Karya-karya Syihâb al-Dîn Yahyâ Al-Suhrawardî—yang digelari sebagai Syaikh Al-Isyrâq (Master Filsafat Illuminasionis)– sampai sekarang mendapat posisi yang istimewa di berbagai sekte sufi (thuruq al-Shûfiyyah). Buah pemikiran Al-Suhrawardî membuka wacana pembaharuan pemikiran yang dilestarikan oleh banyak pemikir dan juru spiritual (al-rûhâniyyîn) sampai sekarang[1]—terutama di Iran. Mempelajari epistemologi Al-Suhrawardî, sama dengan mempelajari sinkretisasi tiga displin ilmu sekaligus: kalâm (islamic theology), filsafat dan tashawwuf.[2]
Biografi
Mayoritas sejarawan sepakat bahwa Al-Suhrawardî (tidak
boleh disamakan dengan tiga nama tokoh sufi lain: ‘Umar, Muhammad ibn
‘Umar dan Abu al-Najîb Al-Suhrawardî) bernama Abû al-Futûh Yahyâ ibn Habsy ibn Amîrik. Beliau lahir pada 549 H/1155 M di
Barat Laut Iran di kota Suhraward, kota di mana sering terjadi
bentrokan peperangan. Sejak belia, beliau menuntut ilmu di Marâghah
daerah Adzbijân. Kemudian menuju Ashbihân di pusat Iran. Di sana beliau
menyaksikan rintisan-rintisan filsafat Ibn Sina dilestarikan. Kemudian
menghabiskan beberapa tahun di Anâdlûl, menimba ilmu kepada banyak
pejabat dinasti Saljukiyah dengan penuh antusias. Terakhir menuju Syiria
dan tidak pernah kembali dari sana. Di daerah inilah beliau dituduh
mengajarkan ajaran yang kontradiktif dengan ajaran mainstream
sehingga—atas desakan Sholahuddin al-Ayyûbi kepada putranya, Al-Malik
al-Dhâhir, yang jadi hakim di sana–difatwa sebagai kafir
dan sesat. Akhirnya beliau mati secara misterius (digantung, dipenjara,
mogok makan, dibunuh dengan pedang atau dibakar?) pada 587 H/1191 M.
Sehingga total umur beliau adalah 36 tahun (38 tahun Qomariyyah). Para
sejarawan umumnya menjulukinya dengan al_syaikh al-Maqtûl, sedangkan para muridnya mengagungkannya dengan sebutan al-Syaikh al-Syahîd.[3]
***
Al-Suhrawardî
merupakan tokoh yang pertama kali berani menantang hegemoni filsafat
Paripatetik pada abad enam Hijriyah. Kemudian berusaha membangun aliran
filsafat baru yang bernama Falsafah Isrâqiyyah (Filsafat
Illuminasi). Karir intelektual Al-Suhrawardî bermula sebagai seorang
sufi, kemudian sebagai seorang filosof Paripatetik. Puncak dari ajaran
filsafatnya berupa Hikmah Al-Isyrâq , dengan nama kitab master piecenya yang sama, yang merupakan gabungan anatar filsafat dan tashawwuf. Hikmah Al-Isyrâq dibangun atas dua hikmah: al-Hikmah al-Bahtsiyyah dan al-Hikmah al-Dzauqiyyah. Al-Hikmah al-Bahtsiyyah (disebut juga Hikmah al-Falâsifah) dibangun atas dasar metodologi analisis, komposisi, istidlâl al-burhânî; dan bertujuan mencapai hakikat. Sementara al-Hikmah al-Dzauqiyyah (disebut juga Hikmah Al-Isyrâqiyyîn)
merupakan buah dari eksperimen spiritual menghampiri sang Mahatahu.
Sejatinya tidak ada kontradiksi esensi antara satu sama lain. Yang
terjadi hanya sebatas kontradiksi lahir. Karena puncak dari Hikmah Al-Isyrâq adalah eklektisasi antara al-Hikmah al-Bahtsiyyah dan al-Hikmah al-Dzauqiyyah, memperkokoh hikmah yang pertama sekaligus mempertajam aura hikmah yang kedua.[4]
Epistemologi Illuminasi (Madlûl Al-Isyrâq)
Al-Isyrâq adalah ekstraksi illuminasionis dari cahaya-cahaya rasional beserta makna-makna rasional dan curahannya kedalam jiwa ketika tajarrud atau khalwah. Jadi Hikmah Al-Isyrâq adalah Hikmah yang dibangun atas dasar epistemologi al-Isyrâq (illuminasionis) yang merupakan kasyf atau hikmah ala Musyâriqoh (bangsa Persi klasik). Definisi ini mengisyaratkan:
1) Bahwa Al-Isyrâq adalah sumber al-Hikmah Al-Isyrâqiyyah.
Ia mengandung konsep manifestasi atau pembasisan alam realita.
Manifestasi ini merupakan kerja aktif jiwa yang mampu menahan curahan kasyf.
2) Terdapat sinonimitas antara lafadz Isyrôqî dan Masyriqî, yang bermakna memahami Isyrôqî dengan logika Hikmah Masyriqîyyîn. Koreksi ulang!!!
3) Kesimpulannya: bahwa para juru hikmah Persi klasik membangun epistemologi filsafatnya atas dasar kasyf atau musyâhadah
yang bermakna ekstraksi illuminasionis dari cahaya-cahaya rasional
beserta makna-makna rasional dan curahannya kedalam jiwa setelah tajarrud atau khalwah.
Karena itu filsafat Illuminasi (falsafah asyroqiyyah) adalah antonim dari filsafat Paripatetik (falsfah masysyâiyyîn) di mana yang kedua berbasisis analisis, bukti-bukti rasional-logis, sementara yang pertama berbasis kasyf dan dzauq shûfî.[5]
Ada istilah-istilah asing yang digunakan Al-Suhrawardî dalam karya-karyanya, sebagai berikut[6]: 1) al-khair = al-rûhânî; 2) al-mâddî = al-madzlam; 3) al-anwâr = al-‘uqûl; 4) al-anwâr al-qâhirah = ‘uqûl al-aflâk; 5) al-anwâr al-mujarradah = al-nufûs al-insâniyyah; 6) nûr al-anwâr = Allah, Tuhan, God; 7) al-jauhar al-mudzlim au al-ghâsiq = al-jism; 8) ‘âlam al-barâzikh = ‘âlam al-ajsâm
Logika Illuminasi (al-Manthiq Al-Isyrâqî)
Logika
Illuminasi merupakan ringkasan dari logika Paripatetik-Aristotelian.
Logika ini terinspirasi oleh spirit-spirit sufi dengan kosep keesaannya.
Logika Illuminasi melebur qadliyyah mujabah dan qadliyyah sâlibah menjadi hanya satu, yaitu qadliyyah mujabah ma’dulah dengan cara memindahkan seluruh nafy ke bagian mahmûl. [7] Bila logika Paripatetik-Aristotelian mengkomposisikan definisi (ta’rîf) dengan jins dan dzat khôsh, maka logika Illuminasi mengkritik pemahaman ini. Karena bagi Al-Suhrawardî, dzat khâsh itu unknowable (majhûl, tidak dapat diketahui dengan pasti). Sesuai dengan prinsip logika Paripatetik-Aristotelian sendiri, sesuatu majhûl hanya bisa dipahami dari ma’lûm. Lantas Al-Suhrawardî menawarkan konsep baru tentang definisi (hadd), yakni melalui dua metode: Pertama, metode al-ihsâs; perkara-perkara yang mahsûsât mampu dipahami secara sempurna. Kedua, metode kasf dan ‘iyân.
Dalam masalah qodlôyâ, logika Al-Suhrawardî melebur qodlôyâ kulliyyah dan qodlôyâ juz`iyyah menjadi qodlôyâ kulliyyah saja. Karena qodlôyâ kulliyyah adalah asal sedangkan qodlôyâ juz`iyyah adalah derivasi atau turunan darinya. Sesuatu yang bukan asal tidak bisa mengantarkan pada kebenaran yang meyakinkan.[8]
Metafisika al-Isyroq
Madzhab Al-Isyrâqî ini berkaitan erat dengan filsafat Persi klasik sekaligus filsafat Neo Platonisme khususnya pada konsep illuminasi (al-faidl, curahan) dan cahaya (al-nûr). Madzhab Al-Isyrâqî tidak lepas dari madzhab al-faidl yang mendahuluinya sekaligus mempengaruhinya. Karena itu, madzhab ini bisa dianggap—terutama dalam konsep al-binâ` al-wujûdî—sebagai penerus dari metodologi teori Akal Sepuluh (al-‘uqûl al-‘asyroh);
atau sebagai kritik konsep Akal Sepuluh tidak dari sigi proses, tapi
dari kuantitasnya. Karena kritikan penting yang dihujamkan oleh
Al-Suhrawardî kepada teori penciptaan kosmos paripatetik-aristotelian
berorientasi pada memperbanyak jumlah dan bilangan akal.
Kemiripan konsep al-faidl dengan al-Isyrâq al-nurônî sangat lekat dengan al-syu’ûr al-haqîqî. Madzab al-Isyrâqî, hakikatnya, bersifat syu’ûrî (main perasaan, emosional). Karena spiritual tertinggi berupa emosional dinamis (syu’ûrîyyah harakiyyah) sebelum masuk pada fase rasional-logis (‘aqliyyah manthiqiyyah). Pencerahan (al-inârah)
dalam madzhab ini dapat diketahui dengan tabiat emosional, tidak dengan
tabiat rasional semata yang berdasarkan pada logika dan prinsip-prinsip
akal.[9]
Cahaya (al-nûr), dalam madzhab Al-Isyrâqî, dianggap sebagai pokok eksistensi (mabda` wujuûdî). Ia adalah satu-satunya pokok atau asal. Sementara kegelapan (al-dzolâm) merupakan rival antagonis dari cahaya. Madzab Al-Isyrâqî, tidak mengakui konsep dua asal yang saling melengkapi (mabdân mutakâfân mushthori’ân) sebagaimana diklaim oleh sekte al-Mânawiyyah (sempalan dari ideologi Zoroaster di Persi). Hakikat dalam madzhab ini menjadikan epistemologi al-nûr sebagai asas hakikat. Sebagaimana materi dalam Materialisme, jiwa dalam sekte al-mitsâliyyah al-dzâtiyyah, atau Tuhan atau Yang Esa menurut sekte al-mitsâliyyah al-muta’âliyah, kesatuan ruh dan materi menurut Eksistensialisme sempalan Aristotelian menjadikannnya sebagai asas hakikat.
Madzhab ini mengakui adanya dua tipologi cahaya: cahaya akal (al-nûr al-‘aqlî) dan cahaya fisik (al-nûr al-hissî). Yang pertama adalah pokok atau asal, sedangkan yang kedua adalah turunan atau efek saja.[10]
Dasar-dasar Filsafat Isyrâqiyyah (Filsafat Illuminasi)
Madzab Al-Isyrâqî mempercayai konsep bahwa al-imkân bila benar-benar terjadi maka al-imkân al-asyrof adalah yang harus terjadi terlebih dahulu. Kaidah sederhana ini berarti bahwa far’ jika
benar-benar terjadi maka asal harus lebih dulu terjadi. Artinya: jika
ada sesuatu yang lebih rendah derajatnya, maka eksistensinya tergantung
pada sesuatu yang lebih tinggi derajatnya. Kaidah ini terkenal dengan qô’idah al-imkân wa al-asyrof.
Al-Isyrâq (al-qohr) dan al-Musyâhadah (al-mahabbah) merupakan dua fiil atau aktivitas. Yang pertama mengambil arah menurun, sedangkan yang kedua mengambil arah naik. Syarat Al-Isyrâq adalah tidak adanya hijab antara musyriq dan qôbil benar-benar mampu menerima al-Isyrâq. Sedangkan syarat al-Musyâhadah adalah tidak adanya hijab sekaligus adanya kemampuan dari kedua belah pihak.
Kaidah terpenting dari madzhab Al-Isyrâqî adalah al-fi’l dan al-ibdâ’. Al-Fi’l menurut pemahaman umum wajib mengandung ketiadaan masa lampau (sabaq al-‘adam), yakni bahwa tidak mungkin menggambarkan adanya kejadian yang baru (hudûts hâdits) tanpa ketiadaan masa lampau (sabaq al-‘adam). Jika hal itu memungkinkan, sama saja dengan mengaku bahwa fi’il bukan hadits. Namun, sebenarnya al-‘adam bukan termasuk fi’ilnya pelaku. Karena al-‘adam sudah mendahului fi’l. Sementara al-ibdâ’ adalah mengadakan sesuatu tanpa adanya “sketsa atau contoh” yang sudah ada, namun sesuai kehendak (irodah) sang Mubdi’ dan ‘inâyahNya. Jika demikian, maka konsep ini kontradiktif dengan konsep ibdâ’ milik Platonisme yang berstatemen bahwa sang Shâni’ mengandung rancangan-rancangan azali (al-namâdzij al-azaliyyah). Juga kontradiktif dengan Rasionalisme yang memastikan konsep sabab-musabbab.[11]
Klasifikasi Khazanah Turats Al-Suhrawardî[12]
Dari total 49 kitab selama 36/38 tahun, ada beberapa model klasifikasi khazanah turats Al-Suhrawardî:
- Model Pembacaan Lovis Massignon. Menurut dia, turats Al-Suhrawardî terklasifikasikan menjadi tiga bagian, yaitu: a) Masa sufi muda (al-‘ahd Al-Isyrâqî) menghasilkan karya al-alwâh al-‘imâdiyyah, hayâkil al-nûr dan al-rasâil al-shufiyyah. Hal ini didasarkan pada keterangan Al-Syahrazûrî. b) Masa Paripatetik, menghasilkan karya: al-talwîhât, al-lamhât, al-muqâwamât dan al-muthârahât. c) Masa Pengaruh Neo Platonisme dan Ibn Sina, menghasilkan karya: Hikmah Al-Isyrâq dan I’tiqôd al-Hukamâ`.
- Model Pembacaan Henry Corbin, yakni terklasifikasikan menjadi empat bagian: a) Karya berupa al-rosâil al-i’tiqôdiyyah al-kubrô, yakni karya al-talwîhât, al-muqôwamât, al-masyâri’ dan al-muthôrohât yang merupakan prolog untuk membaca Hikmah Al-Isyrâq . b) Karya al-rosâil al-i’tiqôdiyyah al-shugrô, yakni karya hayâkil al-nûr, al-alwâh al-‘imâdiyyah, bustân al-qulûb, i’tiqôd al-hukamâ`, kalimah al-tashowwuf, kasyf al-ghothô` dan al-lamhât fî al-haqôiq. c) Karya rosâil rosâil yang berupa hikâyât dan kisah-kisah mistik-filosofis. Nyaris seluruh karya ini berbahasa Persi, seperti Al-Gharbah al-Gharbiyyah, risâlah ‘aql, dll. d) Karya yang berupa wirid-wirid dan pujian-pujian yang diamalkan sebagai pujian kepada para Malaikat. Karya-karya jenis ini nyaris masih berbentuk makhthûthât di Istanbul.
Penutup
Makalah
ini adalah usaha minim untuk merefleksi kembali epistemologi
karya-karya dahsyat Al-Suhrawardî yang sebagian besar masih belum
terjamah oleh tangan-tangan kreatif alias masih berbentuk makhthuthât.
Oleh: M. Nova Burhanuddin
* Dipresentasikan dalam diskusi Lakpesdam di Sekretariat PCINU Mesir, 15 November 2008.
[1] Henri Corbin, Histoire de la Philosophie Islamique, diarabkan oleh Nushoir Muruwwh dan Hasan Qubaisî dengan judul Târîkh al-Falsafah al-Islâmiyyah, Beirut: ‘Uwaidât li al-Nasyr wa al-Thobâ’ah, cet. II, 1998, h. 303.
[2] Dr. Mîlâd Zakî Ghôlî dkk, Musykilât Falsafiyyah, Alexandria: Masyah al-Ma’ârif, cet. I, 1999, h. 240.
[3] Henry Corbin, op. cit., h. 303-304.
[4] Louis Gardet, Qelques Reflexions sur I’Ishraq de Suhrawardi. Dinukil dari Dr. Mahmud Muhammad ‘Ali Muhammad, al-Manthiq Al-Isyrâqî ‘ind Syihâb al-Dîn Al-Suhrawardî, Kairo: Mishr al-‘Arobiyyah li al-Nasyr wa al-Tauzî’, cet. 1, 1999, h. 32.
[5] Dr. Mîlâd Zakî Ghôlî dkk, op. cit., h. 233.
[6] Ibid., h. 240.
[7] Dr. Mahmud Muhammad ‘Ali Muhammad, ibid., h. 51.
[8] Ibid., h. 52-53.
[9] Dr. Mîlâd Zakî Ghôlî dkk, op. cit., h.248.
[10] Ibid., h. 248.
[11] Ibid., h. 251-255.
[12] Dr. Mahmud Muhammad ‘Ali Muhammad, ibid., h. 35-37.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar