STIT AT-TAQWA CIPARAY BANDUNG

Rabu, 26 Oktober 2011

PERGESERAN PANDANGAN PARA ORIENTALIS TERHADAP ISLAM

I.                        PENDAHULUAN
Orientalis bagi sebagian kalangan sering kali di anggap sebagai momok yang harus diwaspadai dan disingkirkan jauh- jauh. Dalam hal ini, untuk memberi kesan seolah- olah objektif dan otoritatif, orientalis-missionaris biasanya berkedok sebagai pakar( scholar/ expert) dalam bahasa, sejarah, agama dan kebudayaan Timur, baik yang jauh (far easten; Jepang, Cina dan India) maupun yang dekat (near easten; Persia, Mesir dan Arab)[1]
Bagi sebagian yang lain tidaklah demikian. Hal ini tidak terlepas dari keberadaannya yang memang problematis. Satu sisi orientalis sangat merugikan karena kajian dan analisis yang dilakukannya sangat mendiskreditkan dan menghegemoni dunia Islam. Tetapi di sisi lain mereka melakukan analisis dan kajian dengan begitu objektif, sehingga -di akui atau tidak- mereka telah memberikan sumbangan yang sangat berharga bagi peradaban Timur pada umumnya dan Islam pada khususnya.
II.                        RUMUSAN MASALAH
1.    Gambaran Orientalisme Tentang Islam
2.    Pergeseran Kaum Orientalis Terhadap Islam
3.    Pandangan Orientalis Terhadap Islam
4.    Rencana Jahat Orientalisme

III.                        PEMBAHASAN
1.                         Gambaran Orientalisme Tentang Islam
Rasa takut terhadap islam karena ketidaktahuan dan rasa dengki terhadapnya telah menyelimuti bangsa Eropa pada abad pertengahan, sehingga terbentuklah gambaran yang tidak baik terhadap islam dalam benak mereka. Keadaan itu terus berkesinambungan hingga dewasa ini. Bahkan dewasa ini penggambaran itu lebih menyeramkan, dan dijadikan sebagai senjata bagi kaum orientalis untuk lebih memacu gerakanya, yang dibantu oleh peran aktif media massa Barat hingga kini.
Penggambaran yang salah ini sebagai tonggak awal munculnya gerakan orientalisme. Orang-orang orientalis saling bahu-membahu menyimpangkan bentuk islam dan potret sebenarnya, baik secara langsung ataupun secara tidak langsung.
Hal ini digambarkan oleh seorang orientalis kondang bernama Montgomery Watt, yang diungkapkan dalam bukunya Islam and Christianity Today. Ia mengatakan sbb: Sesungguhnya aqidah ajaran islam terdiri dari bentuk penyimpangan dari ajaran Kristen. Islam adalah sebuah agama yang ganas dan tersebar melalui pedang. Agama islam mengajarkan manusia agar menyibukkan diri dalam dunia nafsu, terutama nafsu seksual. Dan dalam pribadi Muhammad sendiri terdapat kelemahan akhlaq (maksudnya dalam menghadapi kaum wanita dimana beliau banyak menikahi kaum wanita). Berarti Muhammad adalah seoranhg pendiri agama yang menyimpang. Karena itu hendaknya dijadikan prinsip bahwasanya Muhammad merupakan senjata atau tangan kanannya syetan. Bahkan bangsa Eropa pemeluk masehi pada abad pertengahan menamakannya syetan.
Sudah jelas bahwa tujuan mereka menyebarluaskan gambaran Islam yang salah dan menyeramkan, mencakup dua macam:
  1. Mengadakan kesenjangan sehingga Islam tidak dapat tersiar di Eropa seperti tersiarnya pada bangsa lain.
  2. Menumbuhkan keraguan dalam hati ummat Islam terhadap ajaran agamanya, dan berusaha untuk memurtadkan mereka dari Islam dengan cara Kristenisasi. Dan ini merupakan tujuan yang paling baik.
Karena itu tidaklah mengherankan bila di sana ada kaitan antara gerakan kristenisasi dengan orientalisme di Barat.
Orientalisme bergerak dengan resmi dimulai dengan dikeluarkannya ijin secara resmi berdasar hasil keputusan dewan gereja Vienna pada tahun 1312 M, yang disusul dengan didirikannya universitas untuk mempelajari bahasa bangsa timur. Terutama bahasa Arab ‘Ibriyyah dan Suryaniyyah.
Keputusan itu merupakan hasil dari usulan yang diajukan oleh seorang pembaptis,bernama Reymond Lull (1235-1316), yang konon sangat gigih menyerukan kepada ummat Masehi untuk giat mempelajari bahasa Arab secara khusus. Ia menganggapnya sebagai salah satu yang paling efektif untuk mengalihkan muslim mwnjadi pemeluk Masehi. Dengan diterimanya usulan tadi menunjukkan bukti adanya gerakan kristenisasi di Barat, khususnya setelah kegagalan mereka dalam peperangan Salib, yang dimaksudkan untuk mewujudkan angan-angan dan keinginan mereka yang pokok, yaitu memurtadkan ummat Islam.[2]
      Reymond Lull dan para pembesar agama Masehi yang lain, sangat mengharapkan bangsa Tartar dapat memeluk agama Masehi, sehingga dapat dijadikan penolong bagi mereka untuk menakhlukkan ummat Islam. H al ini telah diungkapkan Reymond Lull seraya mengatakan: kalau saja kita dapat mengembalikan orang-orang yang telah memeluk Islam kepada pangkuan kita, dan menarik bangsa Tartar memeluk agama Masehi, maka semua ummat Islam sangatlah mudah untuk kita takhlukkan. Namun yang sangat menakutkan adalah bila ternyata bangsa Tartar justru memeluk Islam. Saat itu, akan semakin menyulitkan bagi dunia masehi dalam segala hal.
            Apa yang telah ditakutkan oleh Raymond Lull ternyata menjadi kenyataan. Bansa Tartar yang diharapkan dapat memeluk Masehi justru memeluk Islam dan menambah kekuatan ummat Islam. Sebab mereka (Tartar) telah mendapatkan dalam Islam aqidah yang lebih mudah dan lebih praktis dan mudah pengalamannya.
            Namun demikian jiwa dan semangaat kristenisasi dan permusuhannya terhadap Islam tetap tumbuh membengkak dan berkembang terus. Disamping itu jiwa dan semangat gerakan kristenisasi di Barat juga ikut menyuburkan pertumbuhan gerakan orientalisme, bahkan mengarahkan dan menuntunnya. Kemudian pada tahun 1636 M, didirikan fakultas khusus bahasa Arab di universitas Cambridge. Tujuannya ialah untuk mengembangkan ruang lingkup dan gerak langkah gereja, serta menyebarkan agama Masehi dikalangan ummat Islam yang hidup dibawah kebodohan.
            Orang yang paling sibuk mengelola fakultas ini dari orientalis adalah Simon Ockley, penulis buku History Of Saracens. Orientalis tadi lebih menekankan dirinya untuk mempelajari Al-Qur’an, guna mencari kesalahan dan kelemahan. Ia dikenal sangat tidak bersahabat terhadap outrageous heresy.
            Dalam mengolah fakultas bahasa Arab itu, Simon Ockley mempunyai seorang rekan bernama William Whiston (wakil Isach Neoton di Cambridge University). William ini dikenal sangat bersahabat dan tidak memusuhi Islam dan kaum Muslimin. Karena itu ia ditendang dari jajaran univesitas pada tahun 1709 M.[3]
            Dengan berlalunya waktu-dari abad pertengahan hingga era kebangkitan. Potret Islam dikalangan Bangsa barat makin menjadi lebih buruk. Mereka semakin lebih aktif dan lebih berani menyerang serta mengotori citra Islam.
            Unsur-unsur pokok dalam usaha mengotori Islam dan ajarannya itu dikumpulkan oleh sekelompok sejarawan Barat yang non muslim, yang tidak bermusuhan dengan Islam dan tidak pula fanatik.
            Dari sederatan nama sejarawan itu adalah Norman Daniel kemudian R.W. Southern, serta Edward Said. Sebagai pengalaman atas perintah Allah swt yang termaktub dalam surat  Al-Maaidah ayat 8
$pkšr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä (#qçRqä. šúüÏBº§qs% ¬! uä!#ypkà­ ÅÝó¡É)ø9$$Î/ ( Ÿwur öNà6¨ZtB̍ôftƒ ãb$t«oYx© BQöqs% #n?tã žwr& (#qä9Ï÷ès? 4 (#qä9Ïôã$# uqèd Ü>tø%r& 3uqø)­G=Ï9 ( (#qà)¨?$#ur ©!$# 4 žcÎ) ©!$# 7ŽÎ6yz $yJÎ/ šcqè=yJ÷ès? ÇÑÈ
 Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.[4]
Agar kita tidak dianggap menuduh dengan kedustaan terhadap orientalisme dan para tokohnya itu, maka kami sengaja merujuk kepada buku hasil karya mereka sendiri, supaya lebih jelas memberikan gambaran kepada kita bagaimana mereka mengotori Islam dan ajarannya, serta unsure-unsur penting yang dijadikan dasar mereka. Terutama penjelasan tentang sikap mereka terhadap Qur’an dan Rasul Allah swt.[5]

2.                         Pergeseran Kaum Orientalis Terhadap Islam
Orientalis adalah segolongan sarjana-sarjana barat yang mendalami bahasa-bahasa dunia timur dan kesustaraannya dan mereka juga menaruh perhatian besar terhadap agama-agama dunia timur, sejarahnya, adat istiadatnya dan illmu-ilmunya. Hubungan dunia barat dengan dunia timur telah dimulai sejak masa kejayaan dunia timur, yaitu ketika dunia timur ini penuh dengan pusat-pusat ilmu pengetahuan, perpustakaan, dan buku-buku berharg, orang barat pada waktu itu belajar pada ulama-ulama timur. Pada filosof-filosofnya dan pada ahli matematikanya. Dunia Eropa ketika itu masih dalam keadaan tidur, sedang dunia timur telah selesai atau hampir selesai dari perjuangannya yang lama untuk ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Setelah dunia Eropa bangun, maka terlihat olehnya suatu bangsa asing telah menyuburkan ssesbagian negeri dangan bermacam-macam ilmu, kesenian, dan kesusasteraan, yaitu  negeri Andalusia (Spanyol). Sejak itu orang-orang Eropa melihat negeri tersebut dengan penuh perhatian dan kekaguman, dan meraka ingin mengetahui ilmu-ilmu yang ada didalamnya. Akan tetapi yang paling menarik perhatian orang-orang Eropa ialah kebudayaan Islam di Andalusia. Oleh karena itu sejak abad ke-X Masehi mereka berdatangan ke negeri tersebut untuk mengambil ilmu-ilmu yang dimiliki oleh kaum muslimin, berupa ilmu kedokteran, ilmu teknik, ilmu matematika, ilmu astronomi, dan ilmu-ilmu lainnya untuk mereka terjemahkan ke dalam bahasa latin sebagai bahasa ilmu pengetahuan dan kesusasteraan pada waktu itu sehingga negeri tersebut menjadi kiblat kegiatan ilmiah di Eropa, baik yang berupa kegiatan mempelajari atau kegiatan menterjemahkan. Ilmu-ilmu yang diperoleh mereka dari negeri tersebut menjadi faktor utama bagi kegiatan mereka.[6]
Orientalisme itu dimulai oleh kaum orientalisten dengan mempelajari bahasa Arab dan agama Islam. Kemudian sesudah meluasnya penjajahan Barat atas benua timur, lalu meluas kepada mempelajari semua agama timur, adat istiadatnya, peradabannya, ilmu buminya, bahasa dan lainnya, walaupun yang lebih dipentingkan sampai sekarang adalah agama Islam dan bahasa Arab. Hal itu di dorong oleh kepentingan politik, agama dan lain-lain.[7]
Pergeseran utama kajian orientalis terhadap Islam adalah kekaguman barat akan islam yang sejak kemunculannya di awal abad ke-7 Masehi telah mendominasi dunia dengan beragam keberhasilan dan kegemilangan dari beragam aspek yang dicapainya. Atau dalam ungkapan lain sebagaimana yang pernah dipaparkan oleh Bernard Lewis bahwa usaha-usaha yang dilakukan Barat dalam penyelidikan terhadap timur selalu berawal dari rasa ingin tahu. Pergeseran lain yang tak kalah penting adalah kebutuhan para penjajah yang merupakan negara-negara besar Eropa seperti Portugal, Inggris, Italia, dan Perancis untuk mengetahui segala sesuatu yang ada dalam masyarakat yang menjadi jajahannya. Dengan demikian, lengkap, sudah pergeseran kajian para orientalis terhadap islam yang berawal dari kekaguman sekaligus keheranan yang kemudian dilengkapi dengan keinginan untuk terus menguasai tanah jajahan dengan mengetahui banyak hal yang adadalam masyarakat tersebut.
Adapun faktor-faktor pendorong pergeseran kajian para orientalis terhadap Islam adalah sebagai berikut:

  1. Faktor Agama
Dapat ditarik kesimpulan bahwa faktor agama merupakan motif utama bagi para orientalis dalam menjalankan misi mereka. Yaitu, ketika para pendeta melihat umat Nasrani dalam jumlah besar masuk agama Islam. Kemudian takjubnya para orientalis terhadap islam yang tersimpan dalam lubuk hati mereka ketika melihat kemajuan dan keunggulan peradapan yang dimiliki umat Islam yang mempunyai pengaruh dalam merongrong akidah, maka mereka memandang islam sebagai musuh satu-satunya bagi agama Nasrani. Para orientalis juga beranggapan bahwa Islam bukan hanya semata-mata kumpulan aturan-aturan keagamaan, akan tetapi ia juga sebagai peradapan yang sempurna dan lengkap. Kemudian seorang orientalis berkebangsaan Inggris bernama Job menegaskan bahwa, bimbingan pendidikan Islam dalam segala aktivitas yang dijalankan kaum muslimin akan terus berjalan dengan baik di era modern, karena memiliki hubungan yang erat dengan prinsip-prinsip Islam itu sendiri.
  1. Faktor Imperialisme
Orang-orang Eropa tidak berputus asa dengan kekalahan yang mereka derita dalam perang salib untuk kembali menjajah  Arab selaku Negara yang identik dengan Islam. Oleh karena itu, mereka berkecenderungan untuk mempelajari hal-hal yang menyangkut dengan Negara-negara tersebut, baik dari segi aqidah, kesusateran, etika dan sumber-sumber kekayaan alam, agar bisa mengetahui titik kekuatan negara-negara Islam yang harus dilumpuhkan, kemudian bisa merampasnya dengan mudah.
  1. Faktor Politik
Para orientalis membutuhkan bekal yang mapan tentang kajian yang berhubungan dengan dunia timur. Dengan cara demikian mereka akan dapat menjalankan kepentingan-kepentingan politik bagi mereka. Kita dapat melihat betapa banyak pemikiran-pemikiran, isu-isu, serta prosedur-prosedur yang mereka sebarkan untuk membangkitkan fitnah, membangkitkan keinginan rakyat untuk mengadakan revolusi dan kudeta militer serta usaha-usaha lainnya dengan alasan pengarahan konsultatif dan bantuan.[8]
  1. Faktor Keilmuan
Hanya segolongan kecil dari para orientalis yang menekuni kajian ini. Karena factor keilmuan tentu berarti bertujuan mempelajari kebudayaan manusia, agama, bahasa, dan ilmu pengetahuan mereka pula sehingga presentase kesalahpahaman mereka itu terhadap Islam lebih sedikit daripada  golongan orientalis lainnya. Jadi yang menjadi pergeseran mereka dalam mempelajari Islam bukan karena dorongan buruk sangka terhadap islam. Seperti yang diunggkapkan oleh Raymos seorang guru besar (profesor) bahasa negara belahan Timur di Universitas Hamburg, dia mengatakan bahwa sejarah Arab tentang Nabi Muhammad seperti kitab sirah Ibnu Hisyam mengandung nilai sejarah yang istimewa Nabi Muhammad seperti kitab sirah Ibnu Hisyam mengandung nilai sejarah yang istimewa dibandingkan injil-injil yang tersebar ditangan orang-orang nasrani. Disamping itu, juga terdapat orientalis lainnya. Seperti Karleir yang menetapkan nabi Muhammad sebagai salah seorang pahlawan dan mengistimewakannya dengan sifat-sifat mulia dalam buku tentang heroisme seseorang. Dia mengatakan: “sungguh naïf jika seseorang yang berkebudayaan mengatakan bahwa sesungguhnya agama islam bohong dan Muhammad bukanlah orang yang dapat dipercaya. Sebab, risalah (ajaran) yang diserukan nabi ini selamanya tetap merupakan lentera penerang yaitu semenjak 14 abad silam bagi miliaran manusia dan risalah yang diajarkan oleh nabi Muhammad, seluruhnya mengandung kebenaran dan kenyataan. Sabda-sabdanya adalah suara yang benar yang berasal dari alam yang kita tidak mampu menjangkaunya”. Diantara para orientalis ini ada yang memdapat petunjuk (hidayah) dari Allah SWT, sehingga masuk islam dan beriman penuh dengan ajaran-ajaranNya dan rasul-rasulNya, diantara mereka yaitu Lord Hydli De neah seorang pejuang agama, Botech ahli sastra jerman, dan DR. Geryneah yang merupakan anggota majelis parlemen Prancis. Sebab mereka memeluk agama isla, karena mereka telah menelusuri setia ayat-ayat Al-Qur’an, teryata berhubungan dengan ilmu kedokteran dan fisika serta kesehatan. Maka merekapun masuk islam karena mereka berkeyakinan bahwa sesungguhnya nabi Muhammad telah dianugerahi suatu kebenaran yang jelas sejak seribu tahun yang lalu, yaitu sebelum beliau memiliki guru dan pembimbing. Seandainya saja jika setia ahli ilmu pengetahuan atau cendekiawan menyertakan setiap ayat-ayat Al-Qur’an yang beerkaitan dengan ilmu yang ia pelajari dengan baik, niscaya ia akan masuk islam juga tanpa ragu lagi dan semua ini tentunya jika ia benar-benar menggunakan akal sehatnya dan bersih dari maksud-maksud tertentu.


  1. Faktor Bisnis dan Kepentingan Pribadi
Terdapat pula kelompok orientalis yang didorong oleh faktor mencari rezeki karena kesulitan ekonomi. Mereka masuk dalam bidang ini karena tidak memiliki kapasitas pemikiran yang mapan untuk mencapai jenjang ilmuan dalam disiplin ilmu tertentu ataupun menggeluti bidang ini karena untuk melepaskan diri dari tanggung jawab keagamaan secara langsung dalam masyarakat nasrani. Maka mereka merekrut studi dan riset mereka dalam membantu kemaslahatan atau keuntungan ekonomi barat. Ada juga yang disebabkan untuk menutupi kelemahan pikiran, mencari sesuap nasi untuk bisa hidup karena berkompetisi dalam bidang ini lebih gampang daripada lainnya untuk mencari nafkah. Contohnya seperti seorang orientalis yang bernama Snouck Horgranje, dia berada pada tahap persiapannya untuk membantu imperialisme dengan menciplak nama islam yaitu Abdul Ghaffar yang telah memainkan peranan penting dalam bidang informasi kebudayaan dan imperealisme Belanda di wilayah timur dan menempati posisi puncak pemimpin dalam imperialisme Belanda di Indonesia.[9]
  1. Khazanah Turats Arab di Eropa
Khazanah keilmuwan klasik (turats) Arab dianggap sebagai khazanah paling kaya yang pernah diwariskan oleh peradapan apapun, baik secara kualitas maupun kuantitas. Tak bisa dipungkiri bahwa khazanah turats inilah yang telah memberikan obor pencerahan pemikiran dan pondasi keilmuwan pada Eropa di abad pertengahan, yang akhirnya mampu membuahkan pijakan kuat bagi era kebangkitan Eropa. Bangsa-bangsa Eropa ketika itu memang berupaya mengumpulkan semua literatur Arab yang bisa mereka peroleh, dan memanfaatkan berbagai macam ilmu pengetahuan yang terkandung didalamnya. Bahkan, perhatian Eropa terhadap khazanah turats Arab masih terlihat semarak sampai masa sekarang. Contohnya sepertinya Universitas Leiden di Belanda sebagai salah satu pusat keilmuwan yang mula-mula menunjukkan perhatiannya terhadap literatur-literatur Arab.[10]

3.                         Pandangan Orientalis Terhadap Islam
1)   Pandangan Orientalis terhadap Sumber Islam
Sejak ditemukan metode pengkajian sejarah secara ilmiah, kaum orientalis telah berusaha melacak sumber-sumber agama Yahudi dan Kristen dalam Islam. Para orientalis Yahudi dan Kristen terdorong mencari asal-usul ajaran Islam kemudian berusaha mengangkat keterkaitannya dengan sumber-sumber agama mereka, seperti bagaimana Islam telah meminjam praktek ajaran Yahudi dan Kristen. Berikut ini akan dipaparkan beberapa contoh pandangan kaum orientalis terhadap sumber Islam.
a. Solomon David Gotein, orientalis Yahudi
Dia mengatakan bahwa ajaran al-Qur’an bersumber dari Yahudi dan Kristen. Hal ini karena Muhammad mempunyai guru dari Yahudi dan Kristen.[11]
b. Snouck Hurgronje
Dia mengatakan bahwa Muhammad mendapat pengaruh Yahudi dan Kristen. Muhammad tidak berbakat menjadi nabi seorang Yahudi, tradisi-tradisi orang Yahudi asing baginya. Dia hanya pengkhotbah monotheisme Israel, padahal bagi Yahudi, ajaran montheisme bukan hal baru. Oleh karena itu tidak ada yang dapat diperbuat olehnya selain masuk Yahudi atau mendirikan agama baru, yaitu Islam.
c. Philip K. Hitti
Menurutnya, Islam hanyalah warisan Yahudi dan Kristen yang di Arabkan dan dinasionalisasikan. Al-Qur'an adalah ucapan dan karya Muhammad sendiri.
d. P. Casanova
Baginya, Rasul tidak lebih dari seorang biasa yang berotak cerdas, bukan Rasul. Untuk melecehkan Rasul dan Nabi, dia menuduh bahwa Abu Bakar telah membuat ayat-ayat Rasul sesaat setelah Nabi  wafat yaitu dalam QS. Ali Imron : 144[12]
$tBur î£JptèC žwÎ) ×Aqßu ôs% ôMn=yz `ÏB Ï&Î#ö7s% ã@ߍ9$# .....
 “Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang Rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya.....[13]
Dari contoh-contoh di atas, dapat dilihat bahwa statemen mereka berangkat dari dugaan belaka yang tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Seperti pendapat mengenai Al-Qur'an dijiplak dari Yahudi dan Kristen, tidaklah benar. Kalaupun ada kesamaan diantara 3 agama tersebut, kaum orientalis lupa bahwa agama-agama itu berasal dari Allah. Keimanan yang sejati dan akhlak mulia tentu tidak jauh perbedaannya. Jika terjadi perbedaan yang sangat menonjol saat ini, tentu karena ada pengaruh dari luar, sehingga mengaburkan keasliannya. Itulah sebabnya nabi Muhammad diutus Allah untuk membawa agama yang benar, yang diakui kebenarannya oleh Allah.[14]
 Kemudian mengenai pendapat yang mengatakan bahwa Abu Bakar telah membuat ayat-ayat al-Qur'an yaitu QS. Ali Imran : 144, juga tidaklah benar.
$tBur î£JptèC žwÎ) ×Aqßu ôs% ôMn=yz `ÏB Ï&Î#ö7s% ã@ߍ9$# 4 û'ïÎ*sùr& |N$¨B ÷rr& Ÿ@ÏFè% ÷Läêö6n=s)R$# #n?tã öNä3Î6»s)ôãr& 4 `tBur ó=Î=s)Ztƒ 4n?tã Ïmøt6É)tã `n=sù §ŽÛØtƒ ©!$# $\«øx© 3 Ìôfuyur ª!$# tûï̍Å6»¤±9$# ÇÊÍÍÈ
Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh Telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul[234]. apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? barangsiapa yang berbalik ke belakang, Maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.

 Maksudnya: nabi Muhammad s.a.w. ialah seorang manusia yang diangkat Allah menjadi rasul. rasul-rasul sebelumnya Telah wafat. ada yang wafat Karena terbunuh ada pula yang Karena sakit biasa. Karena itu nabi Muhammad s.a.w. juga akan wafat seperti halnya rasul-rasul yang terdahulu itu. di waktu berkecamuknya perang Uhud tersiarlah berita bahwa nabi Muhammad s.a.w. mati terbunuh. berita Ini mengacaukan kaum muslimin, sehingga ada yang bermaksud meminta perlindungan kepada abu Sufyan (pemimpin kaum Quraisy). sementara itu orang-orang munafik mengatakan bahwa kalau nabi Muhammad itu seorang nabi tentulah dia tidak akan mati terbunuh. Maka Allah menurunkan ayat Ini untuk menenteramkan hati kaum muslimin dan membantah kata-kata orang-orang munafik itu. (Sahih Bukhari bab Jihad). abu bakar r.a. mengemukakan ayat Ini di mana terjadi pula kegelisahan di kalangan para sahabat di hari wafatnya nabi Muhammad s.a.w. untuk menenteramkan Umar Ibnul Khaththab r.a. dan sahabat-sahabat yang tidak percaya tentang kewafatan nabi itu. (Sahih Bukhari bab ketakwaan Sahabat).[15]
Dari berbagai riwayat mengatakan bahwa ketika nabi wafat, ayat tersebut sudah lama turun dan Abu Bakar juga menyaksikannya. Para ahli tafsir mengatakan bahwa ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan perang Uhud. Jika Abu Bakar mengucapkan ayat tersebut untuk mengingatkan kaum muslim tentang sifat manusiawi nabi Muhammad setelah wafat agar di antara mereka tidak mempunyai kepercayaan yang menjurus pada kemusyrikan, kemudian Casanova menuduh bahwa ia telah membuat ayat itu, apakah sahabat yang lain juga akan mendapat tuduhan seperti itu jika menyebutkan sebuah ayat tertentu?[16] Hal ini menunjukkan bahwa Casanova hanya mengada-ada tujuan mengacaukan agama Islam.
2)    Pandangan Orientalis terhadap Sejarah Islam
Banyak orientalis yang telah berusaha memutar balik esensi sejarah Islam yang telah tercatat dalam sejarah kemanusiaan pada fase-fase sejarah yang berbeda. Dr. Hitti,[17] dengan jelas menolak adanya validitas moral dan spiritual Islam sebagai daya tarik utama bagi masuknya pemeluk baru agama ini. Jika penjelasan mengenai perluasan Islam yang berjalan cepat itu benar-benar bersifat ekonomi, lalu bagaimana harus dijelaskan, faktor apa yang telah menginspirasi mereka untuk mendermakan harta bendanya di jalan Islam, tidak takut mati atau kelaparan? Faktor apa yang membuat mereka tidak merasa keberatan membawa anak istri mereka ke medan tempur yang jauh dari tempat tinggal mereka? Tidak diragukan, semua itu karena motivasi iman mereka. Seandainya motivasi para sahabat semata bersifat duniawi seperti anggapan Dr. Hitti dan kawan-kawan orientalisnya, bagaimanakah menjelaskan fakta bahwa nabi Muhammad dan Khulafaur Rasyidin tidak mempunyai ketamakan terhadap dunia? Seandainya mereka bertempur untuk mencari kepentingan pribadi, mereka tidak akan mempunyai disiplin, semangat juang tinggi yang menggetarkan musuh yang jauh lebih besar jumlahnya serta jauh lebih lengkap persenjataannya.
Masih banyak contoh bagaimana pandangan orientalis terhadap sejarah Islam. Misalnya Montgomery Watt, orientalis Inggris, memberi interpretasi tentang Jihad dari kacamata materialisme belaka, dengan mengaitkan untung ruginya. Disini dapat dilihat bahwa ternyata dia tidak bisa melihat kenyataan bahwa perlawanan paling gigih dalam menghadapi kolonialisme barat di timur, Islam merupakan motivator terpenting yang hingga saat ini masih menggema di berbagai tempat. Seandainya ucapannya benar, pasti Islam telah sirna dari muka bumi sejak lama dan tidak perlu dipelajari lagi oleh kaum orientalis.
3)   Pandangan Orientalis terhadap Modernisasi Islam
Pada bagian ini, secara tidak sadar para orientalis itu telah membuat perbandingan pengertian dengan peristiwa Renaisance di Eropa. Kenneth Cragg (orientalis missionaries Kristen) dan As. Tritton (mantan guru besar bahasa Arab pada universitas London) menganggap bahwa hanya ada satu jalan yang terbuka bagi umat Islam yaitu mencampakkan akidahnya jauh-jauh, menolak sistem Islam dan mengadopsi sekularisme dan materialisme sebelum kemajuan yang diinginkan dapat tercapai.
Golongan muslim yang paling disenangi oleh dunia barat adalah golongan Kamalis (pendukung sekularisme yang dipimpin oleh Mustafa Kemal) atau golongan sekuler sejenisnya di dunia Islam lainnya.[18] Cantwell Smith mengklaim bahwa golongan sekuler Kamalis telah berhasil memberi harapan baru bangsa Turki, mengantarkan mereka dari keterbelakangan menuju kemajuan. Pujian ini dapat dimaklumi, sebab golongan Kamalis telah berhasil merobek-robek Turki Usmani sehingga penjajahan barat atas wilayah timur tengah berhasil pada akhir abad 19 dan dapat menguasai sepenuhnya wilayah itu pada awal abad 20.
Ketika golongan Kamalis berkuasa, langkah pertama yang dilakukan adalah:
a. Memutus hubungan Turki dengan Islam dan Dunia Islam dengan cara mengganti adzan ke dalam bahasa Turki dan mengganti abjad Arab menjadi latin
b. Menghapus sistem khilafah yang selama berabad-abad menjadi pemersatu politik dunia Islam.
c. Mengusir para pendukung Islam dan kerajaan dari negeri itu
d. Menetapkan konstitusi sekuler sebagai pengganti syari’ah.
Seandainya golongan Kamalis telah benar-benar kreatif sebagaimana dilukiskan Cantwell Smith, maka reformasi tersebut seharusnya telah melahirkan kebangkitan kultural dan bangsa Turki telah mampu memberi sumbangan bagi kemanusiaan di bidang seni, teknologi dan ilmu pengetahuan. Kenyataannya, bangsa Turki secara kultural dan intelektual masih mandul seperti negara muslim lain, padahal rezim Kamalis berkuasa lebih dari 70 tahun. Fakta lain, hampir 50 % penduduk Turki dewasa ini masih berada pada tingkat buta huruf, meski + 70 tahun diterapkan abad latin menggantikan Arab.[19]
Berkaitan dengan modernisasi dalam pengertian barat, maka aplikasinya tidak dapat dikenakan pada Islam, karena Islam mempunyai konsep sendiri untuk menjawab tuntutan perkembangan zaman melalui ijtihad, tanpa membuang akidah. Maka dapat dimaklumi jika modernisasi atau lebih tepatnya sekularisasi, akhirnya lebih banyak mengalami kegagalan di dunia Islam, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain:
a. Gagasan menciptakan golongan muslim berideologi barat di Turki yang diwakili Mustafa Kemal Ataturk berakhir tidak memuaskan tokoh-tokoh pengagum westernisasi di negara muslim banyak yang meminjam kembali pemikirannya.
b. Westernisasi telah melahirkan kelas elite yang pada gilirannya menjadi kelas terasing di masyarakat. Maka timbul benturan sosial yang tidak dapat dielakkan, karena pada kenyataannya kelas elite itu membela kepentingan barat di negeri mereka sendiri.
c. Faktor pokok kegagalan adalah usaha memadukan ajaran transendental Islam sebagai al-din dengan konsep sekuler barat merupakan usaha yang mustahil secara konseptual terlaksana.
4)    Pandangan Orientalis terhadap Islam dan Politik
Sir Thomas Arnold, orientalis Inggris dalam bukunya “The Caliphate” mengemukakan mengemukakan pemikirannya bahwa para ulama muslim berupaya keras mencari landasan teori kekhalifahan dalam al-Qur'an dan al-Hadits.[20] Arnold menunjuk beberapa hadits yang adil maupun yang dzalim. Dia sudah menegaskan bahwa hadits yang dia pakai kemungkinan besar kurang dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya – yang menurut dugaan dibuat oleh para pendukung umayyah –, namun dia ingin menggarisbawahi bahwa kekhalifahan itu bersifat sewenang-wenang dan rakyat mutlak taat. Dalam hal ini, Arnold berpegang pada teori klasik yang mengatakan bahwa negara berasal dari Tuhan. Oleh karena itu, sang penguasa mempunyai hak untuk ditaati secara mutlak, adil maupun dzalim, ia hanya bertanggung jawab pada Tuhan atas segala perbuatannya. Statemen Arnold, tidak sesuai dengan kenyataan. Sebagai contoh, pada pidato yang disampaikan khalifah pertama, Abu Bakar, setelah beberapa saat terpilih untuk memegang kendali agama Islam : “Wahai sekalian manusia, aku diberi amanat kekuasaan atas kamu, namun aku bukanlah yang terbaik diantara kamu sekalian. Maka jika aku berbuat baik (sesuai al-Qur'an dan sunnah), berilah dukungan kepadaku. Tetapi jika menyeleweng, luruskanlah”. Dengan demikian Abu Bakar bukanlah orang yang otoriter.
Dari sini dapat diketahui bahwa tuduhan kaum orientalis bahwa politik Islam suatu sistem diktator tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
3.                         Rencana Jahat Orientalisme
            Pesan apakah yang disampaikan Orientalisme kepada Dunia islam? Dr. Muhammad al-Bahy, sarjana kenamaan dari Mesir dan mantan Direktur Urusan Kebudayaan pada Universitas al-Azhar, secara tepat merangkum pikiran-pikiran terkenal yang menandai hampir semua karya para orientalis itu, dengan sedikit perkecualian, sebagai berikut:
Para Orientalis pada umumnya berusaha menyatakan bahwa kesetiaan ummat Muslim kepada Islam hanya berlangsung dalam waktu singkat saja. Ha ini terjadi pada masa ummat Muslim baru muncul. Pada masa itu, suatu kesempatan diberikan untuk melaksanakan pengintegrasian antara kehidupan politik dan ajaran-ajaran islam tetapi segera setelah fase awal yang pendek ini berakhir, kesenjangan pun timbul antara Islam dan ummat Muslim dan Islam tidak lagi berfungsi sebagai kekuatan pembimbing bagi kehidupan mereka. Semakin maju ummat Muslim dan dan menerma perubahan-perubahan dari dunia luar beserta konsekuensi-konsekuensinya dibidang politik, akonomi dan lain-lainnya, semakin sempurna pulalah kegagalan Islam untuk menyesuaikan diri dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang senantiasa berkembang itu. Kesenjangan itu semakin melebar hingga sampai ke lokasi terakhir Khilafah Islam (yaitu Turki), yang secara resmi menyatakan penyingkiran Islam dari kehidupan sehari-hari. Dinyatakan bahwa Islam sekarang harus menduduki tempaatnya dalam kesadaran [atau batin] individu saja. Ia tidak akan menyusup kedalam struktur sosial pada umumnya dan tetap secara mandiri merupakan masalah ekpresi yang tenang dan bersifat pribadi dalam lingkup keberadaan pribadinya masing-masing. Ketidakmampuan untuk mengimplementasikan ajaran-ajaran Islam pada masa-masa modern hanya diartikan sebagai penghindaran diri dari arus kehidupan yang kuat dan penerimaan kemiskinan, penyakit dan kemunduran dalam semua bidang secara sukarela. Kemajuan dan perubahan adalah hukum keberadaan yang tidak dapat diubah dan tidak mungkin dihindari. Ummat muslim yang juga seharusnya mengaplikasikan konsep evolusioner dan dinamik ini terhadap Islam mereka dapat memasuki dunia Baratmodern dan menyelamatkan diri dari ketidaktertiban, sikap acuh tak acuh dan kekurangsensitivan mereka. Yang diperlukan adalah membawa islam secara baik dalam proses berlakunya hukum ini dengan mengambil langkah-langkah demi terlaksananya proses peninjauan kembali dan revormasi terhadapnya dengan memperhatikan realitas-realitas yang ada. Tidak ada jalan lain terbuka bagi ummat Islam kecuali tunduk kepada hukum kemajuan dan perubahan untuk menyesuaikan diri dengan sekularismedan materialisme Barat dilingkungan ketimuran mereka sendiri; karena norma-norma kehidupan Barat itu merupakan produk-produk pengalaman manusia dalam waktu jangka panjang baik dalam bidang pemikiran maupun tindakannya. Bangsa barat sudah mempergunakan metode obyektif dn ilmiah dalam pengembangan norma-norma dan adat-istiadat ini, yang tidak memungkinkan akal dipengaruhi oleh dogma dan takhayul dan tetap memusatkan perhatiannya hanya padakesejahteraan dan kebahagiaan manusia.[21]
            Dalam buku-buku karangan para orientalis, seperti buku yang kita kaji sekarang ini, pendapat-pendapat [seperti] ini dikemukakan sekedar pendapat pribadi penulisnya tetapi sebagai kenyataan yang tidak dapat dibantah bukan hukum alam itu sendiri tidak seorangpun berani mempertanyakannya. Begitu besar mereka menyombongkan diri dan menipu [ummat Muslim] sehingga mereka merasa berhak mengatur ummat muslim tentang bagaimana seharusnya mereka mereformasi agama mereka! Dalam hubungan ini sungguh memalukan bahwa di Republik Pakistan, beberapa di antara buku-buku ajar wajib di perguruan-perguruan tinggi dan Universitas-Universitas kita sehingga para pemuda kita tidak mempunyai pilihan lain kecuali mempelajari Islam dari orang-orang bukan Muslim dan secara membabi buta menerima prasangka-prasangka mereka sebagai kebenaran yang tidak mungkin salah.
            Orientalisme memang bukan kajian obyektif dan tidak memihak Islam maupun kebudayaannya;yang diupayakan secara mendalam bukanlah untuk mendapatkan hasil penelitian yang baik dan orisinal melainkan hanya rencana jahat yang terorganisasikan untuk menghasut para pemuda kita agar memberontak terhadap agama mereka, dan mencemooh semua warisan sejarah Islam dan kebudayaannya sebagai warisan yang tidak berguna. Sasaran yang hendak dicapainya adalah mencipta kekeliruan sebanyak-banyaknya di kalangan pemuda-pemuda yang belum matang dan mudah ditipu itu dengan cara menanamkan benih keraguan, sinisisme dan skeptisisme.[22]
IV.                        ANALISIS
Dari penjelasan yang sudah diungkapkan oleh pemakalah tadi dapat terlihat dengan jelas bagaimana sikap para kaum orientalis terhadap Islam. Kemudian kami jelaskan pula bahwa sikap itu bukan masalah baru, akan tetapi merupakan sesinambungan tipudaya musuh-musuh Islam dari sejak dulu. Namun lebih berkembang dan lebih banyak pola dan metodenya.
Sesungguhnya sikap kaum orientalis tetap dalam sikap permusuhan terhadap aqidah, yang merupakan permusuhan paling dahsyat dan berbahaya lagi keji yang dialami Islam sepanjang perjalanan sejarahnya. Sebab permusuhan itu dari hasil kerja-sama dan saling bantu- membantu antara satu dengan yang lain, yaitu menyatukan permusuhan antara kaum musyrikin dan ahlul kitab, yang diramu dalam satu wadah orientalisme.
Sesungguhnya taktik dan siasat kaum orientalis untuk menghancurkan Islam dan segala gerak kebangkitan Islam tidak memerlukan komentar. Sebab, taktik dan siasat itu sendiri telah menjawab dengan sendirinya, karena memang itu merupakan siasat musuh yang jahat. Kini semua tergantung pada kaum muslimin itu sendiri untuk selalu waspada dan sadar akan bahaya yang mengintai.
Perjalanan sejarah orientalisme sejak mula pertama muncul pada Abad pertengahan di Eropa dan hingga kini, akan melihat dengan jelas bahwa orang-orang yang berkecimpung dalam gerakan orientalisme adalah kaum Yahudi dan Nasrani yang sangat memusui Islam dan kaum muslimin. Meereka itu mau meluangkan waktunya untuk mengkaji dan mendalami ilmu-ilmu Islam, yang mempunyai wadah dalam bentuk akademi, yang umumnya merupakan bagian dari universitas-universitas Barat. Yang demikian itu ditunjukkan untuk menjelekkan potret Islam dalam segala seginya, baik Al-Qur’an dan Sunnah, aqidah dan syariah, peradaban dan tradisinya.
V.                        KESIMPULAN
Rasa takut terhadap Islam karena ketidaktahuan dan rasa dengki terhadap Islam telah menyelimuti bangsa Eropa pada abad pertengahan, sehingga terbentuklah gambaran yang tidak baik terhadap islam dalam benak mereka.
Gambaran yang salah ini sebagai tonggak awal munculnya gerakan orientalisme. Orang-orang orientalis saling bahu-membahu menyimpangkan bentuk islam dan potret sebenarnya, baik secara langsung ataupun secara tidak langsung.
Adapun faktor-faktor pendorong pergeseran kajian para orientalis terhadap Islam adalah sebagai berikut:
v      Faktor Agama
v      Faktor Imperalisme
v      Faktor Politik
v      Faktor Keilmuan
v      Faktor  Bisnis dan kepentingan pribadi
v      Faktor Turats Arab di Eropa
VI.                        PENUTUP
Demikianlah pembahasan dari masalah ini yang bisa saya sampaikan tentulah makalah ini jauh dari kesempurnaan. Untuk itu kritik dan saran yang membangun senantiasa saya tunggu guna perbaikan makalah saya berikutnya. Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi pembaca.














DAFTAR PUSTAKA

Abdul Hamid Ghurab, Ahmad Menyikap Tabir Orientalisme, Jakarta: Pustaka Al-kautsar, 1993.
Bathh, Hasanain Anatomi Orientalisme: Menguak tujuan dan Bahaya Orientalisme, Serta Cara Umat Islam Menghadapinya, Jogjakarta: Menara kudus, 2004.
Depag, Al Quran dan Terjemahannya, Jakarta: Toha Putra, 1989.
Depag  RI,. Al-Aliyy., Al-Quran dan Terjemahanya, Bandung: Diponegoro, 2006.
Hamd Zaqzuq, Mahmud Reposisi Islam di Era Globalisasi, Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2004.
Hanafi, A Orientalisme ditinjau Menurut Kacamata Agama Qur’an dan Hadits, Jakarta: Pustaka Al-husna, 1981.
Hasan ‘Ali Nadwi, Abul Western Civilization, Islam dan Muslims Luck-now: Academy of Islamic Research and Publications, 1969.
Jakub, Ismail Orientalisme dan Orientalisten, Surabaya: Cv. Faizan, 1970.
Jamilah, Maryam Islam dan Orientalisme, cet.1, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994.
Maufur,  Mustholah Orientalisme, cet.1, Jakarta: Pustaka al-Kutsar, 1995.
Said, Edward W Orientalisme, terj.  Asep Hikmat Bandung: Pustaka, 1996.





 


[1] Edward W. Said, Orientalisme, terj.  Asep Hikmat (Bandung;  Pustaka), 1996, hlm, 10
[2] Ahmad Abdul Hamid Ghurab, Menyikap Tabir Orientalisme, Jakarta: Pustaka Al-kautsar, 1993, cet ke-II, hlm. 47-49

[3] Ibid,. hlm 51
[4] Depag  RI,. Al-Aliyy., Al-Quran dan Terjemahanya Bandung: Diponegoro, 2006, cet 10,  hlm 46
[5]  Ahmad Abdul Hamid Ghurab, Op.cit hlm. 51
[6]  A. Hanafi, Orientalisme ditinjau Menurut Kacamata Agama Qur’an dan Hadits, Jakarta: Pustaka Al-husna, 1981, cet ke-1, hlm. 9
[7] Ismail jakub, Orientalisme dan Orientalisten, Surabaya: Cv. Faizan, 1970, cet ke-1, hlm.11
[8]  Hasanain Bathh, Anatomi Orientalisme: Menguak tujuan dan Bahaya Orientalisme, Serta Cara Umat Islam Menghadapinya, Jogjakarta: Menara kudus, 2004, cet ke-1, hlm. 44-50

[9]  Ibid., hlm.51-61
[10]  Mahmud Hamd Zaqzuq, Reposisi Islam di Era Globalisasi, Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2004, cet ke-1, hlm. 59
[11] Mustholah Maufur, Orientalisme, cet.1, Jakarta: Pustaka al-Kutsar, 1995, hlm, 87.
[12] Ibid., hlm. 87-94
[13] Depag, Al Quran dan Terjemahannya, Jakarta: Toha Putra, 1989, hlm 99
[14] Ismail Jakub, Op.Cit.,,hlm. 93-94.
[15] Depag  RI,. Al-Aliyy., Op.,cit.,hlm. 54
[16] Mustholah Maufur, op.cit., hlm. 85
[17] Maryam Jamilah, Islam dan Orientalisme, cet.1, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994, hlm. 13
[18] Ibid., hlm. 117-118
[19] Ibid., hlm. 128
[20] Ibid., hlm. 138
[21]  Abul Hasan ‘Ali Nadwi, Western Civilization, Islam dan Muslims (Luck-now: Academy of Islamic Research and Publications, 1969), hlm. 177-179
[22]  Maryam Jamilah, Islam dan Orientalisme, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997, cet ke-II, hlm. 173-174

Tidak ada komentar:

Posting Komentar