Dalam
al-Qur`an dan Hadits, kata al-hikmah sering kali ditemukan. Ulama
Muslim yang tersebar mencoba mendefinisikan terma al-hikmah ini, dan
juga istilah falsafah, yang telah masuk ke dalam bahasa Arab melalui
terjemahan Yunani pada Abad ke-8 atau 9. Di satu sisi, apa yang disebut
filsafat dalam bahasa Inggris, ternyata ditemukan pula dalam konteks
peradaban Islam. Bahkan tidak hanya pada aliran-aliran filsafat, tetapi
juga beberapa disiplin lain seperti kalâm, ma’rifah dan ushûl fiqh. Dan
di sisi lain, dengan berbedanya latar belakang para ulama itu, maka
berbeda juga pandangan dan pemahamannya tentang definisi dari hikmah dan
falsafah. Tentunya hal ini menyisakan satu pertanyaan penting; sejauh
manakah perhatian Islam terhadap filsafat?
Dalam
sejarah Islam, istilah-istilah yang ada dalam kajian filsafat Islam
acapkali diperdebatkan oleh para filosof, ulama kalam dan terkadang oleh
kaum Sufi. Dari masa ke masa mereka membincangkan definisi terma-terma
itu tanpa berhasil mencapai titik temunya. Pada perjalananya ini,
istilah hikmah dan falsafah masih terus digunakan.
Sedangkan
terma-terma derivatif seperti hikmah ilâhiyyah dan hikmah muta’âliyyah
berkembang di aspek lain dan memunculkan pemaknaan-pemaknaan baru,
terutama dalam alirannya Mulla Sadra. Menariknya, hikmah, dalah satu
terma yang masih diperdebatkan ini sering direbutkan oleh para sufi,
mutakallimîn dan filosof.
Dasar
agama yang mereka gunakan pun sama; hadits Nabi yang berbunyi “alayka
bi al-hikmah? Fa`inna al-khayr fi sal-hikmah”. Kalangan sufi semisal
Tirmidhi dan Ibnu Arabi menyebut kebijaksanaan yang tersingkap melalui
setiap manifestasi dari simbol sebagai hikmah sebagaimana termaktub
dalam masterpiece-nya bertajuk Fushûsh al-Hikâm. Sedangkan beberapa
mutakallimîn seperti Fakhr al-Din al-Razi mengklaim bahwa yang disebut
Hikmah adalah kalâm, bukan filsafat. Ibnu Khaldun pun mengamini
pandangan ini dengan menyebut Kalam muta`akhkhirîn sebagai filsafat atau
Hikmah.
Dalam
tulisan ini akan coba diuraikan pemahaman para filosof Muslim tentang
definisi dan arti konsep filsafat serta istilah hikmah dan falsafah.
Tentu saja pemahaman ini juga mencakup apa yang dipahami oleh bangsa
Yunani tentang istilah philosophia dan beberapa definisi dari
sumber-sumber Yunani, agar dapat diketahui bagaimana istilah dan
definisi tersebut masuk ke dalam Bahasa Arab.
Beberapa definisi dari sumber-sumber Yunani yang dikenal kalangan filosof Muslim adalah :
- Filsafat (al-falsafah) adalah pengetahuan tentang segala eksistensi (keberadaan) sebagaimana ia ada.
- Filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang seluruh hal yang sakral dan profan.
- Filsafat adalah mencari perlindungan dalam kematian, yang berarti, mencintai kematian itu sendiri
- Filsafat adalah berusaha menjadi seperti-Tuhan dalam batas kemampuan manusia.
- Filsafat adalah adalah seni dari segala seni dan ilmu dari segala ilmu.
- Filsafat adalah sinonim dari hikmah.
Para
Filosof Muslim mengkompromikan definisi-definisi filsafat yang mereka
peroleh dari sumber-sumber klasik ini dengan apa yang mereka kenal dalam
istilah Qur`ani sebagai Hikmah, seraya meyakini bahwa asal hikmah itu
sendiri adalah suci. Filosof Muslim pertama, Abu Ya’qub al-Kindi menulis
dalam bukunya “ On First Philosophy “:
Filsafat
adalah ilmu pengetahuan tentang realita segala sesuatu dalam batas
kemampuan manusia, karena orientasi filosof dalam pengetahuan teoretis
adalah untuk mendapatkan kebenaran, dan dalam pengetahuan praktis adalah
berprilaku sesuai dengan kebenaran. Al-Farabi di samping menyetujui
pengertian ini, juga menambahkan pembedaan antara filsafat yang didasari
oleh kepastian (al-yaqîniyyah) seperti halnya demonstrasi (baca :
burhan), dan filsafat yang didasari oleh opini (al-madznûnah) seperti
halnya dialektika dan sophistry. Beliau juga bersikeras menyatakan bahwa
filsafat adalah induk dari segala ilmu pengetahuan dan berkaitan dengan
segala sesuatu yang ada. Ibnu Sina juga menerima definisi-definisi awal
ini sambil membuat penjelasan-penjelasannya sendiri.
Dalam
bukunya “’Uyûn al-hikmah”, dia mengatakan: “Al-hikmah (filsafat) adalah
penyempurnaan jiwa manusia melalui konseptualisasi dan pembenaran
(tashdîq) realita teoretis dan praktis sesuai dengan tingkat kemampuan
manusia”. Namun, ia beranjak lebih jauh dalam kehidupan setelah kematian
untuk membedakan antara Filsafat Paripatetik dan apa yang ia sebut
sebagai “Filsafat Oriental” (al-hikmah al-masyriqiyyah) yang tidak hanya
didasari oleh rasionalisasi namun juga disertai pengetahuan [sadar],
yang sekaligus juga menjadi batu awal bagi Filsafat Iluminasi
Suhrawardi.
Murid
utama Ibnu Sina, Bahmanyar, di saat yang sama juga mendefinisikankan
filsafat hampir dekat dengan pengetahuan tentang segala yang ada,
sebagaimana yang dilakukan Ibnu Sina dalam karya-karya Peripatetiknya,
seperti al-Syifâ`, mengulang ajaran Aristotelian bahwa filsafat adalah
ilmu tentang segala hal yang ada sebagaimana ia ada. Bahmanyar dalam
pembukaan bukunya “Talil”, menulis: “Tujuan ilmu-ilmu filosofis adalah
mengetahui segala yang ada”.
Pemikiran
Isma’ili dan Hermetico-Pythagorean, yang dalam perkembangannya lebih
dikenal sebagai Filsafat Peripatetik (sekalipun berbeda dalam perspektif
filosofis), juga mendefinisikan filsafat tidak jauh dari para Filosof
Peripatetik di atas, seraya memberikan penegasan lebih jauh pada
hubungan antara aspek teoretis filsafat dan dimensi praktisnya, antara
berpikir secara filosofis dan mencapai kehidupan yang bahagia. Jaringan
dan hubungan yang terlihat sejak aliran filsafat Islam awal ada, menjadi
lebih kentara semenjak Suhrawardi. Kemudian, hakîm dalam masyarakat
Islam tidak hanya diartikan sebagai orang yang mampu mengkaji
konsep-konsep abstrak secara cerdas, namun juga orang yang bisa hidup
dengan mengamalkan kebijaksanaan (al-hikmah) yang ia pahami secara
teoretis.
Bukan
gagasan Barat modern yang berkembang di dalam dunia Islam, namun apa
yang digulirkan oleh Ikhwan al-Shafa (abad 4-10) lah yang memberikan
pengaruh kapanpun filsafat Islam berkultivasi. Ikhwan al-Shafa menulis,
“Permulaan Filsafat adalah kecintaan pada ilmu, dilanjutkan dengan
pengetahuan tentang realitas segala sesuatu yang ada sesuai dengan
kemampuan manusia, dan berakhir pada perkataan serta perbuatan yang
sesuai dengan pengetahuan tersebut”.
Bersama
Suhrawardi kita tidak hanya memasuki era baru, namun juga alam lain
dari filsafat Islam. Suhrawardi, penemu perspektif intelektual baru
dalam Islam ini, lebih memilih istilah Hikmah al-Isyrâq daripada
Falsafah al-Isyrâq untuk judul karya filosofisnya yang kedua dan aliran
yang ia dirikan. Murid terbaik Suhrawardi dan penerjemah buku Hikmah
al-Isyraq ke dalam Bahasa Perancis, Henry Corbin, lebih memilih istilah
teosofi daripada filsafat untuk mengalibahasakan kata “hikmah” ke Bahasa
Perancis sebagaimana yang dipahami oleh Suhrawardi sendiri, dan para
Filosof mutakhir seperti Mulla Sadra.
Kita
juga mengalihbahasakan istilah Mulla Sadra “al-hikmah al-muta’âliyah”
ke dalam bahasa Inggris sebagai “transcendent theosophy” untuk
menghargai terjemahan Corbin atas istilah “hikmah” tersebut. Tentu saja
terdapat argumen yang separuhnya benar bahwa pada masa-masa sekarang
ini, istilah “teosofi” mendapatkan konotasi yang peyoratif dalam
bahasa-bahasa Eropa, terutama bahasa Inggris, dan diasosiasikan dengan
okultisme ataupun pseudo-esoterisme. Sebagaimana istilah filsafat juga
mengalami pembatasan yang dilakukan oleh mereka yang menggelutinya
selama dua bad terakhir. Kalau Hobbes, Hume dan Ayer adalah filosof,
maka mereka yang disebut oleh Suhrawardi sebagai Hukama` bukanlah
filosof, begitu juga sebaliknya.
Penyempitan
makna filsafat, perceraian antara filsafat dan praktik spiritual di
Barat dan terutama reduksi makna filsafat menjadi sekedar rasionalisme
atau empirisisme, menyebabkan perlunya pembedaan antara arti istilah
“hikmah” yang dipahami Suhrawardi atau Mulla Sadra, dan aktivitas akal
murni yang disebut filsafat di beberapa kalangan tertentu di Barat
sekarang ini. Penggunaan istilah teosofi untuk menunjuk pengertian
terakhir dari kata “hikmah” ini didasari oleh maknanya yang sudah lebih
dulu ada dan lebih mengakar dalam sejarah intelektual Eropa, dan
diasosiasikan dengan tokoh-tokoh seperti Jacob Bohme, bukan sebagai
istilah yang baru digunakan pada abad 13-19 oleh beberapa okultis
Inggris.
Kalau
hal tersebut benar, maka penting sekali untuk menegaskan pengertian
yang dimiliki oleh Suhrawardi dan seluruh filosof Muslim mutakhir
tentang istilah “hikmah” terutama sebagai al-hikmah al-ilâhiyyah (secara
literal berarti kebijaksanaan ilahi atau teosofi) yang harus disadari
sebagai keseluruhan wujud seseorang dan tidak hanya aspek intelektualnya
saja.
Suhrawardi
melihat adanya “hikmah” dalam Yunani kuno sebelum berkembangnya
rasionalisme Aristotelian dan memaknai hikmah sebagai perilaku keluar
dari tubuh fisik dan naik ke alam cahaya, seperti yang dilakukan oleh
Plato. Gagasan yang sama juga ditemukan di seluruh karya-karyanya, dan
ia bersikeras bahwa level hikmah tertinggi memerlukan penyempurnaan akal
teoretis sekaligus penyucian jiwa.
Dalam
pandangan Mulla Sadra, tidak hanya terdapat sintesis berbagai macam
aliran pemikiran Islam awal, tapi juga sintesis berbagai pandangan awal
tentang makna kata “hikmah” dan konsep filsafat. Pada permulaan Asfar
dia menulis, seraya mengulang beberapa pandangan dan menyimpulkan
beberapa definisi awal, “Filsafat adalah menyempurnakan jiwa sampai pada
tingkat kemampuan manusia melalui pengetahuan tentang realitas esensial
dari segala sesuatu, dan dengan penilaian terhadap eksistensi mereka,
didasari dengan bukti kuat dan tidak hanya diperoleh lewat opini atau
peniruan. Kemudian di dalam buku al-Syawâhid al-Rububiyyah, dia
menambahkan, “[dengan hikmah] seseorang menjadi (layaknya) alam
pemikiran yang menggambarkan alam nyata dan mirip dengan image atas
eksistensi universal”.
Dalam
buku pertama tentang Air yang bersangkutan dengan wujud, Mulla Sadra
secara detail membahas beberapa definisi kata “hikmah”, seraya
memberikan penekanan tidak hanya pada pengetahuan teoretis dan “menjadi
alam pemikiran yang merefleksikan alam nyata”, tapi juga pelepasan diri
dari nafsu dan penyucian jiwa dari segala kotoran duniawi atau apa yang
disebut filosof Muslim sebagai tajarrud atau purifikasi jiwa.
Mulla
Sadra menerima makna “hikmah” yang dipahami oleh Suhrawardi dan
kemudian memperluas makna filsafat hingga mencakup dimensi iluminasi dan
kesadaran yang diperoleh melalui isyrâq serta pemahaman sufi atas
istilah tersebut. Baginya dan tokoh-tokoh sezamannya, serta para
pendahulunya, filsafat dipandang sebagai pengetahuan utama tentang
ketuhanan yang dicapai melalui derajat kenabian, dan al-hukama`
merupakan manusia paling sempurna yang menempati derajat di bawah para
Nabi danImam.
Konsep
filsafat yang berkaitan dengan pencapaian kebenaran tentang asal segala
wujud dan menggabungkan pengetahuan akal dengan penyucian dan
penyempurnaan wujud diri manusia ini, berlaku sampai sekarang di manapun
tradisi filsafat Islam berlanjut, dan pada kenyataannya, telah menjadi
representasi tradisi filsafat Islam yang paling sempurna hingga hari
ini.
Para
pakar abad 14-20 seperti Mirth Ahmad Ashtiyani, pengarang buku “Ndmayi
Rahbardn-i Dmuzish-i Kitdb-i Takwin” (Petunjuk Pengajaran Tentang Kitab
Penciptaan) ; Sayyid Muhammad Kazim Ansar, pengarang sekian banyak karya
termasuk Wahdah Wujûd (Kesatuan Transenden Wujud); Mahdi Ilahi
Qumsha’i, pengarang “Hikmat-i Ildhi Khwdss wa Amm” (Filsafat / Teosofi -
Umum Dan Khusus) dan Allamah Sayyid Muhammad Husayn Thabataba`i,
pengarang sejumlah karya terutama “Usul--i Falsafa -yi Rializm”
(Prinsip-prinsip Filsafat Realisme), semuanya menulis tentang definisi
filsafat sesuai dengan yang telah disebutkan di atas dan mereka hidup
sesuai dengan pemahaman tersebut.
Masing-masing
dari karya dan hidup mereka, merupakan testimoni tidak hanya terhadap
seribuan tahun lebih perhatian filosof Muslim atas makna konsep dan
istilah filsafat, tapi juga terhadap signifikansi definisi Islami atas
falsafah sebagai sebuah realita yang mengubah akal dan jiwa dan yang
tidak pernah terpisah dari penyucian spiritual dan kesalehan yang
diimplikasikan oleh istilah “hikmah” dalam konteks Islam.
Diterjemahkan oleh : Humaidi Hambali
DAFTAR PUSTAKA
http://afkar.numesir.org/index.php?view=article&catid=48%3Asma&id=60%3Adefinisi-dan-konsep-filsafat-dalam-islam&tmpl=component&print=1&page=&option=com_content&Itemid=62
Tidak ada komentar:
Posting Komentar