin manusia menganut beberapa agama dalam waktu yang sama; atau mengamalkan ajaran dari berbagai agama secara simultan. Oleh sebab itu, al-Qur’an menegaskan bahwa umat islam tetap berpegang teguh pada system ke-Esaan Allah secara mutlak; sedabgkan orang kafir pada ajaran ketuhanan yang ditetapkannya sendiri. Dalam ayat lain Allah juga menjelaskan tentang prinsip dimana setiap pemeluk agama mempunyai system dan ajaran masing-masing sehingga tidak perlu saling hujat menghujat.
            Al-Qur’an juga menganjurkan agar mencari titik temu dan titik singgung antar pemeluk agama. Al-Qur’an menganjurkan agar dalam interaksi social, bila tidak dotemukan persamaan, hendaknya masing-masing mengakui keberadaan pihak lain dan tidak perlu saling menyalahkan. Bahkan al-Qur’an mengajarkan kepada Nabi Muhammad saw. dan ummatnya untuk menyampaikan kepada penganut agama lain setelah kalimat sawa’ (titik temu) tidak dicapai (QS. Saba:24-26):

            Jalinan persaudaraan dan toleransi antara umat beragama sama sekali tidak dilarang oleh Islam, selama masih dalam tataran kemanusiaan dan kedua belah pihak saling menghormati hak-haknya masing-masing (QS. Al-Mumtahanah: 8):
 Masalah kehidupan beragama  di dunia adalah masalah prinsip bagi kehidupan manusia. Karena ia adalah kekuatan batin manusia yang mengandung potensi psikologis yang mempengaruhi jalan hidup manusia. Berbicara mengenai agama, maka sesungguhnya agama yang bersumber dari wahyu allah yang dapat dikatagorikan sebagai agama, sedangkan yang sumbernya bukan wahyu dikatagorikan sebagai budaya.
Bilamana agama telah berfungsi di dalam kehidupan masyarakat, maka sesuai struktur masyarakat modern yang serba ganda, sehingga diperlukan sikap toleran dan kooperatif dalam bidang kehidupan sosial budaya kerena apabila masing-masing kelompok masyarakat hanya memperhatikan kepentingannya sendiri lebih-lebih kalau yang kuat  berusaha mengekspolitasi yang lemah, maka pasti akan terjadi benturan-benturan fisik yang dapat merusak persatuan. Perbedaan ras dan agama bukanlah penghalang untuk mewujudkan persaudaraan, sebagaimana dikehendaki oleh piagam madinah di zaman Rasulullah SAW.[17]
Manusia adalah makhluk ciptaan tuhan berkewajiban mengabdi kepadaNya, untuk mencapai kebahagian hidup di dunia dan di akhirat, sejalan dengan peradaban manusia, maka kehidupan beragama mengalami juga perkembangan yang diwarnai dengan sering terjadinya persinggungan antara pemeluk agama yang beragam itu.
Al-Qur’an menegaskan bahwa manusia berhak memilih agama yang diyakini tanpa paksaan. Ini sesuai dengan firman Allah Swt dalam surah al-Baqarah ayat 256.

Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barang siapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.(Q.S. al-Baqarah ayat 256.)
Sesungguhnya Islam merupakan agama yang sangat menghormati kebebasan individu. Seseorang akan menjadi beriman atau tidak merupakan urusan Allah sebagai pemberi hidayah, karena itu Allah swt. Hanya memerintahkan untuk menyeru dengan memberikan dakwah tentang agama Nya yang hak, tanpa boleh memaksa dengan kekerasan, seperti ditegaskan dalam surah al- Kahfi ayat 29 :

Dan katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir".
Dengan demikian umat Islam tidak mengkhendaki ada pihak-pihak yang melanggar hak asasinya dengan cara apapun.sebaliknya umat Islam pun diajarkan untuk tidak mengganggu atau mengusik pemeluk agama lain.[18]
Kedudukan sederajat termasuk sederajat di muka hokum ialah persamaan yang dimiliki oleh manusia dihadapan hokum, tanpa ada perbedaaan diantara mereka baik karena perbedaan etnis, warna kulit, agama bangsa, keturunan, kelas, dan lainnya. Dalam surah an-Nisaa’ ayat 105 Allah berfirman:

Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat,(Q.S. an-Nisaa’ ayat 105)
dan ayat 107:

Dan janganlah kamu berdebat (untuk membela) orang-orang yang mengkhianati dirinya. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang selalu berkhianat lagi bergelimang dosa,(Q.S. an-Nisaa’ ayat 107)

Sebab turunya ayat ini dalam tafsir Al-maraghi ditulis Ahmad Mustafa Al-Maraghi juz 4-6p.147, dijelaskan bahwa ayat ini setelah salah seorang bani Dhafar mencuri baju besi pamannya, yang sebenarnya baju besi tersebut adalah titipan orang lain, kemudian tindak pidana pencurian ini dituduh seorang yang beragama yahudi yang bernama Zaid bin As Samin. Maka datanglah orang yahudi tersebut mengadukan halnya kepada Nabi saw. Dan setelah bani Dhafar mengetahui hal itu mereka pun datang kepada Nabi untuk memperkuat tuduhan tadi kepada orang Yahudi. Dan Nabi hampir saja memutuskan bahwa yang mencuri baju besi itu ialah orang Yahudi, sehingga turunlah ayat diatas.
Berkaitan dengan masalah ini, perhatikan juga surah Al-Mumtahanah ayat 8 yang berbunyi :

Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada  emerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.(Q.S. Al-Mumtahanah ayat 8)
Apa yang dikemukakan ini adalah pedoman yang wajib diikuti. Namun pedoman saja tidak cukup, oleh karena itu, perlu organisasi dan aparatnya untuk mengemban semua itu. Maka buatlah organisasi dan peraturan mekanismenya untuk dipedomani masyarakat dalam mengadu persoalannya.




IV.   KESIMPULAN
Bisa dikatakan, relasi sosial-politik umat Islam dengan umat agama lain sangat dinamis. Sikap Islam terhadap umat lain sangat tergantung pada penyikapan mereka terhadap umat Islam. Jika umat non-Islam memperlakukan umat Islam dengan baik, maka tak ada larangan bagi umat Islam berteman dan bersahabat dengan mereka. Sebaliknya, sekiranya mereka bersikap keras bahkan hingga mengusir umat Islam dari tempat kediamannya, maka umat Islam diijinkan membela diri dan melawan. Setelah kurang lebih 13 tahun lamanya Nabi dan umatnya bersabar menghadapi ketidakadilan dan penyiksaan di Mekah, maka baru pada tahun ke 15 ketika Nabi sudah berada di Madinah perlawanan dan pembelaan diri dilakukan. Dalam konteks itulah, ayat-ayat perang dan jihad militer diperintahkan.
Oleh karena itu, jelas bahwa pandangan al-Qur’an terhadap umat agama lain dalam soal ekonomi-politik bersifat kondisional dan situasional sehingga tak bisa diuniversalisasikan dan diberlakukan dalam semua keadaan. Ayat demikian bisa disebut sebagai ayat-ayat fushul (fushûl al-Qur’ân), ayat juz’iyyât, atau fiqh al-Qur’an. Ayat-ayat kontekstual seperti itu, dalam pandangan para mufasir, tak bisa membatalkan ayat-ayat yang memuat prinsip-prinsip umum ajaran Islam, seperti ayat yang menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan. Tambahan pula, ayat lâ ikrâha fî al-dîn adalah termasuk lafzh `âm (pernyataan umum) yang menurut ushul fikih Hanafi adalah tegas dan pasti (qath`i), sehingga tak bisa dihapuskan (takhshish, naskh) oleh ayat-ayat kontekstual apalagi hadits ahâd (seperti hadits yang memerintahkan membunuh orang pindah agama) yang dalâlahnya adalah zhanni (relatif). Ayat lâ ikrâha fî al-dîn bersifat universal, melintasi ruang dan waktu. Ayat yang berisi nilai-nilai umum ajaran disebut sebagai ayat ushûl (ushûl al-Qur’ân) atau ayat kulliyât.
Dalam masyarakat plural seperti Indonesia, saatnya umat Islam lebih memperhatikan ayat-ayat universal, setelah sekian lama memfokuskan diri pada ayat-ayat partikular. Ayat-ayat partikular pun kerap dibaca dengan dilepaskan dari konteks umum yang melatar-belakangi kehadirannya. Berbeda dengan ayat-ayat partikular, ayat-ayat universal mengandung pesan-pesan dan prinsip-prinsip umum yang berguna untuk membangun tata kehidupan Indonesia yang damai.
Untuk membangun Indonesia yang damai tersebut, maka beberapa langkah berikut perlu dilakukan. Pertama, harus dibangun pengertian bersama dan mencari titik temu (kalimat sawa`) antar umat beragama. Ini untuk membantu meringankan ketegangan yang kerap mewarnai kehidupan umat beragama di Indonesia. Dalam konteks Islam, membangun kerukunan antar-umat beragama jelas membutuhkan tafsir al-Qur’an yang lebih menghargai umat agama lain. Tafsir keagamaan eksklusif yang cenderung mendiskriminasi umat agama lain tak cocok buat cita-cita kehidupan damai, terlebih di Indonesia. Sebab, sudah maklum, Indonesia adalah negara bangsa yang didirikan bukan hanya oleh umat Islam, tetapi juga oleh umat lain seperti Hindu, Budha, dan Kristen. Dengan demikian, di Indonesia tak dikenal warga negara kelas dua (kafir dzimmi) sebagaimana dikemukakan sebagian ulama. Menerapkan tafsir-tafsir keagamaan eksklusif tak cukup menolong bagi terciptanya kerukunan dan kedamaian
Kedua, setiap orang perlu menghindari stigmatisasi dan generalisasi menyesatkan tentang umat agama lain. Generalisasi merupakan simplifikasi (penyederhanaan) dan stigmatisasi adalah merugikan orang lain. Al-Qur’an berusaha untuk menjauhi generalisasi. Al-Qur’an menyatakan, tak seluruh Ahli Kitab memiliki perilaku dan tindakan sama. Di samping ada yang berperilaku jahat, tak sedikit di antara mereka yang konsisten melakukan amal saleh dan beriman kepada Allah.
Ketiga, sebagaimana diperintahkan al-Qur’an dan diteladankan Nabi Muhammad, umat Islam seharusnya memberikan perlindungan dan jaminan terhadap implementasi kebebasan beragama dan berkeyakinan. Sebagaimana orang Islam bebas menjalankan ajaran agamanya, begitu juga dengan umat dan sekte lain. Seseorang tak boleh didiskriminasi dan diekskomunikasi berdasarkan agama yang dipilih dan diyakininya. Dalam kaitan ini, umat Islam perlu mengembangkan sikap toleran, simpati dan empati terhadap kelompok atau umat agama lain.


V.   PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat kami sampaikan, semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan kita dan wawasan kita tentang masalah kehidupan beragama baik dilingkungan kehidupan kita maupun dalam negara kita. Kami mengharapkan kritik dan saran demi kemajuan dan kesempurnaan makalah kami.






DAFTAR PUSTAKA
Mukti Ali, A., “Dialog between Muslims and Christians in Indonesia and its Problems” dalam  Al-Jami’ah, No. 4 Th. XI Djuli 1970.
Nurcholish Madjid, “Beberapa Renungan tentang Kehidupan Keagamaan untuk Generasi Mendatang”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, No.1 Vol.IV, Th. 1993.
Mursyid Ali (ed.), Studi Agama-Agama di Perguruan Tinggi, Bingkai Sosio-Kultural Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama di Indonesia, (Jakarta : Balitbang Depag RI, 1998/1999).
Nasir Tamara, M. dan Elza Pelda Taher (ed.), Agama dan Dialog Antar Peradaban (Jakarta : Yayasan Paramadina, 1996).
Huntington, Samuel P. “Benturan Antar Peradaban, Masa Depan Politik Dunia?” dalam Jurnal Ulumul Qur’an, No. 5, Vol.IV Tahun 1993,
Lopa, Baharuddin S.H. Prof. Dr. H., Al-Qur’an Dan Hak-Hak Asasi Manusia, Yogyakarta : PT. Dana Bhakti Prima Yasa,1999,




[1] Prof. Dr. H. Baharuddin Lopa, S.H., Al-Qur’an Dan Hak-Hak Asasi Manusia, Yogyakarta : PT. Dana Bhakti Prima Yasa,1999, hal 130-131
[2] Ibid, hal.132
[3]Q.S. Al-Baqarah (2) : 156.
[4]Q.S. Al-Kahfi (18) : 29.
[5]Q.S. Al-Hajj (22) : 40.
[6] Andito (ed.), Atas Nama Agama: Wacana Agama dalam Dialog “Bebas” Konflik, (Bandung : Pustaka Hidayah, 1998), hlm. 259.
[7]Lihat Nurcholish Madjid, “Beberapa Renungan tentang Kehidupan Keagamaan untuk Generasi Mendatang”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, No.1 Vol.IV, Th. 1993, hlm. 4 dan 6.
[8]Ibid hlm. 7-8.
[9]Ibid., hlm. 12.
[10]Ibid., hlm. 13-14.
[11]Lihat Nurcholish Madjid, “Hubungan Antar Umat Beragama : Antara Ajaran dan Kenyataan”, dalam W.A.L. Stokhof (red.), Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia (Beberapa Permasalahan), ( Jakarta : INIS, 1990), jilid VII, hlm. 108-109. 
[12]Samuel P. Huntington, “Benturan Antar Peradaban, Masa Depan Politik Dunia?” dalam Jurnal Ulumul Qur’an, No. 5, Vol.IV Tahun 1993, hlm. 12.
[13]A. Mukti Ali, “Ilmu Perbandingan Agama, Dialog, Dakwah dan Misi”, dalam Burhanuddin Daja dan Herman Leonard Beck (red.), Ilmu Perbandingan agama di Indonesia dan Belanda, (Jakarta : INIS, 1992), hlm. 227-229.
[14]Lihat Bassam Tibi, “Moralitas Internasional sebagai Landasan Lintas Budaya”, dalam M. Nasir Tamara dan Elza Pelda Taher (ed.), Agama dan Dialog Antar Peradaban (Jakarta : Yayasan Paramadina, 1996), hlm. 163.
[15] Ibid.
[16]Lihat Tarmizi Thaher, “Kerukunan Hidup Umat Beragama dan Studi Agama-Agama di Indonesia” dalam Mursyid Ali (ed.), Studi Agama-Agama di Perguruan Tinggi, Bingkai Sosio-Kultural Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama di Indonesia, (Jakarta : Balitbang Depag RI, 1998/1999), hlm. 2-3.
[17] Prof. Dr. H. Baharuddin Lopa, S.H., op.cit, hal 130
[18] Ibid, hal 75-76

Tidak ada komentar:

Posting Komentar