STIT AT-TAQWA CIPARAY BANDUNG

Rabu, 29 Juni 2011

Guru dan Pengembangan Kurikulum

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Masalah guru senantiasa mendapat perhatian, baik oleh pemerintah maupun oleh masayarakat pada umumnya dan oleh para ahli pendidikan khususnya. Pemerintah memandang bahwa guru merupakan media yang sangat penting artinya dalam kerangka pembinaan dan pengembangan bangsa. Guru mengemban tugas-tugas sosial kultural yang berfungsi mempersiapkan generasi muda, sesuai dengan cita-cita bangsa. Demikian pula masalah guru di Negara kita dapat dikatakan mendapat sentral dalam dunia pendidikan, baik pendidikan formal maupun pendidikan non formal.
Kreteria proses melihat pandidikan guru dari sudut penyelenggaraan pendidikan, antara lain membincangkan masalah kurikulum, alat, media, dan peranan guru yang bertugas dalam lembaga pendidikan guru. Tentu saja kurikulum dan berbagai komponen lainnya yang menunjang proses pendidikan guru, semuanya dibina dan direncanakan sejalan dengan tujuan yang hendak dicapai. Jadi, jelas antara kreteria produk dan kreteria proses harus sejalan.
Pembuatan keputusan dalam pembinaan kurikulum bukan saja menjadi tanggung jawab para perencana kurikulum, akan tetapi juga menjadi tanggung jawab para guru di sekolah. Para perencana kurikulum perlu membuat keputusan yang tepat, rasional, dan sistematis. Pembuat keputusan itu tidak dapat dibuat secara acak-acakan, melainkan harus berdasarkan informasi dan data yang objektif.
B. RUMUSAN MASALAH
Untuk mengetahui hubungan antara guru dan pengembangan kurikulum kita harus mengetahui beberapa masalah diantaranya:
1. Bagaimana Guru menjadi pendidik yang professional?
2. Bagaimana Guru menjadi seorang pembimbing dalam belajar?
3. Apa saja peranan guru dalam pengembangan kurikulum?
4. Dimana saja Guru mendapatkan Pendidikannya?
C. TUJUAN
Dengan mempelajari Hubungan guru dan pengembangan kurikulum pemakalah mengharapkan kita dapat mengetahui Bagaimana Guru menjadi pendidik yang professional, Bagaimana Guru menjadi seorang pembimbing dalam belajar, Apa saja peranan guru dalam pengembangan kurikulum, Dimana saja Guru mendapatkan Pendidikannya.Dan semoga dengan mempelajri ini pengetahuan kita tentang pendidikan semakin bertambah.
BAB II
PEMBAHASAN
Guru dan Pengembangan Kurikulum
A. Guru sebagai Pendidik Profesional
Pendidikan berintikan interaksi antara pendidik (guru) dan peserta didik (siswa) untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan. Pendidik, peserta didik, dan tujuan pendidikan merupakan komponen utama pendidikan. Ketiganya membentuk suatu triangle, jika hilang salah satu komponen, hilang pulalah hakikat pendidikan. Dalam situasi tertentu tugas guru dapat diwakilkan atau dibantuoleh unsur lain seperti oleh media teknologi, tetapi tidak dapat digantikan. Mendidik adalah pekerjaan professional, oleh karena itu guru sebagai pelaku utama pendidikan merupakan pendidik professional.
Sebagai sebuah konsekuensi dari kurikulum pendidikan seharusnya dipertimbangkan kembali dalam merancang kurikulum pendidikan untuk masa depan. Artinya sebagai konsekuensi dari misconception terhadap pengembangan kurikulum adalah terjadinya "malapraktik" pendidikan yang pada gilirannya berdampak pada rendahnya peran serta guru dalam proses pembelajaran di kelas.[1]
Pengembangan kurikulum adalah istilah yang komprehensif, didalamnya mencakup: perencanaan, penerapan dan evaluasi. Perencanaan kurikulum adalah langkah awal membangun kurikulum ketika pekerja kurikulum membuat keputusan dan mengambil tindakan untuk menghasilkan perencanaan yang akan digunakan oleh guru dan peserta didik. Penerapan Kurikulum atau biasa disebut juga implementasi kurikulum berusaha mentransfer perencanaan kurikulum ke dalam tindakan operasional. Evaluasi kurikulum merupakan tahap akhir dari pengembangan kurikulum untuk menentukan seberapa besar hasil-hasil pembelajaran, tingkat ketercapaian program-program yang telah direncanakan, dan hasil-hasil kurikulum itu sendiri. Dalam pengembangan kurikulum, tidak hanya melibatkan orang yang terkait langsung dengan dunia pendidikan saja, namun di dalamnya melibatkan banyak orang, seperti : politikus, pengusaha, orang tua peserta didik, serta unsur – unsur masyarakat lainnya yang merasa berkepentingan dengan pendidikan.[2]
Pemahaman guru pada setiap jenjang dan jenis pendidikan terhadap tujuan akhir pendidikan. Oleh sebab keberhasilan pencapaian tujuan pendidikan yang dirumuskan sangat dituntukan oleh setiap guru yang langsung berhadapan dengan siswa sebagai subjek belajar. Dengan pemahaman akan tujuan pendidikan itu, maka setiap guru tidak akan merasa bahwa mengajar hanya sebatas menyampaikan materi pelajaran sesuai dengan mata pelajaran yang menjadi tanggung jawabnya, akan tetapi bagaimana materi pelajaran itu dapat berkontribusi terhadap pembentukan manusia beriman dan bertaqwa sesuai dengan sistem nilai yang berlaku[3]
Sebagai pendidik professional, guru bukan saja dituntut melaksanakan tugasnya secara professional, tetapi juga harus memiliki pengetahuan dan kemampuan professional. Dalam diskusi pengembangan model pendidikan professional tenaga kependidikan, yang diselenggarakan oleh PPS IKIP Bandung tahun 1990, dirumuskan 10 ciri suatau profesi, yaitu:
1) Memiliki fungsi dan signifikansi sosial.
2) Memiliki keahlian/keterampilan tertentu.
3) Keahlian /keterampilan diperoleh dengan menggunakan teori dan metode ilmiah.
4) Didasarkan atas disiplin ilmu yang jelas.
5) Diperoleh dengan pendidikan dalam masa tertentu yang cukup lama.
6) Aplikasi dan sosialisasi nilai-nilai professional.
7) Memiliki kode etik.
8) Kebebasan untuk memberikan judgment dalam memecahkan masalah dalam lingkup kerjanya.
9) Memiliki tanggung jawab professional dan otonomi.
10) Ada pengakuan dari masyarakat dan imbalan atas layanan profesinya.
Mungkin belum seluruh cirri profesi diatas telah dimiliki secara kokoh (sempurna) oleh para pendidik kita. Sebab sebagai suatu profesi terbuka, masih ada anggapan masyarakat bahwa setiap orang bisa menjadi pendidik, atau setiap orang bisa mendidik. Memang hal itu sukar dihindari, walaupun sudah ada batas yang jelas antara pendidikan formal dengan pendidikan informal, atau antara pendidik professional dengan nonprofessional, tetapi orang-orang yang tidak memiliki profesi dalam bidang pendidikan juga melaksanakan tugas-tugas pendidikan formal professional dan menganggap dirinya telah memiliki profesi tersebut. Pada sisi lain, mengingat banyaknya jenis dan jenjang pendidikan yang harus disediakan bagi berbagai kategori peserta didik, juga tidak bisa dihindari banyaknya tenaga nonprofessional pendidikan yang melaksanakan tugas-tugas pendidikan.
Louis E. Raths (1964), mengemukakan sejumlah kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang guru.
The points are proposed, not as a rating scale, but as a broad frame work for teachers to discover more about themselves in relation to the functions of teaching:
1. Explaining, informing, showing how,
2. Initiating, directing, administering,
3. Unifying the group,
4. Giving security,
5. Clarifying attitudes, beliefs, problems,
6. Diagnosing learning problems,
7. Making curriculum materials,
8. Evaluating, recording, reporting,
9. Enriching community activities,
10. Organizing and arranging classroom,
11. Participating in school activities,
12. Participating in professional and civic life.
Departeman pendidikan dan kebudayaan (1980) telah merumuskan kemampuan-kemampuan yang harus dimiliki guru dan mengelompokkannya atas tiga dimensi umum kamampuan, yaitu:
1. Kemampuan professional, yang mencakup:
a. Penguasaan materi pelajaran, mencakup bahan yang akan diajarkan dan dasar keilmuan dari bahan pelajaran tersebut.
b. Penguasaan landasan dan wawasan pendidikan dan keguruan.
c. Penguasaan proses kependidikan, keguruan dan pembelajaran siswa.
2. Kemampuan sosial, yaitu kemampuan menyesuaikan diri dengan tuntunan kerja dan lingkungan sekitar.
3. Kemampuan personal yang mencakup:
a. Penampilan sikap yang positif terhadap keseluruhan tugasnya sebagai guru, dan terhadap keseluruhan situasi pendidikan.
b. Pemahaman, penghayatan, dan penampilan nilai-nilai yang seyogianya dimiliki
guru.
c. Penampilan upaya untuk menjadikan dirinya sebagai anutan dan teladan bagi para siswanya.
Lebih lanjut Depdikbud (1980) merinci ketiga kelompok kemampuan tersebut menjadi 10 kemampuan dasar, yaitu:
1) Penguasaan bahan pelajaran beserta konsep-konsep dasar keilmuannya.
2) Pengelolaan program belajar-mengajar.
3) Pengelolaan kelas.
4) Penggunaan media dan sumber pembelajaran.
5) Penguasaan landasan-landasan kependidikan.
6) Pengelolaan interaksi belajar-mengajar.
7) Penilaian prestasi siswa.
8) Pengenalan fungsi dan program bimbingan dan penyuluhan.
9) Pengenalan dan penyelenggaraan administrasi sekolah.
10) Pemahaman prinsip-prinsip dan pemanfaatan hasil penelitian pendidikan untuk kepentingan peningkatan mutu pengajaran.
Kedua belas kemampuan yang dikemukakan oleh Rath berkenaan dengan pelaksanaan pengajaran dan pengembangan kemampuan dalam mengajar. Ada satu hal yang tidak dinyatakan secara eksplisit Rath yaitu penguasaan materi atau bahan pelajaran. Penguasaan kemampuan proses harus terjalin secara utuh dengan penguasaan isi, baik yang berasal dari disiplin ilmu, maupun dari kehidupan masyarakat. Dua kemampuan terakhir dari Rath, tidak berkenaan dengan teknis pengajaran, tetapi dengan kegiatan yang lebih luas, yaitu partisipasi dalam kegiatan disekolah, dalam masyarakat biasa dan masyarakat professional, untuk dapat berpartisipasi dalam situasi-situasi tersebut, selain harus menguasai kemampun teknis pendidikan, dan penguasaan bidang studi, juga penguasaan kemampuan sosial, seperti kepemimpinan, hubungan sosial, dan komunikasi dengan orang lain.
Pengembangan kurikulum bertalian erat dengan perubahan pola pendidikan, ialah pendidikan tradisional yang berpusat pada mata ajar, pendidikan progresif yang berpusat pada siswa, dan pendidikan yang berpusat pada masyarakat.[4]
B. Guru sebagai Pembimbing Belajar
Telah dijelaskan bahwa dalam kurikulum dapat dibedakan antara official atau written curriculum dengan actual curriculum. Official atau written curriculum merupakan kurikulum resmi yang tertulis, yang merupakan acuan bagi pelaksanaan pengajaran dalam kelas. Actual curriculum merupakan kurikulum nyata yang dilaksanakan oleh guru-guru. Kurikulum nyata merupakan implemantasi dari official curriculum di dalam kelas. Beberapa ahli menyatakan bahwa betapapun bagusnya suatu kurikulum (official), hasilnya sangat bergantung pada apayang dilakukan oleh guru di dalam kelas (actual). Dengan demikian, guru memegang peranan penting baik dalam penyusunan maupun pelaksanaan kurikulum.
BAGAN 10.1 Ragam peranan guru dalam proses belajar-mengajar
PENYAMPAI
PENGETAHUAN
PELATIH
KEMAMPUAN
MITRA
BELAJAR
PENGARAH
PEMBIMBING
Para pelaksana pendidikan termasuk guru sering tidak melihat keempat peran tersebut terletak dalam kontinum. Mereka melihatnya sebagai dua ekstrem. Pada satu ujung guru berperan sebagai penyampai ilmu dan pelatih dalam arti drilling, dan pada ujung lain peran guru sebagai pengarah, pembimbing, pendorong, fasilitator, dan sebagainya. Praktik pendidikan yang memberikan peranan kepada guru hanya sebagai penyampai ilmu atau pelatih dianggap model lama, sedangkan yang memberikan peranan sebagai pengarah, pendorong, pembimbing dipandang model baru. Dalam mengoptimalkan perkembangan siswa, ada tiga langkah yang harus ditempuh.
Pertama, mendiagnosis kemampuan dan perkembangan siswa. Guru harus mengenal dan memahami siswa dengan baik, memahami tahap perkambangan yang telah dicapainya, kemampuan-kemampuannya, keunggulan dan kekurangannya, hambatan yang dihadapi serta factor-faktor dominant yang mempengaruhinya.
Kedua, memilih cara pembelajaran yang sesuai dengan kondisi siswa. Pembelajaran yang betul-betul disesuaikan dengan perbedaan individual, harus pendekatan pembelajaran yang bersifat individual.
Ketiga, kegiatan pembimbingan. Pemilihan dan penggunaan metode dan media yang bervariasi tidak dengan sendirinya, akan mengoptimalkan perkembangan siswa.
Guru adalah komponen penting dalam pendidikan. Di pundaknya siswa menggantungkan harapan terhadap pelajaran yang diajarkannya. Benci atau sukanya siswa terhadap suatu pelajaran bergantung pada bagaimana guru mengajar. Saya katakan bahwa guru adalah ujung tombak dalam sistem pendidikan. Sebagai ujung tombak, tentu kita sangat berharap kepada peran guru dan kharismanya di hadapan siswa.
Sekarang, mari kita tengok bagaimana peranan guru di kelas. Kita harus berani mengakui bahwa guru berperan besar dalam menjadikan sebuah pelajaran di sekolah sulit dan tidak menarik minat siswa untuk mempelajarinya. Fakta ini didukung oleh pendapat banyak siswa sekolah yang pernah penulis temui dan pengalaman penulis saat sekolah dulu. Dari pengalaman siswa tersebut, penulis mendapati banyak guru yang tidak punya motivasi dan semangat untuk mengajar di kelas. Entah karena malas atau kurang menguasai materi pelajaran, sering guru tidak hadir di kelas dan kalaupun hadir tidak memberikan pelajaran sesuai dengan waktu yang tersedia. Sering waktu pelajaran di kelas diisi dengan mencatat ataupun mengerjakan tugas tanpa siswa diberi wawasan secukupnya tentang materi tersebut.[5]
C. Peranan Guru dalam Pengembangan Kurikulum
Guru dan kurikulum adalah komponen penting dalam sebuah sistem pendidikan. Keberhasilan atau kegagalan dari suatu sistem pendidikan sangat dipengaruhi oleh dua faktor tersebut. Sertifikasi tenaga pendidikan dan pengembangan kurikulum yang belakangan ini tengah dilakukan adalah upaya untuk memperbaiki sistem pendidikan melalui dua aspek di atas.[6]
Dilihat dari segi pengelolaannya, pengembangan kurikulum dapat dibedakan antara yang bersifat sentralisasi, desentralisasi, dan sentraldesentral. Dalam pengembangan kurikulum yang bersifat sentralisasi, kurikulum disusun oleh sesuatu tim khusus di tingkat pusat. Kurikulum bersifat uniform untuk seluruh Negara, daerah, atau jenjang/jenis sekolah.
Faktor-faktor yang menimbulkan suatu motivasi kerja guru dalam mengemb.angkan kurikulum di sekolah akan berdayaguna, apabila guru mempunyai keinginan, bertanggung jawab, minat, penghargaan, dan meningkatkan dirinya dalam melaksanakan tugas yang berkaitan dalam upaya mengembangkan kurikulum di sekolah.
Khususnya dalam rangka meningkatkan kemampuan dan keterampilan guru untuk mengembangkan kurikulum di sekolah, guru dituntut mengembangkan dirinya sehingga dapat memenuhi tuntutan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu cepat. Peningkatan kemampuan guru melalui pendidikan jabatan, dapat ditempuh dengan mengikuti penataran, seminar yang berkenaan dengan tugas guru di sekolah, maupun melalui pendidikan yang lebih tinggi.[7]
Tujuan utama pengembangan kurikulum yang uniform ini adalah untuk menciptakan persatuan dan kesatuan bangsa, serta memberikan standar penguasaan yang sama bagi seluruh wilayah. Hal ini dilatarbelakangi oleh beberapa kondisi. Pertama, wilayah Negara Indonesia luas sekali, terbentuk atas pulau-pulau yang satu sama lain letaknya berjauhan dan terpisah ke laut. Kedua, kondisi dan karateristik tiap daerah berbeda-beda, ada daerah tertutup ada yang terbuka, ada daerah kaya dan daerah miskin dan sebagainya. Ketiga, perkembangan dan kemampuan sekolah juga berbeda-beda. Ada sekolah yang sudah mapan mampu berdiri sendiri dan melakukan pengembangan sendiri, karena memiliki personalia, fasilitas yang memadai, dan manajemen yang mapan. Sekolah yang lain kondisinya sangat memperhatikan, karena segalanya masih berada pada tingkat darurat. Jumlah yang demikian ini tampaknya jauh lebih banyak dibandingkan dengan sekolah mapan. Keempat, adanya golongan atau kelompok tertentu dalam masyarakat, yangingin lebih mengutamakan golongan atau kelompoknya dan menggunakan sekolah sebagai alat untuk mencapai tujuan tersebut. Guru harus memiliki beberapa keterampilan yang membantu respon siswa tersebut diantaranya dengan cara:
- Bisa meningkatkan partisipasi siswa secara penuh dalm proses pembelajaran
- Dapat meningkatkan kemampuan berpikir siswa, sebab berpikir itu sendiri pada hakikatnya bertanya.
- Dapat membangkitkan rasa ingin tahu siswa serta menentukan siswa untuk menentukan jawaban.
- Memusatkan siswa pada masalah yang sedang dibahas.[8]
Model pengembangan kurikulum yang bersifat sentralisasi mempunyai beberapa kelebihan disamping juga kelemahan. Kelebihannya selain mendukung terciptanya persatuan dan kesatuan bangsa, dan tercapainya standarminimal penguasaan/perkembangan anak, juga model ini mudah dikelola, dimonitor dan dievaluasi, serta lebih hemat dilihat dari segi biaya, waktu, dan fasilitas. Hal-hal diatas tampaknya sesuai dengan kondisi dan tahap perkembangan Negara kita dewasa ini.
Model pengembangan ini memiliki beberapa kelemahan. Pertama, menyeragamkan kondisi yang berbeda-beda keadaan dan tahap perkembangan intelek, alam dan social budayanya, sukar sekali. Penyeragaman dapat menghambat kreativitas, dapat memperlambat kemajuan sekolah yang sudah mapan dan menyeret perkembangan sekolah yang masih terbelakang. Kedua, Ketidak adilan dalam menilai hasil.Ketiga, Penggunaan standar yang sama untuk semua sekolah di seluruh wilayah akan memberikan gambaran hasil yang beragam dan menunjukkan adanya perbedaan yang sangat ekstrem.
1. Peranan guru dalam pengembangan kurikulum yang bersifat sentralisasi
Dalam kurikulum yang bersifat sentralisasi, guru tidak mempunyai peranan dalam perancangan, dan evaluasi kurikulum bersifat makro, mereka lebih berperan dalam kurikulum mikro. Kurikulum makro disusun oleh tim atau komisi khusus, yang terdiri atas para ahli. Penyusunan kurikulum mikro dijabarkan dari kurikulum makro. Guru menyusun kurikulum dalam bidangnya untuk jangka waktu satu tahun, satu semester, satu caturwulan, beberapa minggu ataupun beberapa hari saja.
2. Peranana guru dalam kurikulum bersifat desentralisasi
Kurikulum desentralisasi disusun oleh sekolah ataupun kelompok sekolah tertentu dalam suatu wilayah atau daerah. Kurikulum ini diperuntukkan bagi suatu sekolah atau lingkungan wilayah tertentu. Pengembangan kurikulum semacam ini didasarkan karateristik, kebutubhan, perkembangan daerah serta kemampuan sekolah atau sekolah-sekolah tersebut. Dengan demikian kurikulum terutama isinya sangat beragam, tiap sekolah atau wilayah mempunyai kurikulum tersendiri, tetapi kurikulum ini cukup realistis.
Ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian yang serius dalam upaya pengembangan standar kompetensi guru.
a. Kejelasan permasalahan dan tujuan yang ingin dicapai dari profesi guru.
b. Permasalahan yang jelas serta tujuan yabg spesifik.
c. Antisipasi kendala.
d. Melaluai proses indentifikasi dan seleksi berbagai alternative pemecahan.
e. Sekalipun uji coba suatu standar kopetensi dalam skala terbatas.[9]
D. PENDIDIKAN GURU
1. Masalah Pendidikan Guru
Masalah pendidikan guru tidak dapat dilepaskan dari masalah pendidikan secara keseluruhan. Dalam pendidikan di Indonesia kita menghadapi dua masalah besar, yaitu masalah kuantitas dan kualitas pendidikan. Masalah pertama kuantitas pendidikan, berkenaan dengan penyediaan fasilitas belajar bagi semua anak usia sekolah. Hal ini berkenaan dengan penyediaan ruang kelas, gedung dan peralatan sekolah, guru, dan enaga kependidikan lainnya.
Masalah kedua yang dihadapi dunia pendidikan di Indonesia adalah menyangkut kualitas. Masyarakat dan para ahli pendidikan banyak yang mensinyalir bahwa mutu pendidikan dewasa ini belum seperti yang diharapakn. Banyak factor yang yang mungkin melatarbelakangi hal tersebut.
2. Standardisasi Pendidikan Guru
Ada beberapa prinsipyang perlu dijadikan pegangan dalam pengembangan pendidikan guru.Pertama, syarat untuk masuk ke lembaga pendidikan guru (tingkat universitas) harus standar, tetapi prosedurnya cukup fleksibel sehingga dapat menjaring calon-calon yang potensial dan cocok.Kedua, rogram pendidikan guru hendaknya memiliki tiga komponen yang terintegrasi, yaitu pendidikan umum, minimal satu bidang spesialisasi, dan keahlian dalam kurikulum dan pengajaran. Ketiga, Pengembangan calon guru dinilai selama program berlangsung dengan teknik penilaian yang bervariasi. Eempat, program pendidikan guru perlu diakreditasi dengan standar yang memungkinkan caln guru bisa bekerja dengan baik. Kelima, Perlu ada lembaga yang memberikan legalitas terhadap kelayakan program pendidikan guru, standar yang digunakan serta memberikan serifikasi terhadap guru.
a. Perencanaan program
1. Tujuan program adalah menyiapkan calon guru agar mampu mengajar secara efektif.
2. Perencanaan program didasarkan atas pengetahua tentang apa yang akan dikerjakan guru di sekolah.
3. Program disusun secara sistematis dan berisi perpaduan antara pendidikan umum, bidang studi dan profesi kurikulum.
b. Implementasi Program
1. Implementasi program sejalan dengan tujuan dan encana program.
2. Prosedur penerimaan siswa, pembinaan serta pelulusannya sesuai dengan tujuan program.
3. Dosen lembaga pendidikan guru memiliki pengetahuan praktis tentang lapangan ( sekolah dan pelaksanaan pengajaran).
c. Personalia Program
1. Dosen lembaga pendidikan guru dan guru-guru di lapangan memperlihatkan sikap dan perilaku seperti yang diharapkan dalam program.
2. Dosen dan guru-guru yang membimbing calon guru, dipersiapkan khusus melalui latihan yang intensif dalam bidangnya.
3. Dosen, guru pamong dan staf lainnya dievaluais dengan kriteria standar, dan penentuan kebijaksanaan personalia didasarkan atas evaluasi tsb.
d. Isi Program
1. bahan Pelajaran
2. proses Pengajaran
3. Keanggotaan Profesi
3. Pendidikan Guru Berdasarkan Kompetensi
Salah satu model pendidikan guru mungkin bisa mencapai standar, adalah model pendidikan guru berdasarkan kompetensi (PGK). Beberapa ahli lebi setuju memakai kata perfomence (perbuatan atau perilaku) daripada competence, karena dipandangnya lebih luas.
1. Berkenaan dengan program pendidikan Elam merumuskan unsure-unsur sebagai berikut:
a) Kompetensi (pengetahuan, keterampilan dan perilaku) yang diperlihatkan siswa.
b) Kriteria yang digunakan untuk mengukur kompetensi
c) Penilaian kompetensi siswa
d) Perkembangan siswa dalam menempuh program pendidikan dientukan oleh kompetensi yang telah dikuasai, dan bukan ditentukan oleh waktu atau mata pelajaran yang telah ditempuh.
e) Program pengajaran ditujukan untuk mendorong perkembangan siswa serta menilai penguasaan siswa tentang kompetensi-kompetensi tertentu.
2. Berkenaan dengan pelaksanaan program menurut Elam PGBK memiliki karateristik sebagai berikut:
a) Pengajaran bersifat individual dan personal.
b) pengalaman belajar siswa dituntu oleh umpan balik yang diterima dari teman, dari guru atau dari dirinya sendiri.
c) Program pengajaran tersusun dalam suatu system.
d) penekanan program pengajaran adlah pada keluaran (hasil) dan bukan pada masukan
e) Pelaksanaan pengajaran bersifat modular.
f) Siswa dinyatakan telah selesai dalam suatu program, apabila telah menguasai semua kemampuan yang dituntu.
3. Disamping dua komponen PGBK diatas, menurut Elam ada beberapa karateristik dasar yang menyangkut hal-hal lain yang lebih umum.
a) Program pengajaran berpusat pada lapangan
b) Guru dan siswa bersama-sama merencanakan pengajaran.
c) Dalam pelaksanaan pengajaran siswa banyak mendapat kesempatan berlatih membuat penentuan keputusan.
Pendidikan guru yang didasarkan atas kompetensi mengajar dan PGBK mempunyai beberapa proposisi:
1) Guru adalah orang yang berpendidikan luas dengan latar belakang bidang pengajaran yang mendalam,
2) Perbuatan guru memanifestasikan penguasaan behavioral science yang luas,
3) Dalam keputusan ia ambil secara rasional,
4) Guru menguasai teknik-teknik komunikasi serta strategi mengajar dengan baik,
5) Dalam perbuatan guru merefleksikan profesionalisme.
4. IKIP, FKIP, STKIP Sebagai lembaga pendidikan guru
Di Indonesia dewasa ini, kita mempunyai dua kelompok lembag pendidikan guru, yaitu: IKP, FKIP,dan STKIP yang merupakan lembaga pendidikan guru pada jenjang perguruan tinggi, dan PGA pada jenjang pendidikan menengah. Sebelumnya pada jenjang pendidikan menengah juga ada SPG dan SGO yang menyiapkan calon-calon guru sekolah dasar. Dewasa ini penyiapan guru-guru sekolah dasar dikerjakan pendidikan guru sekolah dasar (PGSD) yang merupakan program D2 pada IKIP, FKIP, dan STKIP.
Departement pendidikan agama ikut cmapur tangan dalam pengembangan kurikulum. pengelolaan pendidikan Islam yang selama ini berada di tangan Departemen Agama diserahkan kepada Departemen Pendidikan Nasional, dengan pertimbangan sebagai berikut. Pertama, situasi dan kondisi sosio-kultural-politik sudah berubah. Kalau kekuatan sosio politik pada awal kemerdekaan terbelah tajam secara ideologis menjadi nasionalis sekuler dan nasionalis Islam yang keduanya terlibat dalam pergumulan politik ideologis sedemikian keras, maka sekarang sudah berubah. Kalau para tokoh nasionalis Islam di awal kemerdekaan memperjuangkan masuknya pendidikan Islam (keagamaan) dalam pengelolaan Departemen Agama merupakan keharusan sejarah (dlaruri), maka tidak demikian halnya di waktu sekarang. Sekarang Pancasila sebagai ideologi bangsa sudah merupakan common platform. Aspirasi politik umat Islam sudah menyebar ke semua partai politik yang ada dan tidak utuh lagi. Bahkan parpol yang berlabel Islam tidak memiliki kekuatan penentu. Oleh karena itu klaim bahwa Departemen Agama sebagai representasi kumpulan semua kekuatan sosio-politik Islam dan sebagai satu-satunya penyangga pilar pendidikan Islam sudah tidak relevan lagi. Kedua, dualisme sistem kelembagaan pendidikan di Indonesia (pendidikan keagamaan oleh Departemen Agama dan pendidikan umum oleh Depdiknas) menurut Zamahsyari Dhofir merupakan suatu keunikan. Menurut hemat saya dualisme semacam itu dalam kondisi sekarang merupakan suatu keanehan yang perlu diluruskan. Manajemen modern mengenalkan prinsip efektivitas, efisiensi, dan fungsional sebagai kunci keberhasilan manajemen. Oleh karena itu, penyerahan otoritas pengeloilaan pendidikan Islam ke Depdiknas berarti melaksanakan prinsip ini. Ketiga, secara teoritis pengembangan ilmu pengetahuan akan optimal, manakala bebas dari tekanan berbagai kepentingan lain terutama politik, sebagaimana kata syair Al-’ilmu la yumkinu an yanhadladla illa idza kana khurran (ilmu tak akan berkembang kecuali ada kebebasan). Kehidupan modern mengenal adanya bermacam-macam institusi seperti politik, ekonomi, budaya, agama, dan pendidikan. Masing-masing memiliki wilayah garapan dan penataan sendiri-sendiri. Lembaga pendidikan sebagai pranata ilmu pengetahuan harus terlepas dari tekanan institusi lain. Keempat, wilayah garapan pendidikan yang selama ini dikelola oleh Depag sudah sedemikian luas, tidak hanya pendidikan agama dan keagamaan, tetapi mencakup hamper semua bidang ilmu pengetahuan, sehingga kelebihan beban (over loaded). Kalau hal ini diteruskan berarti pemaksaan diri karena memberikan beban tugas di luar batas kemampuannya. Kelima, dalam menentukan kebijakan pengelolaan pendidikan, terutam yang berkaitan dengan masalah akademis selama ini Depag selalu mengikuti kebijakan Depdiknas. Depag sebagai pengikut konsekuensinya selalu di belakang, artinya menunggu kebijakan yang akan dikeluarkan oleh Depdiknas. Di kalangan dosen hal ini sangat dirasakan karena kenaikan pangkat lektor kepala dan guru besar ditentukan oleh Depdiknas. Sedangkan contoh paling mutakhir adalah mengenai pengembangan kurikulum dengan pendekatan kompetensi (KBK). Dengan demikian berarti Depag tidak memiliki otoritas, sehingga inovasi dan kreativitas menjadi terbatas. Keenam, kalau kita sepakat perlunya mewujudkan pendidikan nondikotomik, maka dengan menempatkan pendidikan Islam pada satu atap di Depdiknas berarti sudah menghilangkan pendidikan dikotomik, sekurang-kurangnya dari aspek kelembagaan.[10]
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dalam pembahasan makalah ini, maka dapat kami ambil kesimpulan bahwa Pendidikan berintikan interaksi antara pendidik (guru) dan peserta didik (siswa) untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan. Pendidik, peserta didik, dan tujuan pendidikan merupakan komponen utama pendidikan. Ketiganya membentuk suatu triangle, jika hilang salah satu komponen, hilang pulalah hakikat pendidikan. Dalam situasi tertentu tugas guru dapat diwakilkan atau dibantuoleh unsur lain seperti oleh media teknologi, tetapi tidak dapat digantikan. Mendidik adalah pekerjaan professional, oleh karena itu guru sebagai pelaku utama pendidikan merupakan pendidik professional.
Para pelaksana pendidikan termasuk guru sering tidak melihat keempat peran tersebut terletak dalam kontinum. Mereka melihatnya sebagai dua ekstrem. Pada satu ujung guru berperan sebagai penyampai ilmu dan pelatih dalam arti drilling, dan pada ujung lain peran guru sebagai pengarah, pembimbing, pendorong, fasilitator, dan sebagainya. Praktik pendidikan yang memberikan peranan kepada guru hanya sebagai penyampai ilmu atau pelatih dianggap model lama, sedangkan yang memberikan peranan sebagai pengarah, pendorong, pembimbing dipandang model baru.
Guru dan kurikulum adalah komponen penting dalam sebuah sistem pendidikan. Keberhasilan atau kegagalan dari suatu sistem pendidikan sangat dipengaruhi oleh dua faktor tersebut. Sertifikasi tenaga pendidikan dan pengembangan kurikulum yang belakangan ini tengah dilakukan adalah upaya untuk memperbaiki sistem pendidikan melalui dua aspek di atas.
Masalah pendidikan guru tidak dapat dilepaskan dari masalah pendidikan secara keseluruhan. Dalam pendidikan di Indonesia kita menghadapi dua masalah besar, yaitu masalah kuantitas dan kualitas pendidikan. Masalah pertama kuantitas pendidikan, berkenaan dengan penyediaan fasilitas belajar bagi semua anak usia sekolah. Hal ini berkenaan dengan penyediaan ruang kelas, gedung dan peralatan sekolah, guru, dan enaga kependidikan lainnya.
Masalah kedua yang dihadapi dunia pendidikan di Indonesia adalah menyangkut kualitas. Masyarakat dan para ahli pendidikan banyak yang mensinyalir bahwa mutu pendidikan dewasa ini belum seperti yang diharapakn. Banyak factor yang yang mungkin melatarbelakangi hal tersebut.
B. SARAN
Berkaitan dengan pembahasan makalah ini, maka pemakalah sekaligus menyarankan agar:
Melalui pembahasan makalah ini, pemakalah mengharapkan dari semua pihak, terutama aktifis STAIN SAS Bangka-Belitung untuk memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun. Agar kedepannya makalah yang dibuat akan menjadi lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Sanjana, Wina, Pembelajaran dalam implementasi kurikulum berbasis kompetensi, 2005, Jakarta:Kencana Prenada Media Grup.
Syaodih Sukamadinata, Nana, Pengembangan kurikulum teori dan praktek, 1997, Bandung:PT Remaja Rosdakarya.
Sabarini, Kemalia, Kreativitas Guru dan Memaknai Kurikulum, www.Google.com
Sudarajat, Akhmad, Prinsip Pengembangan Kurikulum, Diterbitkan 31 Januari 2008 kurikulum dan pembelajaran, www.google.com
Hamalik, Oemar, Manajemen Pengembangan Kurikulum, 2007, Bandung:PT Remaja Rosdakarya.
Web. Pengembangan Kurikulum, Guru dan Kurikulum dalam Sistem Pendidikan Nasional , 30 September 2008,www.google.com
Sapta Hari, Bayu, Guru dan Kurikulum dalam Sistem Pendidikan Nasional, 27 Agustus 2008, www.google.com
Supartini, Elis, Motivasi kerja guru Dalam mengembangkan kurikulum di sekolah, 24 November 2008,www.google.com
Sanjana, Wina, Stratergi Pembelajaran, 2007, Jakarta:Kencana Predana Media Group.
Madjid, Abdul, Perencanaan pembelajaran, 2007, Bandung:PT Remaja Rosdakarya.
Niendin, Merombak Pendidikan Agama Islam, 13 Januari 2008, www.google.com

[1] Kemalia Sabarini, Kreativitas Guru dan Memaknai Kurikulum, www.google.com
[2] Akhmad Sudarajat, Prinsip Pengembangan Kurikulum, 2008, www.google.com
[3] Wina Sanjana, Pembelajaran dalam implementasi kurikulum berbasis kompetensi, (Jakarta:Kencana prenada media group), 2005, hal. 18

[4] Oemar Hamalik, Manajemen Pengembangan Kurikulum, (Bandung:PT Remaja Rosdakarya), 2007, Hal. 129
[5] Guru dan Kurikulum dalam Sistem Pendidikan Nasional , Tuesday, September 30, 2008,www.google.com
[6] Bayu Sapta Hari, Guru dan Kurikulum dalam Sistem Pendidikan Nasional, Rabu, 27 Agustus 2008, www.google.com
[7] Elis Supartini, Motivasi kerja guru Dalam mengembangkan kurikulum di sekolah, 2008, www.google.com

[8] Wina Sanjana, Stratergi Pembelajaran, (Jakarta:Kencana Predana Media Group), 2007, Hal. 34
[9] Abdul Majid, Perencanaan pembelajaran, (Bandung:PT Remaja Rosdakarya), 2007, Hal. 9-10
[10] Niendin, Merombak Pendidikan Agama Islam, 13Januari 2008, www.google.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar