STIT AT-TAQWA CIPARAY BANDUNG

Sabtu, 28 Mei 2011

Hermeneutika dalam Studi Al Quran; Mungkinkah Menggantikan Metodologi Tafsir?

A. Prolog
Salah satu kajian yang terus berkembang dan mendapat porsi lebih dalam khazanah ilmu pengetahuan kontemporer adalah kajian tentang peta ilmu pengetahuan itu sendiri atau yang kemudian lebih dikenal dengan kajian epistimologi. Kajian-kajian ini semakin menemukan peminatnya ketika dia menyentuh ranah-ranah yang dianggap sakral dalam studi keagamaan. Sebagaimana jamak diketahui, bahwa dalam setiap agama samawi, sumber epistimologi utama adalah kitab suci. Di titik ini terjadi banyak variasi pemikiran dan penafsiran. Tema-tema kontroversial sengaja dimunculkan meramaikan kajian-kajian keagamaan. Kitab suci didudukkan pada pada posisi 'terdakwah', dengan tuduhan utama melahirkan peradaban qauliyah dan memarginalkan bahkan mendiskreditkan peradaban kauniyah.

Dalam diskursus ini, wacana keislaman mendapat perhatian lebih serius dibandingkan dengan wacana keagamaan lainnya. Hal ini boleh jadi karena Al Quran sebagai kitab suci Umat Islam memang layak untuk mendapatkan pengkajian serius. Bagi kaum Muslimin, mu’jizat terbesar Nabi Muhammad ini diyakini sebagai petunjuk untuk umat manusia hingga akhir zaman. Realitas ilmiahnya terbukti akurat, gaya bahasa dan liriknya diakui indah, kisah masa lampau yang benar dan ramalan masa depan yang tepat, mengantarkan manusia pada kebahagiaan dunia dan kebahagiaan akhirat. Dari prinsip dasar dan keyakinan inilah lahir usaha-usaha untuk menggali dan memahami apa yang disampaikan oleh Al Quran. Maka Al Quran yang dijadikan acuan pertama dan utama dalam penetapan hukum dipelajari, ditafsirkan dan dikaji dengan serius sehingga nilai-nilai qurani yang bernuansa ilahiyah mampu dijabarkan dalam kehidupan insaniyah.
Tema-tema usang yang kembali menjadi pembicaraan adalah sejauh mana peran manusia dalam proses penafsiran Al Quran. Tafsir Al Quran klasik karya ulama Islam terdahulu kembali dikaji dan dipelajari baik oleh cendekiawan muslim maupun non muslim, bahkan mendapat perhatian serius dari para orientalis, penginjil dan sebagainya. Persinggungan intens dunia pemikiran timur (dalam hal ini kaum muslimin) dengan dunia pemikiran Barat yang dominan dan hegemonik yang kemudian telah menyeret paksa wacana polemis Hermeneutika masuk ke dalam kajian Al Quran kontemporer.
B. Apa itu Hermeneutika?
Istilah Hermeneutika dalam sejarah keilmuan Islam, khususnya kajian Al Quran klasik, tidak di temukan (sekalipun dalam segi penerapan hampir mirip dengan sebuah aliran penafsiran yang muncul di masa-masa kodifikasi tafsir dan berkembangnya aliran pemikiran Islam yaitu aliran Bathiniyah). Istilah Hermeneutika ini –kalau melihat sejarah perkembangan Hermeneutika modern- mulai populer beberapa dekade terakhir, khususnya dengan perkembangan pesat teknologi informasi dan juga the rise of education yang melahirkan banyak intelektual muslim kontemporer.[2]
Menurut etimologi, Hermeneutika berasal dari akar kata bahasa Yunani hermeneuein yang berarti menafsirkan, menguraikan dan menerjemahkan. Pendapat lainnya mengatakan bahwa Hermeneutika diambil dari kata Hermes.[3] Dalam metodologi Yunani terdapat dewa dewi yang dikepalai oleh Dewa Zeus dan Maia yang mempunyai anak bernama Hermes. Hermes dipercayai sebagai utusan para dewa untuk menjelaskan pesan-pesan para dewa di langit. Dari nama Hermes inilah konsep Hermeneutika kemudian digunakan.[4]
Dalam keyakinan Yunani, Hermes menerjemahkan dan menjelaskan pesan para dewa yang masih samar ke dalam bahasa yang dipahami manusia. Para hermeneut menyamakan peran Hermes yang mereka yakini sebagai Nabi Idris[5] tersebut dengan peran Nabi Muhammad yang menyampaikan risalah Allah melalui Al-Quran kepada umat manusia sekaligus menjelaskannya kepada mereka. Para hermeneut menganggap bahwa Hermeneutika serupa dengan Tafsir yang berfungsi menjelaskan Al-Quran.
Adapun dalam menentukan terminologi yang pas tentang Hermeneutika tidaklah mudah. Tidak cukup hanya dalam rentetan satu atau dua kalimat. Para hermenut sendiri berbeda dalam mendefinisikannya. Hans Georg Gaddamer (1900-1998/2002) mendefinisikan Hermeneutika sebagai solusi dari permasalahan pemahaman dengan menyederhanakan makna dan mencoba mamahami dengan cara tertentu[6]. Zygmunt Bauman mengatakan bahwa Hermeneutika adalah upaya menjelaskan dan menelusui pesan dan pengertian dasar dari sebuah ucapan atau tulisan yang tidak jelas, kabur, remang-remang dan kontradiktif yang menimbulkan kebingungan bagi pendengar atau pembaca[7]
C. Sejarah Hermeneutika
Al Quran menyatakan bahwa sebelum dia diturunkan, Allah telah lebih dahulu menurunkan kitab-kitab suci lainnya kepada beberapa orang Rasul sebelum Muhammad Saw. Antara lain misalnya Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa, Zabur kepada Nabi Daud dan Injil kepada Nabi Isa As. Problematika yang muncul kemudian adalah bahwa kitab-kitab suci tadi hanya mampu bertahan keoriginalannya pada periode-periode awal turunnya. Sedangkan pada periode selanjutnya, terutama setelah meninggalnya para nabi dan sahabat-sahabatnya tidak terpelihara dengan baik. Generasi yang datang setelah itu baik sengaja maupun tidak telah banyak melakukan perubahan-perubahan dari teks asli kitab suci mereka, menyesuaikan dengan hawa nafsu dan keinginan masing-masing. Begitu seterusnya, sehingga semakin jauh dari masa kenabian maka semakin berubah dari teks aslinya. Informasi dan kecaman terhadap hal ini banyak kita dapatkan dalam kitab suci yang turun sebagai penyempurna kitab-kitab tadi yaitu Al Quran.[8]
Akibat perubahan dan penyimpangan inilah sehingga di kemudian hari para Teolog Yahudi Kristen setelah mempelajari secara kritis menyimpulkan bahwa baik Taurat maupun Injil[9] yang selama ini dianggap sebagai kitab suci ternyata memiliki sejumlah kesalahan mendasar.
Hermeneutika dalam teologi Yahudi-Kristen lahir dan berkembang dari pemberontakan mereka terhadap otoritas Bible dan gereja yang banyak menyimpang dari nilai-nilai keilmuan dan sosial. Mereka menolak teks Bible dan berusaha agar Bible tidak mencampuri kehidupan mereka. Hal ini dapat kita lihat misalnya dalam kasus makanan haram yang telah ditentukan dalam Bible ditafsirkan dengan makna lain yang berubah dari pemahaman teksnya. Teks yang secara jelas mengharamkan hewan-hewan tertentu untuk dikonsumsi, ditafsirkan dengan sifat-sifat buruk yang dimiliki hewan-hewan itu yang mesti dijauhi.
Hermeneutika sendiri mengalami banyak kali pergeseran makna sesuai kecenderungan dan kondisi sosial para tokohnya. Di sana kemudian banyak terjadi perdebatan sengit antara masing-masing pemahaman. Ini disebabkan karena metode ini tidak terlahir lengkap dan siap pakai. Namun ia berkembang secara berangsur-angsur mengikuti perkembangan tokoh dan perumusnya. Intinya adalah bahwa hermeneutika akhirnya berakhir pada titik all understanding is interpretation, semua pemahaman adalah penafsiran, oleh karenanya akan sangat mengacu pada subyektivitas penafsir.
Secara ringkas sejarah Hermeneutika dalam teologi Kristiani berikut pertentangan dan perspektif masing-masing tokoh itu adalah sebagai berikut:[10]
1. Istilah Hermeneutika baru pertama kali ditemukan dalam karya Plato (429-347 SM)
2. Metode Hermeneutika alegoris[11] dikembangkan oleh Philo of Alexandria (20 SM-50M). Ia adalah seorang Yahudi yang kemudian dianggap sebagai Bapak Metode Hermeneutika Alegoris.
3. Metode Hermeneutika alegoris ditransmisikan ke dalam pemikiran teologi kristen, tokohnya Origen (sekitar 185-254) Ia berhasil menulis kitab Perjanjian Lama dengan menggnakan metode ini, dan berikutnya dikembangkan oleh Johanes Cassianus (360-430)
4. Metode alegoris yang berpusat di Alexandria ini ditentang oleh kelompok yang membela metode literal (grammatical) yang berpusat di Antioch. Yang pertama dipengaruhi oleh Hermeneutika Plato dan yang kedua berkiblat pada Heremeneutika Aristoteles. Seorang teolog dan filosof Kristen, St. Augustine of Hippo (354-430) mengambil jalan tengah dan memberi makna baru kepada Hermeneutika dengan memperkenalkan teori semiotik
5. Thomas Aquinas (1225-1274) mengembangkan metode Hermeneutika dalam teologi Kristen dengan menggabungkan filsafat Aristoteles dengan doktrin-doktrin Kristiani.
6. Para tokoh reformasi Protestan seperti Martin Luther (1483-1456), Ulrich Zwingli (1484-1531) dan John Calvin (1509-1564) melakukan perubahan sikap dan perlawanan terhadap Bible dan otoritas gereja
7. Teori Hermeneutika berkembang menjadi metode interpretasi dan mulai menyamakan Bible dengan teks-teks lainnya dapat ditemukan awal mulanya pada karya J.C Dannheucer, Hermeneutica Sacra Sive Methodus Exponendarum Sacrarum Litterarum (terbit tahun 1654). Protes terhadap otoritas gereja yang bertentangan dengan akal muncul dalam karya Benedictus de Spinoza (1632-1677), Tractatus Theologico-Politicus (terbit 1670). Beberapa filosof dan teolog terkenal dari Universitas Halle Christian Wolff (1679-1754), Siegmund J. Baumgarten (1706-1755), Johann S. Semler (1725-1791) ikut berperan bagi derasnya arus pemikiran liberal bahkan sekuler ini. Masyarakat barat telah lebih cenderung menggunakan akal secara mandiri dan melepaskan diri bahkan tidak lagi percaya pada doktrin-doktrin tradisional keagamaan.
8. Perkembangan makna Hermeneutika dari sekedar ilmu interpretasi menuju kepada metodologi pemahaman dilontarkan oleh seorang pakar filologi, Friedriech Ast (1778-1841). Di pertengahan abad ke tujuh belas sebenarnya tanda-tanda menuju pergesaran makna itu sudah mulai terlihat. Keyakinan bahwa teks hanyalah perwakilan dari dunia mitos dan realitas masyarakat modern sebagai gambaran dunia ilmiah menjadi awal mula berubahnya penggunaan metodologi Hermeneutika dari sekedar disiplin ilmu yang mengkomunikasikan pesan-pesan Bible menjadi alat memahami dengan objek yang lebih terbuka.
9. Munculnya Fredrich Ernst Daniel Schleiermacher (1768-1834), seorang alumni dan dosen Universitas Halle (1805), filosof sekaligus pendeta mejadi babak baru perkembangan Hermeneutika. Dia dianggap sebagai Bapak Hermeneutika Modern sekaligus sebagai Pendiri Protestan Liberal. Dialah yang pertama kali berusaha membakukan Hermeneutika sebagai satu metode umum interpretasi yang tidak hanya tebatas pada kitab suci dan sastra. Karena berlatar belakan pendeta sekaligus filosof, Schleiermacher membelokkan makna hermeneutika menjadi metododlogi pemahaman dalam pengertian filsafat. Dia berpendapat bahwa Hermeneutika bertugas untuk merekonstruksi pikiran pengarang. Interpretasi yang benar menurut teori Schleiermacher tidak saja melibatkan pemahaman konteks kesejarahan dan budaya pengarang tapi juga pemahaman terhadap subyektifitas pengarang. Jika kesadaran pengarang dilihat dalam konteks kultural yang lebih luas, maka ia dapat memahami pengarang lebih baik dari pengarang memahami dirinya sendiri. Dalam kaitannya dengan Al Quran, teori ini irrelevan dan irrasional. Karena manusia tidak mungkin memproduksi kembali sikap mental Tuhan ketika mewahyukan Al Quran.
10. Wilhelm Dilthey (1833-1911), seorang filosof, kritikus sastra dan sejarawan asal Jerman, mengkritisi Hermeneutika Schleiermacher. Lagi-lagi terjadi pemaknaan baru yang kemudian dikenal dengan Hermeneutika Dilthey. Menurutnya, Hermeneutika adalah "teknik memahami ekspresi tentang kehidupan yang tersusun dalam bentuk tulisan." Ia membelokkan makna Hermeneutika menjadi metodologi sejarah.
11. Hans Georg Gadamer (1900-1998) yang datang setelah itu mengkritik Dilthey dan menekan Hermeneutika menjadi kajian ontologis yang lebih konsentrasi pada konteks tradisi filsafat barat. Ini antara lain dikarenakan Gadamer sendiri besar dilingkungan filsafat fenomeologi Jerman. Tidak lama kemudian Jurgen Hebermas yang berlatar belakang filsafat sosial Marxis mengkritik Gadamer dan menggeser makna Hermeneutika menjadi metode pemahaman yang bernuansa kepentingan (interest), khusunya kepentingan kekuasaan.
12. Mohammed Arkoun, Guru Besar Pemikiran Islam di Universitas Sorbon dengan isu dekonstruksi yang menurutnya akan memperkaya keilmuan Islam. Dekonstrusi yang dia maksud adalah membongkar hal-hal yang selama ini telah menjadi kesepakatan umum di kalangan ummat Islam, menghilangkan nilai-nilai kesakralan, menekankan kajian pada aspek historis dan memulai kajian-kajian krititik Bible. Bagi Arkoun, mushaf yang ada saat ini tidak layak untuk disucikan, sebab nilai kebenarannya tidak sebagaimana yang ada pada zaman kenabian. Mushaf yang tertulis ini lebih tidak akurat, tidak outentik dan berkurang dari kitab yang diturunkan, yang masih dalam bentuk lisan. Menurut Arkoun, kajian yang dia lakukan adalah sebagaimana yang dilakukan oleh Abu Zaid.
13. Nasr Hamid Abu Zaid (1943-.....), Dosen Bahasa Arab dan Studi Al Quran di Universitas Kairo dan dosen tamu di Universitas Leiden sejak 1995 hingga sekarang. Ia mengaku sebagai seorang Islamolog dan namanya dikenal dengan isu kontroversialnya bahwa Al Quran adalah cultural product, atau dalam istilah Abu Zaid, Al Muntâj Ats Saqafy (produk budaya). Dalam kajiannya terhadap Al Quran, Abu Zaid menggunakan sebuah metodologi yang secara simplistis dipaksakan penyebutannya sebagai metode analisa teks bahasa-sastra (Nahju At Tahlîl An Nushûs Al Lughawiyah Al Adabiyah). Menurutnya, metode ini adalah satu-satunya metode yang mungkin digunakan dalam mengkaji pesan dan memahami Islam. Metode ini adalah bagian dari hermeneutika yang dipelajari Abu Zaid ketika dia berada di Pennsylvania, Phidelphia antara tahun 1978 hingga tahun 1980. Diantara karya-karyanya adalah Mafhûmun Nash dan Naqdul Khitâb Ad Dîny. Ia menuduh para ulama Islam terdahulu telah melakukan dikotomi antara realitas dan teks.
Untuk memahami titik permasalahan yang berkembang pada kajian Al Quran kontemporer, ada baiknya bila kita secara ringkas mencoba mempelajari kembali kajian Al Quran klasik yang telah lebih dulu mapan dan mengakar kuat dalam keilmuan Islam baik dari sisi historis, keilmiahan maupun kesesuaian dengan kebutuhan zaman.
D. Sekilas tentang Tafsir Al Quran
Secara etimologi, kata Tafsir berasal dari kata fassara yang dalam bahasa Arab berarti menjelaskan atau menerangkan.[12] Dalam Surat Al Furqân Allah Swt. berfirman:
Ÿwur y7tRqè?ù'tƒ @@sVyJÎ/ žwÎ) y7»oY÷¥Å_ Èd,ysø9$$Î/ z`|¡ômr&ur #·ŽÅ¡øÿs?
Tidaklah mereka (orang-orang kafir) itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya. (Al Furqân: 33)
Secara terminologi Tafsir Al Quran dalam pemahaman Umat Islam berarti suatu disiplin ilmu yang membahas mengenai segala hal yang berkaitan dengan Al Quran. Oleh karena itu, Tafsir mencakup semua cabang ilmu yang mendekatkan terhadap pemahaman terhadap Al Quran. Az Zarkasy mendefinisikannya sebagai ilmu tentang turunnya ayat, surat dan kisah-kisah Al Quran, isyarat yang diturunkan di dalamnya, kemudian penyusunannnya berdasarkan makiyyah dan madaniyah, ayat-ayat yang jelas dan samar, nasikh mansukh, khusus dan umum, mutlak dan terikat, global dan terperinci.[13]
Tafsir Al Quran adalah suatu disiplin ilmu pengetahuan klasik dalam sejarah perkembangan ilmu-ilmu keislaman. Ilmu Tafsir sudah muncul sebenarnya bersamaan dengan awal kenabian Muhammad Saw., yang ditandai dengan turunnya ayat pertama Al Quran, Surat Al Alaq.
Oleh karena itu ketika membicarakan sejarah Tafsir Al Quran maka sacara tidak langsung kita juga akan mempelajari sejarah perkembangan Al Quran sejak masa Rasulullah, para sahabat, tabi'in, selanjutnya masa awal penyusunan tafsir, kemunculan buku-buku tafsir klasik dan akhirnya perkembangan tafsir di masa modern.
Al Quran yang diturunkan oleh Allah dalam bahasa Arab mengikuti uslub yang bekembang dalam bahasa tersebut. Terdapat beragam tingkatan dalam bahasa Al Quran. Terkadang dia menggunakan majaz, kiasan, perumpamaan, dsb. Rasulullah Saw., sebagai nabi yang menerima Al Quran memahami dengan baik semua itu dengan izin Allah Swt.[14] Sedangkan para sahabat Ra., berbeda-beda dalam pemahaman sesuai kapasitas keilmuan dan kedekatan masing-masing dengan Rasulullah Saw. Beberapa sahabat yang dikenal sebagai Mufassir Al Qurân antara lain: Khalifah yang empat, Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, Ubay bin Ka'ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa Al Asy'ary dan Abdullah bin Zubair. Sepeninggal Rasulullah Saw., para sahabat inilah yang menjad rujukan umat dalam menafsirkan ayat-ayat Tuhan.
Setelah daerah kekuasaan kaum muslimin di masa khulafâ' râsyidîn mengalami perluasan, maka mau tidak mau para sahabat Rasulullah Saw. ikut membagi diri di daerah-daerah baru tersebut demi penyebaran Islam. Diantara mereka ada yang menjadi pemimpin-pemimpin dalam pemerintahan, panglima-panglima tentara pertahanan, hakim-hakim pengadilan dan guru-guru yang mengajarkan pengetahuan keislaman. Semua mereka mengajarkan apa yang mereka terima dari Ralullah Saw., hingga akhirnya di setiap daerah muslim dikenal sekolah atau pengajan-pengajian keislaman. Sebagian dari pengajian-pengajian itu akhirnya lebih dikenal sebagai madrasah tafsir Al Quran disebabkan yang menjadi pengajarnya adalah sahabat yang terkenal sebagai seorang mufassir.
Secara umum ada tiga madrasah tafsir yang sangat terkenal di masa sahabat. Pertama madrasah Ibnu Abbas di Mekah, diantara murid-muridnya adalah Sa'id bin Jubair, Ikrimah, Mujahid, Thawus dan Atha' bin Abi Rabah. Berikutnya madrasah Ubay bin Ka'ab di Madinah, diantara murid-muridnya adalah Zaid bin Aslam, Abul Aliyah dan Muhammad bin Ka'ab. Madrasah ketiga adalah madrasah Ibnu Mas'ud di Iraq. Diantara murid-muridnya adalah Al Qamah bin Qays, Masruq, Aswad bin Zaid, Murrah Al Hamadani, 'Amir As Sya'biy, Hasan Al Bashry dan Qatadah.
Periode selanjutnya adalah periode penyusunan ilmu tafsir. Periode ini dimulai sejak akhir keruntuhan Bani Umayyah dan awal mula kekuasaan Bani Abbasiyah. Ketika dimulai kompilasi hadits nabawiyah pada masa Umar bin Abdul Aziz, sebenarnya secara tidak langsung telah terjadi pula kompilasi Tafsir Al Quran sekalipun belum secara mandiri dan terpisah. Sebab bab-bab hadits yang disusun para ulama ketika itu mencakup tafsiran-tafsiran Nabi terhadap ayat-ayat Al Quran bahkan beberapa penafsiran sahabat dan tabi'in. Pemisahan tafsir dari hadits serta kajian dan kodifikasi tafsir secara serius baru dimulai sekitar akhir abad ke dua dan awal abad ketiga hijriah oleh para ulama pegiat hadits dan tafsir seperti Ibnu Majah (373 H), Ibnu Jarir At Thabary (310 H), Abu Bakar bin Mundzir An Naisabury (318 H), Ibnu Abi Hatim (327 H), Ibnu Hibban (369 H), Hakim (405 H), Abu Bakar bin Mardawayh (410 H) dst. Tafsir yang berkembang pada masa itu sangat menekankan pada aspek periwayatan dari Rasulullah Saw. atau yang lebih dikenal dengan Tafsîr bil Ma'tsûr. Baru setelah itu hingga zaman sekarang model penafsiran menjadi lebih luas, dengan menggabungkan aspek periwayatan dan pemahaman akal masing-masing penafsir yang lebih dikenal dengan Tafsîr bi Ar Ra'yi.[15]
Tafsîr bi Ar Ra'yi sendiri memiliki berbagai persyaratan tambahan disamping syarat-syarat umum yang lazim dikenal dalam Tafsîr bil Ma'tsûr. Tanpa memenuhi syarat-syarat itu sebuah penafsiran dengan menggunakan akal akan tertolak dan digolongkan para ulama sebagai Tafsîr bi Ar Ra'yi Al Madzmûm (tafsir berdasarkan akal semata yang tercela).
Ibrahim Khalifah menyebutkan hal-hal yang mesti dilakukan oleh penafsir bi Ar Ra'yi sebagai berikut:[16]
1. Kesesuaian yang sempurna antara hasil penafsiran dan apa yang ditafsirkan, tanpa kekurangan sedikitpun pada makna dan maksud, dan tidak terjadi penambahan dengan sesuatu yang tidak memiliki hubungan
2. Memahami perkataan sesuai yang ditentukan atau yang dikuatkan. Sekurang-kurangnya makna tersebutlah yang dimaksud secara hakikat atau secara majaz, dan seterusnya sesuai bentuk kalimat
3. Memperhatikan bentuk kalimat dan hubungan antara satu dan lainnya
4. Memperhatikan sebab turun ayat
5. Memastikan dan mengumpulkan segala kemungkinan yang terkait dengan susunan kata-kata Al Quran, selanjutnya menyusunnya berdasarkan ilmu-ilmu terkait kemudian membuat kesimpulan hukum berdasarkan kaidah bahasa, syariat dan akal.
Adapun hal-hal yang mesti ditinggalkan oleh penafsir adalah sebagai berikut:[17]
1. Menafsirkan tanpa memili pengetahuan memadai dalam ilmu-ilmu yang terkait dengan penafsiran
2. Berlebih-lebihan dalam menafsirkn hal-hal yang hanya diketahui oleh Allah semata
3. Menafsirkan berdasarkan hawa nafsu dan pandangan pribadi tentang nilai baik-buruk
4. Memastikan apa yang diinginkan Allah dari suatu ayat tanpa disertai dalil
5. Menganggap bahwa dalam Al Quran terjadi pengulangan yang tak berarti atau mengatakan bahwa lafadz yang digunakan Al Quran dalam suatu ayat bisa digantikan dengan lafadz lain.
E. Telaah komparatif terhadap Hermeneutika dan Tafsir
Komparasi analitis antara dua bangunan konsep ini adalah langkah awal yang mesti dilakukan sebelum memberikan peringkat keilmiahan pada masing-masingnya. Amat sulit sebenarnya mencari kesamaan antara metodologi Hermeneutika dan Tafsir. Dari segi makna terminologi, sejarah, aplikasi dan kekuatan ilmiahnya jauh berbeda. Meski ada sekelompok kecil orang yang mengatakan terdapat beberapa persamaan karena keduanya adalah metodologi pemahaman, namun perbedaan antara keduanya jauh lebih banyak sehingga mustahil mensinonimkan dan mengaplikasikan keduanya dalam memahami makna Al Quran. Atau jika tetap dianggap bahwa pengertian Hermeneutika masuk dalam defenisi Tafsir, maka Model penafsiran Hermeneutika lebih mirip Tafsîr bi Ar Ra'yi Al Madzmûm.
Perbedaan paling mendasar antara keduanya adalah bahwa Hermeneutika merupakan model pemahaman yang menjadikan subjektivitas dan asumsi hermeneut sebagai sandaran utama. Sehingga itu teori dan aplikasi Hermeneutika terus mengalami perubahan, perbedaan bahkan pertentangan antara satu dengan yang lainnya.
Sedangkan Tafsir adalah sebuah metode interpretasi teks yang berusaha untuk seobjektif mungkin memahami dan menjelaskan pengertian teks sesuai dengan maksud pengucapnya. Tafsir sangat mementingkan otentisitas dan validitas teks, serta sangat memperhatikan setting sejarah dari keluarnya teks itu dan konteks posisi antara satu bagian teks dengan bagian lainnnya. Referensi utama dalam menafsiri sebuah ayat Al Quran adalah firman Allah Swt. Di ayat yang lain dan penjelasan Rasul dalam hadits-haditsnya. Derajat tertinggi dalam Ilmu Tafsir adalah penafsiran Al Quran dengan Al Quran. Setelah itu penafsiran Rasulullah Saw. sebagai manusia yang paling memahami Al Quran di posisi kedua. Ketika Rasulullah masih hidup, dua model penafsiran inilah yang berkembang. Jika ada permasalahan dalam Al Quran yang tidak dipahami oleh para sahabat, mereka menanyakan langsung kepada Rasulullah Saw. Oleh sebab itu penjelasan Al Quran dengan menggunakan metodologi Tafsir memiliki sumber yang jelas dan jauh dari dugaan.
Allah Swt berfirman dalam Al Quran:
!$tBur $uZø9tRr& y7øn=tã |=»tGÅ3ø9$# žwÎ) tûÎiüt7çFÏ9 ÞOçlm; Ï%©!$# (#qàÿn=tG÷z$# ÏmŠÏù Yèdur ZpuH÷quur 5Qöqs)Ïj9 šcqãZÏB÷sムÇÏÍÈ
Dan kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman (An Nahl: 64)
Seperti ditegaskan oleh Al Quran, segala penjelasan yang dilakukan Rasulullah bukanlah penjelasan subjektif Beliau, apalagi spekulatif. Akan tetapi penjelasan yang memang sesuai dengan maksud Allah Swt. Dan disampaikan dlam pantauan-Nya.
$tBur ß,ÏÜZtƒ Ç`tã #uqolù;$# ÇÌÈ ÷bÎ) uqèd žwÎ) ÖÓórur 4ÓyrqムÇÍÈ
Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). (An Najm:3-4)
öqs9ur tA§qs)s? $oYøn=tã uÙ÷èt/ È@ƒÍr$s%F{$# ÇÍÍÈ $tRõs{V{ çm÷ZÏB ÈûüÏJuø9$$Î/ ÇÍÎÈ §NèO $uZ÷èsÜs)s9 çm÷ZÏB tûüÏ?uqø9$# ÇÍÏÈ $yJsù Oä3ZÏB ô`ÏiB >tnr& çm÷Ztã tûïÌÉf»ym ÇÍÐÈ ¼çm¯RÎ)ur ×otÏ.õtFs9 tûüÉ)­GßJù=Ïj9 ÇÍÑÈ
Seandainya dia (Muhammad) mengadakan sebagian perkataan atas (nama) Kami. Niscaya benar-benar Kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya. Maka sekali-kali tidak ada seorangpun dari kamu yang dapat menghalangi (Kami) dari pemotongan urat nadi itu. Dan Sesungguhnya Al Quran itu benar-benar suatu pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa. (Al Hâqqah: 44-48)
Setelah Rasulullah wafat, penafsiran yang dilakukan sahabat adalah dengan meneliti makna ayat yang serupa dan memperhatikan konteks asbabunnuzul yang melatar belakangi turunnya ayat tersebut. Selain itu mereka juga merujuk kepada penafsiran Rasulullah Saw. Setelah benar-benar tidak menemukan dalam Al Quran dan hadits Rasulullah, mereka menanyakan maksud ayat pada sahabat lain yang pernah mempelajari ayat tersebut secara langsung dari Rasulullah, karena mereka dianggap lebih memiliki otoritas terhadap penafsirannya. Baru setelah semua jalan mereka tempuh dan tidak menemukan Tafsir dari ayat yang mereka inginkan, mereka melakukan ijtihâd, terutama dengan meneliti pengertian kata-kata kunci dalm ayat tersebut secara bahasa.
Dalam Islam, ijtihad diikat oleh ketentuan dan kaidah tersendiri yang diatur sedemikian rupa sehingga hanya boleh dilakukan berdasarkan kapasitas keilmuan yang diakui, wawasan keislaman dan kemampuan bahasa yang memadai.
Selain itu, Tafsir Al Quran juga harus didukung oleh penguasaan terhadap disiplin ilmu-ilmu tertentu yang sangat terkait dengan Al Quran baik dalam segi sejarah, kata-kata maupun isi kandungannya. Tanpa menguasai ilmu-ilmu tersebut dengan benar seorang muslim tidak dibenarkan menafsirkan Al Quran agar tidak terjadi penyimpangan. Seorang penafsir Al Quran dituntut untuk mengetahui ilmu tentang ragam bacaan (qiraah), sejarah, sebab turunnya ayat, nasikh mansukh, ayat-ayat yang jelas dan samar, gramatika bahasa arab, majaz, kiasan dsb. Ilmu-ilmu inilah yang menjadikan tidak terjadinya pertentangan dalam ratusan buku-buku Tafsir ulama Islam klasik maupun kontemporer.
Di titik ini lagi-lagi terjadi perbedaan yang sangat kontras antara dua metodologi ini. Hermeneutika yang dibangun atas paham relatifisme[18] sehingga menghasilkan kesimpulan yang berbeda bahkan bertentangan, sama sekali tidak mementingkan aspek kemampuan ilmiah. Sesuai teori Schleiermacher, siapapun yang ingin memahami silahkan memahami. Tidak ada syarat-syarat tertentu menyangkut kapabilitas pelaku pemahaman.
Secara ringkas perbedaan antara Hermeneutika dan Tafsir dapat kita simpulkan dalam poin-poin berikut:
  1. Hermeneutika menjadikan subyektivitas sebagai sandaran utama, menggunakan prinsip ‘menduga’ dan memandang teks bukan sebagai fenomena bahasa yang merupakan alat komunikasi obyektif. Sedangkan Tafsir merupakan metode penjelasan untuk menuju maksud obyektif dari pemilik teks yang memang memfungsikan teks itu sebagai alat komunikasi antara dirinya dan pembaca.
  2. Tafsir diikat dan harus didukung oleh disiplin ilmu lainnya. Sedangkan Hermeneutika mengartikan teks tanpa persyaratan penguasaan terhadap keilmuan lain yang mendukung. Tafsir memperhatikan konteks-konteks yang meliputi teks, baik konteks historis maupun konteks kalimat. Sedangkan hermeneutika, secara umum menghendaki pelepasan teks itu dari konteksnya dan dari sejarahnya sehingga sang pembaca semakin menemukan kebebasan dalam berekspresi ketika memberikan arti-arti baru terhadap teks (meskipun bertentangan secara kontras dengan konteks dan bunyi teks)
  3. Fungsi Tafsir adalah sebagai perantara untuk memahami maksud pengarang teks. Sedangkan dalam Hermeneutika, pemahaman dapat berubah sesuai dengan berkembangnya keinginan dan obsesi atau ambisi pembaca. Pemahaman dalam Hermeneutika adalah apa yang diinginkan oleh pembaca, bukan yang dimaksudkan oleh pengarang. Seorang Hermeneut dapat memberikan arti apa saja kepada semua bagian teks tanpa terkecuai selama dia ingin. Sementara dalam tradisi Tafsir, hal-hal dalam teks yang memang kebetulan tidak ditemukan rincian pengertiannya oleh seorang penafsir semisal ayat-ayat yang berbicara tentang alam gaib, hari kiamat, dsb, tentu tidak bisa ia kemukakan penjelasannya (sebab dalam kondisi itu memang sedang tidak ada bahan ilmiah yang bisa dijadikan sebagai argumentasi obyektif).
Berdasarkan fakta di atas, para cendekiawan muslim kontemporer sepakat bahwa nilai ilmiah metodologi tafsir jauh lebih bisa dipertanggungjawabkan dibandingkan Hermeneutika yang sama sekali tidak memiliki sandaran kecuali dari kosep 'latah' para penganjurnya.
F. Mungkinkah metode Hermeneutika diterapkan dalam studi Al Quran?
Usaha untuk mengaplikasikan metodologi Bible dalam studi Al Quran telah mulai dirintis oleh oleh para teolog Kristen dan orientalis sejak awal mereka mengaplikasikannya dalam Injil.[19]
Pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah mungkin atau pantaskah metode Hermeneutika ini digunakan untuk memahami Al Quran?
Secara umum, para penganjur Hermeneutika beralasan bahwa studi Hermeneutika patut dimasukkan dalam kajian-kajian kitab suci untuk memunculkan nilai-nilai kontekstual yang terhalangi oleh teks. Baik Injil maupun Taurat menurut mereka tidak membawa nilai-nilai kontekstual itu. Mereka kemudian menggeneralisir hal yang sama terjadi pada Al Quran. Bahwa teks ilahiyah itu perlu dijabarkan dengan metodologi Hermeneutika agar lebih bersifat humanis.
Ada beberapa hal penting yang perlu dikaji terlebih dahulu sebelum memutuskan boleh tidaknya konsep Hermeneutika diterapkan dalam memahami Al Quran. Pertama, benarkah bahwa teks Al Quran tidak bernilai kontekstual, tidak humanis. Kedua, membandingkan teks Al Quran dengan teks kitab suci lainnya khususnya Bible (Taurat dan Injil) juga mengkaji sejarah Al Quran dan membandingkannya dengan sejarah Taurat dan Injil.
1. Benarkah Al Quran tidak bersifat humanis?
Umat Islam secara keseluruhan sepakat bahwa Islam tidak hanya terbatas pada teks yang tersusun dalam kitab suci Al Quran tapi juga sangat menjunjung tinggi realitas manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi. Al Quran sebagai kitab hudan linnâs merupakan sumber dan tata nilai serta petunjuk bagi manusia hingga akhir zaman. Oleh karena itu sejauh apapun dinamika dan perkembangan berfikir manusia tidak boleh terlepas dari koridor Qurani yang telah disipkan sebagai pedoman final. Ayat Al Quran yang pertama kali turun; Surat Al 'Alaq mengandung perintah membaca. Dan karena belum ada teks Al Quran yang terkodifikasi ketika itu, maka bisa dipastikan bahwa yang dimaksud Allah Swt. adalah membaca realitas dan memperhatikan kondisi sosial dan lingkungan yang ada disekeliling Nabi Muhamad Saw. Hal ini disadari sepenuhnya oleh Rasulullah Saw., sehingga dakwah yang Beliau lakukan sangat memperhatikan nilai-nilai humanis dan konteks sosial, budaya dan politik.
Tidak berhenti disitu, perintah Allah untuk memperhatikan realitas dengan konotasi senada berulang-ulang disampaikan dengan menggunakan isyarat-isyarat bebeda. Kata-kata yang sering digunakan Al Quran misalnya nadhara, fakkara, bashara, dabbara, dsb. Allah mengajak manusia untuk mencermati penciptaan alam semesta, realitas kehidupan, lingkungan, hingga anatomi dan psikologi manusia.
Di sisi lain, hukum dan nilai-nilai yang diajarkan oleh Al Quran ditujukan untuk kemaslahatan umat manusia. Perintah dan larangan yang tertuang di dalamnya adalah dalam rangka menjaga dan memelihara stabilitas sosial dan keberlangsungan alam semesta. Hal inilah yang menyebabkan banyaknya perbahan dan perbaikan yang diajarkan Al Quran terutama untuk menentang tradisi jahiliyah yang bertentangan dengan akal, di luar kesanggupan atau tanpa hikmah dan maslahat.[20]
2. Pebandingan teks dan sejarah Al Quran dan kitab suci lainnya
Ada sebagian kalangan yang dengan gegabah mencoba menyamakan antara Al Quran dan Bible dengan menyatakan bahwa semuanya adalah kitab suci original. Padahal, kalangan ilmuwan Barat yang jeli bisa membedakan antara kedua kitab agama itu. Norman Daniel misalnya. Dia mengatakan bahwa kitab Al Quran tidak sama dengan kitab agama lainnya di luar Islam. Demikian juga Richard Elliot Friedman yang mengatakan bahwa penulis Bible hingga saat ini masih merupakan teka-teki dan belum dapat diketahui secara pasti.[21]
Banyak contoh konkrit yang dapat kita temukan tentang permasalahan penyimpangan teks Bible ini dari naskah yang sebenarnya. Yang paling menarik mungkin adalah banyaknya perbedaan mendasar bahkan pertentangan antara ayat yang satu dengan yang lainnya. Begitu juga permasalahan perbedaan naskah antara terbitan satu dengan terbitan lainnya. I. J Setyabudi seorang alumnus Universitas Kristen Satya Wacana bahkan menulis dalam bukunya, Kontroversi Nama Allah, bahwa penemuan Arkeolog Biblika sejak tahun 1890-1976 M telah menghasilkan 5366 temuan naskah-naskah purba Kitab Perjanjian Baru yang diteliti memiliki perbedaan kata-kata antara 50.000 sampai 300.000. Ini berarti berkisar antara ½ sampai dua kali lebih banyak jika dibandingkan dengan 138.162 kata yang ada dalam Perjanjian Baru itu sendiri.[22]
Teks Al Quran tidak memiliki problematika semacam ini. Ragam perbedaan bacaan yang termasuk dalam qirâ’ah mutawâtirah semuanya mendapatkan pengakuan dari Nabi Muhammad Saw. Adapun tentang pertentangan antara satu naskah dengan yang lainnya sebagaimana yang terjadi dalam Bible sama sekali tidak ditemukan dalam kitab suci Al Quran.
Tentang hal ini Allah Swt berfirman:
Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. (An Nisa’: 82)
Selanjutnya, Al Quran sebagai kitab suci terakhir untuk umat manusia diturunkan dengan bahasa Arab yang mudah dipahami dan dipelajari oleh semua kalangan. Al Quran berbeda dengan Injil yang bahasa aslinya sulit bahkan tidak dipahami kecuali oleh kalangan tertentu. Menggunakan Hermeneutika untuk menafsirkan Al Quran seolah-olah menggambarkan bahwa Al Quran adalah wahyu Allah yang sulit dimengerti, masih perlu dita’wilkan agar sesuai dengan pemahaman manusia. Kaum muslimin tidak pernah berbeda dalam memahami hukum-hukum Al Quran. Ketika membaca ayat tentang pengharaman minuman keras, babi, berjudi dsb; tidak ada seorang muslimpun yang memiliki pemahaman berbeda.
Allah Swt. mengulang-ulang penekanan tentang kemudahan bahasa Al Quran ini. Diantaranya pada awal enam surat yang tersusun secara berurutan Allah Swt. telah mengisyaratkan hal ini. Allah Swt. berfirman:
Alif lâm râ. Inilah ayat-ayat Al Quran yang mengandung hikmah.(Yunus: 1)
Alif lâm râ. (Inilah) suatu Kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) Yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu (Hud: 1)
Alif lâm râ. Ini adalah ayat-ayat kitab (Al Quran) yang nyata (dari Allah). Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya. (Yusuf:1-2)
Alif lâm mîm râ.. Ini adalah ayat-ayat Al Kitab (Al Quran). dan Kitab yang diturunkan kepadamu daripada Tuhanmu itu adalah benar: Akan tetapi kebanyakan manusia tidak beriman (kepadanya). (Ar Ra’d: 1)
Alif lâm râ. (Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji. (Ibrahim: 1)
Alif lâm râ. (Surat) Ini adalah (sebagian dari) ayat-ayat Al-Kitab (yang sempurna), yaitu (ayat-ayat) Al Quran yang memberi penjelasan. (Al Hijr: 1)
Surat-surat di atas dimulai dengan huruf-huruf Hijaiyah. Secara keseluruhan surat-surat yang dimulai dengan huruf Hijaiyah dalam Al Quran ada 29 surat. Ada banyak pemahaman ulama tentang maksud Allah memulai surat-surat ini dengan huruf Hijaiyah.[23] Di antara para ulama ada yang menafsirkan bahwa huruf-huruf abjad tersebut digunakan untuk menarik perhatian para pendengar agar memperhatikan Al Quran. Bahwa Al Quran yang telah diturunkan Allah dalam bahasa Arab dan tersusun dari huruf-huruf yang mereka pahami. Ayat mubîn, ayat hakîm atau hudan lil muttaqîn tentu harus tersusun dari bahasa-bahasa yang dapat dipahami dengan mudah oleh pendengar dan pembacanya.
Kajian komparatif selanjutnya mengenai kitab suci komparasi historis, perbandingan antara sejarah Al Quran dan sejarah Bible. Salah satu unsur yang harus diperhatikan dan tidak boleh diabaikan dalam kajian terhadap sebuah pengetahuan, pemikiran, ide dan konsep adalah melihat latar belakang historis dimana konsep, ide dan pemikiran tersebut dirumuskan. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa Hermeneutika muncul dalam pengkajian Bible disebabkan keraguan akan asal usul Bible, disusul oleh banyaknya pertentangan dengan ilmu pengetahuan dan etika sosial di dalamnya,[24] serta berbagai penyimpangan dalam penggunaannya. Bible dan gereja di zaman kegelapan (the dark ages)[25] dengan menggunakan otoritasnya sebagai wahyu Tuhan menghegemoni kehidupan manusia dan melakukan banyak tindak kejahatan. Saat itu, Gereja dengan mengikrarkan diri sebagai institusi resmi wakil Tuhan di bumi telah melakukan banyak tindakan brutal yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Ini tentu saja berbeda dengan sejarah Al Quran yang sejak awal hingga saat ini tidak bertentangan dengan perkembangan keilmuan dan telah membebaskan masyarakat Arab dan umat manusia secara umum dari perbudakan dan penganiayaan.
Oleh karena itu, Al Quran diyakini secara mutlak oleh pengikutnya sebagai kitab suci yang teks dan maknanya berasal dari Tuhan tanpa sedikitpun campur tangan manusia.
Al Quran yang ada saat ini sama dengan Al Quran sebagaimana yang ada di zaman kenabian. Tidak mengalami perubahan dan pergantian baik teks maupun makna. Allah sendiri telah menjamin hal ini dalam firman-Nya:
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. (Al Hijr: 9)
Ada perbedaan mendasar antara konteks zaman Al Quran dengan konteks zaman kitab suci lainnya. Al Quran adalah kitab suci yang diturunkan untuk manusia yang hidup sejak zaman kenabian hingga akhir zaman. Dimensi zaman antara Al Quran dan kitab suci lainnya berbeda. Al Quran lebih luas dan tak terbatas pada satu generasi.
Selanjutnya, sejarah mencatat bahwa Al Quran tidak dipengaruhi oleh perkembangan zaman selama kurang lebih empat belas abad sejak awal turunnya hingga saat ini. Bahkan Al Quran sangat mempengaruhi perkembangan peradaban serta telah menciptakan sejarah peradaban tersendiri.
Satu lagi keistimewaan Al Quran dibandingkan kitab-kitab para nabi sebelumnya. Dia diturunkan sebagai penyempurna dengan cakupan yang lebih luas. Sasaran hukumnya bukan hanya terbatas pada manusia namun juga meliputi golongan Jin.
Tentang otoritas teks, kalangan hermeneut modern yang dikepalai oleh Schleiermacher mengatakan bahwa pengarang tidak memiliki otoritas terhadap makna teks, tapi sejarah dan pembacalah yang akan menentukan. Hal ini tentu saja tidak dapat diaplikasikan dalam Al Quran. Fungsi penafsiran adalah untuk memahami maksud pengarang teks dan tidak kemudian menghasilkan pemahaman berbeda. Kaum Muslimin telah sepakat dan mengakui otoritas Allah sebagai Tuhan yang menurunkan Al Quran dan mereka mengamalkan apa yang terkandung di dalamnya sesuai kehendakNya. Berbeda dengan Bible yang oleh pengikutnya sendiri tidak diakui otoritas pengarangnya sebab para pengarang tersebut sendiri masih merupakan teka-teki. Terdapat bermacam-macam naskah berbeda dari Bible dan setiap naskah ada pengarangnya tersendiri. Setiap pengarang mendapatkan ‘inspirasi’ dari Tuhan. Adian Husaini menulis tentang inspirasi ini, bahwa makna dan seperti apa inspirasi itu sendiri masih belum tuntas dalam bahasan studi Bible.[26]
G. Epilog
Rasulullah Saw. bersabda:
عن أبي سعيد الخدري قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لتتبعن سنن الذين من قبلكم شبرا بشبر وذراعا بذراع حتى لو دخلوا فى حجر ضب لاتبعوهم قلنا يا رسول الله اّليهود والنصارى ؟ قال فمن ؟
Dari Abu Sa’id Al Khudri berkata, Rasulullah Saw. bersabda: Kalian sungguh akan mengikuti jalan kaum sebelum kalian sehasta demi sehasta, sejengkal demi sejengkal, sehingga apabila mereka masuk lubang biawak sekalipun kalian akan mengikutinya juga. Kami bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah mereka (yang diikuti) itu kaum Yahudi dan Nasrani?” Rasulullah menjawab: “Siapa lagi (kalau bukan mereka) ?”[27]
Diskursus Hermeneutika begitu bergema dalam studi Al Quran saat ini. Perlu ada pengkajian intens yang dilakukan oleh para ulama, cendekiawan dan akademisi muslim, terutama dalam penolakan terhadap hal-hal yang merusak kesakralan kitab suci mereka.
Hermeneutika adalah ilmu yang perlu diketahui namun perlu juga ditempatkan pada tempatnya. Yang paling penting, Hermeunetika perlu dikaji secara kritis. Dia memang merupakan cabang ilmu yang sering digunakan untuk 'merusak' keilmuan lainnya. Paling tidak seperti itu yang nyata terlihat ketika dia masuk dan bercampur dengan kajian-kajian filsafat dan sejarah. Dia menjadi semakin bermasalah ketika digunakan untuk mengetahui makna kitab suci, khususnya Al Quran. Jika mengacu pada pemahaman Hermeneutika menurut Schleiermacher maka bisa dipastikan bahwa konsep ini akan sangat merusak cabang keilmuan apapun. Bukan hanya tidak pantas digunakan untuk memahami Al Quran, tapi juga tidak sesuai untuk kitab suci lainnya bahkan tidak untuk kitab sastra dan sejarah.
Para Hermeneut memang belum menghasilkan tafsir baru karena mereka melakukan kajian tidak sistematis dan terpisah-pisah tentang Al Quran. Namun Hermeneutika harus diwaspadai karena bisa menyebabkan orang tidak lagi percaya kepada Al Quran sebagai wahyu Ilahi secara murni tanpa campur tangan manusia. Pada akhirnya juga akan berpeluang memunculkan tafsir-tafsir liberal yang tidak terkendali, penafsiran sesuka hati, sesuai cara pandang masing-masing penafsir.
Umat Islam telah memiliki khazanah keilmuan Tafsir Al Quran yang luas, bermutu, original, ilmiah dan perlu dikembangkan oleh para cendekiawan muslim. Tidak perlu terpengaruh dan silau dengan hal-hal baru –apalagi yang sama sekali irrasional dan tidak bernilai ilmiah- yang belum tentu lebih baik dari apa yang kita miliki.
Wallâhu A’lam
Kampung Sepuluh, 7 Juli 2007
Bibliography:
Al Qurân Al Karîm
Abdurrahman Khalifah, Ibrahim. Ad Dakhîl fi At Tafsîr. tc. tt.
Abu ‘Ashi, Muh. Salim. Maqâlatâni fi At Ta’wîl. Kairo: Dâr Al Bashâir. 2003. cet. I
Adz Zahaby, Muhammad Husain. At Tafsîr wal Muassirûn. Kairo: Dar Hadits. 2005
Al Atsqallâny, Ibnu Hajar. Fathu Al Bâry bi Syarhi Shahih Al Bukhâry. Kairo: Dâr Taqwâ. 2000. Vol. XIII
Al Kitâb Al Muaqaddas. Cairo: Dâr Al Kitâb Al Muqaddas Fî As Syarqil Ausath. 2005. Cet I
An Nawawy. Syarh Shahîh Muslim. Kairo: Dâr At Taqwâ. 2004. Vol. XVI
Armas, Adnin. Metodologi Bible dalam studi Al Quran. Jakarta: GIP. 2005. Cet. I
As Syuyuthi, Jalaluddin. Al Itqân fî ‘Ulûmil Qurân. Beirut: Dar Al Kotob Al Ilmiyah. 2004.
At Turmudzi. Shahîh Turmudzy. Kairo: Dar Al Hadits. 1999. Cet. I. Vol. IV
Az Zarkasyi, Badruddin Muh. bin Abdillah. Al Burhan fi Ulumi Al Quran. Kairo: Darul Hadits. 2006
Bauman, Zygmunt. Hemeneutics and Social Sciences. New York: Columbia University Perss. 1978
Faiz, Fahruddin. Hermeneutika Al Quran Tema-tema Kontroversial. Yogyakarta: eLSAQ Press. 2005.
Hanbal, Ahmad. Al Musnad. Kairo: Dar Al Hadits. 1995. Cet. I. Vol. XVI
Husaini, Adian. Wajah Peradaban Barat: dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekuler-Libarel. Jakarta: GIP. 2005
Hossain Nashr, Sayyed. Islamic Studies: Essay on Law and Society. Beirut: Libeirie Du Liban. 1967
Kumpulan Makalah Workshop Tantangan Pemikiran Islam Kontemporer. Kairo: IKPM. 2006
Manzhur, Ibnu. Lisânul Arab. Kairo: Darul Hadits. 2003. Vol. IX
Salim, Fahmi. Khitâbât Da’wâ Falsafah at Ta’wîl Al Hirminutiqi Lil Qurân. Tesis Magister Tafsir dan Ilmu Al Quran Al Azhar. 2007
Setyabudi, I. J. Kontroversi Nama Allah. Jakarta: Wacana Press. 2004
Sumaryono, E. Hermeneutika: Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius. 1999


[2] Fahruddin Faiz, Hermeneutika Al Quran Tema-tema Kontroversial, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2005), cet. I, hal. 13
[3] Fahmi Salim, Khitâbât da’wâ falsafah at ta’wîl Al Hirminutiqi Lil qurân, Tesis Magister Tafsir dan Ilmu Al Quran Al Azhar, 2007, hal. 29
[4] Lihat: Kumpulan Makalah Workshop Tantangan Pemikiran Islam Kontemporer, Makalah Hamid Fahmi Zarkasyi, Hermenutika Sebagai Produk Pandangan Hidup, (Kairo: IKPM, 2006), hal. 111
[5] Hermes sering di identikkan dalam Islam dengan Nabi Idris, orang yang pertama kali mengenal tulisan, teknik dan kedokteran. Di kalangan Mesir Kuno, Hermes dikenal sebagai Thot. Sementara di kalangan Yahud dikenal sebagai Unukh dan di kalangan masyarakat Persi Kuno sebagai Hushang. Lihat: Sayyed Hossain Nashr, Islamic Studies: Essay on Law and Society, (Beirut: Libeirie Du Liban, 1967), hal. 64
[6] Fahmi Salim, loc. cit
[7] Zygmunt Bauman, Hemeneutics and Social Sciences, (New York: Columbia University Perss, 1978), hal. 7
[8] Beberapa ayat yang secara tegas menyebutkan hal ini:
t
Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan percaya kepadamu, padahal segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya setelah mereka memahaminya, sedang mereka mengetahui (Al Baqarah: 75)
Yaitu orang-orang Yahudi, mereka mengubah perkataan dari tempat-tempatnya. mereka berkata: "Kami mendengar, tetapi kami tidak mau menurutinya". Dan (mereka mengatakan pula): "Dengarlah "sedang kamu Sebenarnya tidak mendengar apa-apa. dan (mereka mengatakan): "Raa'ina", dengan memutar-mutar lidahnya dan mencela agama… (An Nisa: 46)
Karena mereka melanggar janjinya, kami kutuki mereka, dan kami jadikan hati mereka keras membatu. mereka suka merobah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya, dan kamu (Muhammad) senantiasa akan melihat kekhianatan dari mereka kecuali sedikit diantara mereka (yang tidak berkhianat), Maka maafkanlah mereka dan biarkan mereka, Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (Al Maidah: 13)
Hai Rasul, janganlah hendaknya kamu disedihkan oleh orang-orang yang bersegera (memperlihatkan) kekafirannya, yaitu diantara orang-orang yang mengatakan dengan mulut mereka:"Kami telah beriman", padahal hati mereka belum beriman; dan (juga) di antara orang-orang Yahudi. (orang-orang Yahudi itu) amat suka mendengar (berita-berita) bohong dan amat suka mendengar perkataan-perkataan orang lain yang belum pernah datang kepadamu; mereka merubah ayat-ayat (Taurat) dari tempat-tempatnya… (Al Maidah: 41)
[9] Kitab-kitab umat terdahulu yang masih tersisa dan populer hanya tinggal dua kitab ini, Taurat dan Injil
[10] Disarikan antara lain dari: Kumpulan Makalah Workshop Tantangan Pemikiran Islam Kontemporer, Makalah Hamid Fahmi Zarkasyi, Hermeneutika Sebagai… loc.cit, E. Sumaryono, Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1999)
[11] Metode alegoris juga disebut typology. Intinya mengajarkan bahwa pemahaman makna spiritual suatu teks tidak berasal dari teks atau informasi teks tetapi melalui pemahaman simbolik yang merujuk kepada sesuatu di luar teks
[12] Ibnu Manzhur, Lisânul Arab, (Kairo: Darul Hadits, 2003), vol. IX, hal. 124
[13] Badruddin Muh. bin Abdillah Az Zarkasyi, Al Burhan fi Ulumi Al Quran, (Kairo: Darul Hadits, 2006), hal. 416
[14] Dalam hal ini Allah Swt. berfirman:
¨bÎ) $uZøŠn=tã ¼çmyè÷Hsd ¼çmtR#uäöè%ur ÇÊÐÈ #sŒÎ*sù çm»tRù&ts% ôìÎ7¨?$$sù ¼çmtR#uäöè% ÇÊÑÈ §NèO ¨bÎ) $uZøŠn=tã ¼çmtR$uŠt/ ÇÊÒÈ
Sesungguhnya atas tanggungan Kami lah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kami lah penjelasannya. (Al Qiyâmah: 17-19)
[15] Muhammad Husain Adz Zahaby, At Tafsîr wal Mufassirûn, (Kairo: Dar Hadits, 2005), Juz I, hal. 33 dst.
[16] Ibrahim Abdurrahman Khalifah, Ad Dakhîl fi At Tafsîr, (tc.,tt), hal. 351-352
[17] Ibid.
[18] Relatif dalam artian bahwa bagi Hermeneutika tidak ada kebenaran yang obyektif, semuanya tergantung ruang, waktu dan pembaca.
[19] Sejarah panjang aplikasi Metodologi Bible dalam studi Al Quran dapat dilihat secara lengkap dalam karya Adnin Armas, Metodologi Bible dalam studi Al Quran, (Jakarta: GIP, 2005) cet. I
[20] Banyak contoh menarik yang bisa kita dapatkan, antara lain pada kasus Zaid bin Haritsah (Al Ahzâb: 36-40), dan Haulah bintu Tsa'labah (Al Mujadilah: 1-4).
[21] Norman Daniel dalam bukunya, Islam and The West: The making of an Image menegaskan: “The Quran has no parallel outside Islam”.
Richard Elliot Friedman dalam bukunya, Who wrote the Bible, menulis: “it is a strange fact that we have never known with certainty who produced the book that has played a central role in our civilization.” Dikutip dengan beberapa perubahan dari: Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat: dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekuler-Libarel, (Jakarta: GIP, 2005)
[22] I. J Setyabudi, Kontroversi Nama Allah, (Jakarta, Wacana Press, 2004) hal. 150-152
[23] Jalaluddin As Syuyuthi, Al Itqân fî ‘Ulûmil Qurân (Beirut: Dar Al Kotob Al Ilmiyah, 2004), hal. 319
[24] Bukti paling jelas adalah ketika kalangan gereja menolak penemuan ilmiah Johannes Kepler (1571-1630) dan Galelio Galilie (1569-1624)
[25] Barat menyebutnya sebagai zaman pertengahan (The Nedieval Ages). Dimulai dengan keruntuhan Imperium Romawi Barat tahun 476 hingga munculnya zaman Renaissance sekitar abad ke 14
[26] Ibid., Makalah Adian Husaini, Hermenutika dan Problematika Teks Bible, hal. 145-147
[27] HR Bukhari no. 7320, Muslim no. 2669, Turmudzi no. 2180, Ahmad no. 5/218

Tidak ada komentar:

Posting Komentar