Bab I
Pendahuluan
Latar  belakang      
Artinya:  Dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, Maka Allah dan Rasul-Nya serta  orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan  dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang  nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.
Ayat  diatas mengabarkan bahwa, manusia diperintahkan oleh tuhannya untuk  bekerja mencari nafkah, karena dengan bekerja itu, Allah dan Rasulnya  akan melihat pekerjaan manusia itu. Dengan bekerja, manusia dapat  memenuhi kebutuhan nya. Sehingga jika kebutuhannya telah terpenuhi, maka  seseorang itu pun akan dapat beribadah kepada tuhanya, karena bekerja  itu sudah merupakan ibadah.  
Berbicara  tentang pekerjaan, pada zaman yang serba moderen ini, banyak  pekerjaan-pekerjaan atau profesi yang digeluti oleh manusia. Dengan  profesi itu, manusia akan lebih terjamin kehidupannya. Berbagai macam  profesi yang di jalani oleh manusia, demi mendapatkan sesuatu yang  diinginkan. Dan tak sedikit dari profesi itu, menghasilkan uang  yang  banyak. Yang pada hakekatnya uang atau rezeki tersebut hanyalah dari  Allah. Dalam Alqur’an :
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu  yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi  untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu  menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya  melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa  Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.
Yang  dimaksud hasil usahamu di atas, profesi merupakan salah satu usaha yang  menghasilkan sesuatu, dimana hasil itu di perintahkan oleh Allah agar  di sedekahkan/dizakatkan. Oleh karena itu, perlu adanya kajian tentang  zakat provesi ini, dimana pada zaman Rasulullah dulu belum ada. Profesi  apa sajakah yang dimaksud ? bagaimana dengan Nisab Dan Haul nya ? Dan  bagaimana cara menghitung nya ? yang kesemua pertanyaan ini akan kami  bahas dalam makalah kami yang terbatas ini.  
- Rumusan masalah.
- Apakah pengertian dari zakat profesi?
- Berapakah nisab dan haul zakat profesi?
- Adakah pengaruh zakat ini dalam pembangunan negara?
Bab II
Pembahasan  
- Pengertian Zakat Profesi
Seiring  dengan perkembangan ekonomi masyarakat modern, banyak bermunculan jenis  profesi baru yang belum dikenal pada masa lalu. Yusuf al-Qaradhawi1  menyatakan bahwa kata profesi atau profesional adalah sekelompok  pekerja, yang bekerja dibidangnya masing-masing berdasarkan ilmu  pengetahuan atau basis teori tertentu, baik keahlian yang dilakukannya  secara sendiri maupun secara bersama-sama. Yang dilakukan sendiri  misalnya profesi dokter, arsitek, ahli hukum, penjahit, pelukis, da’I  atau muballig dan lain sebagainya. Yang dilakukan secara bersama-sama  misalnya pegawai (pemerintah maupun swasta) dengan menggunakan sistem  upah atau gaji.  
Sementara  itu fatwa ulama’ yang dihasilkan pada waktu muktamar internasional  pertama tentang zakat di Quwait pada tanggal 29 Rajab 1404 Hijriyah  bahwa salah satu kegiatan yang menghasilkan kekuatan bagi manusia  sekarang adalah kegiatan profesi yang menghasilkan amal yang bermanfaat,  baik yang dilakukan sendiri, seperti kegiatan dokter, arsitek dan yang  lainnya, maupun yang dilakukan secara bersama-sama, seperti para  karyawan atau pegawai. Semua itu menghasilkan pendapatan atau gaji.  
Wahbah al-Zuhaili2  secara khusus mengemukakan kegiatan penghasilan atau pendapatan yang  diterima seseorang melalui usaha sendiri (wirausaha) seperti dokter,  insinyur, ahli hukum, penjahit dan lain sebagainya. Dan juga yang  terkait dengan pemerintah, (pegawai negeri) atau pegawai swasta yang  mendapatkan gaji atau upah dalam waktu yang relatif tetap seperti  sebulan sekali. Penghasilan atau pendapatan yang semacam ini dalam  istilah fiqh dikatakan sebagai al-Maal al-mustafaad.
- Landasan Hukum Kewajiban Zakat Profesi
Semua  penghasilan melalui kegiatan professional tersebut, apabila telah  mencapai nisab maka wajib dikeluarkan zakatnya. Hal ini berdasarkan  nash-nash yang bersifat umum, misalya firman Allah dalam surat  adz-dzaariyaat : 19
Artinya : Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.
Sayyid Quthub dalam tafsirnya Fi Zhilalil Qur’an3 ketika  menafsirkan firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 267 menyatakan,  bahwa nash ini mencakup seluruh hasil usaha manusia yang baik dan halal  dan mencakup pula seluruh yang dikeluarkan Allah SWT dari dalam dan atas  bumi, seperti hasil-hasil pertanian dan sebagainya. Karena itu nash ini  mencakup semua harta, baik yang terdapat di zaman rasulullah maupun di  zaman sesudahnya. Semuanya wajib dikeluarkan zakatnya dengan ketentuan  dan kadar sebagaimana diterangkan dalam sunah rasulullah baik yang sudah  diketahui secara langsung maupun yang di Qiyaskan kepadanya.  
Dari  sudut keadilan penetapan kewajiban zakat pada setiap harta yang  dimiliki akan terasa sangat jelas, dibandingkan dengan hanya menetapkan  kewajiban zakat pada komoditas-komoditas tertentu saja yang  konvonsional. Petani yang saat ini kondisinya secara umum kurang  beruntung, tetap harus berzakat, apabila hasil pertaniannya telah  mencapai nishab. Karena itu sangat adil pula, apabila zakat inipun  bersifat wajib pada penghasilan yang didapatkan para dokter, para ahli  hukum, konsultan dalam berbagai bidang, para dosen, para pegawai dan  karyawan yang memiliki gaji tinggi dan profesi lainnya.
Sejalan  dengan perkembangan kehidupan umat manusia, khususnya dalam bidang  ekonomi, kegiatan penghasilan melalui keahlian dan profesi ini akan  semakin berkembang dari waktu ke waktu. Bahkan akan menjadi kegiatan  ekonomi yang utama, seperti terjadi di Negara-negara industry sekarang  ini. Penetapan kewajiban zakat kepadanya, menunjukkan betapa hukum Islam  sangat aspiratif dan responsive terhadap perkembangan zaman. Afif Abdul  Fatah Thabari4  menyatakan bahwa aturan dalam Islam itu bukan saja sekedar berdasarkan  pada keadilan bagi seluruh umat manusia, akan tetapi sejalan dengan  kemashlahatan dan kebutuhan hidup manusia, sepanjang zaman dan keadaan,  walaupun zaman itu berbeda dan berkembang dari waktu ke waktu.
- Nishab, Waktu, Kadar, dan Cara Mengeluarkan Zakat Profesi
Terdapat  beberapa kemungkinan kesimpulan dalam menentukan nishab, kadar dan  waktu mengeluarkan zakat profesi. Para ulama menganalogikannya dengan  salah satu dari lima jenis zakat yang sudah ada ketentuannya, dan  berlaku pada masa Rasulullah saw. Oleh karena penghasilan profesi  sekarang diterima dalam bentuk uang, maka para fuqaha modern sepakat  kalau zakat profesi disamakan dengan zakat naqd (emas dan perak).  Alasannya bahwa sebuah mata uang didasarkan pada cadangan emas yang  menopangnya. Nabi Muhammad saw. pernah bersabda, “kalau anda memiliki  200 dirham perak, maka harus dikeluarkan zakatnya sebesar 5 dirham,  yakni 2,5%. Dan kalau anda memiliki 200 dinar (emas) maka wajib  dikeluarkan zakatnya 0,5 dinar, yaitu 2,5%. Dalil-dalil inilah yang  dijadikan pijakan diberlakukannya zakat profesi yang dinilai dengan  zakat emas dan perak, kadarnya yaitu 2,5% terhadap saldo bersih, dan  memenuhi syarat nisab yaitu 8,5 gram emas, dan waktu  mengeluarkannyasetahun sekali setelah dipotong kebutuhan pokok dan  hutang.
  Yang paling penting dari besar nisab tersebut adalah  bahwa  nisab   uang diukur  dari nisab tersebut yang telah kita tetapkan sebesar nilai  85 gram emas. Besar itu sama dengan dua  puluh  misqal hasil  pertanian   yang  disebutkan oleh banyak hadis. Banyak orang memperoleh gaji dan  pendapatan dalam bentuk uang, maka yang  paling   baik   adalah    menetapkan  nisab  gaji  itu berdasarkan nisab uang.
Contoh:  Jika si A berpenghasilan Rp 5.000.000,00 setiap bulan dan kebutuhan  pokok per bulannya sebesar Rp 3.000.000,00 maka besar zakat yang  dikeluarkannya adalah 2,5% x 12 x Rp 2.000.000,00 = 600.000,00 per  tahun.
Sementara itu, Didin Hafidhuddin, menganalogikan zakat profesi dengan zakat pertanian, karena ada kesamaan di antara keduanya (al-syabah).  Jika hasil panen pada setiap musim berdiri sendiri tidak terkait dengan  hasil sebelumnya, demikian pula gaji dan upah yang diterima, tidak  terkait antara penerima bulan kesatu dan bulan kedua dan seterusnya.  Maka nishabnya senilai 653 kg padi atau gandum (di atas 1,3 juta), kadar  zakatnya sebesar 5% jika di airi sendiri oleh petaninya (irigasi), dan  10% jika di airi oleh mata air/hujan, dan dikeluarkan pada setiap  mendapatkan gaji atau penghasilan, misalnya sebulan sekali. Dalam contoh  kasus diatas, maka kewajiban zakat si A adalah sebesar 5% x 12 x Rp  2.000.000,00 = Rp 1.200.000,00 per tahun (irigasi). Jika di airi hujan:  10% x 12 x Rp 2.000.000,00 = Rp 2.400.000,00 per tahun.
Karena dianalogikan pada zakat pertanian, maka bagi zakat profesi tidak ada ketentuan haul.  Ketentuan waktu menyalurkannya adalah pada saat menerima, misalnya  setiap bulan. Karena itu profesi yang menghasilakn pendapatan setiap  hari, misalnya dokter yang membuka praktek sendiri, atau pada da’i yang  setiap hari berceramah, zakatnya dikeluarkan sebulan sekali.  
Atas  dasar keterangan di atas, jika seseorang konsultan mendapatkan  honorarium misalnya Rp 5.000.000,00 per bulan, dan ini sudah mencapai  nishab, maka ia wajib mengeluarkan zakatnya sebesar 2,5% sebulan sekali.  Demikian pula misalnya seorang pegawai perusahaan swasta yang setiap  bulannya menerima gaji Rp 10.000.000,00, maka ia wajib mengeluarkan  zakatnya sebesar 2,5% sebulan sekali. Sebaliknya, seorang pegawai yang  bergaji Rp 1.000.000,00 setiap bulan, dan ini belum mencapai nishab,  maka ia tidak wajib berzakat. Akan tetapi kepadanya dianjurkan untuk  berinfak dan bersedekah, yang jumlahnya bergantung pada kemampuan dan  keikhlasan nya. Hal ini sejalan dengan surah Ali Imran: 134.   
Artinya : (yaitu)  orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun  sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan  (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.
- Zakat sebagai investasi pembangunan negara.
Potensi  zakat yang dapat dikumpulkan dari masyarakat sangat besar. Menurut  sebuah sumber, potensi zakat di Indonesia mencapai hampir 20 triliun  pertahun. Hasil penelitian pusat bahasa dan budaya UIN Syarif  Hidayatullah dan ford foundation tahun  2005 mengungkapkan, jumlah potensi filantropi (kedermawanan) umat islam  indonesia mencapai 19,3 triliun. Diantara potensi tersebut, Rp 5,1  triliun berbentuk barang dan 14,2 triliun berbebtuk uang. Jumlah dana  sebesar itu, sepertiganya masih berasak dari zakat fitrah. (Rp 6,2  triliun). Dan sisanya zakat harta Rp 13,1 triliun. Salah satu penemuan  menarik dari penelitian tersebut adalah bahwa 61 persen zakat fitrah dan  93 persen zakat harta yang diberikan langsung kepada penerima.5
Zakat  mmpunyai potensi untuk turut membantu pencapaian sasaran pembangunan  nasional. Dana zakat yang sangat besar cukup berpotensi untuk  meningkatkan taraf hidup masyarakat jika tersalurkan secara terprogram  dalam rencana pembangunan Nasional. Dalam periode tertentu, suatu negara  membuat rencana pembangunan diberbagai bidang sekaligus perencanaan  anggaranya. Potensi zakat yang cukup besar dan sasaran distribusi zakat  yang jelas seharusnya dapat sejalan dengan rencana pembangunan nasional  tersebut.
Untuk  itu pentingnya manajemen zakat yang efektif, baik dalam penerimaan  maupun penditribusian yang terorganisir secara sitematis. Maka  diharapkan zakat merupakan salah ssatu sektor penunjang lajunya  pertumbuhan ekonomi nasional Negara Republik Indonesia.6
Bab III
Kesimpulan
- Bawa hasil profesi yang telah mencapai nisab dan haulnya, wajib dizakati sebesar 2,5 %.
- Nisab zakat profesi ini setara dengan emas 85 gram, sebagaimana fatwa menyebutkan.
- Zakat ini, jika dikembangkan dengan menggunakan manajemen yang baik, maka zakat ini mampu dijadikan sebagai alat pembangunan nasional.
Daftar Pustaka
Ali, nurddin Mhd. Zakat Sebagai Instrumen dalam Kebijakan Fiskal. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada.2006  
Ramulyo, Idris. Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat menurut Hukum Islam. Jakarta. Sinar Grafika, 2006
Didin, hafidhuddin. Zakat dalam perekonomian moderen. Jakarta. Gema insani.2002
Mazjuki, Zuhdi. masail fiqhiyah. Jakarta. Pt.toko gunung agung. 1987  
1  Yusuf al-Qaradhawi, Fiqh Zakat, (Beirut : Muassasah Risalah, 1991),  hal 487.   
2  Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, (Damaskus : Daar  el-Fikr, 1997), Juz III hal 1948.
3  Sayyid Quthub Fi Zhilalil Qur’an, (Beirut: Daar el-Surq,  1977), Juz I hal 310-311.
4  Afif Abdul Fata ath-Thabari, Ruh al-Din al-Islamy, (Damaskus:  Daar el-Fikr, 1966), hlm. 300.   
5  Nuruddin Mhd. Ali, zakat sebagai instrumen dalam kebijakan  fiskal,jakarta,2006 hal XXIV.   
6  Idris Ramulyo. Hukum  Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat  menurut Hukum Islam. Hal. 140

 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar