STIT AT-TAQWA CIPARAY BANDUNG

Rabu, 15 Juni 2011

KELAS SEBAGAI SISTEM SOSIAL

Marilah kita perhatikan suatu kelas. Tiap-tiap kelas mempunyai struktur hierarki. Di sana ada guru ada juga siswa, ada pengurus kelas, ada tata tertib, ada jadwal dan sebagainya. Dalam kelas ada interaksi antara guru dengan guru, antara siswa dengan siswa. Oleh karena kehidupan kelas sama dengan kehidupan sosial. Kehidupan kelas sebagai kehidupan sosial dapat dipandang sebagai kehidupan menurut sistem sosial.
 
Philip Jacson menyatakan bahwa kelas dalam beberapa hal bisa dipersamakan dengan kerumunan orang yang berjejal-jejal para individu. Karena kondisi yang demikian ini maka guru dipacu untuk mengadakan pendisiplinan dan pengontrolan terhadap para siswa. (Sanapiah Faizal, TT, p. 195). Pendisiplinan dan pengontrolan ini dimaksudkan oleh guru agar siswa tidak bertindak semena-mena, kehidupan kelas dapat berjalan sesuai dengan aturan yang telah disepakati bersama. Aturan-aturan dapat dilaksanakan dengan baik jika di sana ada hirarki otoritas yang memiliki suatu kekuasaan dan pembawaan yang telah melembaga. Aturan-aturan dapat berjalan secara baik jika ada serangkaian kegiatan yang melembaga secara teratur dan tetap (rutin).

Dalam rangka membahas kelas sebagai sistem sosial dan segi dinamika sosial Sanapiah Faizal dengan mempergunakan sumber dari Sarane Spence Boocock (1980) mengajukan lima aspek yang perlu diperhatikan. Lima aspek berorientasi pada fungsi kelas sebagai lingkungan belajar yaitu (1) ukuran kelas, (2) komposisi sosial kelas, (3) teknologi kelas, (4) struktur komunikasi, dan (5) suasana sosial.


UKURAN KELAS

Ukuran kelas merupakan persoalan yang banyak dibicarakan. Besar kecilnya kelas berkaitan dengan berbagai pertimbangan. Bagi sekolah-sekolah swasta pertimbangan jumlah siswa banyak ditentukan oleh biaya yang dibutuhkan untuk mengelola satu kelas dan aturan yang berlaku. Sekolah-sekolah negeri berorientasi pada daya tampung dan aturan yang berlaku. Menurut aturan yang berlaku jumlah kelas ditentukan oleh rasio guru dan siswa. Seorang guru sebaiknya menghadapi 25 sampai 35 siswa.
Bila dipandang dari segi guru maka kelas yang kecil adalah menyenangkan. Makin kecil kelas yang dihadapi oleh seorang guru akan memperingan beban kerja yang dihadapi oleh seorang guru. Kelas yang kecil mudah pengelolaannya, sehingga kelas dapat dikontrol dengan baik. Tugas guru yang berkaitan dengan koreksi pekerjaan ujian dan pembuatan laporan menjadi ringan.

Besar kecilnya kelas bila dikaitkan dengan efektivitas dan efisiensi belajar masih banyak diragukan. Jumlah siswa yang kecil itu hannya efektif bagi siswa yang berkemampuan rendah. Bagi siswa-siswa yang kemampuan tinggi jumlah siswa tidak berpengaruh terhadap prestasi belajar (Porwell, 1978). Oleh karena itu kelas kecil cocok untuk siswa-siswa yang berkelainan terutama anak yang berkelainan mental. Sekolah sekolah untuk anak yang berkelainan rata kelasnya kecil antara 5 sampal 10 siswa. Dilihat dari segi efisiensi kelas yang kecil terlalu banyak pemborosan. Biaya dan tenaga yang dikeluarkan tidak seimbang. Biaya dan tenaga yang dikeluarkan tidak sesuai.
 
Jika perbedaan ukuran kelas hanya kecil umpama 1, 2, atau 3 orang siswa maka pengaruh terhadap basil belajar siswa sangat kecil. Perbedaan sepuluh sampai lima belas siswa mungkin dapat menyebabkan perbedaan hasil belajar.
 
Kelas yang besar dapat dibagi dalam subkelornpok-subkelompok. Pembagian kelas menjadi kelompok kelompok ini telah banyak dikerjakan baik yang secara langsung ditangani guru maupun ditangani oleh siswa sendiri. Banyak para guru membentuk kelompok-kelompok belajar.

Menurut Mc Keanie yang dikutip Sanapiah Faizal menyatakan bahwa besar kecilnya kelas mempunyai dua konsekuensi. Pertama menambah jumlah siswa dalam kelas berarti menambah informasi yang bersumber dari para siswa. Kedua dengan tambahnya siswa maka guru tidak mungkin memperhatikan semua siswa. Demikian pula partisipasi siswa tidak akan merata. Semua anak dipandang sama pada setiap individu berbeda-beda.
Pembagian kelompok yang baik antara tiga sampai sembilan siswa. (Weick, 1969, p. 24-25). Kelompok yang terdiri dua orang akan terjadi kesatuan dasar tingkah laku yang disebut dwitunggal. Dalam kesatuan dwitunggal akan muncul adanya interaksi yang saling tergantung, gotong royong dan saling bantu membantu. Kelemahannya adalah tidak mengontrol. Jumlah kelompok tiga siswa dapat menimbulkan interaksi saling tergantung dan ada kontrol dari orang ketiga. Penambahan menjadi empat kelompok dapat timbul persekutuan dwitunggal sehingga kehilangan unsur kontrol dalam kelompok. Jumlah 9 untuk kelompok jumlah yang baik karena dapat dibagi menjadi tiga sub kelompok yang terdiri dan tiga kesatuan tritunggal yang masing-masing kelompok dapat mempunyai unsur kontrol dan masing-masing subkelompok dapat menjadi kontrol terhadap subkelompok yang lain.

KONTEK SOSIAL KELAS

Marilah kita perhatikan susunan siswa dari suatu kelas. Kelas pada suatu sekolah di desa dan di kota akan lain, jika dilihat dari ras, suku, dan agama, akan tetapi bila dilihat dari segi umur dan jenis kelamin akan sama komposisinya.

Jika dilihat dari jenis kelamin maka kelas akan menampakkan sifat yang heterogen. Sebab tilap kelas akan terdiri dari siswa putra dan siswa putri. Pada sekolah swasta tertentu dan jenis sekolah tertentu yang siswanya memiliki sifat homogen, umpama Sekolah Menengah Kesejahteraan Keluarga (SMKK) khusus dihadiri siswa putri, STM dihadiri khusus siswa putra. Akan tetapi pemisahan antara siswa putra dan siswa putri pada akhir-akhir ini telah menurun.

Homogenitas kelas jika dilihat dari segi umur telah dikembangkan sejak abad ke-19. Sekarang ini syarat umur untuk suatu kelas telah dilaksanakan secara ketat. Komposisi umur ini sangat penting sebab (1) dapat digunakan pedoman untuk penenimaan siswa baru, (2) siswa dengan sifat dasar sosial yang sama akan memudahkan guru dalam memberikan pelayanan para siswa dalam rangka memilih strategi belajar mengajar yang tepat.

Seperti telah diketahui di muka bahwa dalam satu kelas seorang guru akan berhadapan dengan 25 siswa keatas. Dilihat dari umur guru dan siswa akan berbeda. Perbedaan dari segi umur ini akan mempunyai dampak terhadap keputusan kelas. Segala sesuatu akan cenderung diputuskan oleh guru saja. Hal ini akan menyebabkan kesatuan sosial menjadi pecah. Kondisi kelas yang demikian ini akan menjadikan kelas bukan merupakan suatu komunalitas (Sarason, 1982, p, 182).

Di kota kelas yang heterogen, jika dilihat dari suku, ras dan agama cukup banyak dalam satu kelas ada yang berasal dari Jawa, Sunda, suku Madura dan sebagainya, ada yang beragama Hindu, Budha, Kristen Protestan, Katolik dan Islam. Akan tetapi kebanyakan sekolah siswa-siswa yang beragama Islam merupakan mayonitas. Pada sekolah-sekolah tertentu dan daerah tertentu memang ada kelas yang mayonitas sekolah bukan agama Islam. Akan tetapi untuk daerah tertentu dapat terjadi kelas itu dilihat dari segi agama adalah homogen.

Kelas dilihat dari segi sosial ekonomi lebih cenderung heterogen. Setiap kelas akan dihadiri oleh siswa siswa yang berasal dari kondisi sosial ekonomi orang tua yang berbeda-beda. Ada siswa yang berasal dari kelas sosial yang tinggi, menengah dan rendah untuk kategori daerah itu. Ada siswa yang berasal dari keluarga kaya dan miskin.

Dilihat dari kemampuan siswa suatu kelas cenderung heterogen. Sebab setiap kelas akan mengikuti gejala normal yaitu terdiri dari anak yang pandai, sedang dan kurang pandai. Efek dan kondisi kelas yang demikian ini dilihat dari segi kemampuan terhadap kemampuan kognitif dan afektif masih banyak menjadi pertentangan dari para ahli. Pengelompokkan berdasarkan kemampuan akan kurang tepat jika dilihat secara paedagogis.
   
Golderg dan kawan-kawan (1966) telah mengadakan penelitian terhadap efek homogenitas terhadap kemarnpuan akademik anak. Hasil penelitian itu sebagai berikut:
  1. Kehadiran anak-anak yang berbakat dalam satu kelas mempengaruhi siswa-siswa cakap tetapi tidak berbakat, tetapi untuk siswa-siswa yang lain tidak berpengaruh.
  2. Kehadiran anak lambat belajar dalam kelas tidak berpengaruh secara konsisten, artinya dapat berpengaruh dapat pula tidak.
  3. Siswa-siswa yang berbakat akan bagus penampilannya bila anak-anak itu digabungkan dalam kelas yang sama-sama berbakat. Siswa-siswa lain cenderung untuk berusaha semaksimal mungkin sehingga dapat mengejar kekurangannya, setidak-tidaknya mengurangi jarak kemampuannya.
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pengelompokan berdasarkan kemampuan tidak memiliki pengaruh kuat terhadap penampilan akademik para siswa. Kehadiran anak-anak yang sangat berbakat dalam kelas mempunyal pengaruh yang positif pada teman di kelasnya, biarpun anak yang berbakat itu paling baik penampilannya bila disatukan dengan anak yang sama bakatnya. Kehadirannya anak yang kurang bcrbakat tidak berpengãruh negarif pada kelasnya.

Menurut Esposito, (1973), McYenley and Mc Genley (1970) kelas yang homogen lebih efektif dan kelas yang heterogen baik dilihat dari segi kemampuan kognitif maupun kemampuan afektif. Anak yang berada dalam kelompok yang berkemampuan tinggi akan memandang rendah pada anak yang berada dalam kelompok yang berkemampuan rendah. Anak yang berkemampuan tinggi yang berada dalam kelompok yang heterogen akan memandang rendah bagi anggota yang berkemampuan rendah. Anak-anak yang ditempatkan pada kelompok homogen yang berkemampuan rendah akan cenderung lebih rendah dan anak yang ditempatkan dalam kelompok yang heterogen. Dampak negatif pada kelompok rendah adalah pada harga diri anak.

TEKNOLOGI KELAS

Tiap kelas pada umumnya benisi sejumlah meja dan kursi untuk siswa, satu almari dan sederet alat peraga yang terpampang di sudut kelas dan dinding kelas. Pada kelas-kelas di SD kondisi ini lebih syarat muatan dibanding dengan SLTP, dan SLTP lebih syarat muatan dibanding dengan SLTA. Pada pendidikan tinggi kondisi kelas boleh dibilang jauh dari muatan pada sekolah dasar. Sehingga anak-anak SD lebih tertutup dibanding dengan jenjang pendidikan yang lain, sebab segala sesuatu telah disediakan di kelas.

Penempatan duduk anak pada tiap kelas mencerminkan sikap guru terhadap siswa Penempatan tempat duduk banyak berkaitan dengan kemampuan anak, jenis kelainan anak. Anak yang pendek, dan kurang pendengarannya diletakkan di muka, anak yang suka usil dan mengganggu temannya ditempatkan dekat guru, anak putri ditempatkan di muka, anak yang berkelainan pendengaran ditempatkan di tengah. Demikian pula anak yang pandai ditempatkan ditengah-tengah yang kurang pandai. Penempatan ini di samping mempertimbangkan aspek moral, juga aspek strategi belajar mengajar, aspek kemampuan, aspek fisik dan aspek sosial. Aspek moral menyangkut pengontrolan guru terhadap tingkah laku siswa, aspek strategi belajar berkaitan dengan memilih cara mengajar yang memungkinkan siswa banyak terlibat dalam proses belajar mengajar, Aspek kemampuan kognitif berkaitan dengan mengefektifkan kemampuan anak untuk dapat membantu anak dalam proses belajar mengajar, Aspek fisik berkaitan dengan kemudahan interaksi siswa dengan siswa, dan guru dengan siswa. Aspek sosial menyangkut pola kerja sama dalam kelas.

Dilihat dari para ahli sosiologi maka perhatian para sosiolog banyak dicurahkan pada inovasi lingkungan responsif dan sekolah terbuka. (Sanapiah, TT, 210-215).

More dan Anderson (1969) telah mengadakan peneltian terhadap lingkungan yang responsif ini terhadap keberhasilan belajar. Di Indonesia juga telah diteliti oleh Conny Semiawan (1978) dengan istilah Lingkungan Belajar yang Mengundang (LBM) untuk anak retardasi mental. Lingkungan yang responsif merupakan perpaduan antara pengaturan ruangan dan perlengkapannya serta media belajar yang ada dengan tujuan agar dapat menarik, memberi kebebasan, bertindak, dan memisahkan siswa dari campur tangan guru, memberi kesempatan untuk dapat mengejar kecepatan pada diri sendiri dan memberi umpan balik secara langsung pada hasil kerjanya. Dari hasil penelitian More dengan menggunakan komputer adalah pada meningkatnya interaksi sosial. Anak yang belajar dengan mempergunakan komputer hasilnya akan meningkat jika Selama bekerja anak didampingi oleh guru. Oleh karena itu yang nampak penting di sini adalah tindakan untuk mendapatkan respon dan guru, bukan semata-mata penggunakan teknologi. Dan penelitian Conny Semiawan disimpulkan bahwa Lingkungan Belajar yang Mengundang dapat meningkatkan perkembangan mental anak retardisi mental.

Pengaturan serupa juga diterapkan pada kelas tebuka. Pengaturan ini memadukan antara elemen teknologi dan struktur sosial. Model kelas terbuka dibuat sedemikian rupa sehingga memungkinkan fleksibilitas dalam menggunakan ruangan fisik.
 
Silbermen (1972), Bart (1972), Epstein dan Parland (1976) dalam pendidikan pada kelas terbuka guru hanya menjalankan peranan komplementer dan tidak begitu banyak mengontrol perlengkapan, materi, tugas, kecepatan dan evaluasi. Oleh karena itu siswa mempunyai kesempatan yang besar dalam mengadakan interaksi, siswa mempunyai hak otonomi pengaturan waktu belajar di sekolah, kegiatan belajar menjadi beraneka ragam.

Dari berbagai penelitian dapat disimpulkan bahwa (1) kelas terbuka merupakan salah satu bentuk inovasi pendidikan dalarm teknologi pengajaran yang tidak mengubah pola interaks dalam kelas. (Wilberg dan Thomas, 1972) (2) Dilihat dan jaringan sosial maka siswa-siswa pada kelas terbuka lebih akrab dengan semua orang bila dibandingkan dengan sekolah tradisional (Brody dan Zimmeerman, 1975). (3) Bila dibanding antara pendidikan tradisional dan kelas terbuka maka hasil tes kreativitas, harga diri, pengendalian diri dan perkembangan kognitif tidak berbeda, biarpun ada perbedaan untuk belajar terus-menerus pada sekolah terbuka lebih tinggi dari pada sekolah tradisional (Wriht, 1975, P. 461). (4) Situasi kehidupan kelas terbuka lebih menyerupai situasi kehidupan pada masyarakat bila dibandingkan dengan kelas tradisional.

KOMUNIKASI DALAM KELAS

Sepanjang hari-hari sekolah terjadi percakapan antara siswa dengan siswa, antara guru dengan siswa. Dalam interaksi itu terjadi komunikasi. Dalam proses belajar mengajar terjadi penyampaian informasi.

Pola komunikasi dalam interaksi belajar mengajar ada bermacam WF Connell (1972, p. 244) membagi pola komunikasi dalam kelas itu ada 4 macam.
  1. Pola komunikasi satu arah: dalam pola komunikasi satu arah ini terjadi komunikasi, di mana guru menyampaikan informasi kepada sekelompok siswa. Siswa mendengarkan dan mencatat informasi dari guru. Antara guru dan siswa ada garis pemisah yang tegas.
     
  2. Pola komunikasi dua arah: dalam pola komunikasi dua arah terjadi interaksi. antara guru dengan siswa satu per satu. Antara guru dan siswa ada garis pemisah yang longgar. Siswa tidak hanya mendengar dan mencatat tetapi siswa sudah dapat bertanya dan menjawab pertanyaan guru.
     
  3. Pola komunikasi tiga arah: dalam pola komunikasi tiga arah ini terjadi interaksi antara guru dengan siswa dan antara siswa dengan siswa. Antara guru dan siswa ada garis pemisah yang longgar. Siswa tidak sekedar mendengar, mencatat bertanya dan menjawab pertanyaan guru, tetapi siswa dapat bertanya dan menjawab pertanyaan guru, tetapi siswa dapat bertanya dan menjawab pertanyaan siswa yang lain.
     
  4. Pola komunikasi ganda arah (multi dimensi): dalam pola komunikasi ganda arah ini terjadi interaksi antara siswa dengan siswa. Komunikasi dengan guru hanya bila perlu saja. Antara guru dan siswa tidak ada garis pemisah.
Jika keempat pola itu kita perhatikan maka pola kelima yang paling memberi kesempatan kepada siswa untuk memutuskan sendiri apa yang mau dipelajari secara bersama-sama dalam kelompoknya. Siswa dipandang sebagai individu yang dapat merencanakan apa yang akan dipelajari bersama. Guru sebagai sumber informasi hanya sebagai fasilitator dan dinamisator pada kehidupan kelompok.

SUASANA SOSIAL DALAM KELAS

Dalam kehidupan kelas terjadi komunikasi antara guru dan siswa dan antara siswa dan siswa. Interaksi dalam kelas tidak selalu berjalan dengan tenang, damai, tenteram, hangat, penuh keakraban dan sebagainya, akan tetapi sering juga terjadi situasi persaingan yang tidak sehat, pertentangan pendapat yang menjurus percekcokkan dan bahkan terjadi perkelahian.

Menurut para ahli sosiologi kondisi kehidupan semacam itu disebut iklim sosial atau suasana sosial (social climate) (Sanapiah Faizal, TT, p. 226). Richard Schmuh dan Patricia A Schmuch (1983) mengatakan bahwa istilah iklim kelas dapat berupa penerapan hubungan perasaan dalam pribadi yang diasosiasikan ke dalam pola-pola interaksi, seperti reaksi emosional terhadap kelompok, rasa puas terhadap kelompok dan rasa frustasi dan sebagainya.

Jadi iklim kelas merupakan suasana kelas di mana terjadi interaksi antar-slswa dan interaksi antara guru dan siswa secara pribadi. Interaksi ini dapat menimbulkan suasana kelas yang posistif dapat pula menimbulkan suasana kelas yang negatif.
 
Suasana kelas yang positif akan terjadi bila, terjadi interaksi dalam kelas antara guru dan siswa, antara siswa dan siswa, di mana dalam interaksi itu terjadi komunikasi dalam bentuk kerjasania, tolong-menolong, tenggang rasa antara anak yang pandai dan yang kurang pandai, antara yang kaya dan yang kurang mampu, norma-norma pergaulan hidup dan tata tertib kelas maupun sekolah dipatuhi dengan disiplin yang luwes, terjadi komunikasi yang terbuka. Hal ini berarti bahwa tiap peserta didik dan guru harus dijauhkan oleh rasa curiga-mencurigai, berani mengakui kesalahan, jika memang berbuat salah, siswa berani menyalahkan guru jika guru menjelaskan sesuatu yang salah. Pendek kata baik peserta didik maupun pendidik siap sedia dikritik dan mengkritik yang bersifat membangun. Dengan demikian akan terjadi suasana kelas yang selalu menyenangkan, hidup, di mana tiap orang berusaha menghargai dan menghargai martabat orang lain sebagaimana adanya bukan sebagaimana nampaknya.

Suasana kelas dipengaruhi oleh gaya (style) dan guru dalam interaksi di kelas. Jeanne H. Ballatinne (1983) membedakan gaya interaksi dalam kelas itu menjadi tiga gaya yaitu diktator, demokrasi dan liberal. Gaya interaksi diktator akan menimbuilcan siswa menjadi takut dan segala sesuatu berjalan dengan komando atau perintah dari guru. Suasana kelas menjadi kaku, dan mati. Suasana kelas tenang karena siswa dicekam rasa takut. Tujuan yang akan dicapai hanya diketahui oleh guru saja. Jika guru tidak ada di kelas suasana menjadi gaduh. Gaya guru yang liberal menimbulkan suasana kelas kacau, guru kurang wibawa, anak akan bertindak liar, dapat terjadi suasana yang sukar dikendalikan. Tujuan yang akan dicapai kurang jelas. Gaya guru yang demokratis dalam interaksi akan menimbulkan suasana yang diliputi oleh hubungan siswa dengan siswa secara tolong-menolong, tenggang rasa, guru dan siswa bekerja sesuai dengan peran masing-masing dalam interaksi belajar mengajar. Suasana kelas menjadi hangat dan menyenangkan, sehingga baik guru maupun siswa tahan tinggal di sekolah. Inisiatif tidak selalu timbul dan guru, tetapi kadang-kadang juga timbul dari siswa. Tujuan yang akan dicapai sama-sama diketahui siswa dan guru.

Dari hasil-hasil penelitian yang dilaksanakan oleh Anderson yang dikutip WF Conneil (1972, p. 1944) menunjukkan bahwa suasana kelas yang hangat, akrab dan dominasi guru terhadap siswa longgar dapat menyebabkan timbulnya banyak partisipasi dalam kelas, memberikan kesempatan yang banyak bagi siswa untuk menyatakan pendapatnya, menimbulkan banyak pola-pola kerja sama antar siswa dan terjadi diskusi kelas yang sehat dan akhimya dapat meningkatkan prestasi belajar para siswa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar