STIT AT-TAQWA CIPARAY BANDUNG

Selasa, 09 Agustus 2011

as-Sirah an-Nabawiyyah

Tulisan awal mengenai perjalanan hidup (sirah) Rasulullah SAW yang sampai kepada tangan kita adalah kitab yang ditulis Ibn Ishaq yang bertitel as-Sirah an-Nabawiyyah. Melalui kitabnya, Ibn Ishaq dengan sangat baik telah mendokumentasikan riwayat hidup Rasulullah SAW kisah bergabungnya orang-orang lemah dan tokoh-tokoh besar clan Quraisy ke dalam barisan Islam, serta pelbagai pertikaian yang dialami oleh sang Rasul, sampai urusan rumah tangganya.

Ibn Ishaq lahir pada tahun 80 H di Madinah, dan tumbuh dewasa dalam lingkungan intelektual yang sangat baik. Ayahnya bahkan merupakan salah satu perawi hadits yang tidak perlu diragukan validitasnya (tsiqah). Ibn Ishaq dikenal sebagai seorang sejarawan ulung. Di samping itu ia juga dikenal sebagai perawi hadits tepercaya. Dalam konteks ini, Syu’bah pernah berkata: “Ibn Ishaq adalah maestro (Amir al-Mu’minin) dalam bidang hadits. Sedang al-Madini memberikan jaminan kesahihan hadits-hadits yang diriwayatkan Ibn Ishaq. Hal ini diketahui dari perkataannya: “Hadits yang diriwayatkan Ibn Ishaq dijamin otentitasnya (sahih)”.


Di antara karya Ibn Ishaq yang lain adalah kitab bertitel al-Khulafa` dan as-Siyar wa al-Maghazi yang merupakan rujukan dan sumber primer kitab as-Sirah an-Nabawiyyah-nya Ibn Hisyam. Jadi, bisa jadi tanpa Ibn Ishaq, Ibn Hisyam belum tentu melahirkan kitab sirah-nya yang kesohor itu dan menjadi rujukan primer bagi generasi setelahnya. Di samping Ibn Hisyam, masih banyak lagi ulama-ulama besar yang mengambil pengetahuan dari Ibn Ishaq sebagaimana dikemukakan oleh Abu az-Zar’ah ad-Dimasyqi.

Para ulama berbeda pendapat mengenai tahun kewafatan Ibn Ishaq. Menurut al-Falas dan Ibrahim bin Muhammad bi ‘Arafah, ia berpulang ke rahamatullah pada tahun 150 H. Dan menurut al-Haitsam bin ‘Adi dan Ahmad bin Khalid al-Wahbi, ia meniggal dunia pada tahun 151 H. Sedang Yahya bin Ma’in, Ibn al-Madini, serta as-Siyaju mengemukakan bahwa Ibn Ishaq wafat pada tahun 152 H. Bahkan ada juga ulama yang berpendapat ia wafat pada tahun 153 H.

Terlepas dari perbedaan para ulama mengenai tahun kewafatan Ibn Ishaq, tetapi yang jelas ia telah memberikan sumbangan intelektual yang tak ternilai harganya yang telah sampai kepada kita. Dan banyak para intelektual besar pada zaman itu tetap mengecap warisan intelektualnya.

Kitab as-Sirah an-Nabawiyyah yang ditulis Ibn Ishaq oleh penerbit Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah di bagi menjadi dua juz. Sedang untuk juz kedua merupakan penyempurnaan yang diambil dari kitab as-Sirah an-Nabawiyyah-nya Ibn Hisyam yang riwayatnya dinukil dari Ibn Ishaq.

Setidaknya ada beberapa hal menarik yang terdapat dalam kitab as-Sirah an-Nabawiyyah-nya Ibn Ishaq, yang hemat saya layak untuk direnungkan dalam tulisan pendek ini. Salah satunya ialah peristiwa Rasulullah SAW ketika menerima wahyu pertama.

Dalam pelbagai riwayat yang beredar disekeliling kita dikatakan bahwa ketika malaikat Jibril datang menemui Rasulullah SAW di Gua Hira untuk menyampaikan wahyu pertama, maka pada saat itu terjadi dialog antara keduanya. Malaikat Jibril menyuruh kepada Rasulullah saw untuk membaca (iqra`). Tetapi beliau menjawab: “Ma Ana bi Qari`” (saya tidak bisa membaca). Malaikat Jibril-pun mengulangi ajakannya sampai tiga dan beliau pun mengeluarkan jawaban yang sama.

Jawaban Rasulullah saw sering dijadikan salah satu argumentasi oleh mayoritas ulama atas ketidakbisaannya dalam soal baca-tulis (ummi). Dengan kata lain pengertian ummi adalah orang yang tidak bisa membaca tulis (La Yaktub wa La Yaqra`).Inilah tafsir yang dominan dan menjadi mainstream tentang pengertian ummi.

Sekarang mari kita lihat bagaimana dengan riwayat Ibn Ishaq yang didokumentasikan dalam kitab as-Sirah an-Nabawiyyah-nya. Ternyata riwayat Ibn Ishaq bertolak belakang dengan riwayat di atas. Sebab, jawaban Rasulullah saw ketika diperintah malaikat Jibril untuk membaca adalah: “Ma Aqra`” (Apa yang harus saya baca). [Juz, I, h. 168].

Riwayat yang dikemukan Ibn Ishaq jelas menunjukkan bahwa Rasulullah saw bukanlah orang yang tidak bisa membaca dan menulis. Jadi, jika riwayat Ibn Ishaq adalah riwayat yang tidak diragukan validitasnya maka pandangan selama ini yang mengatakan bahwa Rasulullah saw tidak bisa membaca dan menulis adalah keliru. Hal ini juga mengandung konsekuensi gugurnya pandanga teologis yang mengatakan bahwa tidak bisa membaca dan menulis adalah salah satu dari bukti kenabian beliau.

Sedang lainnya ialah kisah Zaid bin Amr bin Nufai yang telah mengembara kesana-kemari untuk mencari al-Hanafiyyah, yaitu agama Ibrahim. Tetapi ternyata kebenaran itu malah adanya di Makkah, yaitu agama yang diserukan oleh nabi Muhammad saw. Setelah mendegar apa yang Zaid cari ada di Makkah, ia pun segera bergegas kembali ke Makkah.

Namun di tengah perjalanan, Zaid terbunuh. Dan ketika Waraqah bin Naufal mendengar kematiannya, ia pun menangisinya. Bahkan Umar bin al-Khaththab dan Sa’id bin Zaid berkata kepada Rasulullah saw: “Wahai Rasulullah, kami memintakan ampunan Allah swt untuk Zaid”. Rasul pun berkata: “Ya, mintakan ampunan Allah untuknya…." [Lebih jelasnya lihat juz, II, h. 163-167].

Sungguh luar biasa sikap yang diperlihatkan Rasulullah saw dalam kasus Zaid di atas. Zaid meninggal dalam pencarian kebenarannya, tetapi takdir berkata lain, ia meninggal sebelum menggapainya. Dan ketika Umar bin al-Khaththab dan Zaid bin Sa’id mengatakan kepada Rasulullah saw: “Wahai Rasulullah, kami telah memintakan ampunan Allah swt untuk Zaid”. Rasul pun malah menganjurkan untuk memintakan ampunan untuk Zaid meski ia belum masuk Islam.

Demikian sekelumit tentang isi kitab as-Sirah an-Nabawiyyah karya Ibn Ishaq, seorang sejarawan abad 2 hijriyah. Dan kitab ini wajib dibaca karena merupakan khazanah sejarah kita yang paling awal. Salam…

Tentang Kitab
Penulis     : Ibn Ishaq
Judul        : as-Sirah an-Nabawiyyah
Pentahqiq : Ahmad Farid Majidi
Penerbit   : Bairut-Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah
Cet.         : Pertama, tahun 1424 H / 2004 M
Tebal       : Satu jilid, dua juz, 735 halaman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar