A. Definisi Zakat
Lima pilar utama ekonomi islam adalah implementasi zakat, pelarangan riba, dan pelarangan maysir, gharar dan bathil. Pilar utama dan pertama dari perekonomian islam yang disebutkan dalam Al-Qur’an adalah mekanisme fiskal zakat yang menjadi syarat dalam perekonomian ini.
Zakat merupakan pungutan wajib atas individu yang memiliki harta wajib zakat yang melebihi nishab (muzakki), dan didistribusikan kepada delapan golongan penerima zakat (mustahik).
Dari segi bahasa, zakat berarti al-barakatu ‘keberkahan’, al-nama’ ‘pertumbuhan dan perkembangan’, ath-thaharatu ‘kesucian’, dan ash-shahalu ‘keberesan’. Dari segi istilah, zakat merupakan bagian dari harta dengan persyaratan tertentu, yang Allah SWT wajibkan kepada pemiliknya untuk diserahkan kepada penerimanya, dengan persyaratan tertentu pula.
A.1. Hukum Zakat
Zakat merupakan salah satu rukun Islam, dan menjadi salah satu unsur pokok bagi tegaknya syariat Islam. Oleh sebab itu hukum zakat adalah wajib (fardhu) atas setiap muslim yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Zakat termasuk dalam kategori ibadah (seperti shalat, haji, dan puasa) yang telah diatur secara rinci dan paten berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, sekaligus merupakan amal sosial kemasyarakatan dan kemanusiaan yang dapat berkembang sesuai dengan perkembangan
Zakat merupakan salah satu rukun Islam, dan menjadi salah satu unsur pokok bagi tegaknya syariat Islam. Oleh sebab itu hukum zakat adalah wajib (fardhu) atas setiap muslim yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Zakat termasuk dalam kategori ibadah (seperti shalat, haji, dan puasa) yang telah diatur secara rinci dan paten berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, sekaligus merupakan amal sosial kemasyarakatan dan kemanusiaan yang dapat berkembang sesuai dengan perkembangan
A.2. Yang Berhak Menerima Zakat
Allah SWT secara tersendiri telah menerangkan siapa saja yang berhak menerima zakat ini, dan tidak menyerahkan begitu saja hal ini kepada ijtihad seseorang sampaipun Rasulullah SAW sendiri. Dengan keterangan ini maksudnya ialah apa yang tercantum dalam nash Al-Qur’an pada surat At-Taubah :
Allah SWT secara tersendiri telah menerangkan siapa saja yang berhak menerima zakat ini, dan tidak menyerahkan begitu saja hal ini kepada ijtihad seseorang sampaipun Rasulullah SAW sendiri. Dengan keterangan ini maksudnya ialah apa yang tercantum dalam nash Al-Qur’an pada surat At-Taubah :
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَاِبْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Artinya : “Seseungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya,untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan allah, orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”
Artinya : “Seseungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya,untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan allah, orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”
1) Fakir dan miskin
Fakir ialah orang yang masih membutuhkan, tetapi tidak mampu lagi bekerja atau tidak mendapat pekerjaan. Miskin adalah orang yang sakit dan fakir. Jadi pada miskin ada dua sifat dari sifat-sifat kebutuhan, satu diantaranya ialah kefakiran dan yang lain ialah sakit.
2) Pengurus-pengurus zakat
Mereka adalah para petugas yang mengumpulkan zakat dari para wajib zakat, dan membagi-bagikannya kepada mereka yang berhak menerimanya. Mereka boleh menerima zakat meskipun kaya. Sebab apa yang mereka terima merupakan upah dari jerih payahnya.
3) Para mu’allaf yang dibujuk hatinya
Mereka boleh jadi adalah kaum yang sangat membutuhkan islam atau kaum yang dibutuhkan oleh islam.
Fakir ialah orang yang masih membutuhkan, tetapi tidak mampu lagi bekerja atau tidak mendapat pekerjaan. Miskin adalah orang yang sakit dan fakir. Jadi pada miskin ada dua sifat dari sifat-sifat kebutuhan, satu diantaranya ialah kefakiran dan yang lain ialah sakit.
2) Pengurus-pengurus zakat
Mereka adalah para petugas yang mengumpulkan zakat dari para wajib zakat, dan membagi-bagikannya kepada mereka yang berhak menerimanya. Mereka boleh menerima zakat meskipun kaya. Sebab apa yang mereka terima merupakan upah dari jerih payahnya.
3) Para mu’allaf yang dibujuk hatinya
Mereka boleh jadi adalah kaum yang sangat membutuhkan islam atau kaum yang dibutuhkan oleh islam.
Golongan pertama, ialah seperti mereka yang baru masuk islam, dan oleh sebab islamnya ini mereka terputus dari familinya. Mereka perlu menerima zakat, agar tidak mengalami kesulitan karena islamnya.
Golongan kedua adalah mereka yang berpengaruh pada kaumnya. Mereka masuk islam sementara kaumnya masih musyrik. Mereka perlu diberi harta yang memungkinkan mereka maengajak kaumnya masuk islam.
Golongan ketiga, yang diberi agar baik islamnya. Seperti Rasulullah Saw pernah memberi kepada segolongan orang dari laskar dan para bangsawan Thulaqa (mereka yang ditaklukkan dan mendapat kebebasan)
4) Untuk (memerdekakan) budak
Yaitu hamba sahaya. Pemberian ini untuk mengeluarkan mereka dari perbudakan ke alam merdeka, diatur oleh Waliyul Amri untuk membeli dan memerdekakan hamba sahaya, atau membantu hamba mukatab, yaitu mereka yang telah dijanjikan tuannya akan dimerdekakan dengan syarat membayar kepadanya sejumlah harga mereka.
5) Orang-orang yang berhutang
Yakni mereka yang menaggung hutang, yang harus menyelesaikan hutangnya, tetapi tidak mampu menyelesaikan, dan lagi hutangnya itu tidak dalam maksiat. Termasuk dalam Al-Ghorimun (orang-orang yang berhutang), juga mereka yang berhutang, meskipun mampu melunasinya, kalau hutang itu untuk melaksanakan pembangunan pengabdian umum seperti mereka yang telah melaksanakan pembangunan untuk sekalian manusia, dan oleh karena itu, menumpuklah hutangnya.
6) Untuk jalan Allah
Imam abu Hanifah berpendapat bahwa fisabilillah maksudnya semua bentuk qurbah (usaha mendekatkan diri kepada Allah). Jadi termasuk dalam fisabilillah adalah setiap usaha dalam rangka taat kepada Allah dan jalan bermacam-macam kebajikan apabila diperlukan
7) Orang yang sedang dalam perjalanan.
Yaitu orang yang sedang dalam perjalanan jauh, yang terputus dari negerinya, tidak ada lagi padanya ongkos yang cukup menolongnya pulang sampai ke negerinya. Ia diberi zakat yang memungkinkan dia pulang
4) Untuk (memerdekakan) budak
Yaitu hamba sahaya. Pemberian ini untuk mengeluarkan mereka dari perbudakan ke alam merdeka, diatur oleh Waliyul Amri untuk membeli dan memerdekakan hamba sahaya, atau membantu hamba mukatab, yaitu mereka yang telah dijanjikan tuannya akan dimerdekakan dengan syarat membayar kepadanya sejumlah harga mereka.
5) Orang-orang yang berhutang
Yakni mereka yang menaggung hutang, yang harus menyelesaikan hutangnya, tetapi tidak mampu menyelesaikan, dan lagi hutangnya itu tidak dalam maksiat. Termasuk dalam Al-Ghorimun (orang-orang yang berhutang), juga mereka yang berhutang, meskipun mampu melunasinya, kalau hutang itu untuk melaksanakan pembangunan pengabdian umum seperti mereka yang telah melaksanakan pembangunan untuk sekalian manusia, dan oleh karena itu, menumpuklah hutangnya.
6) Untuk jalan Allah
Imam abu Hanifah berpendapat bahwa fisabilillah maksudnya semua bentuk qurbah (usaha mendekatkan diri kepada Allah). Jadi termasuk dalam fisabilillah adalah setiap usaha dalam rangka taat kepada Allah dan jalan bermacam-macam kebajikan apabila diperlukan
7) Orang yang sedang dalam perjalanan.
Yaitu orang yang sedang dalam perjalanan jauh, yang terputus dari negerinya, tidak ada lagi padanya ongkos yang cukup menolongnya pulang sampai ke negerinya. Ia diberi zakat yang memungkinkan dia pulang
A.3. Hikmah Zakat
1. Hikmah Diniyah (Agama)
a) Dengan berzakat berarti telah menjalankan salah satu dari rukun Islam yang menghantarkan seorang hamba kepada kebahagiaan dan keselamatan dunia dan akhirat.
b) Merupakan sarana bagi hamba untuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Rabbnya, akan menambah keimanan karena keberadaannya yang memuat beberapa macam ketaatan.
c) Pembayar zakat akan mendapatkan pahala besar yang berlipat ganda, sebagaimana firman Allah Subhaanahu wa Ta’ala :
يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ
Artinya: “Alloh memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah” (QS: Al Baqarah: 276).
Dalam sebuah hadits yang muttafaq ‘alaih Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam juga menjelaskan bahwa shadaqah dari harta yang baik akan ditumbuhkan kembangkan oleh Allah Subhaanahu wa Ta’ala berlipat ganda.
d) Zakat merupakan sarana penghapus dosa, seperti yang pernah disabdakan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam.
a) Dengan berzakat berarti telah menjalankan salah satu dari rukun Islam yang menghantarkan seorang hamba kepada kebahagiaan dan keselamatan dunia dan akhirat.
b) Merupakan sarana bagi hamba untuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Rabbnya, akan menambah keimanan karena keberadaannya yang memuat beberapa macam ketaatan.
c) Pembayar zakat akan mendapatkan pahala besar yang berlipat ganda, sebagaimana firman Allah Subhaanahu wa Ta’ala :
يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ
Artinya: “Alloh memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah” (QS: Al Baqarah: 276).
Dalam sebuah hadits yang muttafaq ‘alaih Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam juga menjelaskan bahwa shadaqah dari harta yang baik akan ditumbuhkan kembangkan oleh Allah Subhaanahu wa Ta’ala berlipat ganda.
d) Zakat merupakan sarana penghapus dosa, seperti yang pernah disabdakan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam.
2. Hikmah Khuluqiyah (Akhlah)
a) Menanamkan sifat kemuliaan, rasa toleran dan kelapangan dada kepada pribadi pembayar zakat.
b) Pembayar zakat biasanya identik dengan sifat rahmah (belas kasih) dan lembut kepada saudaranya yang tidak punya.
c) Merupakan realita bahwa menyumbangkan sesuatu yang bermanfaat baik berupa harta maupun raga bagi kaum muslimin akan melapangkan dada dan meluaskan jiwa. Sebab sudah pasti ia kan menjadi orang yang dicintai dan dihormati sesuai tingkat pengorbanannya.
d) Di dalam zakat terdapat penyucian terhadap akhlak.
a) Menanamkan sifat kemuliaan, rasa toleran dan kelapangan dada kepada pribadi pembayar zakat.
b) Pembayar zakat biasanya identik dengan sifat rahmah (belas kasih) dan lembut kepada saudaranya yang tidak punya.
c) Merupakan realita bahwa menyumbangkan sesuatu yang bermanfaat baik berupa harta maupun raga bagi kaum muslimin akan melapangkan dada dan meluaskan jiwa. Sebab sudah pasti ia kan menjadi orang yang dicintai dan dihormati sesuai tingkat pengorbanannya.
d) Di dalam zakat terdapat penyucian terhadap akhlak.
3. Hikmah Ijtimaiyyah (Sosial)
a) Zakat merupakan sarana untuk membantu dalam memenuhi hajat hidup para fakir miskin yang merupakan kelompok mayoritas sebagian besar negara di dunia.
b) Memberikan support kekuatan bagi kaum muslimin dan mengangkat eksistensi mereka.Ini bisa dilihat dalam kelompok penerima zakat, salah satunya adalah mujahidin fi sabilillah.
c) Zakat bisa mengurangi kecemburuan sosial, dendam dan rasa dongkol yang ada dalam dada fakir miskin. Karena masyarakat bawah biasanya jika melihat mereka yang berkelas ekonomi tinggi menghambur-hamburkan harta untuk sesuatu yang tidak bermanfaaat bisa tersulut rasa benci dan permusuhan mereka. Jikalau harta yang demikian melimpah itu dimanfaatkan untuk mengentaskan kemiskinan tentu akan terjalin keharmonisan dan cinta kasih antara si kaya dan si miskin.
d) Zakat akan memacu pertumbuhan ekonomi pelakunya dan yang jelas berkahnya akan melimpah.
e) Membayar zakat berarti memperluas peredaran harta benda atau uang, karena ketika harta dibelanjakan maka perputarannya akan meluas dan lebih banyak fihak yang mengambil manfaat.
a) Zakat merupakan sarana untuk membantu dalam memenuhi hajat hidup para fakir miskin yang merupakan kelompok mayoritas sebagian besar negara di dunia.
b) Memberikan support kekuatan bagi kaum muslimin dan mengangkat eksistensi mereka.Ini bisa dilihat dalam kelompok penerima zakat, salah satunya adalah mujahidin fi sabilillah.
c) Zakat bisa mengurangi kecemburuan sosial, dendam dan rasa dongkol yang ada dalam dada fakir miskin. Karena masyarakat bawah biasanya jika melihat mereka yang berkelas ekonomi tinggi menghambur-hamburkan harta untuk sesuatu yang tidak bermanfaaat bisa tersulut rasa benci dan permusuhan mereka. Jikalau harta yang demikian melimpah itu dimanfaatkan untuk mengentaskan kemiskinan tentu akan terjalin keharmonisan dan cinta kasih antara si kaya dan si miskin.
d) Zakat akan memacu pertumbuhan ekonomi pelakunya dan yang jelas berkahnya akan melimpah.
e) Membayar zakat berarti memperluas peredaran harta benda atau uang, karena ketika harta dibelanjakan maka perputarannya akan meluas dan lebih banyak fihak yang mengambil manfaat.
A.4. Tujuan dan Dampak Zakat
Tujuan zakat dan dampaknya bagi pribadi dapat dipisahkan antara pribadi Si Pemberi dan Si Penerima. Zakat bukan bertujuan sekedar untuk memenuhi baitul maal dan menolong orang yang lemah dari kejatuhan yang semakin parah. Tapi tujuan utamanya adalah agar manusia lebih tinggi nilainya daripada harta, sehingga manusia menjadi tuannya harta bukan menjadikan budaknya. Dengan demikian kepentingan tujuan zakat terhadap si pemberi sama dengan kepentingannya terhadap si penerima.
Beberapa tujuan dan dampak zakat bagi Si Pemberi adalah:
a) Zakat mensucikan jiwa dari sifat kikir. Zakat yang dikeluarkan karena ketaatan pada Allah akan mensucikannya jiwa (QS 9:103) dari segala kotoran dan dosa, dan terutama kotornya sifat kikir Penyakit kikir ini telah menjadi tabiat manusia (QS 17:100), yang juga diperingatkan Rasulullah SAW sebagai penyakit yang dapat merusak manusia (HR Thabrani), dan penyakit yang dapat memutuskan tali persaudaraan (HR Abu Daud dan Nasai). Sehingga alangkah berbahagianya orang yang bisa menghilangkan kekikiran. “Barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung” (QS 59:9). Zakat yang mensucikan dari sifat kikir ditentukan oleh kemurahannya dan kegembiraan ketika mengeluarkan harta semata karena Allah. Zakat yang mensucikan jiwa juga berfungsi membebaskan jiwa manusia dari ketergantungan dan ketundukan terhadap harta benda dan dari kecelakaan menyembah harta.
b) Zakat mendidik berinfak dan memberi. Berinfaq dan memberi adalah suatu akhlaq yang sangat dipuji dalam
Al Qur’an, yang selalu dikaitkan dengan keimanan dan ketaqwaan (QS 2:1-3). Orang yang terdidik untuk siap menginfakan harta sebagai bukti kasih sayang kepada saudaranya dalam rangka kemaslahatan ummat, tentunya akan sangat jauh sekali dari keinginan mengambil harta orang lain dengan merampas dan mencuri (juga korupsi).
c) Berakhlaq dengan Akhlaq Allah. Apabila manusia telah suci dari kikir dan bakhil, dan sudah siap
memberi dan berinfak, maka ia telah mendekatkan akhlaqnya dengan Akhlaq Allah yang Maha Pengasih, Maha Penyayang dan Maha Pemberi.
d) Zakat mengobati hati dari cinta dunia. Tenggelam kepada kecintaan dunia dapat memalingkan jiwa dari kecintaan kepada Allah dan ketakutan kepada akhirat. Adalah suatu lingkaran yang tak berujung.
e) Zakat mengembangkan kekayaan bathin. Pengamalan zakat mendorong manusia untuk menghilangkan egoisme, menghilangkan kelemahan jiwanya, sebaliknya menimbulkan jiwa besar dan menyuburkan perasaan optimisme.
f) Zakat menarik rasa simpati/cinta. Zakat akan menimbulkan rasa cinta kasih orang-orang yang lemah dan miskin kepada orang yang kaya. Zakat melunturkan rasa iri dengki pada si miskin yang dapat mengancam si kaya dengan munculnya rasa simpati dan doa ikhlas si miskin atas si kaya.
g) Zakat mensucikan harta dari bercampurnya dengan hak orang lain (Tapi zakat tidak bisa mensucikan harta yang diperoleh dengan jalan haram).
h) Zakat mengembangkan dan memberkahkan harta. Allah akan menggantinya dengan berlipat ganda (QS 34:39; 2:268; dll). Sehingga tidak ada rasa khawatir bahwa harta akan berkurang dengan zakat.
Adapun tujuan dan dampak zakat bagi si penerima:
a) Zakat akan membebaskan si penerima dari kebutuhan, sehingga
dapat merasa hidup tentram dan dapat meningkatkan khusyu ibadat kepada Tuhannya. Sesungguhnya Islam membenci kefakiran dan menghendaki manusia meningkat dari memikirkan kebutuhan materi saja kepada sesuatu yang lebih besar dan lebih pantas akan nilai-nilai kemanusiaan yang mulia sebagai khalifah Allah di muka bumi.
b) Zakat menghilangkan sifat dengki dan benci. Sifat hasad dan dengki akan menghancurkan keseimbangan pribadi, jasamani dan ruhaniah seseorang. Sifat ini akan melemahkan bahkan memandulkan produktifitas. Islam tidak memerangi penyakit ini dengan sematamata nasihat dan petunjuk, akan tetapi mencoba mencabut akarnya dari masyarakat melalui mekanisme zakat, dan menggantikannya dengan persaudaraan yang saling mmperhatikan satu sama lain.
Beberapa problematika masyarakat yang disorot oleh Yusuf Al-Qaradhawy dimana zakat seharusnya dapat banyak berperan adalah sbb:
a) Problematika Perbedaan Kaya-Miskin. Zakat bertujuan untuk meluaskan kaidah pemilikan dan memperbanyak jumlah pemilik harta (…”Supaya harta itu jangan hanya berputar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu”, (QS 59:7).
Islam mengakui adanya perbedaan pemilikan berdasarkan perbedaan kemampuan dan kekuatan yang dimiliki manusia. Namun Islam tidak menghendaki adanya jurang perbedaan yang semakin lebar, sebaliknya Islam mengatur agar perbedaan yang ada mengantarkan masyarakat dalam kehidupan yang harmonis, yang kaya membantu yang miskin dari segi harta, yang miskin membantu yang kaya dari segi lainnya.
b) Problematika Meminta-minta. Islam mendidik ummatnya untuk tidak meminta-minta, dimana hal ini akan menjadi suatu yang haram bila dijumpai si peminta tersebut dalam kondisi berkecukupan (ukuran cukup menurut hadits adalah mencukupi untuk makan pagi dan sore). Disisi lain Islam berusaha mengobati orang yang meminta karena kebutuhan yang mendesak, yaitu dengan dua cara :
Menyediakan lapangan pekerjaan, alat dan ketrampilan bagi orang yang mampu bekerja
Jaminan kehidupan bagi orang yang tidak sanggup bekerja
c) Problematika Dengki dan Rusaknya Hubungan dengan Sesama. Persaudaraan adalah tujuan Islam yang asasi, dan setiap ada sengketa hendaknya ada yang berusaha mendamaikan (QS 49:9-10). Rintangan dana dalam proses pendamaian tersebut seharusnya dapat dibayarkan melalui zakat, sehingga orang yang tidak kaya pun dapat berinisiatif sebagai juru damai.
d) Problematika Bencana. Orang kaya pun suatu saat bisa menjadi fakir karena adanya bencana. Islam melalui mekanisme zakat seharusnya memeberikan pengamanan bagi ummat yang terkena bencana (sistem asuransi Islam), sehingga mereka dapat kembali pada suatu tingkat kehidupan yang layak.
e) Problematika Membujang. Banyak orang membujang dikarenakan ketidakmampuan dalam hal harta untuk menikah. Islam menganjurkan ummatnya kawin yang juga merupakan benteng kesucian. Mekanisme zakat dapat berperan untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
f) Problematikan Pengungsi. Rumah tempat berteduh juga merupakan kebutuhan primer disamping makanan dan pakaian. Zakat seharusnya menjadi unsur penolong pertama dalam menangani masalah pengungsi ini.
Tujuan zakat dan dampaknya bagi pribadi dapat dipisahkan antara pribadi Si Pemberi dan Si Penerima. Zakat bukan bertujuan sekedar untuk memenuhi baitul maal dan menolong orang yang lemah dari kejatuhan yang semakin parah. Tapi tujuan utamanya adalah agar manusia lebih tinggi nilainya daripada harta, sehingga manusia menjadi tuannya harta bukan menjadikan budaknya. Dengan demikian kepentingan tujuan zakat terhadap si pemberi sama dengan kepentingannya terhadap si penerima.
Beberapa tujuan dan dampak zakat bagi Si Pemberi adalah:
a) Zakat mensucikan jiwa dari sifat kikir. Zakat yang dikeluarkan karena ketaatan pada Allah akan mensucikannya jiwa (QS 9:103) dari segala kotoran dan dosa, dan terutama kotornya sifat kikir Penyakit kikir ini telah menjadi tabiat manusia (QS 17:100), yang juga diperingatkan Rasulullah SAW sebagai penyakit yang dapat merusak manusia (HR Thabrani), dan penyakit yang dapat memutuskan tali persaudaraan (HR Abu Daud dan Nasai). Sehingga alangkah berbahagianya orang yang bisa menghilangkan kekikiran. “Barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung” (QS 59:9). Zakat yang mensucikan dari sifat kikir ditentukan oleh kemurahannya dan kegembiraan ketika mengeluarkan harta semata karena Allah. Zakat yang mensucikan jiwa juga berfungsi membebaskan jiwa manusia dari ketergantungan dan ketundukan terhadap harta benda dan dari kecelakaan menyembah harta.
b) Zakat mendidik berinfak dan memberi. Berinfaq dan memberi adalah suatu akhlaq yang sangat dipuji dalam
Al Qur’an, yang selalu dikaitkan dengan keimanan dan ketaqwaan (QS 2:1-3). Orang yang terdidik untuk siap menginfakan harta sebagai bukti kasih sayang kepada saudaranya dalam rangka kemaslahatan ummat, tentunya akan sangat jauh sekali dari keinginan mengambil harta orang lain dengan merampas dan mencuri (juga korupsi).
c) Berakhlaq dengan Akhlaq Allah. Apabila manusia telah suci dari kikir dan bakhil, dan sudah siap
memberi dan berinfak, maka ia telah mendekatkan akhlaqnya dengan Akhlaq Allah yang Maha Pengasih, Maha Penyayang dan Maha Pemberi.
d) Zakat mengobati hati dari cinta dunia. Tenggelam kepada kecintaan dunia dapat memalingkan jiwa dari kecintaan kepada Allah dan ketakutan kepada akhirat. Adalah suatu lingkaran yang tak berujung.
e) Zakat mengembangkan kekayaan bathin. Pengamalan zakat mendorong manusia untuk menghilangkan egoisme, menghilangkan kelemahan jiwanya, sebaliknya menimbulkan jiwa besar dan menyuburkan perasaan optimisme.
f) Zakat menarik rasa simpati/cinta. Zakat akan menimbulkan rasa cinta kasih orang-orang yang lemah dan miskin kepada orang yang kaya. Zakat melunturkan rasa iri dengki pada si miskin yang dapat mengancam si kaya dengan munculnya rasa simpati dan doa ikhlas si miskin atas si kaya.
g) Zakat mensucikan harta dari bercampurnya dengan hak orang lain (Tapi zakat tidak bisa mensucikan harta yang diperoleh dengan jalan haram).
h) Zakat mengembangkan dan memberkahkan harta. Allah akan menggantinya dengan berlipat ganda (QS 34:39; 2:268; dll). Sehingga tidak ada rasa khawatir bahwa harta akan berkurang dengan zakat.
Adapun tujuan dan dampak zakat bagi si penerima:
a) Zakat akan membebaskan si penerima dari kebutuhan, sehingga
dapat merasa hidup tentram dan dapat meningkatkan khusyu ibadat kepada Tuhannya. Sesungguhnya Islam membenci kefakiran dan menghendaki manusia meningkat dari memikirkan kebutuhan materi saja kepada sesuatu yang lebih besar dan lebih pantas akan nilai-nilai kemanusiaan yang mulia sebagai khalifah Allah di muka bumi.
b) Zakat menghilangkan sifat dengki dan benci. Sifat hasad dan dengki akan menghancurkan keseimbangan pribadi, jasamani dan ruhaniah seseorang. Sifat ini akan melemahkan bahkan memandulkan produktifitas. Islam tidak memerangi penyakit ini dengan sematamata nasihat dan petunjuk, akan tetapi mencoba mencabut akarnya dari masyarakat melalui mekanisme zakat, dan menggantikannya dengan persaudaraan yang saling mmperhatikan satu sama lain.
Beberapa problematika masyarakat yang disorot oleh Yusuf Al-Qaradhawy dimana zakat seharusnya dapat banyak berperan adalah sbb:
a) Problematika Perbedaan Kaya-Miskin. Zakat bertujuan untuk meluaskan kaidah pemilikan dan memperbanyak jumlah pemilik harta (…”Supaya harta itu jangan hanya berputar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu”, (QS 59:7).
Islam mengakui adanya perbedaan pemilikan berdasarkan perbedaan kemampuan dan kekuatan yang dimiliki manusia. Namun Islam tidak menghendaki adanya jurang perbedaan yang semakin lebar, sebaliknya Islam mengatur agar perbedaan yang ada mengantarkan masyarakat dalam kehidupan yang harmonis, yang kaya membantu yang miskin dari segi harta, yang miskin membantu yang kaya dari segi lainnya.
b) Problematika Meminta-minta. Islam mendidik ummatnya untuk tidak meminta-minta, dimana hal ini akan menjadi suatu yang haram bila dijumpai si peminta tersebut dalam kondisi berkecukupan (ukuran cukup menurut hadits adalah mencukupi untuk makan pagi dan sore). Disisi lain Islam berusaha mengobati orang yang meminta karena kebutuhan yang mendesak, yaitu dengan dua cara :
Menyediakan lapangan pekerjaan, alat dan ketrampilan bagi orang yang mampu bekerja
Jaminan kehidupan bagi orang yang tidak sanggup bekerja
c) Problematika Dengki dan Rusaknya Hubungan dengan Sesama. Persaudaraan adalah tujuan Islam yang asasi, dan setiap ada sengketa hendaknya ada yang berusaha mendamaikan (QS 49:9-10). Rintangan dana dalam proses pendamaian tersebut seharusnya dapat dibayarkan melalui zakat, sehingga orang yang tidak kaya pun dapat berinisiatif sebagai juru damai.
d) Problematika Bencana. Orang kaya pun suatu saat bisa menjadi fakir karena adanya bencana. Islam melalui mekanisme zakat seharusnya memeberikan pengamanan bagi ummat yang terkena bencana (sistem asuransi Islam), sehingga mereka dapat kembali pada suatu tingkat kehidupan yang layak.
e) Problematika Membujang. Banyak orang membujang dikarenakan ketidakmampuan dalam hal harta untuk menikah. Islam menganjurkan ummatnya kawin yang juga merupakan benteng kesucian. Mekanisme zakat dapat berperan untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
f) Problematikan Pengungsi. Rumah tempat berteduh juga merupakan kebutuhan primer disamping makanan dan pakaian. Zakat seharusnya menjadi unsur penolong pertama dalam menangani masalah pengungsi ini.
B. Macam-Macam Zakat
B.1. Zakat Fitrah
Zakat Fitrah, zakat yang wajib dikeluarkan Muslim menjelang Idul Fitri pada bulan Ramadhan. Besar Zakat ini setara dengan 2,5 kilogram makanan pokok yang ada di daerah bersangkutan.
Zakat Fitrah, zakat yang wajib dikeluarkan Muslim menjelang Idul Fitri pada bulan Ramadhan. Besar Zakat ini setara dengan 2,5 kilogram makanan pokok yang ada di daerah bersangkutan.
B.2. Zakat Maal
Zakat maal (Zakat Harta), mencakup hasil perniagaan, pertanian, pertambangan, hasil laut, hasil ternak, harta temuan, emas dan perak serta hasil kerja (profesi). Masing-masing tipe memiliki perhitungannya sendiri-sendiri sebagai berikut:
Untuk harta rikaz (temuan) dan barang tambang, wajib dikeluarkan seperlima atau 20%.
Untuk biji-bijian dan buah-buahan zakatnya 10% atau 5%.
Ternak, harta dagangan dan perhiasan (termasuk didalamya penghasilan/gaji) zakatnya 2,5%.
Uang, harta dagangan dan perhiasan (termasuk didalamnya penghasilan/gaji) zakatnya 2,5%.
Zakat maal (Zakat Harta), mencakup hasil perniagaan, pertanian, pertambangan, hasil laut, hasil ternak, harta temuan, emas dan perak serta hasil kerja (profesi). Masing-masing tipe memiliki perhitungannya sendiri-sendiri sebagai berikut:
Untuk harta rikaz (temuan) dan barang tambang, wajib dikeluarkan seperlima atau 20%.
Untuk biji-bijian dan buah-buahan zakatnya 10% atau 5%.
Ternak, harta dagangan dan perhiasan (termasuk didalamya penghasilan/gaji) zakatnya 2,5%.
Uang, harta dagangan dan perhiasan (termasuk didalamnya penghasilan/gaji) zakatnya 2,5%.
C. Perintah Menunaikan Zakat Dalam Al-Qur’an Dan Al-Hadits
C.1. Perintah Menunaikan Zakat Dalam Al-Qur’an
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Artinya : “Ambillah zakat dari harta mereka, guna membersihkan dan menyucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. sesungguhnya doamu itu (menumbuhkan) ketentraman jiwa bagi mereka, Allah maha mendengar dan maha mengetahui” (At-Taubah : 103)
وَهُوَ الَّذِي أَنْشَأَ جَنَّاتٍ مَعْرُوشَاتٍ وَغَيْرَ مَعْرُوشَاتٍ وَالنَّخْلَ وَالزَّرْعَ مُخْتَلِفًا أُكُلُهُ وَالزَّيْتُونَ وَالرُّمَّانَ مُتَشَابِهًا وَغَيْرَ مُتَشَابِهٍ كُلُوا مِنْ ثَمَرِهِ إِذَا أَثْمَرَ وَءَاتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
وَهُوَ الَّذِي أَنْشَأَ جَنَّاتٍ مَعْرُوشَاتٍ وَغَيْرَ مَعْرُوشَاتٍ وَالنَّخْلَ وَالزَّرْعَ مُخْتَلِفًا أُكُلُهُ وَالزَّيْتُونَ وَالرُّمَّانَ مُتَشَابِهًا وَغَيْرَ مُتَشَابِهٍ كُلُوا مِنْ ثَمَرِهِ إِذَا أَثْمَرَ وَءَاتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
Artinya : “Dan dialah yang menjadikan tanaman-tanaman yang merambat dan tidak merambat, pohon kurma, tanaman yang beraneka ragam rasanya, zaitun dan dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak serupa (rasanya). makanlah buahnya bila ia berbuah dan berikanlah haknya (zakatnya) pada waktu memetik hasilnya, tapi janganlah berlebih-lebihan. sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan” (Al-An’am : 141)
وَءَاتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا
وَءَاتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا
Artinya : “Dan berikanlah haknya kepada kerabat dekat, juga kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros” (Al-Isra’ : 26)
يَوْمَ يُحْمَى عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَى بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ هَذَا مَا كَنَزْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ فَذُوقُوا مَا كُنْتُمْ تَكْنِزُونَ
Artinya : (Ingatlah) Pada hari ketika emas dan perak dipanaskan dalam neraka jahanam, lalu dengan itu disetrika dahi, lambung dan punggung mereka (seraya dikatakan) kepada mereka, “inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah (akibat dari) apa yang kamu simpan itu”" (At-Taubah : 35)
C.2. Perintah Menunaikan Zakat Dalam Al-Hadits
Hadis riwayat Abu Said Al-Khudri: ia berkata: Dari Nabi, beliau bersabda: Tidak ada zakat pada hasil bumi yang kurang dari lima Wasaq (tiga ratus sha’), tidak ada zakat pada unta yang kurang dari lima ekor, tidak ada zakat pada perak yang kurang dari lima uqiyah. (Shahih Muslim No.1625)
Hadis riwayat Abu Hurairah ra., ia berkata: Rasulullah saw. mengutus Umar untuk menarik zakat. Lalu dikatakan bahwa Ibnu Jamil, Khalid bin Walid dan Abbas, paman Nabi saw. enggan mengeluarkan zakat. Lalu Rasulullah saw. bersabda: Penolakan Ibnu Jamil tidak lain hanyalah pengingkaran terhadap nikmat, dahulu ia melarat, lalu Allah menjadikannya kaya. Adapun Khalid, maka kalianlah yang menganiaya Khalid. Dia telah mewakafkan baju besi dan peralatan perangnya pada jalan Allah. Sedangkan Abbas, maka zakatnya menjadi tanggunganku begitu pula zakat semisalnya. Kemudian beliau bersabda: Hai Umar, tidakkah engkau merasa bahwa paman seseorang itu mewakili ayahnya?. (Shahih Muslim No.1634)
Hadis riwayat Ibnu Umar ra.: Bahwa Rasulullah saw. mewajibkan zakat fitrah dari bulan Ramadan kepada manusia, yaitu satu sha` (gantang) kurma atau satu sha` gandum atas setiap muslim, merdeka atau budak, lelaki maupun wanita. (Shahih Muslim No.1635)
Hadis riwayat Abu Said Al-Khudri ra., ia berkata: Kami selalu mengeluarkan zakat fitrah satu sha` makanan atau satu sha` gandum atau satu sha` kurma atau satu sha` keju atau satu sha` anggur. (Shahih Muslim No.1640)
Dan masih banyak hadist-hadist lain yang menjelaskan berbagai hal yang berkaitan dengan zakat
Hadis riwayat Abu Said Al-Khudri: ia berkata: Dari Nabi, beliau bersabda: Tidak ada zakat pada hasil bumi yang kurang dari lima Wasaq (tiga ratus sha’), tidak ada zakat pada unta yang kurang dari lima ekor, tidak ada zakat pada perak yang kurang dari lima uqiyah. (Shahih Muslim No.1625)
Hadis riwayat Abu Hurairah ra., ia berkata: Rasulullah saw. mengutus Umar untuk menarik zakat. Lalu dikatakan bahwa Ibnu Jamil, Khalid bin Walid dan Abbas, paman Nabi saw. enggan mengeluarkan zakat. Lalu Rasulullah saw. bersabda: Penolakan Ibnu Jamil tidak lain hanyalah pengingkaran terhadap nikmat, dahulu ia melarat, lalu Allah menjadikannya kaya. Adapun Khalid, maka kalianlah yang menganiaya Khalid. Dia telah mewakafkan baju besi dan peralatan perangnya pada jalan Allah. Sedangkan Abbas, maka zakatnya menjadi tanggunganku begitu pula zakat semisalnya. Kemudian beliau bersabda: Hai Umar, tidakkah engkau merasa bahwa paman seseorang itu mewakili ayahnya?. (Shahih Muslim No.1634)
Hadis riwayat Ibnu Umar ra.: Bahwa Rasulullah saw. mewajibkan zakat fitrah dari bulan Ramadan kepada manusia, yaitu satu sha` (gantang) kurma atau satu sha` gandum atas setiap muslim, merdeka atau budak, lelaki maupun wanita. (Shahih Muslim No.1635)
Hadis riwayat Abu Said Al-Khudri ra., ia berkata: Kami selalu mengeluarkan zakat fitrah satu sha` makanan atau satu sha` gandum atau satu sha` kurma atau satu sha` keju atau satu sha` anggur. (Shahih Muslim No.1640)
Dan masih banyak hadist-hadist lain yang menjelaskan berbagai hal yang berkaitan dengan zakat
D. Implikasi Optimalisasi Potensi Zakat Bagi Kemaslahatan Umat
D.1. Dampak Ekonomi
Zakat merupakan ketentuan yang wajib dalam sistem ekonomi islam (obligatory zakat system) sehingga pelaksanaannya melalui institusi resmi negara yang memliki ketentuan hukum. Zakat dikumpulkan, dikelola, atau didistribusikan melalui lembaga baitul mal.
Ketentuan atau instrumen yang ditetapkan Allah Swt pada semua aspek kehidupan manusia pada umumnya memiliki dua fungsi utama yang memberikan manfaat bagi individu (nafs) dan kolektif (jama’i). Demikian pula halnya dengan sistem zakat dalam ekonomi islam yang befungsi sebagai alat ibadah bagi orang yang membayar zakat (muzakki) yang memberikan kemanfaatan individu (nafs), dan berfungsi sebagai penggerak ekonomi bagi orang-orang dilingkungan yang menjalankan sistem zakat ini, yang memberikan kemanfaatan kolektif (jama’i).
Manfaat individu dari zakat adalah bahwa ia akan membersihkan dan menyucikan mereka yang membayar zakat. Zakat akan membersihkan hati manusia dari kekikiran dan cinta harta yang berlebihan, dan zakat akan menyucikan atau menyuburkan sifat-sifat kebaikan dalam hati manusia. Sementara itu, manfaat kolektif dari zakat adalah bahwa zakat akan terus mengingatkan orang yang memiliki kecukupan harta. Sifat kebaikan ini yang kemudian mengantarkan zakat memainkan perannya sebagai instrumen yang memberikan kemanfaatan kolektif (jama’i). Dengan kelembutan dan kebaikan hati, manusia akan memberikan hartanya pada manusia lain yang membutuhkan. Dengan kata lain, zakat ‘memaksa’ manusia yang memiliki kecukupan harta berinteraksi dengan manusia lain yang kekurangan.
Selain itu, eksistensi zakat dalam kehidupan manusia baik pribadi maupun kolektif pada hakikatnya memiliki makna ibadah dan ekonomi. Di satu sisi, zakat merupakan bentuk ibadah wajib bagi mereka yang mampu dari kepemilikan harta dan menjadi salah satu ukuran kepatuhan seseorang kepada Allah Swt. Di sisi lain, zakat merupakan variabel utama dalam menjaga kestabilan sosial ekonomi agar selalu ada pada posisi aman untuk terus berlangsung.
Dari perspsektif kolektif dan ekonomi, zakat akan melipat gandakan harta maasyarakat. Proses pelipatgandaan ini dimungkinkan karena zakat dapat meningkatkan permintan dan penawaran di pasar yang kemudian mendorong pertumbuhan ekonomi dan pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Peningkatan permintaan terjadi karena perekonimian mengakomodasi golongan manusia tidak mampu untuk memnuhi kebutuhan minimalnya, sehingga volume dan pelaku pasar dari sisi permintaan meningkat. Distribusi zakat pada golongan masyarakat kurang mampu akan menjadi pendapatan yang membuat mereka mamiliki daya beli atau memiliki akses pada perekonomian. Sementara itu, peningkatan penawaran terjadi karena zakat memberikan disinensif bagi penumpukan harta diam atau ihtikar (tidak diusahakan atau idle) dengan mengenakan ‘potongan’ sehingga mendorong harta untuk diusahakan dan dialirkan untuk investasi di sektor riil. Pada akhirnya, zakat berperan besar dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara makro.
Dengan adanya mekanisme zakat, aktivitas ekonomi dalam kondisi terburuk sekalipun dapat dipastikan akan dapat berjalan paling tidak pada tingkat yang minimal untuk memenuhi kebutuhan primer. Oleh karena itu, instrumen zakat dapat digunakan sebagai perisai terakhir bagi perekonomian agar tidak terpuruk pada kondisi krisis dimana kemampuan konsumsi mengalami stagnasi (underconsumption). Zakat memungkinkan perekonomian terus berjalan pada tingkat yang minimum, karena kebutuhan konsumsi minimum dijamin oleh dana zakat.
Hampir dipastikan ketika kita mendengar kata zakat maka yang muncul dalam pikiran kita adalah suatu philantrophy, suatu sumbangan kemanusiaan salah satu kewajiban dalam islam. Memandang zakat dari hal tersebut memang tidak salah, tetapi ada hal yang lebih besar yang seharusnya kita pahami tentang zakat.
Islam memberi perhatian yang serius tentang zakat. Hal itu dapat terlihat dalam Al-Quran, Allah SWT menurunkan 37 ayat tentang zakat, zakat juga hampir selalu disandingkan dengan kewajiban shalat. Abu Bakar Sidik berkata, “Barang siapa yang membedakan kewajiban zakat dan shalat serta tidak membayar zakat maka aku akan memeranginya.” Suatu keniscayaan bahwa Allah SWT dalam menurunkan perintahNya selalu beserta hikmah besar dibalik perintahnya. Dalam perspektif ekonomi Islam, zakat dipandang sebagai suatu hal yang sangat penting. bahkan zakat dapat dijadikan instrumen utama kebijakan fiskal suatu negara.
Jika dikelola dengan baik zakat akan menjadi salah satu solusi dari sasaran akhir perekonomian suatu negara. Yakni terciptanya kesejahteraan bagi masyarakat. Paling tidak ada beberapa efek jika zakat dikelola dengan baik:
1. Zakat mendorong pemilik modal mengelola hartanya
Zakat mal itu dikenakan pada harta diam yang dimiliki seseorang setelah satu tahun, harta yang produktif tidak dikenakan zakat. Jadi, jika seseorang menginvestasikan hartanya, maka ia tidak dikenakan kewajiban zakat mal. Hal ini dipandang mendorong produktifitas, karena uang yang selalu diedarkan di masyarakat, akhirnya perputaran uang beredar bertambah. Akhirnya perekonoian suatu negara akan berjalan lebih baik.
2. Meningkatkan etika bisnis. Kewajiban zakat dikenakan pada harta yang diperoleh dengan cara yang halal. Zakat memang menjadi pembersih harta, tetapi tidak membersihkan harta yang diperoleh secara batil. Maka hal ini akan mendorong pelaku usaha agar memperhatikan etika bisnis
3. Pemerataan pendapatan. Pengelolaan zakat yang baik, dan alokasi yang tepat sasaran akan mengakibatkan pemerataan pendapatan. Hal inilah yang dapat memecahkan permasalahan utama bangsa Indonesia (kemiskinan). Kemiskinan di Indonesia tidak terjadi karena sumber pangan yang kurang, tetapi distribusi bahan makanan itu yang tidak merata, sehingga banyak orang yang tidak memiliki kemudahan akses yang sama terhadap bahan pangan tersebut. Dengan zakat, distribusi pendapatan itu akan lebih merata dan tiap orang akan memiliki akses lebih terhadap distribusi pendapatan.
4. Pengembangan sektor riil. Salah satu cara pendistribusian zakat dapat dilakukan dengan memberikan bantuan modal usaha bagi para mustahiq. Pendistribusian zakat dengan cara ini akan memberikan dua efek yaitu meningkatkan penghasilan mustahiq dan juga akan berdampak pada ekonomi secara makro. Usaha yang dilakukan tersebut merupakan usaha yang meningkatkan sektor riil, menggerakkan pertumbuhan dan aktifitas perekonomian. Hal ini sangat erat kaitannya dengan daya saing kompetitif dan komparatif suatu bangsa. Ukuran produktifitas suatu bangsa dapat dilihat dari kemampuan sektor riil-nya dalam menghadapi persaingan yang semakin ketat.
5. Sumber dana pembangunan. Banyak kaum dhuafa yang sangat sulit mendapatkan fasilitas kesehatan, pendidikan, maupun sosial ekonomi. Lemahnya fasilitas ini akan sangat berpengaruh dalam kehidupan kaum termarjinal. Kesehatan dan pendidikan merupakan modal dasar agar SDM yang dimiliki oleh suatu negara berkualitas tinggi. Peran dana zakat sebagai sumber dana pembangunan fasilitas kaum dhuafa akan mendorong pembangunan ekonomi jangka panjang. Dengan peningkatan kesehatan dan pendidikan diharapkan akan memutus siklus kemiskinan antar generasi.
D.1. Dampak Ekonomi
Zakat merupakan ketentuan yang wajib dalam sistem ekonomi islam (obligatory zakat system) sehingga pelaksanaannya melalui institusi resmi negara yang memliki ketentuan hukum. Zakat dikumpulkan, dikelola, atau didistribusikan melalui lembaga baitul mal.
Ketentuan atau instrumen yang ditetapkan Allah Swt pada semua aspek kehidupan manusia pada umumnya memiliki dua fungsi utama yang memberikan manfaat bagi individu (nafs) dan kolektif (jama’i). Demikian pula halnya dengan sistem zakat dalam ekonomi islam yang befungsi sebagai alat ibadah bagi orang yang membayar zakat (muzakki) yang memberikan kemanfaatan individu (nafs), dan berfungsi sebagai penggerak ekonomi bagi orang-orang dilingkungan yang menjalankan sistem zakat ini, yang memberikan kemanfaatan kolektif (jama’i).
Manfaat individu dari zakat adalah bahwa ia akan membersihkan dan menyucikan mereka yang membayar zakat. Zakat akan membersihkan hati manusia dari kekikiran dan cinta harta yang berlebihan, dan zakat akan menyucikan atau menyuburkan sifat-sifat kebaikan dalam hati manusia. Sementara itu, manfaat kolektif dari zakat adalah bahwa zakat akan terus mengingatkan orang yang memiliki kecukupan harta. Sifat kebaikan ini yang kemudian mengantarkan zakat memainkan perannya sebagai instrumen yang memberikan kemanfaatan kolektif (jama’i). Dengan kelembutan dan kebaikan hati, manusia akan memberikan hartanya pada manusia lain yang membutuhkan. Dengan kata lain, zakat ‘memaksa’ manusia yang memiliki kecukupan harta berinteraksi dengan manusia lain yang kekurangan.
Selain itu, eksistensi zakat dalam kehidupan manusia baik pribadi maupun kolektif pada hakikatnya memiliki makna ibadah dan ekonomi. Di satu sisi, zakat merupakan bentuk ibadah wajib bagi mereka yang mampu dari kepemilikan harta dan menjadi salah satu ukuran kepatuhan seseorang kepada Allah Swt. Di sisi lain, zakat merupakan variabel utama dalam menjaga kestabilan sosial ekonomi agar selalu ada pada posisi aman untuk terus berlangsung.
Dari perspsektif kolektif dan ekonomi, zakat akan melipat gandakan harta maasyarakat. Proses pelipatgandaan ini dimungkinkan karena zakat dapat meningkatkan permintan dan penawaran di pasar yang kemudian mendorong pertumbuhan ekonomi dan pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Peningkatan permintaan terjadi karena perekonimian mengakomodasi golongan manusia tidak mampu untuk memnuhi kebutuhan minimalnya, sehingga volume dan pelaku pasar dari sisi permintaan meningkat. Distribusi zakat pada golongan masyarakat kurang mampu akan menjadi pendapatan yang membuat mereka mamiliki daya beli atau memiliki akses pada perekonomian. Sementara itu, peningkatan penawaran terjadi karena zakat memberikan disinensif bagi penumpukan harta diam atau ihtikar (tidak diusahakan atau idle) dengan mengenakan ‘potongan’ sehingga mendorong harta untuk diusahakan dan dialirkan untuk investasi di sektor riil. Pada akhirnya, zakat berperan besar dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara makro.
Dengan adanya mekanisme zakat, aktivitas ekonomi dalam kondisi terburuk sekalipun dapat dipastikan akan dapat berjalan paling tidak pada tingkat yang minimal untuk memenuhi kebutuhan primer. Oleh karena itu, instrumen zakat dapat digunakan sebagai perisai terakhir bagi perekonomian agar tidak terpuruk pada kondisi krisis dimana kemampuan konsumsi mengalami stagnasi (underconsumption). Zakat memungkinkan perekonomian terus berjalan pada tingkat yang minimum, karena kebutuhan konsumsi minimum dijamin oleh dana zakat.
Hampir dipastikan ketika kita mendengar kata zakat maka yang muncul dalam pikiran kita adalah suatu philantrophy, suatu sumbangan kemanusiaan salah satu kewajiban dalam islam. Memandang zakat dari hal tersebut memang tidak salah, tetapi ada hal yang lebih besar yang seharusnya kita pahami tentang zakat.
Islam memberi perhatian yang serius tentang zakat. Hal itu dapat terlihat dalam Al-Quran, Allah SWT menurunkan 37 ayat tentang zakat, zakat juga hampir selalu disandingkan dengan kewajiban shalat. Abu Bakar Sidik berkata, “Barang siapa yang membedakan kewajiban zakat dan shalat serta tidak membayar zakat maka aku akan memeranginya.” Suatu keniscayaan bahwa Allah SWT dalam menurunkan perintahNya selalu beserta hikmah besar dibalik perintahnya. Dalam perspektif ekonomi Islam, zakat dipandang sebagai suatu hal yang sangat penting. bahkan zakat dapat dijadikan instrumen utama kebijakan fiskal suatu negara.
Jika dikelola dengan baik zakat akan menjadi salah satu solusi dari sasaran akhir perekonomian suatu negara. Yakni terciptanya kesejahteraan bagi masyarakat. Paling tidak ada beberapa efek jika zakat dikelola dengan baik:
1. Zakat mendorong pemilik modal mengelola hartanya
Zakat mal itu dikenakan pada harta diam yang dimiliki seseorang setelah satu tahun, harta yang produktif tidak dikenakan zakat. Jadi, jika seseorang menginvestasikan hartanya, maka ia tidak dikenakan kewajiban zakat mal. Hal ini dipandang mendorong produktifitas, karena uang yang selalu diedarkan di masyarakat, akhirnya perputaran uang beredar bertambah. Akhirnya perekonoian suatu negara akan berjalan lebih baik.
2. Meningkatkan etika bisnis. Kewajiban zakat dikenakan pada harta yang diperoleh dengan cara yang halal. Zakat memang menjadi pembersih harta, tetapi tidak membersihkan harta yang diperoleh secara batil. Maka hal ini akan mendorong pelaku usaha agar memperhatikan etika bisnis
3. Pemerataan pendapatan. Pengelolaan zakat yang baik, dan alokasi yang tepat sasaran akan mengakibatkan pemerataan pendapatan. Hal inilah yang dapat memecahkan permasalahan utama bangsa Indonesia (kemiskinan). Kemiskinan di Indonesia tidak terjadi karena sumber pangan yang kurang, tetapi distribusi bahan makanan itu yang tidak merata, sehingga banyak orang yang tidak memiliki kemudahan akses yang sama terhadap bahan pangan tersebut. Dengan zakat, distribusi pendapatan itu akan lebih merata dan tiap orang akan memiliki akses lebih terhadap distribusi pendapatan.
4. Pengembangan sektor riil. Salah satu cara pendistribusian zakat dapat dilakukan dengan memberikan bantuan modal usaha bagi para mustahiq. Pendistribusian zakat dengan cara ini akan memberikan dua efek yaitu meningkatkan penghasilan mustahiq dan juga akan berdampak pada ekonomi secara makro. Usaha yang dilakukan tersebut merupakan usaha yang meningkatkan sektor riil, menggerakkan pertumbuhan dan aktifitas perekonomian. Hal ini sangat erat kaitannya dengan daya saing kompetitif dan komparatif suatu bangsa. Ukuran produktifitas suatu bangsa dapat dilihat dari kemampuan sektor riil-nya dalam menghadapi persaingan yang semakin ketat.
5. Sumber dana pembangunan. Banyak kaum dhuafa yang sangat sulit mendapatkan fasilitas kesehatan, pendidikan, maupun sosial ekonomi. Lemahnya fasilitas ini akan sangat berpengaruh dalam kehidupan kaum termarjinal. Kesehatan dan pendidikan merupakan modal dasar agar SDM yang dimiliki oleh suatu negara berkualitas tinggi. Peran dana zakat sebagai sumber dana pembangunan fasilitas kaum dhuafa akan mendorong pembangunan ekonomi jangka panjang. Dengan peningkatan kesehatan dan pendidikan diharapkan akan memutus siklus kemiskinan antar generasi.
D.2. Dampak Sosial Kemasyarakatan
Pengaruh-pengaruh sosial dari zakat akan tampak dari dua segi. Segi pengambilannya dari orang-orang kaya, dan segi pemberiannya kepada orang-orang yang berhak menerima zakat.
Dari segi pengambilannya dari orang-orang kaya, otomatis membersihkan mereka dari sifat-sifat bakhil dan kikir, dan mendorong mereka membiasakan berkorban dan memberi kepada saudara-saudaranya yang tidak mampu berusaha. Dan juga hal ini memperdalam perasaan mereka akan wajibnya bergotong-royong.
Dan dari segi pemberian zakat kepada mereka yang fakir (membutuhkan), tentu membersihkan jiwa mereka dari rasa dendam dan hasud, dan menyelamatkan masyarakat dari berbagai huru hara dan kegoncangan. Dengan demikian, semakin amanlah mereka orang-orang kaya dari kejahatan-kejahatan si fakir. Dan bertahtalah keamanan dan saling cinta atas seluruh masyarakat.
Dari keterangan tersebut di atas, maka tampaklah dalam zakat ada dua pengaruh penting di bidang sosial, diantaranya adalah sebagai berikut :
Zakat mengurangi perbedaan kelas
Islam mensyariatkan zakat dan menganggapnya wajib pada harta, islam membuatkan baginya suatu wadah yang hampir semua harta yang tumbuh, lalu membataskan baginya nishab yang merupakan hanya sebagian kecil jika diukur dengan kekayaan yang kita lihat dewasa ini.
Islam dengan semua itu bertujuan meratakan jaminan sosial, sehingga semakin banyak hak orang fakir, dan dengan demikian semakin dekatlah perbedaan-perbedaan diantara kelas-kelas dalam masyarakat. Islam membenci perbedaaan kelas yang mencolok dan menginginkan pendekatan kelas, karena islam percaya bahwa perbedaan yang mencolok inilah yang akan membawa kepada berbagai macam rasa dendam dan kebencian dengan segala akibatnya, seperti keresahan-keresahan dan kegoncangan-kegoncangan yang sering menjadi sebab timbulnya perpecahan dalam masyarakat seluruhnya.
Zakat memelihara kemanan umum dalam negara
Pengaruh ini tentunya merupakan akibat dari pengaruh yang lalu. Berhasilnya zakat dalam mengurangi perbedaan kelas, dan berhasilnya dalam mewujudkan pendekatan diantara kelas-kelas dalam masyarakat, otomatis menciptakan cuaca aman tentram yang melingkupi seluruh masyarakat, dan mengusir perasaan-perasaan buruk yang benar-benar telah masuk dalam jiwa, seperti dendam dan hasud di antara kelas-kelas dalam masyarakat.
Dari hasil semua itu adalah tersebarnya keamanan diantara sekalian umat manusia, dan berkurangnya kriminalitas terutama di bidang harta.
Pengaruh-pengaruh sosial dari zakat akan tampak dari dua segi. Segi pengambilannya dari orang-orang kaya, dan segi pemberiannya kepada orang-orang yang berhak menerima zakat.
Dari segi pengambilannya dari orang-orang kaya, otomatis membersihkan mereka dari sifat-sifat bakhil dan kikir, dan mendorong mereka membiasakan berkorban dan memberi kepada saudara-saudaranya yang tidak mampu berusaha. Dan juga hal ini memperdalam perasaan mereka akan wajibnya bergotong-royong.
Dan dari segi pemberian zakat kepada mereka yang fakir (membutuhkan), tentu membersihkan jiwa mereka dari rasa dendam dan hasud, dan menyelamatkan masyarakat dari berbagai huru hara dan kegoncangan. Dengan demikian, semakin amanlah mereka orang-orang kaya dari kejahatan-kejahatan si fakir. Dan bertahtalah keamanan dan saling cinta atas seluruh masyarakat.
Dari keterangan tersebut di atas, maka tampaklah dalam zakat ada dua pengaruh penting di bidang sosial, diantaranya adalah sebagai berikut :
Zakat mengurangi perbedaan kelas
Islam mensyariatkan zakat dan menganggapnya wajib pada harta, islam membuatkan baginya suatu wadah yang hampir semua harta yang tumbuh, lalu membataskan baginya nishab yang merupakan hanya sebagian kecil jika diukur dengan kekayaan yang kita lihat dewasa ini.
Islam dengan semua itu bertujuan meratakan jaminan sosial, sehingga semakin banyak hak orang fakir, dan dengan demikian semakin dekatlah perbedaan-perbedaan diantara kelas-kelas dalam masyarakat. Islam membenci perbedaaan kelas yang mencolok dan menginginkan pendekatan kelas, karena islam percaya bahwa perbedaan yang mencolok inilah yang akan membawa kepada berbagai macam rasa dendam dan kebencian dengan segala akibatnya, seperti keresahan-keresahan dan kegoncangan-kegoncangan yang sering menjadi sebab timbulnya perpecahan dalam masyarakat seluruhnya.
Zakat memelihara kemanan umum dalam negara
Pengaruh ini tentunya merupakan akibat dari pengaruh yang lalu. Berhasilnya zakat dalam mengurangi perbedaan kelas, dan berhasilnya dalam mewujudkan pendekatan diantara kelas-kelas dalam masyarakat, otomatis menciptakan cuaca aman tentram yang melingkupi seluruh masyarakat, dan mengusir perasaan-perasaan buruk yang benar-benar telah masuk dalam jiwa, seperti dendam dan hasud di antara kelas-kelas dalam masyarakat.
Dari hasil semua itu adalah tersebarnya keamanan diantara sekalian umat manusia, dan berkurangnya kriminalitas terutama di bidang harta.
A. Sosialisasi Sistem Perekonomian Islam
Zakat adalah salah satu kewajiban umat Islam terpenting dan merupakan pilar tegaknya agama Islam. Siapapun yang telah memiliki harta kekayaan melewati nishob (batas minimal) dan telah memenuhi haul (putaran masa) wajib untuk membayarkan zakat harta tersebut. Begitu pentingnya kewajiban membayar zakat ini bagi tegaknya Islam, sampai - sampai Khalifah Abu Bakar memerangi qabilah yang menolak membayar zakat. Maka dari itu perlu dilakukan sosialisasi sistem perekonomian islam dalam mengoptimalkan fungsi zakat.
A.1. Menerapkan Prinsip Ekonomi Islam
Zakat adalah landasan sistem perekonomian Islam dan menjadi tulang punggungnya. Karena sistem perekonomian Islam berdasarkan pengakuan bahwa Allah adalah pemilik asal, maka hanya Dia yang berhak mengatur masalah pemilikan, hak-hak dan penyaluran serta pendistribusian harta. Zakat adalah pencerminan dari semua itu. Karena ia merupakan salah satu hak terpenting yang dijadikan Allah di dalam pemilikan.
Disamping itu, dalam harta yang kita miliki, masih ada hak-hak lain diluar zakat. Dalam sebuah hadits dikatakan : “Sesungguhnya di dalam harta itu ada hak selain zakat”. Tetapi zakat merupakan hak terpenting di dalam harta. Karena itu ia menjadi penyerahan total kepada Allah dalam persoalan harta. Sabda Nabi Muhammad SAW: “Zakat adalah bukti penyerahan”
Dalam masalah modal, Islam memiliki prinsip-prinsip tertentu, antara lain: Penumpukan dan pembekuan harta adalah tindakan tidak benar dalam masalah harta. Harta harus dikembangkan dan zakat merupakan pengejawantahan dalam masalah ini. Sebab, modal yang tidak dikembangkan, pemilik tetap berkewajiban membayar zakat. Berarti dia harus mengurangi bagian modal itu setiap tahunnya. Akhirnya akan mengakibatkan semakin menipisnya modal.
Misalnya, seorang memiliki uang lima juta rupiah yang tidak dikembangkan. Dia akan membayar zakat uang tersebut setiap tahunnya sebanyak 2.5 %. Dalam beberapa tahun harta yang lima juta rupiah tersebut, kecuali nishab, pasti akan habis seluruhnya. Karena itu, pemilik modal terpaksa harus mengembangkan hartanya bila ingin menjaga modal agar tidak habis. Sehingga zakatnya dibayar dari keuntungan, bukan dari itu sendiri.
Dengan demikian, sistem zakat menjadikan modal selalu dalam perputaran. Dengan ini pula kita dapat memahami firman Allah: “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih (At-Taubah 34)”
Selama infaq di jalan Allah ditunaikan, atau sekurang-kurangnya dengan membayar zakat, maka penimbunan harta benda itu tidak akan pernah terjadi. Rasulullah SAW bersabda: “Selama kamu tunaikan zakatnya, maka ia bukan timbunan”
Jadi, tidak mungkin terjadi bersama-sama antara penimbunan dengan zakat. Modal, sebagai modal yang tidak dikembangkan, tidak memiliki keuntungan. Tetapi, di dalamnya ada hak orang lain, yaitu penerimaan zakat. Modal, berhak mendapatkaan keuntungan setelah dikembangkan sebagai imbalan atas kesediaannya menanggung kerugian. Misalnya, dalam satu syarikat mudharabah (usaha bagi hasil) pemilik modal berhak mendapat keuntungan sebagai imbalan kesediaan modal tersebut menanggung kerugian, bila terjadi kerugian. Ini menunjukan perbedaan pokok dalam memandang persoalan harta sebagai modal antara Kapitalisme dan Komunisme di satu pihak dengan sistem Islam di pihak lain.
Islam telah meletakan masalah ini secara proporsional dan adil melalui semua institusi yang ada terutama melalui instansi zakat (lembaga pengelola zakat). Harta menurut Islam, kalau dikembangkan ada hak mendapatkan keuntungan sebagai imbalan atas kesediannya menanggung resiko rugi. Pemilik modal berhak memperoleh keuntungan sebagai imbalan pengelolaan dan kesediaannya menanggung resiko kerugian
Kepada pemilik modal diwajibkan membayar zakat setiap tahun, bukan saja dari keuntungan, tetapi juga dari modal itu sendiri. Dengan demikian, ‘kelebihan nilai’ yang digambarkan Karl Marx tidak akan kembali kepada pemilik modal, kecuali dalam jumlah kecil yang menjadi haknya Selebihnya akan kembali kepada berbagai tingkatan masyarakat yang berhak menerimanya sebagai upaya mewujudkan Jaminan Sosial yang merupakan kewajiban bagi orang yang mampu (aghniya).
A.2. Karakteristik Ekonomi Islam
Sejalan dengan berkembangnya kegiatan ekonomi, berkembang pula ilmu ekonomi yang melahirkan sistem-sistem ekonomi. Sampai pada Thomas Aquinas, kegiatan ekonomi masih diingatkan akan adanya bahaya bunga atau riba. Tetapi, setelah itu kegiatan ekonomi lebih banyak didominasi logika-logika manusia yang saling bertentangan, yang mengakibatkan makin melebarnya jurang antara si kaya dan miskin akibat doktrin Adam Smith yang terkenal dengan istilah the invisible hand yang membiarkan berlakunya survival of the fittest) atau doktrin trade of A.W. Philips yang mengakibatkan pengangguran dan inflasi dan sebagainya Demikian pula sistem ekonomi sosialis komunis yang didominasi perencanaan dan penguasaan alat-alat produksi secara terpusat oleh negara karena mengabaikan hak-hak individual ternyata juga tidak membawa kesejahteraan kepada umat manusia.
Sebagai ajaran yang syaamil (mencakup) dan kaamil (sempurna) serta mutakaamil (saling melengkapi dan terkait yang berlandaskan pada wahyu Allah swt., tentu ajaran Islam mengandung pula ajaran yang berkaitan praktek-praktek ekonomi yang akan membawa pada kesejahteraan dan keselamatan hidup umat manusia(Q.S. 21: 107).
Dalam terminologi syariat, ekonomi termasuk kelompok muamalah, dan muamalah termasuk pada bagian syariat yang terkait erat dengan akidah dan akhlak (Q.S. 14: 24–26). Atas dasar tersebut, kekhususan-kekhususan ekonomi Islam tereletak pada karakteristik dan wataknya yang berbeda dengan individualisme dan kapitalisme serta berbeda pula dengan sosialisme-komunisme.
Secara umum, menurut Yusuf Qardhawi, dalam bukunya Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, karakteristis ekonomi Islam itu ada empat; ilahiah, akhlak, kemanusiaan, dan pertengahan.
Ilahiyah, ekonomi Islam adalah ekonomi ilahiah karena titik berangkatnya dari Allah swt., tujuannya mencari rida Allah, dan cara-caranya juga tidak bertentangan dengan syariat-Nya.
Seorang muslim melakukan kegiatan produksi, di samping memenuhi hajat hidupnya, keluarga, dan masyarakatnya, juga karena melaksanakan perintah Allah swt. (Q.S. 67: 15). Ketika seorang muslim mengonsumsi dan memakan dari sebaik-baiknya rezeki dan yang halal, ia merasa sedang melaksanakan perintah Allah (Q.S. 2: 168). Ia menikmatinya dalam batas kewajaran dan kesahajaan, sebagai bukti ketundukannya kepada perintah Allah (Q.S. 7: 31–32)
Ketika berusaha, ia tidak akan berusaha dengan sesuatu yang haram, tidak akan melakukan riba dan menimbun barang, tidak akan berbuat dzalim, tidak akan menipu, mencuri, korupsi, dan kolusi dan tidak pula melakukan praktek suap-menyuap (Q.S. 2: 188). Ketika memiliki harta, seorang muslim tidak akan menahannya karena kikir, tidak membelanjakan dengan cara boros; ia merasa hartanya itu merupakan amanah dari Allah swt. untuk dimanfaatkan sesuai dengan ketentuan-Nya (Q.S. 24:33).
Dalam pandangan Islam, ekonomi bukan tujuan, melainkan semata-mata sarana yang lazim baginya mencapai tujuan yang lebih tinggi dan sarana penunjang dan pelayan bagi realisasi akidah dan syariatnya.
Akhlak, kesatuan antara ekonomi dan akhlak ini akan makin jelas pada setiap langkah-langkah ekonomi, baik yang berkaitan produksi, konsumsi, distribusi, maupun kegiatan lainnya. Akhlak adalah landasan sekaligus bingkai bagi setiap aktivitas ekonomi. Jack Aster, pakar ekonomi Prancis, dalam bukunya, Islam dan Perkembangan Ekonomi, menyatakan Islam sebuah sistem hidup yang aplikatif dan secara bersamaan mengandung nilai-nilai akhlak yang tinggi.
Kedua hal ini berkaitan erat, tidak pernah terpisah satu dengan yang lainnya. Dari sini bisa dipastikan kaum muslimin tidak akan menerima sistem ekonomi kapitalis yang hanya mementingkan keuntungan material dengan mengesampingkan hal-hal yang bersifat moral. Ekonomi Islam adalah ekonomi yang mengambil kekuatan wahyu Allah di Alquran, dan karena itu pasti berakhlak. Akhlak ini mampu memberikan makna baru terhadap konsep nilai dan mampu mengisi kekosongan pikiran yang nyaris muncul akibat era industrialisasi.
Kemanusiaan, ekonomi Islam adalah ekonomi kemanusiaan, artinya, ekonomi yang memungkinkan manusia memenuhi kebutuhan hidupnya, baik yang bersifat kebendaan maupun yang bersifat kejiwaan. Manusia merupakan tujuan antara kegiatan ekonomi dalam Islam, sekaligus merupakan sarana dan pelakunya, dan memanfaatkan ilmu yang diajarkan Allah swt. kepadanya dan anugerah serta kemampuan yang diberikan-Nya. Di antara nilai kemanusiaan yang sangat menonjol dalam segala aktivitas yang diperintahkan ajaran Islam termasuk kegiatan ekonomi-adalah keadilan, persaudaraan, saling mencintai, saling membantu, dan tolong-menolong. Sebab itu, harta tidak boleh hanya dimiliki sekelompok orang kaya (Q.S. 59: 7). Adanya kesadaran pada setiap harta yang kita miliki terdapat hak-hak orang lain (Q.S. 70: 24–25) yang tercermin dalam pelaksanaan zakat, infak, dan sedekah yang dikeluarkan untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya, yang pada umumnya adalah orang yang duafa dan fakir miskin (Q.S.9:60).
Pertengahan/keseimbangan, keseimbangan merupakan ruh dari ajaran Islam, sekaligus merupakan ruh pula bagi kegiatan perekonomian Islam. Misalnya, keseimbangan dalam pemilikan antara individu dan masyarakat (negara).
Secara jujur diakui aplikasi ajaran Islam dalam kegiatan ekonomi yang tersebut di atas masih memerlukan usaha dan kerja keras yang sungguh-sungguh dari semua pihak yang terlibat di dalamnya. Misalnya, yang menyangkut penyadaran umat tentang perlunya kegiatan ekonomi yang berlandaskan ajaran Islam yang merupakan konsekuensi keimanan yang mengaharuskan aplikasi secara kafah (Q.S. 2: 208), demikian pula pemilikan SDM muslim yang andal, profesional, amanah, dan terpercaya, serta pemilikan lembaga ekonomi Islam seperti bank yang bebas dari riba.
A.3. Tatanan Ekonomi Islam
Dalam islam ada beberapa hal urgen yang menjadi pembahasan pokok dalam tatanan ekonomi islam itu sendiri. Diantaranya adalah :
Pajak atau Zakat
Merupakan salah satu rukun Islam. Zakat adalah hak Allah dalam kekayaan atau harta orang muslim. Secara umum zakat dikenal sebagai pajak yang dipungut dari jumlah kekayaan tertentu baik menurut sifat pendapatan maupun modal yang ditanam.
Uang
Orang yang menumpuk uang berarti ia telah menumpulkan nilai materi sehingga uang tersebut memiliki kemampuan dan daya beli. Akan tetapi tidak semua ahli ekonomi setuju dengan pendapat tersebut. Menurut Imam Al-Ghazali dan Ibnu Khaldun, angka yang tertera pada uang tidak bernilai.
Penjualan dalam Islam
konsep Islam, menjual tidak saja berarti menjual sesuatu untuk memperoleh uang, tetapi juga mengandung arti membeli segala keperluan dengan uang. Penjualan yang tidak disertai dengan pembelian merupakan perbuatan setengah jadiyang bagian-bagiannya tidak lengkap dan tidak sempurna. Hal ini akan menghalang peredaran barang dan uang.
Perbedaan hak milik dan penimbunan
uang boleh saja dimiliki oleh setiap orang. Seberapa banyak pun yang ia mampu. Hanya saja yang tidak diperbolehkan adalah menumpuk uang, termasuk hak orang lain, untuk mendapatkan keuntungan yang sangat besar. Akan tetapi secara tegas Islam dengan persyaratan apapun tidakmembolehkan siapapun untuk menundukkan dan menindas orang lain dengan mengumpulkan atau menimbun uang itu lalu meminjamkannya kepada orang lain dengan memungut bunga.
Krisis ekonomi
Krisis ekonomi bukan hanya akibat dari penumpukan uang atau kekayaan saja tapi juga jatuhnya harga penwaran. Jatuhnya harga akan mengakibatkan jatuhnya suplai uang dan harga. Kesalahan dalam menerapkan konsep ekonomi juga dapat menimbulkan krisis.
Ekonomi Masyarakat
Langkah penting yang perlu diambil dalam pembaharuan ekonomi adalah pemberlakuan uang murni secara nyata. Zakat yang dibayar sesuai dengan aturan dan menyisakan harta yang harus didepositokan yang nantinya dikeluarkan untuk keperluan masyarakat Islam. Dan kahzanahnya dimanfaatkan untuk kesejahteraan umum secara adil. Sebagaimana dalam firman Allah SWT : “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebaktian, akan tetapi sesungguhnya kebaktian itu adalah beriman kepada Allah, hari kemudian,malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat dan menunaikan zakat dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia beerjanji dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya) dan mereka itulah orang-orang yang bertagwa” (Al-Baqarah : 177).
B. Mendirikan Badan Amil Zakat
Berdaarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, maka yang dimaksud “Pengelolaan Zakat” adalah kegiatan yang meliputi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan terhadap pendistribusian serta pendayagunaan zakat. Sebelum mendiskusikan tentang pengelolaan zakat maka yang perlu pertama kali di dibicarakan adalah menentukan VISI dan MISI dari lembaga zakat yang akan dibentuk. Bagaimana Visi lembaga zakat yang akan dibentuk serta misi apa yang hendak dijalankan guna menggapai visi yang telah ditetapkan, akan sangat mewarnai gerak dan arah yang hendak dituju dari pembentukan lembaga zakat tersebut. Visi dan misi ini harus disosialisasikan kepada segenap pengurus agar menjadi pedoman dan arah dari setiap kebijakan atau keputusan yang diambil. Sehingga lembaga zakat yang dibentuk memiliki arah dan sasaran yang professional.
Tujuan besar dilaksanakannya pengelolaan zakat adalah :
1. Meningkatnya kesadaran masyarakat dalam penunaian dan dalam pelayanan ibadah zakat. Sebagaimana realitas yang ada dimasyarakat bahwa sebagian besar umat Islam yang kaya (mampu) belum menunaikan ibadah zakatnya, jelas ini bukan persoalan “kemampuan” akan tetapi adalah tentang “kesadaran ibadah zakat” yang kurang terutama dari umat Islam sendiri. Hal ini menyimpan pekerjaan rumah tersendiri bagaimana secara umum umat Islam meningkat kesadaran beragamanya.
2. Meningkatnya fungsi dan peranan pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial. Zakat adalah merupakan salah satu institusi yang dapat dipakai untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat atau menghapuskan derajad kemiskinan masyarakat serta mendorong terjadinya keadilan distribusi harta. Karena zakat itu dipungut dari orang-orang kaya untuk kemudian didistribusikan kepada mustadz’afiin (fakir miskin) di daerah dimana zakat itu dipungut. Jelas hal ini akan terjadi aliran dana dari para aghniya kepada dhuafa dalam berbagai bentuknya mulai dari kelompok konsumtif maupun produktif (investasi). Maka secara sadar, penunaian zakat akan membangkitkan solidaritas sosial, mengurangi kesenjangan sosial dan pada gilirannya akan mengurangi derajad kejahatan ditengah masyarakat. Lembaga zakat harus memahami peranan ini, sebagaimana Qur’an sendiri menfirmankan, “… Kaila yakuna dhulatan Bainal Aghniya’a Minkum…” yang artinya: agar harta itu tidak saja beredar diantara orang-orang kaya saja disekitarmu.
3. Meningkatnya hasil guna dan daya guna zakat. Setiap lembaga zakat sebaiknya memiliki database tentang muzakki dan mustahiq. Profil muzakki perlu didata untuk mengetahui potensi-potensi atau peluang untuk melakukan sosialisasi maupun pembinaan kepada muzakki. Muzakki adalah nasabah kita seumur hidup, maka perlu adanya perhatian dan pembinaan yang memadai guna memupuk nilai kepercayaannya. Terhadap mustahiqpun juga demikian, program pendistribusian dan pendayagunaan harus diarahkan sejauh mana mustahiq tersebut dapat meningkatkan kualitas kehidupannya, dari status mustahiq berubah menjadi muzakki.
Ada dua kelembagaan pengelola zakat yang diakui pemerintah, yaitu Badan Amil Zakat (BAZ) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ). Kedua-duanya telah mendapat payung perlindungan dari pemerintah. Wujud perlindungan pemerintah terhadap kelembagaan pengelola zakat tersebut adalah Undang-Undang RI Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, Keputusan Menteri Agama RI Nomor 581 tahun 1999 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, serta Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji Nomor D/291 tahun 2000 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Zakat. Disamping memberikan perlindungan hukum pemerintah juga berkewajiban memberikan pembinaan serta pengawasan terhadap kelembagaan BAZ dan LAZ di semua tingkatannya mulai ditingkat Nasional, Propinsi, Kabupaten/Kota sampai Kecamatan. Dan pemerintah berhak melakukan peninjauan ulang (pencabutan ijin) bila lembaga zakat tersebut melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap pengelolaan dana yang dikumpulkan masyarakat baik berupa zakat, infaq, sadaqah, & wakaf.
Untuk mendapatkan sertifikasi atau pengukuhan dari pemerintah, setiap Lembaga Amil Zakat mengajukan permohonan kepada pemerintah dengan melampirkan :
a. Akte pendirian (berbadan hukum)
b. Data (base) muzakki dan mustahiq.
c. Daftar susunan pengurus.
d. Rencana program kerja jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang.
e. Neraca atau laporan posisi keuangan
f. Surat pernyataan kesediaan untuk diaudit oleh lembaga yang independen.
Selanjutnya setiap lembaga zakat yang telah mendapat sertifikasi dari pemerintah berkewajiban:
a. Segera melakukan kegiatan sesuai dengan program kerja yang dicanangkan.
b. Menyusun laporan termasuk laporan keuangan.
c. Membuat publikasi laporan keuangan yang telah diaudit melalui media massa.
d. Menyerahkan laporan kepada pemerintah.
Teknis operasional pengelolaan zakat dilakukan oleh amil dengan beberapa kriteria, yaitu memiliki sifat amanah, mempunyai visi dan misi, berdedikasi, professional dan berintegritas tinggi
C. Meningkatkan Peran Lembaga-lembaga dan Badan Amil Zakat
” Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. ” (At-Taubah : 103)
Ayat di atas menjelaskan bahwa zakat itu diambil (dijemput) dari orang-orang yang berkewajiban untuk berzakat (muzaki) untuk kemudian diberikan kepada mereka yang berhak menerimanya (mustahik). Yang bertugas mengambil dan yang menjemput itu adalah para petugas (Amil) zakat. Menurut Imam Qurthubi Amil itu adalah orang-orang yang ditugaskan (diutus oleh imam/pemerintah) untuk mengambil, menuliskan, menghitung, dan mencatat zakat yang diambil dari para muzaki untuk kemudian diberikan kepada yang berhak menerimanya.
Pada zaman Rasulullah SAW, beliau pernah mempekerjakan seorang pemuda dari suku Asad, yang bernama Ibnu Lutaibah untuk mengurus urusan zakat Bani Sulaim. Beliau juga pernah mengutus Ali bin Abi Thalib ke Yaman untuk menjadi Amil zakat. Selain Ali bin Abi Thalib, Rasulullah juga pernah mengutus Muadz bin Jabal ke Yaman, yang disamping bertugas sebagai dai (menjelaskan Islam secara umum), juga mempunyai tugas khusus menjadi Amil Zakat.
Sejarah perjalanan profesi Amil Zakat telah di torehkan berabad abad silam. Dan telah di contohkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Di Indonesia sejarah kelahiran Amil zakat telah di gagas sejak 13 abad yang silam. Saat Islam mulai masuk ke bumi nusantara. Sejak itu cahaya islam menerangi tanah air yang membentang dari Aceh hingga Papua. Setahap demi setahap masyarakat di berbagai daerah mulai mengenal, memahami dan akhirnya mempraktekkan Islam. Namun dalam perjalanan yang telah melewati masa berabad-abad tersebut, praktek pengelolaan zakat masih dilakukan dengan sangat sederhana dan alamiah. Setelah melewati fase pengelolaan zakat secara individual, sebgai kaum muslimin di Indonesia menyadari perlunya peningkatan kualitas pengelolaan zakat. Masyarakat mulai merasakan perlunya lembaga pengelola zakat, infaq dan sedekah. Dorongan untuk melembagakan pengelolaan zakat ini terus menguat.
Hingga saat ini pertumbuhan Lembaga Amil Zakat dari tahun ke tahun terus berkembang dan cukup membanggakan. Dari pertumbuhan ini dapat disimak lebih dalam bagaimana LAZ itu bergeliat mengelola dana zakat, infaq dan sedekah. Salah satu tampak jelas adanya transparansi dan akuntabilitas dana-dana publik yang diamanahkan kepada lembaga zakat. Lahirnya lembaga amil zakat juga menyemangati masyarakat untuk membayar zakat melalui lembaga. Dari sisi kompetensi, Amil zakat dituntut untuk profesional, amanah dan memahami fikih serta manajemen zakat.
Aktivitas Amil menurut Dr Yusuf Qardawi, Amil adalah mereka yang melaksanakan segala kegiatan urusan zakat, mulai dari para pengumpul sampai kepada bendahara dan para penjaganya. Juga mulai dari pencatat sampai kepada penghitung yang mencatat keluar masuk zakat, dan membagi kepada mustahiknya.
Salah satu aktivitas amil adalah melakukan kegiatan penggalangan dana zakat, infaq, sedekah dan wakaf dari masyarakat. Baik individu, kelompok organisasi dan perusahan yang akan disalurkan dan didayagunakan untuk mustahik atau penerima zakat. Dalam hal ini amil dituntut kompetensinya untuk merancang strategi penghimpunan yang efektif. Mulai dari memahami motivasi donatur, (muzaki), program dan metodenya. Secara manajemen, lembaga pengelola zakat telah melakukan berbagai perubahan.
D. Optimalisasi Dewan Syariah Nasional (DSN) dan Dewan Pengawas Syariah (DPS)
Dewan Pengawas Syariah (DPS) adalah badan independen yang ditempatkan oleh Dewan Syariah Nasional (DSN) pada perbanbkan dan lembaga keuangan syariah. Anggota DPS harus terdiri dari para pakar di bidang syariah muamalah yang juga memiliki pengetahuan di bidang ekonomi islam.
Dalam pelaksanaan tugas sehari-hari, DPS wajib mengikuti fatwa DSN yang merupakan otoritas tertinggi dalam mengeluarkan fatwa mengenai kesesuaian produk dan jasa bank dengan ketentuan dan prinsip syariah. Tugas utama DPS adalah mengawasi kegiatan usaha lembaga keuangan syariah agar tidak menyimpang dari ketentuan dan prisnip syariah yang telah difatwakan oleh DSN.
Dewan Syariah Nasional (DSN) merupakan bagian dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang bertugas menumbuh kembangkan penerapan nilai-nilai syariah dalam kegiatan perekonomian pada umumnya dan sektor keuangan khususnya. Termasuk usaha lembaga amil zakat.
Agar DPS dan DSN memiliki peran yang optimal dan signifikan, setidaknya ada empat hal penting yang harus menjadi perhatian bersama.
Pertama, penentuan klasifikasi keahlian pihak-pihak yang dapat diangkat menjadi anggota DSN atau DPS.
Kedua, sudah menjadi rahasia umum bahwa beberapa anggota DSN juga merupakan konsultan pada lembaga-lembaga dan badan amil zakat atau lembaga keuangan syariah. Hal ini tentunya akan mengakibatkan adanya keraguan publik terhadap independensi DSN itu sendiri
Ketiga, Lembaga dan badan amil zakat harus memiliki DPS di daerah. Hal ini sejalan dengan semakin bertambahnya lembaga dan amil zakat ke berbagai wilayah provinsi, bahkan kabupaten /kota. DSN harus mendukung dan memperhatikan tuntutan ini, agar pengaplikasian zakat lebih terjamin di daerah-daerah.
Keempat, model pengawasan DPS tidak lagi mengikuti model pertama dan kedua sebagaimana yang dipaparkan di atas, tetapi mengikuti model ketiga yang betul-betul aktif dan produktif. Pada model pengawasan ini DPS dilakukan oleh sebuah departemen syari’ah di suatu lembaga dan badan amil zakat. Dengan model ini ahli syariah bertugas full time, didukung oleh staf teknis yang membentu tugas-tugas pengawasan zakat yang telah digariskan oleh ahi syariah departemen tersebut. Jika model ini diterapkan secara fungsional, maka tugas-tugas DPS sebagaimana yang dihekehendaki DSN dapat terwujud.
Dengan memperhatikan hal-hal tersebut di atas, cita-cita kita untuk mengamalkan Islam secara kaffah yaitu menunaikan zakat melalui institusi lembaga dan badan amil zakat akan terlaksana.
E. Meneguhkan Misi Kemausiaan Zakat.
Dalam bukunya yang terkenal dan mengalami sampai lima kali cetak, DR. Alwi Syihab menuturkan tentang korelasi kuat antara institusi zakat dan upaya pengentasan kemiskinan. Dia mengutip QS Al-Taubah 9 : 60, yang menentukan beberapa golongan masyarakat yang menjadi mustahik (orang yang berhak menerima zakat). Dari penelusurannya akan ayat itu, disimpulkan bahwa sasaran zakat kepada para fakir-miskin dan tidak berkecukupan serta menanggung utang merupakan manifestasi dari sosial wellfare (kesejahteraan sosial) dengan mengatur distribusi penghasilan dan kekayaan. Dengan berzakat menurutnya, hendak diwujudkan pemerataan penguasaan akan sumber daya ekonomi dan tidak terpusatkan pada sebagian kelompok tertentu saja.
Jika diseleksi, institusi zakat merupakan responsibilitas Islam akan problem kemananusiaan universal. Secara individual seseorang akan dibersihkan (tutharrihum) dari sikap boros dan kikir, lebih dari itu untuk menata sistem ekonomi yang kuat (watuzakkiihim) agar terhindar dari sistem oligopoli dan monopoli (QS 9 : 103). Islam menurut Kontowijoyo, adalah agama yang memusatkan diri pada keimanan akan Allah SWT (theosentrik), namun mempunyai korelasi kuat dengan arus balik persoalan-persoalan sosial (humanisme) yang melingkupi masyarakat.
Institusi zakat bukan semata motivasi ayat-ayat dalam al-Quran sebagai turunan dari kehendak-Nya, akan tetapi secara mendasar terkandung di dalamnya akan upaya pengentasan kemiskinan agar tercipta kehidupan yang layak dan berkeadilan. Ia bagaikan dua mata koin yang tidak bisa dipisahkan salah satu dari lainnya. Sehingga, bagi seorang muslim zakat merupakan donasi yang mempunyai nilai ritus dan sosial sekaligus.
Di tengah rakyat Indonesia yang masih terkungkung oleh “kemiskinan struktural” maka penghilangan oligopoli dan monopoli akan ditengarai oleh institusi zakat. Pergerakan kelas yang hendak diemban dengan institusi zakat adalah membebaskan kelas lemah dari ketertindasan sosial, ekonomi, budaya dan politik dalam maknanya yang luas. Karena institusi zakat tidak berhenti pada tataran normatif yang disinyalir akan melahirkan sikap sosial yang profan, akan tetapi pada tataran obyektif-empiris yang diproyeksikan untuk meraih egaliterianisme dalam setiap tindakan ekonomi.
Kesetaraan terhadap pemanfaatan harta yang dianugrahkan Tuhan, mendapat perhatian yang serius. Karena, ketimpangan tidak mencerminkan makna intrinsik (asal) dari harta dalam Islam yang mempunyai nilai ritual dan sosial. Jika, secara syariah keberadaan dan pemanfaatan harta diradang masalah dan tidak menanggung kesejahteraan sosial maka seorang muslim diwajibkan untuk tidak memanfaatkannya.
Dengan institusi zakat, ketimpangan penguasaan atas sumber daya ekonomi yang akan melahirkan kemiskinan akan direduksi secara bertahap. Namun, ia tidak bermaksud menciptakan pergerakan kelas yang mengancam kelas-kelas sosial lain yang lebih tinggi hak penguasaannya akan sumber daya ekonomi. Ia berangkat dari pembelaan kepentingan kelas mustad’afin dengan tetap menghormati usaha keras setiap individu dan atau kelempok masyarakat untuk mendapatkan keutamaan harta
Islam adalah agama segala ruang dan waktu, yang tentunya menjadi agama yang paling layak dianut dari sekian banyak banyak agama-agama di dunia ini, agama yang dibawa nabi terakhir, Muhammad SAW. Untuk itu segera dilakukan upaya untuk merealisasikan seluruh ajaran yang terkandung di dalamnya dan melakukan upaya-upaya aplikatif dalam berbagai bidang kehidupan termasuk perekonomian yang berdasarkan pokok-pokok ajarab syariah yang kemudian pada akhirnya, pembaharuan terus-menerus dapat dilakukan dan akhirnya dapat menjembatani ruang dan waktu yang berbeda.
Usaha-usaha dalam menjembatani pemahaman dan upaya kontekstualisasi islam dalam berbagai ruang dan waktu ini, tidak akan lepas dari pemahaman atas pesan ilahi yang terangkum dalam teks al-qur’an dan pesan-pesan ajarannya yang disabdakan utusannya, dengan usaha yang tanpa henti dan mesti dilakukan umatnya, demi sebuah penghayatan dan sekaligus pengamalan yang sungguh-sungguh, usaha pemahaman dan kontekstualisasi ini sangat penting dilakukan karena kitab suci tidak akan bermakana bila tidak ada usaha untuk memahaminya dan mengaplikasikan nilai-nilai ajarannya. dengan demikian upaya pemahaman atas Al-Qur’an adalah upaya yang harus dilakukan umat islam dimanapun, kapanpun dan dalam bentuk bidang apapun termasuk dalam perekonomian islam demi mewujudkan kesejahteraan social, terutama penjelasan mengenai korelasi antara zakat dengan perekonomian sebagai elemen penting dalam pengelolaan harta benda (baca: ekonomi)
DAFTAR PUSTAKA
Ab-Nabani, Taqyudin. (1996). Membangun System Ekonomi Alterbatif, Perspektif islam. Risalah Gusti: Surabaya.
An-Nabahan, M. Faruq (2000). Sistem Ekonomi Islam Pilihan Setelah Kegagalan Sistem Kapitalis dan Sosialis. Universitas Islam Indonesia (UII) Press: Yogyakarta
Ascarya (2007). Akad & Produk Bank Syariah. PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta
Bakhri, M. Syaiful, Suhari Pranyoto. (2003). Ekonomi Syariah Dalam Sorotan. Yayasan Amanah, Masyarakat Ekonomi Syariah (MES). PT. Permodalan Nasional Madani (PNM): Jakarta
Bank Indonesia. (2004), Undang-undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan UNdang-Undang Republik Indonesia No. 3 Tahun 2004, Direktorat Hukum, Bank Indonesia.
Daud, Mohammad (2007). Hukum Islam. PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta
Dewan Syariah Nasional (DSN) – (MUI) (2003). Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional. Majelis Ulama Indonesia: Jaakarta
Fayyadh, Atiyah As-Sayyid, As-Sauq Fi Nidzam. (1997). Al-Iqtishad Al-Islami, Husein Syahata Office: Kairo
Hadhiri, Choiruddin SP (1993). Klasifikasi Kandungan Al-Qur’an. Gema Insani Press: Jakarta.
Hamidi, Lutfi. (2003). Jejak-jejak Ekonomi Syariah. Senayan Abadi Publishing: Jakarta
Hardhini, Isriani dan Giharto (2007). Kamus Perbankan Syariah. Marja: Bandung
Hasan, Ali. (2000). Zakat, Pajak, Asuransi dan Lembaga Keuangan. PT. Raja Grapindo Persada, Jakarta.
Huda, Nurul, dkk (2008). Ekonomi Makro Islam: Pendekatan Teoritis. Prenada Media Group: Jakarta
_______________. (2007). Pengenalan Ekslusif: Ekonomi Islam. Prenada Media Group: Jakarta.
http://www.media-islam.or.id/2008/05/08/tips-mendirikan-bmt-yang-untung/
http://jurnalistikuinsgd.wordpress.com/2008/02/10/ukhuwah-islamiyah-dan-izzul-islam-wal-muslimin/
http://shariahlife.wordpress.com/
Ismailsyahhatih, Syauqi. (1987). Penerapan Zakat dalam Dunia Modern. Penerbi Pustaka Dian: Jakarta
Karim, Adi Warman. (2001). Ekonomi Islam, Satu Kajian Kontemporer. Gema Insani Press: Jakarta.
Khaldun, Ibnu. (1962). Al-Mukaddimah dengan Tahqiq dari Dr. Ali Abdul Wahid, 1962. Jilid II.
Marton, Said Sa’ad. (2004). Ekonomi Islam: Di Tengah Krisis Ekonomi Global. Zikrul Hakim: Jakarta.
Mufraini, Arief. (2006). Akuntansi dan manajemen Zakat. Prenada Media Group: Jakarta
Qardhawi, Yusuf. (1996). “Hukum Zakat” (Terjemahan Salma Harub at al). PT. Pustaka Litera Antar Nusa: Jakarta
______________. Bunga Bank Haram. Akbar Media Eka Sarana: Jakarta
______________. (1997). Norma dan Etika Ekonomi Islam, terjemahan dalam bahasa Indonesia. Gema Insani Press: Jakarta
Zakat adalah salah satu kewajiban umat Islam terpenting dan merupakan pilar tegaknya agama Islam. Siapapun yang telah memiliki harta kekayaan melewati nishob (batas minimal) dan telah memenuhi haul (putaran masa) wajib untuk membayarkan zakat harta tersebut. Begitu pentingnya kewajiban membayar zakat ini bagi tegaknya Islam, sampai - sampai Khalifah Abu Bakar memerangi qabilah yang menolak membayar zakat. Maka dari itu perlu dilakukan sosialisasi sistem perekonomian islam dalam mengoptimalkan fungsi zakat.
A.1. Menerapkan Prinsip Ekonomi Islam
Zakat adalah landasan sistem perekonomian Islam dan menjadi tulang punggungnya. Karena sistem perekonomian Islam berdasarkan pengakuan bahwa Allah adalah pemilik asal, maka hanya Dia yang berhak mengatur masalah pemilikan, hak-hak dan penyaluran serta pendistribusian harta. Zakat adalah pencerminan dari semua itu. Karena ia merupakan salah satu hak terpenting yang dijadikan Allah di dalam pemilikan.
Disamping itu, dalam harta yang kita miliki, masih ada hak-hak lain diluar zakat. Dalam sebuah hadits dikatakan : “Sesungguhnya di dalam harta itu ada hak selain zakat”. Tetapi zakat merupakan hak terpenting di dalam harta. Karena itu ia menjadi penyerahan total kepada Allah dalam persoalan harta. Sabda Nabi Muhammad SAW: “Zakat adalah bukti penyerahan”
Dalam masalah modal, Islam memiliki prinsip-prinsip tertentu, antara lain: Penumpukan dan pembekuan harta adalah tindakan tidak benar dalam masalah harta. Harta harus dikembangkan dan zakat merupakan pengejawantahan dalam masalah ini. Sebab, modal yang tidak dikembangkan, pemilik tetap berkewajiban membayar zakat. Berarti dia harus mengurangi bagian modal itu setiap tahunnya. Akhirnya akan mengakibatkan semakin menipisnya modal.
Misalnya, seorang memiliki uang lima juta rupiah yang tidak dikembangkan. Dia akan membayar zakat uang tersebut setiap tahunnya sebanyak 2.5 %. Dalam beberapa tahun harta yang lima juta rupiah tersebut, kecuali nishab, pasti akan habis seluruhnya. Karena itu, pemilik modal terpaksa harus mengembangkan hartanya bila ingin menjaga modal agar tidak habis. Sehingga zakatnya dibayar dari keuntungan, bukan dari itu sendiri.
Dengan demikian, sistem zakat menjadikan modal selalu dalam perputaran. Dengan ini pula kita dapat memahami firman Allah: “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih (At-Taubah 34)”
Selama infaq di jalan Allah ditunaikan, atau sekurang-kurangnya dengan membayar zakat, maka penimbunan harta benda itu tidak akan pernah terjadi. Rasulullah SAW bersabda: “Selama kamu tunaikan zakatnya, maka ia bukan timbunan”
Jadi, tidak mungkin terjadi bersama-sama antara penimbunan dengan zakat. Modal, sebagai modal yang tidak dikembangkan, tidak memiliki keuntungan. Tetapi, di dalamnya ada hak orang lain, yaitu penerimaan zakat. Modal, berhak mendapatkaan keuntungan setelah dikembangkan sebagai imbalan atas kesediaannya menanggung kerugian. Misalnya, dalam satu syarikat mudharabah (usaha bagi hasil) pemilik modal berhak mendapat keuntungan sebagai imbalan kesediaan modal tersebut menanggung kerugian, bila terjadi kerugian. Ini menunjukan perbedaan pokok dalam memandang persoalan harta sebagai modal antara Kapitalisme dan Komunisme di satu pihak dengan sistem Islam di pihak lain.
Islam telah meletakan masalah ini secara proporsional dan adil melalui semua institusi yang ada terutama melalui instansi zakat (lembaga pengelola zakat). Harta menurut Islam, kalau dikembangkan ada hak mendapatkan keuntungan sebagai imbalan atas kesediannya menanggung resiko rugi. Pemilik modal berhak memperoleh keuntungan sebagai imbalan pengelolaan dan kesediaannya menanggung resiko kerugian
Kepada pemilik modal diwajibkan membayar zakat setiap tahun, bukan saja dari keuntungan, tetapi juga dari modal itu sendiri. Dengan demikian, ‘kelebihan nilai’ yang digambarkan Karl Marx tidak akan kembali kepada pemilik modal, kecuali dalam jumlah kecil yang menjadi haknya Selebihnya akan kembali kepada berbagai tingkatan masyarakat yang berhak menerimanya sebagai upaya mewujudkan Jaminan Sosial yang merupakan kewajiban bagi orang yang mampu (aghniya).
A.2. Karakteristik Ekonomi Islam
Sejalan dengan berkembangnya kegiatan ekonomi, berkembang pula ilmu ekonomi yang melahirkan sistem-sistem ekonomi. Sampai pada Thomas Aquinas, kegiatan ekonomi masih diingatkan akan adanya bahaya bunga atau riba. Tetapi, setelah itu kegiatan ekonomi lebih banyak didominasi logika-logika manusia yang saling bertentangan, yang mengakibatkan makin melebarnya jurang antara si kaya dan miskin akibat doktrin Adam Smith yang terkenal dengan istilah the invisible hand yang membiarkan berlakunya survival of the fittest) atau doktrin trade of A.W. Philips yang mengakibatkan pengangguran dan inflasi dan sebagainya Demikian pula sistem ekonomi sosialis komunis yang didominasi perencanaan dan penguasaan alat-alat produksi secara terpusat oleh negara karena mengabaikan hak-hak individual ternyata juga tidak membawa kesejahteraan kepada umat manusia.
Sebagai ajaran yang syaamil (mencakup) dan kaamil (sempurna) serta mutakaamil (saling melengkapi dan terkait yang berlandaskan pada wahyu Allah swt., tentu ajaran Islam mengandung pula ajaran yang berkaitan praktek-praktek ekonomi yang akan membawa pada kesejahteraan dan keselamatan hidup umat manusia(Q.S. 21: 107).
Dalam terminologi syariat, ekonomi termasuk kelompok muamalah, dan muamalah termasuk pada bagian syariat yang terkait erat dengan akidah dan akhlak (Q.S. 14: 24–26). Atas dasar tersebut, kekhususan-kekhususan ekonomi Islam tereletak pada karakteristik dan wataknya yang berbeda dengan individualisme dan kapitalisme serta berbeda pula dengan sosialisme-komunisme.
Secara umum, menurut Yusuf Qardhawi, dalam bukunya Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, karakteristis ekonomi Islam itu ada empat; ilahiah, akhlak, kemanusiaan, dan pertengahan.
Ilahiyah, ekonomi Islam adalah ekonomi ilahiah karena titik berangkatnya dari Allah swt., tujuannya mencari rida Allah, dan cara-caranya juga tidak bertentangan dengan syariat-Nya.
Seorang muslim melakukan kegiatan produksi, di samping memenuhi hajat hidupnya, keluarga, dan masyarakatnya, juga karena melaksanakan perintah Allah swt. (Q.S. 67: 15). Ketika seorang muslim mengonsumsi dan memakan dari sebaik-baiknya rezeki dan yang halal, ia merasa sedang melaksanakan perintah Allah (Q.S. 2: 168). Ia menikmatinya dalam batas kewajaran dan kesahajaan, sebagai bukti ketundukannya kepada perintah Allah (Q.S. 7: 31–32)
Ketika berusaha, ia tidak akan berusaha dengan sesuatu yang haram, tidak akan melakukan riba dan menimbun barang, tidak akan berbuat dzalim, tidak akan menipu, mencuri, korupsi, dan kolusi dan tidak pula melakukan praktek suap-menyuap (Q.S. 2: 188). Ketika memiliki harta, seorang muslim tidak akan menahannya karena kikir, tidak membelanjakan dengan cara boros; ia merasa hartanya itu merupakan amanah dari Allah swt. untuk dimanfaatkan sesuai dengan ketentuan-Nya (Q.S. 24:33).
Dalam pandangan Islam, ekonomi bukan tujuan, melainkan semata-mata sarana yang lazim baginya mencapai tujuan yang lebih tinggi dan sarana penunjang dan pelayan bagi realisasi akidah dan syariatnya.
Akhlak, kesatuan antara ekonomi dan akhlak ini akan makin jelas pada setiap langkah-langkah ekonomi, baik yang berkaitan produksi, konsumsi, distribusi, maupun kegiatan lainnya. Akhlak adalah landasan sekaligus bingkai bagi setiap aktivitas ekonomi. Jack Aster, pakar ekonomi Prancis, dalam bukunya, Islam dan Perkembangan Ekonomi, menyatakan Islam sebuah sistem hidup yang aplikatif dan secara bersamaan mengandung nilai-nilai akhlak yang tinggi.
Kedua hal ini berkaitan erat, tidak pernah terpisah satu dengan yang lainnya. Dari sini bisa dipastikan kaum muslimin tidak akan menerima sistem ekonomi kapitalis yang hanya mementingkan keuntungan material dengan mengesampingkan hal-hal yang bersifat moral. Ekonomi Islam adalah ekonomi yang mengambil kekuatan wahyu Allah di Alquran, dan karena itu pasti berakhlak. Akhlak ini mampu memberikan makna baru terhadap konsep nilai dan mampu mengisi kekosongan pikiran yang nyaris muncul akibat era industrialisasi.
Kemanusiaan, ekonomi Islam adalah ekonomi kemanusiaan, artinya, ekonomi yang memungkinkan manusia memenuhi kebutuhan hidupnya, baik yang bersifat kebendaan maupun yang bersifat kejiwaan. Manusia merupakan tujuan antara kegiatan ekonomi dalam Islam, sekaligus merupakan sarana dan pelakunya, dan memanfaatkan ilmu yang diajarkan Allah swt. kepadanya dan anugerah serta kemampuan yang diberikan-Nya. Di antara nilai kemanusiaan yang sangat menonjol dalam segala aktivitas yang diperintahkan ajaran Islam termasuk kegiatan ekonomi-adalah keadilan, persaudaraan, saling mencintai, saling membantu, dan tolong-menolong. Sebab itu, harta tidak boleh hanya dimiliki sekelompok orang kaya (Q.S. 59: 7). Adanya kesadaran pada setiap harta yang kita miliki terdapat hak-hak orang lain (Q.S. 70: 24–25) yang tercermin dalam pelaksanaan zakat, infak, dan sedekah yang dikeluarkan untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya, yang pada umumnya adalah orang yang duafa dan fakir miskin (Q.S.9:60).
Pertengahan/keseimbangan, keseimbangan merupakan ruh dari ajaran Islam, sekaligus merupakan ruh pula bagi kegiatan perekonomian Islam. Misalnya, keseimbangan dalam pemilikan antara individu dan masyarakat (negara).
Secara jujur diakui aplikasi ajaran Islam dalam kegiatan ekonomi yang tersebut di atas masih memerlukan usaha dan kerja keras yang sungguh-sungguh dari semua pihak yang terlibat di dalamnya. Misalnya, yang menyangkut penyadaran umat tentang perlunya kegiatan ekonomi yang berlandaskan ajaran Islam yang merupakan konsekuensi keimanan yang mengaharuskan aplikasi secara kafah (Q.S. 2: 208), demikian pula pemilikan SDM muslim yang andal, profesional, amanah, dan terpercaya, serta pemilikan lembaga ekonomi Islam seperti bank yang bebas dari riba.
A.3. Tatanan Ekonomi Islam
Dalam islam ada beberapa hal urgen yang menjadi pembahasan pokok dalam tatanan ekonomi islam itu sendiri. Diantaranya adalah :
Pajak atau Zakat
Merupakan salah satu rukun Islam. Zakat adalah hak Allah dalam kekayaan atau harta orang muslim. Secara umum zakat dikenal sebagai pajak yang dipungut dari jumlah kekayaan tertentu baik menurut sifat pendapatan maupun modal yang ditanam.
Uang
Orang yang menumpuk uang berarti ia telah menumpulkan nilai materi sehingga uang tersebut memiliki kemampuan dan daya beli. Akan tetapi tidak semua ahli ekonomi setuju dengan pendapat tersebut. Menurut Imam Al-Ghazali dan Ibnu Khaldun, angka yang tertera pada uang tidak bernilai.
Penjualan dalam Islam
konsep Islam, menjual tidak saja berarti menjual sesuatu untuk memperoleh uang, tetapi juga mengandung arti membeli segala keperluan dengan uang. Penjualan yang tidak disertai dengan pembelian merupakan perbuatan setengah jadiyang bagian-bagiannya tidak lengkap dan tidak sempurna. Hal ini akan menghalang peredaran barang dan uang.
Perbedaan hak milik dan penimbunan
uang boleh saja dimiliki oleh setiap orang. Seberapa banyak pun yang ia mampu. Hanya saja yang tidak diperbolehkan adalah menumpuk uang, termasuk hak orang lain, untuk mendapatkan keuntungan yang sangat besar. Akan tetapi secara tegas Islam dengan persyaratan apapun tidakmembolehkan siapapun untuk menundukkan dan menindas orang lain dengan mengumpulkan atau menimbun uang itu lalu meminjamkannya kepada orang lain dengan memungut bunga.
Krisis ekonomi
Krisis ekonomi bukan hanya akibat dari penumpukan uang atau kekayaan saja tapi juga jatuhnya harga penwaran. Jatuhnya harga akan mengakibatkan jatuhnya suplai uang dan harga. Kesalahan dalam menerapkan konsep ekonomi juga dapat menimbulkan krisis.
Ekonomi Masyarakat
Langkah penting yang perlu diambil dalam pembaharuan ekonomi adalah pemberlakuan uang murni secara nyata. Zakat yang dibayar sesuai dengan aturan dan menyisakan harta yang harus didepositokan yang nantinya dikeluarkan untuk keperluan masyarakat Islam. Dan kahzanahnya dimanfaatkan untuk kesejahteraan umum secara adil. Sebagaimana dalam firman Allah SWT : “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebaktian, akan tetapi sesungguhnya kebaktian itu adalah beriman kepada Allah, hari kemudian,malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat dan menunaikan zakat dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia beerjanji dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya) dan mereka itulah orang-orang yang bertagwa” (Al-Baqarah : 177).
B. Mendirikan Badan Amil Zakat
Berdaarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, maka yang dimaksud “Pengelolaan Zakat” adalah kegiatan yang meliputi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan terhadap pendistribusian serta pendayagunaan zakat. Sebelum mendiskusikan tentang pengelolaan zakat maka yang perlu pertama kali di dibicarakan adalah menentukan VISI dan MISI dari lembaga zakat yang akan dibentuk. Bagaimana Visi lembaga zakat yang akan dibentuk serta misi apa yang hendak dijalankan guna menggapai visi yang telah ditetapkan, akan sangat mewarnai gerak dan arah yang hendak dituju dari pembentukan lembaga zakat tersebut. Visi dan misi ini harus disosialisasikan kepada segenap pengurus agar menjadi pedoman dan arah dari setiap kebijakan atau keputusan yang diambil. Sehingga lembaga zakat yang dibentuk memiliki arah dan sasaran yang professional.
Tujuan besar dilaksanakannya pengelolaan zakat adalah :
1. Meningkatnya kesadaran masyarakat dalam penunaian dan dalam pelayanan ibadah zakat. Sebagaimana realitas yang ada dimasyarakat bahwa sebagian besar umat Islam yang kaya (mampu) belum menunaikan ibadah zakatnya, jelas ini bukan persoalan “kemampuan” akan tetapi adalah tentang “kesadaran ibadah zakat” yang kurang terutama dari umat Islam sendiri. Hal ini menyimpan pekerjaan rumah tersendiri bagaimana secara umum umat Islam meningkat kesadaran beragamanya.
2. Meningkatnya fungsi dan peranan pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial. Zakat adalah merupakan salah satu institusi yang dapat dipakai untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat atau menghapuskan derajad kemiskinan masyarakat serta mendorong terjadinya keadilan distribusi harta. Karena zakat itu dipungut dari orang-orang kaya untuk kemudian didistribusikan kepada mustadz’afiin (fakir miskin) di daerah dimana zakat itu dipungut. Jelas hal ini akan terjadi aliran dana dari para aghniya kepada dhuafa dalam berbagai bentuknya mulai dari kelompok konsumtif maupun produktif (investasi). Maka secara sadar, penunaian zakat akan membangkitkan solidaritas sosial, mengurangi kesenjangan sosial dan pada gilirannya akan mengurangi derajad kejahatan ditengah masyarakat. Lembaga zakat harus memahami peranan ini, sebagaimana Qur’an sendiri menfirmankan, “… Kaila yakuna dhulatan Bainal Aghniya’a Minkum…” yang artinya: agar harta itu tidak saja beredar diantara orang-orang kaya saja disekitarmu.
3. Meningkatnya hasil guna dan daya guna zakat. Setiap lembaga zakat sebaiknya memiliki database tentang muzakki dan mustahiq. Profil muzakki perlu didata untuk mengetahui potensi-potensi atau peluang untuk melakukan sosialisasi maupun pembinaan kepada muzakki. Muzakki adalah nasabah kita seumur hidup, maka perlu adanya perhatian dan pembinaan yang memadai guna memupuk nilai kepercayaannya. Terhadap mustahiqpun juga demikian, program pendistribusian dan pendayagunaan harus diarahkan sejauh mana mustahiq tersebut dapat meningkatkan kualitas kehidupannya, dari status mustahiq berubah menjadi muzakki.
Ada dua kelembagaan pengelola zakat yang diakui pemerintah, yaitu Badan Amil Zakat (BAZ) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ). Kedua-duanya telah mendapat payung perlindungan dari pemerintah. Wujud perlindungan pemerintah terhadap kelembagaan pengelola zakat tersebut adalah Undang-Undang RI Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, Keputusan Menteri Agama RI Nomor 581 tahun 1999 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, serta Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji Nomor D/291 tahun 2000 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Zakat. Disamping memberikan perlindungan hukum pemerintah juga berkewajiban memberikan pembinaan serta pengawasan terhadap kelembagaan BAZ dan LAZ di semua tingkatannya mulai ditingkat Nasional, Propinsi, Kabupaten/Kota sampai Kecamatan. Dan pemerintah berhak melakukan peninjauan ulang (pencabutan ijin) bila lembaga zakat tersebut melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap pengelolaan dana yang dikumpulkan masyarakat baik berupa zakat, infaq, sadaqah, & wakaf.
Untuk mendapatkan sertifikasi atau pengukuhan dari pemerintah, setiap Lembaga Amil Zakat mengajukan permohonan kepada pemerintah dengan melampirkan :
a. Akte pendirian (berbadan hukum)
b. Data (base) muzakki dan mustahiq.
c. Daftar susunan pengurus.
d. Rencana program kerja jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang.
e. Neraca atau laporan posisi keuangan
f. Surat pernyataan kesediaan untuk diaudit oleh lembaga yang independen.
Selanjutnya setiap lembaga zakat yang telah mendapat sertifikasi dari pemerintah berkewajiban:
a. Segera melakukan kegiatan sesuai dengan program kerja yang dicanangkan.
b. Menyusun laporan termasuk laporan keuangan.
c. Membuat publikasi laporan keuangan yang telah diaudit melalui media massa.
d. Menyerahkan laporan kepada pemerintah.
Teknis operasional pengelolaan zakat dilakukan oleh amil dengan beberapa kriteria, yaitu memiliki sifat amanah, mempunyai visi dan misi, berdedikasi, professional dan berintegritas tinggi
C. Meningkatkan Peran Lembaga-lembaga dan Badan Amil Zakat
” Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. ” (At-Taubah : 103)
Ayat di atas menjelaskan bahwa zakat itu diambil (dijemput) dari orang-orang yang berkewajiban untuk berzakat (muzaki) untuk kemudian diberikan kepada mereka yang berhak menerimanya (mustahik). Yang bertugas mengambil dan yang menjemput itu adalah para petugas (Amil) zakat. Menurut Imam Qurthubi Amil itu adalah orang-orang yang ditugaskan (diutus oleh imam/pemerintah) untuk mengambil, menuliskan, menghitung, dan mencatat zakat yang diambil dari para muzaki untuk kemudian diberikan kepada yang berhak menerimanya.
Pada zaman Rasulullah SAW, beliau pernah mempekerjakan seorang pemuda dari suku Asad, yang bernama Ibnu Lutaibah untuk mengurus urusan zakat Bani Sulaim. Beliau juga pernah mengutus Ali bin Abi Thalib ke Yaman untuk menjadi Amil zakat. Selain Ali bin Abi Thalib, Rasulullah juga pernah mengutus Muadz bin Jabal ke Yaman, yang disamping bertugas sebagai dai (menjelaskan Islam secara umum), juga mempunyai tugas khusus menjadi Amil Zakat.
Sejarah perjalanan profesi Amil Zakat telah di torehkan berabad abad silam. Dan telah di contohkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Di Indonesia sejarah kelahiran Amil zakat telah di gagas sejak 13 abad yang silam. Saat Islam mulai masuk ke bumi nusantara. Sejak itu cahaya islam menerangi tanah air yang membentang dari Aceh hingga Papua. Setahap demi setahap masyarakat di berbagai daerah mulai mengenal, memahami dan akhirnya mempraktekkan Islam. Namun dalam perjalanan yang telah melewati masa berabad-abad tersebut, praktek pengelolaan zakat masih dilakukan dengan sangat sederhana dan alamiah. Setelah melewati fase pengelolaan zakat secara individual, sebgai kaum muslimin di Indonesia menyadari perlunya peningkatan kualitas pengelolaan zakat. Masyarakat mulai merasakan perlunya lembaga pengelola zakat, infaq dan sedekah. Dorongan untuk melembagakan pengelolaan zakat ini terus menguat.
Hingga saat ini pertumbuhan Lembaga Amil Zakat dari tahun ke tahun terus berkembang dan cukup membanggakan. Dari pertumbuhan ini dapat disimak lebih dalam bagaimana LAZ itu bergeliat mengelola dana zakat, infaq dan sedekah. Salah satu tampak jelas adanya transparansi dan akuntabilitas dana-dana publik yang diamanahkan kepada lembaga zakat. Lahirnya lembaga amil zakat juga menyemangati masyarakat untuk membayar zakat melalui lembaga. Dari sisi kompetensi, Amil zakat dituntut untuk profesional, amanah dan memahami fikih serta manajemen zakat.
Aktivitas Amil menurut Dr Yusuf Qardawi, Amil adalah mereka yang melaksanakan segala kegiatan urusan zakat, mulai dari para pengumpul sampai kepada bendahara dan para penjaganya. Juga mulai dari pencatat sampai kepada penghitung yang mencatat keluar masuk zakat, dan membagi kepada mustahiknya.
Salah satu aktivitas amil adalah melakukan kegiatan penggalangan dana zakat, infaq, sedekah dan wakaf dari masyarakat. Baik individu, kelompok organisasi dan perusahan yang akan disalurkan dan didayagunakan untuk mustahik atau penerima zakat. Dalam hal ini amil dituntut kompetensinya untuk merancang strategi penghimpunan yang efektif. Mulai dari memahami motivasi donatur, (muzaki), program dan metodenya. Secara manajemen, lembaga pengelola zakat telah melakukan berbagai perubahan.
D. Optimalisasi Dewan Syariah Nasional (DSN) dan Dewan Pengawas Syariah (DPS)
Dewan Pengawas Syariah (DPS) adalah badan independen yang ditempatkan oleh Dewan Syariah Nasional (DSN) pada perbanbkan dan lembaga keuangan syariah. Anggota DPS harus terdiri dari para pakar di bidang syariah muamalah yang juga memiliki pengetahuan di bidang ekonomi islam.
Dalam pelaksanaan tugas sehari-hari, DPS wajib mengikuti fatwa DSN yang merupakan otoritas tertinggi dalam mengeluarkan fatwa mengenai kesesuaian produk dan jasa bank dengan ketentuan dan prinsip syariah. Tugas utama DPS adalah mengawasi kegiatan usaha lembaga keuangan syariah agar tidak menyimpang dari ketentuan dan prisnip syariah yang telah difatwakan oleh DSN.
Dewan Syariah Nasional (DSN) merupakan bagian dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang bertugas menumbuh kembangkan penerapan nilai-nilai syariah dalam kegiatan perekonomian pada umumnya dan sektor keuangan khususnya. Termasuk usaha lembaga amil zakat.
Agar DPS dan DSN memiliki peran yang optimal dan signifikan, setidaknya ada empat hal penting yang harus menjadi perhatian bersama.
Pertama, penentuan klasifikasi keahlian pihak-pihak yang dapat diangkat menjadi anggota DSN atau DPS.
Kedua, sudah menjadi rahasia umum bahwa beberapa anggota DSN juga merupakan konsultan pada lembaga-lembaga dan badan amil zakat atau lembaga keuangan syariah. Hal ini tentunya akan mengakibatkan adanya keraguan publik terhadap independensi DSN itu sendiri
Ketiga, Lembaga dan badan amil zakat harus memiliki DPS di daerah. Hal ini sejalan dengan semakin bertambahnya lembaga dan amil zakat ke berbagai wilayah provinsi, bahkan kabupaten /kota. DSN harus mendukung dan memperhatikan tuntutan ini, agar pengaplikasian zakat lebih terjamin di daerah-daerah.
Keempat, model pengawasan DPS tidak lagi mengikuti model pertama dan kedua sebagaimana yang dipaparkan di atas, tetapi mengikuti model ketiga yang betul-betul aktif dan produktif. Pada model pengawasan ini DPS dilakukan oleh sebuah departemen syari’ah di suatu lembaga dan badan amil zakat. Dengan model ini ahli syariah bertugas full time, didukung oleh staf teknis yang membentu tugas-tugas pengawasan zakat yang telah digariskan oleh ahi syariah departemen tersebut. Jika model ini diterapkan secara fungsional, maka tugas-tugas DPS sebagaimana yang dihekehendaki DSN dapat terwujud.
Dengan memperhatikan hal-hal tersebut di atas, cita-cita kita untuk mengamalkan Islam secara kaffah yaitu menunaikan zakat melalui institusi lembaga dan badan amil zakat akan terlaksana.
E. Meneguhkan Misi Kemausiaan Zakat.
Dalam bukunya yang terkenal dan mengalami sampai lima kali cetak, DR. Alwi Syihab menuturkan tentang korelasi kuat antara institusi zakat dan upaya pengentasan kemiskinan. Dia mengutip QS Al-Taubah 9 : 60, yang menentukan beberapa golongan masyarakat yang menjadi mustahik (orang yang berhak menerima zakat). Dari penelusurannya akan ayat itu, disimpulkan bahwa sasaran zakat kepada para fakir-miskin dan tidak berkecukupan serta menanggung utang merupakan manifestasi dari sosial wellfare (kesejahteraan sosial) dengan mengatur distribusi penghasilan dan kekayaan. Dengan berzakat menurutnya, hendak diwujudkan pemerataan penguasaan akan sumber daya ekonomi dan tidak terpusatkan pada sebagian kelompok tertentu saja.
Jika diseleksi, institusi zakat merupakan responsibilitas Islam akan problem kemananusiaan universal. Secara individual seseorang akan dibersihkan (tutharrihum) dari sikap boros dan kikir, lebih dari itu untuk menata sistem ekonomi yang kuat (watuzakkiihim) agar terhindar dari sistem oligopoli dan monopoli (QS 9 : 103). Islam menurut Kontowijoyo, adalah agama yang memusatkan diri pada keimanan akan Allah SWT (theosentrik), namun mempunyai korelasi kuat dengan arus balik persoalan-persoalan sosial (humanisme) yang melingkupi masyarakat.
Institusi zakat bukan semata motivasi ayat-ayat dalam al-Quran sebagai turunan dari kehendak-Nya, akan tetapi secara mendasar terkandung di dalamnya akan upaya pengentasan kemiskinan agar tercipta kehidupan yang layak dan berkeadilan. Ia bagaikan dua mata koin yang tidak bisa dipisahkan salah satu dari lainnya. Sehingga, bagi seorang muslim zakat merupakan donasi yang mempunyai nilai ritus dan sosial sekaligus.
Di tengah rakyat Indonesia yang masih terkungkung oleh “kemiskinan struktural” maka penghilangan oligopoli dan monopoli akan ditengarai oleh institusi zakat. Pergerakan kelas yang hendak diemban dengan institusi zakat adalah membebaskan kelas lemah dari ketertindasan sosial, ekonomi, budaya dan politik dalam maknanya yang luas. Karena institusi zakat tidak berhenti pada tataran normatif yang disinyalir akan melahirkan sikap sosial yang profan, akan tetapi pada tataran obyektif-empiris yang diproyeksikan untuk meraih egaliterianisme dalam setiap tindakan ekonomi.
Kesetaraan terhadap pemanfaatan harta yang dianugrahkan Tuhan, mendapat perhatian yang serius. Karena, ketimpangan tidak mencerminkan makna intrinsik (asal) dari harta dalam Islam yang mempunyai nilai ritual dan sosial. Jika, secara syariah keberadaan dan pemanfaatan harta diradang masalah dan tidak menanggung kesejahteraan sosial maka seorang muslim diwajibkan untuk tidak memanfaatkannya.
Dengan institusi zakat, ketimpangan penguasaan atas sumber daya ekonomi yang akan melahirkan kemiskinan akan direduksi secara bertahap. Namun, ia tidak bermaksud menciptakan pergerakan kelas yang mengancam kelas-kelas sosial lain yang lebih tinggi hak penguasaannya akan sumber daya ekonomi. Ia berangkat dari pembelaan kepentingan kelas mustad’afin dengan tetap menghormati usaha keras setiap individu dan atau kelempok masyarakat untuk mendapatkan keutamaan harta
Islam adalah agama segala ruang dan waktu, yang tentunya menjadi agama yang paling layak dianut dari sekian banyak banyak agama-agama di dunia ini, agama yang dibawa nabi terakhir, Muhammad SAW. Untuk itu segera dilakukan upaya untuk merealisasikan seluruh ajaran yang terkandung di dalamnya dan melakukan upaya-upaya aplikatif dalam berbagai bidang kehidupan termasuk perekonomian yang berdasarkan pokok-pokok ajarab syariah yang kemudian pada akhirnya, pembaharuan terus-menerus dapat dilakukan dan akhirnya dapat menjembatani ruang dan waktu yang berbeda.
Usaha-usaha dalam menjembatani pemahaman dan upaya kontekstualisasi islam dalam berbagai ruang dan waktu ini, tidak akan lepas dari pemahaman atas pesan ilahi yang terangkum dalam teks al-qur’an dan pesan-pesan ajarannya yang disabdakan utusannya, dengan usaha yang tanpa henti dan mesti dilakukan umatnya, demi sebuah penghayatan dan sekaligus pengamalan yang sungguh-sungguh, usaha pemahaman dan kontekstualisasi ini sangat penting dilakukan karena kitab suci tidak akan bermakana bila tidak ada usaha untuk memahaminya dan mengaplikasikan nilai-nilai ajarannya. dengan demikian upaya pemahaman atas Al-Qur’an adalah upaya yang harus dilakukan umat islam dimanapun, kapanpun dan dalam bentuk bidang apapun termasuk dalam perekonomian islam demi mewujudkan kesejahteraan social, terutama penjelasan mengenai korelasi antara zakat dengan perekonomian sebagai elemen penting dalam pengelolaan harta benda (baca: ekonomi)
DAFTAR PUSTAKA
Ab-Nabani, Taqyudin. (1996). Membangun System Ekonomi Alterbatif, Perspektif islam. Risalah Gusti: Surabaya.
An-Nabahan, M. Faruq (2000). Sistem Ekonomi Islam Pilihan Setelah Kegagalan Sistem Kapitalis dan Sosialis. Universitas Islam Indonesia (UII) Press: Yogyakarta
Ascarya (2007). Akad & Produk Bank Syariah. PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta
Bakhri, M. Syaiful, Suhari Pranyoto. (2003). Ekonomi Syariah Dalam Sorotan. Yayasan Amanah, Masyarakat Ekonomi Syariah (MES). PT. Permodalan Nasional Madani (PNM): Jakarta
Bank Indonesia. (2004), Undang-undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan UNdang-Undang Republik Indonesia No. 3 Tahun 2004, Direktorat Hukum, Bank Indonesia.
Daud, Mohammad (2007). Hukum Islam. PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta
Dewan Syariah Nasional (DSN) – (MUI) (2003). Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional. Majelis Ulama Indonesia: Jaakarta
Fayyadh, Atiyah As-Sayyid, As-Sauq Fi Nidzam. (1997). Al-Iqtishad Al-Islami, Husein Syahata Office: Kairo
Hadhiri, Choiruddin SP (1993). Klasifikasi Kandungan Al-Qur’an. Gema Insani Press: Jakarta.
Hamidi, Lutfi. (2003). Jejak-jejak Ekonomi Syariah. Senayan Abadi Publishing: Jakarta
Hardhini, Isriani dan Giharto (2007). Kamus Perbankan Syariah. Marja: Bandung
Hasan, Ali. (2000). Zakat, Pajak, Asuransi dan Lembaga Keuangan. PT. Raja Grapindo Persada, Jakarta.
Huda, Nurul, dkk (2008). Ekonomi Makro Islam: Pendekatan Teoritis. Prenada Media Group: Jakarta
_______________. (2007). Pengenalan Ekslusif: Ekonomi Islam. Prenada Media Group: Jakarta.
http://www.media-islam.or.id/2008/05/08/tips-mendirikan-bmt-yang-untung/
http://jurnalistikuinsgd.wordpress.com/2008/02/10/ukhuwah-islamiyah-dan-izzul-islam-wal-muslimin/
http://shariahlife.wordpress.com/
Ismailsyahhatih, Syauqi. (1987). Penerapan Zakat dalam Dunia Modern. Penerbi Pustaka Dian: Jakarta
Karim, Adi Warman. (2001). Ekonomi Islam, Satu Kajian Kontemporer. Gema Insani Press: Jakarta.
Khaldun, Ibnu. (1962). Al-Mukaddimah dengan Tahqiq dari Dr. Ali Abdul Wahid, 1962. Jilid II.
Marton, Said Sa’ad. (2004). Ekonomi Islam: Di Tengah Krisis Ekonomi Global. Zikrul Hakim: Jakarta.
Mufraini, Arief. (2006). Akuntansi dan manajemen Zakat. Prenada Media Group: Jakarta
Qardhawi, Yusuf. (1996). “Hukum Zakat” (Terjemahan Salma Harub at al). PT. Pustaka Litera Antar Nusa: Jakarta
______________. Bunga Bank Haram. Akbar Media Eka Sarana: Jakarta
______________. (1997). Norma dan Etika Ekonomi Islam, terjemahan dalam bahasa Indonesia. Gema Insani Press: Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar