STIT AT-TAQWA CIPARAY BANDUNG

Minggu, 01 April 2012

Panduan Praktis Pengurusan Jenazah [2]

A. TATA CARA MENYOLATKAN JENAZAH :

  1. Sholat atas jenazah muslim hukumnya fardhu kifayah[1].
  2. Ketika yang akan menyolati jenazah ada 2 (dua) orang atau lebih maka wajib dilaksanakan secara berjama’ah berdasarkan pada praktek sholat jenazah yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.
  3. Berusaha memperbanyak jumlah orang yang sholat, terutama orang-orang yang shalih dan bertauhid dengan benar[2].
  4. Membagi shaff menjadi 3 (tiga) shaff atau lebih[3].
  5. Imam berdiri pada posisi di depan para makmum laki-laki dan makmum perempuan berdiri di belakang makmum laki-laki.
  6. Kalau yang menyolatkan hanya 2 (dua orang) maka makmumnya berada tepat di belakang imam. Adapun kalau bertiga dengan satu orang wanita maka wanita berada tepat di belakang makmum laki-laki[4].
  7. Imam kemudian memerintahkan para makmum untuk merapatkan dan meluruskan shaff[5]
  8. Yang paling berhak mengimami sholat adalah penguasa muslim setempat atau yang mewakilinya. Kalau tidak ada maka dari kalangan keluarga terdekatnya yang paling banyak hapalan Al Qur’an dan paling paham akan hukum sholat jenazah. Kalau tidak ada maka dari kalangan kaum muslimin yang datang ke tempat tersebut dan dipilih yang paling banyak hapalan Al Qur’an dan paling paham akan hukum sholat jenazah.
  9. Sholat dilaksanakan di tanah lapang yang biasa dipakai untuk melaksanakan sholat ied karena inilah yang paling sering dilaksanakan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Boleh juga sesekali di masjid[6].
  10. Imam berdiri pada posisi tepat di bagian kepala untuk jenazah laki-laki[7] sedang kalau jenazah perempuan imam berdiri pada posisi tengah/ pinggangnya[8].
  11. Imam dengan diikuti oleh makmum bertakbir sebanyak 4 (empat) kali takbir dan inilah yang paling sering dilakukan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam[9], boleh juga sesekali lima, enam, tujuh atau sembilan kali takbir[10].
  12. Disunnahkan mengangkat tangan pada takbir yang pertama dengan kesepakatan para ulama berdasarkan praktek Rasulullah akan hal ini[11]. Adapun untuk takbir yang kedua, ketiga dan keempat tidak ada satu riwayatpun yang menyatakan bahwa beliau mengangkat kedua tangan. Kecuali diriwayatkan bahwa Ibnu Umar selalu mengangkat kedua tangannya pada semua takbir[12].
  13. Pada takbir yang pertama membaca Al Fatihah setelah sebelumnya membaca ta’awwudz  kemudian dilanjutkan membaca dengan memilih surah pendek dari Al Qur’an tetapi tanpa didahului bacaan iftitah[13].
  14. Pada takbir yang kedua membaca sholawat[14].
  15. Pada takbir yang ketiga membaca do’a untuk mayit dengan memilih satu di antara sekitar tujuh do’a untuk mayit yang ma’tsur[15].
  16. Pada takbir yang keempat diam sebentar kemudian salam sekali, boleh juga dua kali dengan suara yang pelan baik imam maupun makmum[16].
  17. Sholat jenazah tidak boleh dilaksanakan pada tiga waktu; ketika terbit fajar sampai terbit matahari, ketika matahari tepat di atas kepala sampai tergelincir dan ketika matahari hampir tenggelam (menguning) sampai tenggelam. (HR. Muslim dari Uqbah bin ‘Amir).

CATATAN :
  1. Bagi makmum yang terluput beberapa takbir bersama imam hendaklah dia menyempurnakan takbir yang kurang setelah imam sholat selama jenazah belum diangkat, adapaun kalau langsung diangkat maka hendaknya yang masbuq tadi langsung salam setelah salamnya imam[17].
  2. Bagi yang tidak sempat mengikuti sholat jenazah bersama imam dibolehkan baginya untuk menyalatkannya di makamnya. Caranya dia berdiri menghadap makam dan kiblat sekaligus dan bertakbir empat kali sebagaimana sholat jenazah biasanya[18].
  3. Dianjurkan bagi kaum muslimin untuk sholat ghaib atas meninggalnya saudara mereka di negeri lain dan diyakini belum/ tidak disholatkan[19].
  4. Kalau jenazahnya banyak maka disusun berjejer satu persatu dari depan imam ke arah kiblat dan yang didekatkan k earah imam adalah yang paling banyak hapalan Al Qur’annya. Kalau ada mayit laki-laki dan perempuan maka yang lebih dekat ke imam adalah mayit laki-laki kemudian kearah kiblat mayit perempuan. Posisi pinggang jenazah perempuan tepat searah bagian kepala mayit laki-laki sehingga memudahkan imam dalam mengambil posisinya ketika menyalatkan[20].
  5. Jenazah anak kecil yang belum baligh[21] atau bayi yang keguguran sesudah beusia empat bulan atau lebih disunnahkan untuk disholatkan sebagaimana boleh juga tidak[22].
  6. Orang yang syahid boleh disholatkan sebagaimana boleh juga tidak, hal ini sebagaimana praktek Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang seringnya tidak menyalatkan dan terkadang juga menyalatkan[23].
  7. Orang kafir tidak boleh dimandikan, dikafankan, disholatkan dan dido’akan[24].
  8. Pada Asalnya disyariatkan untuk mensholati semua orang yang meninggal dari kalangan kaum muslimin. Tetapi ada beberapa pengecualian dimana para ulama/ tokoh masyarakat setempat dianjurkan untuk tidak menyalatkan beberapa ketegori orang yang meninggal di kalangan kaum muslimin, namun tetap diwajibkan atas yang lain, minimal para keluarganya. Hal ini dimaksudkan sebagai pelajaran terhadap kaum muslimin sebagaimana Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah mencontohkannya kepada kita untuk tidak mensholati:
-          Orang yang meninggal dengan sebab bunuh diri[25].
-          Orang yang meninggal dalam keadaan punya hutang[26].
-          Orang yang suka meninggalkan sholat.
-          Juga orang-orang yang dikenal selama hidupnya suka melakukan maksiat dan dosa-dosa besar[27].

B. MENGANTAR JENAZAH

  1. Mengantar jenazah termasuk kewajiban seorang muslim atas saudaranya sesama muslim yang telah meninggal dunia[28].
  2. Jenazah diantar ke pemakaman untuk dikuburkan dengan tandu yang diangkat/ dipikul oleh 4 (empat) orang[29] dan tidak boleh memakai ambulan/ mobil jenazah[30].
  3. Tugas mengangkat jenazah tidak boleh diserahkan para wanita dengan kesepakatan para ulama[31]. Sebagaimana tidak disyariatkan bagi para wanita untuk mengiringi jenazah ke kuburnya[32].
  4. Disunnahkan yang mengangkat tandu jenazah dan yang mengiringinya untuk berjalan dengan agak cepat tanpa berlebihan[33].
  5. Bagi pengiring yang berjalan kaki hendaknya berjalan di belakang tandu jenazah, boleh juga di samping atau di depannya dengan tetap berusaha dekat tandu jenazah[34]. Tidak boleh mengiringi jenazah dengan kendaraan kalaupun terpaksa maka sunnahnya berjalan di belakang tandu jenazah dan tidak boleh di depannya[35].
  6. Tidak dibolehkan bagi pengiring untuk berzikir secara keras dengan lafadz apapun bahkan yang sunnah adalah diam dan khusu’ mengingat kematian[36].
  7. Diharamkan untuk mengiringi jenazah dengan nyala api atau lampu, sirene atau yang semisalnya[37]
  8. Disunnahkan bagi yang lewat atas mereka iring-iringan jenazah untuk berdiri[38].
  9. Ketika akan memasuki area pemakaman disunnahkan untuk melepas alas kaki kecuali kalau banyak duri atau yang semisalnya[39].

C. MENGUBURKAN JENAZAH

  1. Wajib menguburkan orang yang meninggal di kalangan kaum muslimin[40].
  2. Jenazah seorang muslim tidak boleh dikuburkan bersama jenazah non muslim sebagaimana tidak boleh dikuburkan kecuali di kuburan khusus kaum muslimin.
  3. Orang yang syahid dikuburkan di tempat di mana mereka meninggal[41].
  4. Disunnahkan seorang muslim dikuburkan di pemakaman khusus kaum muslimin di kampungnya/ kotanya dengan tidak dimakamkan diluar kota[42].
  5. Diwajibkan untuk mendalamkan, meluaskan dan membaguskan kubur[43].
  6. Disunnahkan untuk membuat lahad/ اللحد , yaitu bagian arah kiblat di dalam kuburan digali untuk meletakkan jenazah nantinya.
  7. Boleh juga As Syaq/ الشق. Yaitu bagian tengah di dalam kuburan digali lagi sedikit untuk meletakkan jenazah[44].
  8. Para pengiring tidak diperbolehkan sesuai sunnah untuk duduk/ jongkok sebelum jenazah diletakkan di liang lahad kuburnya[45].
  9. Yang bertugas untuk menurunkan jenazah ke liang lahadnya adalah para laki-laki dan tidak diperbolehkan bagi wanita sebagaimana praktek Rasulullah shallallahu alihi wa sallam dan dengan kesepakatan para ulama.
  10. Yang menurunkan jenazah ke liang lahadnya adalah laki-laki yang tidak berjima’ dengan isterinya pada malam harinya[46].
  11. Diutamakan kalau jenazah perempuan yang menurunkannya adalah suaminya atau kerabat terdekatnya[47]. Begitu juga pada semua jenazah yang paling berhak atasnya adalah keluarga terdekatnya. Kalau tidak ada maka dipilih orang yang kita anggap shaleh[48].
  12. Jenazah kemudian diletakkan di lahadnya dengan posisi menghadap kiblat dengan bagian tubuhnya yang sebelah kanan berada di bagian bawahnya.
  13. Orang yang meletakkan jenazah membaca بسم الله و على ملة رسول الله [49].
  14. Disunnahkan untuk memasukkan jenazah ke kuburnya dari arah bagian kakinya kalau tidak bisa boleh dari arah kepalanya[50].
  15. Ikatan kain kafan mayit kemudian disunnahkan untuk dilepas[51].
  16. Bagian belakang mayit kalau dibutuhkan bisa diganjal dengan gumpalan tanah atau yang semisalnya supaya tetap dalam keadaan menghadap kiblat.
  17. Mayit kemudian ditutup dengan balok bata, papan atau yang semisalnya.
  18. Orang yang menurunkan mayit ke liang lahadnya kemudian naik keatas.
  19. Para pengantar kemudian membuat 3 (tiga) kepalan tanah kemudian dilemparkan ke arah bagian kepala mayit[52].
  20. Kubur untuk selanjutnya ditutup/ diratakan dan ditinggikan setinggi satu jengkal dan tidak boleh lebih[53].
  21. Disunnahkan meletakkan sesuatu semisal batu, tonggak kayu atau yang semisalnya di atas kubur di bagian kepala[54].
  22. Pengantar kemudian masing-masing berdo’a untuk mayit agar bisa menjawab pertanyaan malaikat dan diampuni serta dirahmati Allah Ta’ala dengan cara mengangkat kedua tangan sebahu dan menghadap kiblat[55].
  23. Disunnahkan sesekali bagi orang yang dianggap berilmu dari kalangan pengantar untuk memberikan taushiah singkat mengenai pentingnya mengingat mati[56].
  24. Terakhir, para pengantar kemudian pulang kerumahnya masing-masing.


Beberapa bid’ah-bid’ah dalam prosesi penguburan mayit adalah :


  1. Dikumandangkannya azan atau qamat ketika mayit akan/ sudah diletakkan di liang lahad.
  2. Meletakkan jenazah di liang lahadnya dengan peti jenazah.
  3. Dibacakannya talqin oleh salah seorang pengantar yang dianggap pemuka agama untuk jenazah ketika telah selesainya proses penguburan dengan tujuan jenazah bisa menjawab pertanyaan malaikat.
  4. Dibacakannya Yasin atau surah Al Quran yang lain setelah jenazah dikuburkan baik secara sendiri-sendiri apalagi berjama’ah.
  5. Yang mengantar jenazah memakai pakaian yang berwarna hitam-hitam
  6. Meletakkan pelepah kurma/ pelepah kelapa terlebih lagi karangan bunga.
  7. Membangun/ menyemen kuburan.
  8. Menulis batu nisan.
  9. Memberikan lampu beberapa hari di kuburan.
  10. Meminta beberapa orang untuk membaca Al Quran di kuburan selama beberapa hari/ malam dengan tujuan supaya yang di dalam kubur diampuni dan tidak disiksa.
  11. Adanya acara sambutan-sambutan/ sepatah-dua patah kata dari pihak tertentu semisal pejabat pemerintahan, petinggi perusahaan atau pemimpin organisasi keagamaan.
  12. Dll.




[1]. Hal ini berdasarkan perintah Rasulullah yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan imam Malik :”Shalatilah jenazah saudara kalian”. Juga berdasarkan praktek Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan para shahabat beliau.
[2] . Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda :”Tidak ada jenazah yang disholatkan oleh 40 (empat puluh) orang kecuali akan diberi syafa’at/diampuni oleh Allah”. HR. Muslim.
[3] . Dalilnya adalah hadits yang berbunyi :”Tidak ada seorang muslim yang meninggal kemudian disholatkan oleh tiga shaf (atau lebih) kecuali pasti akan diampuni oleh Allah”. HR. Abu Daud dari Marsad bin Abdillah Al Yazany..
[4] . HR. Hakim dan Al Baihaqi dari jalan Abi Thalhah radhiyallahu anhu.
[5] . Sebagaimana pada pelaksanaan sholat fardhu biasanya (Syaikh Al Albani, Ahkam Al Janaiz).
[6] . HR. Muslim dari jalan Aisyah radhiyallahu anha.
[7] . HR. Abu Daud, At Turmudzi dan Ibnu Majah dengan sanad yang shahih sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Al Albani di dalam Ahkam Al Janaiz hal. 138
[8] . HR. Bukhari dan Muslim secara muttafaq alaihi dari jalan Samurah bin Jundub radhiyallhu anhu.
[9] . Berdasarkan hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari Abi Hurairah radhiyallahu anhu tentang sholat ghaibnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersama shahabatnya untuk Najasyi .Begitu juga hadits riwayat Muslim dan An Nasai dari jalan Ibnu Abbas tentang sholatnya Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam di kuburan (mayit yang sudah dimakamkan), begitu juga hadits-hadits lain yang banyak.
[10] . Lima takbir berdasarkan hadits riwayat Muslim : 957 dari jalan Abdurrahman bin Abi Ya’la, tujuh kali berdasarkan hadits Ibnu Abbas radhiyallahu anhu yang dikeluarkan oleh At Tahawy dalam kitabnya Syarh Ma’ani Al Atsaar : 1/503
[11] . HR. Ad Daruqutni dan Al Baihaqi. Sembilan kali sebagaimana hadits Abdullah bin Zubair tentang sholat jenazah yang  dilakukan Rasulullah shallallahu alihi wa sallam atas Hamzah radhiyallhu anhu. Untuk lebih jelasnya lihat Shahih Fiqh As Sunnah, Abu Malik Kamal Sayid Salim : I/ 653-654.
[12] . Praktek atau perkataan seorang shahabat yang sifatnya mauquf  bisa dijadikan sebagai hujah selama tidak ada shahabat lain yang mengingkarinya.
[13]. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh imam Bukhari dari Thalhah bin Abdillah. Mayoritas para ulama berpendapat tidak disunnahkannya membaca ta’awwudz karena tidak adanya dalil tentang hal ini dan karena sholat jenazah dimaksudkan seringkas mungkin (Syarhul Mumti’, kitabul Janaiz oleh Syaikh Al Utsaimin dan Ahkam Al janaiz oleh Syaikh Al Albani rahimahumallah).
[14] . Berdasarkan hadits riwayat Umamah radhiyallahu anhu dikeluarkan oleh imam Asy Syafi’i dalam kitabnya Al Umm : 1/270 dan Al Baihaqi : 4/39 dengan sanad yang shahih sebagaimana diterangkan Al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah.
[15] . Diantaranya do’a yang diriwayatkan oleh imam Muslim dari shahabat Auf bin Malik :
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْهُ وَعَافِهِ وَاعْفُ عَنْهُ وَأَكْرِمْ نُزُلَهُ وَوَسِّعْ مُدْخَلَهُ وَاغْسِلْهُ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ وَنَقِّهِ مِنْ الْخَطَايَا كَمَا نَقَّيْتَ الثَّوْبَ اْلأَبْيَضَ مِنْ الدَّنَسِ وَأَبْدِلْهُ دَارًا خَيْرًا مِنْ دَارِهِ وَأَهْلاً خَيْرًا مِنْ أَهْلِهِ وَزَوْجًا خَيْرًا مِنْ زَوْجِهِ وَأَدْخِلْهُ الْـجَنَّةَ وَأَعِذْهُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَمِنْ عَذَابِ النَّارِ
“Ya Allah ampunilah ia dan berikan rahmat kepadanya, serta sejahterakanlah ia dan maafkanlah. Muliakanlah tempat kedatangannya dan luaskanlah tempat masuknya. Mandikanlah ia dengan air, salju, dan embum. Bersihkanlah ia dari dosa-dosa sebagaimana Engkau membersihkan kain yang putih dari kotoran. Gantilah baginya dengan rumah yang lebih baik dari rumahnya, dengan keluarga yang lebih baik dari keluarganya, dengan pasangan yang lebih baik dari pasangannya. Masukkanlah ia ke dalam jannah dan lindungilah ia dari adzab kubur dan adzab neraka”. Adapun kalau mayitnya perempuan maka dhamir/ kata gantinya diganti, begitu juga kalau jama’ (Syarhul mumti’ dan Ahkam Al Janaiz).
[16] . Berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari shahabat Umamah radhiyallahu anhu.  Tetapi jikalau imam ingin mengeraskan suara salamnya untuk diketahui para makmumnya terlebih dalam keadaan banyaknya yang ikut sholat maka tidak mengapa sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Ibnu Umar radhiyallahu anhu.
[17] . Syarh Al Mumti’, jilid ke-5 kitab Al Janaiz dan Sholat Al Janazah Syaikh Abdullah Al Jibrin.
[18] . HR. Bukhari dan Muslim secara muttafaq alaihi. Kecuali syaikh Al Albani beliau menyatakan bahwa hal ini khusus bagi penguasa muslim atau imam setempat yang tidak sempat menyalati jenazah tersebut sebagaimana asbabul wurud hadits dalam masalah ini. Wallahu a’lam.
[19] . Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim dari jalan Abi Hurairah radhiyallahu anhu. Pendapat diatas sebagaimana yang dipilih oleh imam Ibnu Taimiyyah, Syaikh Al Albani, Syaikh Al Utsaimin dan Syaikh Abdullah Al Jibrin.
[20] . Ahkam Al Janaiz, Syaikh Al Albani Rahimahullah.
[21] . Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh imam Muslim, Ahmad dan An Nasai dari jalan Aisyah radhiyallahu anha.
[22] . Dalilnya adalah ketika anak Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang bernama Ibrahim yang ketika itu berusia 18 bulan meninggal, beliau cuma memandikan, mengafankan dan memakamkannya.
[23] . Pendapat inilah yang kuat insya Allah karena mengkompromikan semua hadits yang diriwayatkan dalam masalah ini. Pendapai inilah yang dipilih oleh Ibnu Qayyim, Ibnu Hazm dan salah satu pendapat dari imam Ahmad. Untuk lebih jelasnya lihat Shahih Fiqh As Sunnah : I/637-638.
[24] . QS. At Taubah : 84 juga At Taubah : 113.
[25] . HR. Muslim
[26] . HR. Bukhari dan Muslim dari jalan Abi Hurairah Radhiyallahu anhu.
[27] . Hal inilah yang rajih yang dipegang oleh imam Ahmad dan imam Malik rahimahumullah. Juga dipilih oleh syaikh Al Utsaimin, syaikh Al Albani dan syaikh Al Jibrin.
[28] . HR. Bukhari dan Muslim dari jalan Abu Sa’id Al Khaudri radhiyallahu anhu.
[29] . HR. Bukhari dan Muslim dari jalan Abi Hurairah radhiyallahu anhu.
[30] . Kecuali kalau memang dalam kondisi yang mendesak seperti misalkan dikuburkan ditempat yang jauh.
[31]. Karena inilah yang telah diamalkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam beserta para shahabatnya sampai saat sekarang ini. Juga karena akan menimbulkan fitnah dan karena sifat wanita yang umumnya lemah secara fisik dibandingkan laki-laki. Shahih Fiqh As Sunnah: I/634.
[32] . HR. Bukhari dan Muslim dari jalan Ummu Athiyyah radhiyallahu anha.
[33] . HR. Bukhari dan Muslim dari jalan Abi Hurairah radhiyallahu anhu.
[34] . HR. Ibnu Majah dengan sanad yang shahih dari jalan Anas bin Malik radhiyallahu anhu.
[35] . HR. Abu Daud, An Nasai, Ahmad dan At Turmudzi.
[36] . HR. Al Baihaqi dan Ibnu Mubarak dalam Az Zuhd dari Qais bin Ubad.
[37] . HR. Abu Daud, Hakim dan Al Baihaqi dari Abi Hurairah Radhiyallahu anhu.
[38] . HR. Bkhari dan Muslim dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu anhu.
[39] .
[40] . HR. Bukhari dan Muslim dari Abi Thalhah radhiyallahu anhu.
[41] . HR. Ashabus Sunan kecuali Ibnu Majah.
[42] . Supaya cepat prosesnya dan bisa diantar banyak orang dengan jalan kaki.
[43] . HR. Abu Daud, At Thurmudzi dan An Nasai.
[44] . HR. Ibnu Majah dan Ahmad dari jalan Anas bin Malik radhiyallahu anhu.
[45] . HR. Bukhari dan Muslim.
[46]. HR. Bukhari dan Ahmad dari jalan Anas bin Malik radhiyallahu anhu.
[47] . HR. Abu Daud dan Ahmad. Begitu juga diutamakan keluarga terdekatnya sebagaimana riwayat Ibnu Abi Syaibah dan Al Baihaqi.
[48] . Tidak asal-asalan sebagaimana yang kita lakukan seperti ini, bahkan terkadang yang menurunkannya adalah penggali kubur yang kita tidak tahu bagaimana pengamalan agama dia (hal ini ada ditegaskan dalam kitab Al Ahkam Al Janaiz)
[49] . HR. Ashabus Sunan kecuali An Nasai.
[50] . HR. Abu Daud dari Abi Ishaq secara marfu’ dengan sanad yang shahih.
[51] . Berdasarkan riwayat dari Ibnu Mas’ud secara mauquf yang memerintahkan hal yang demikian dikeluarkan oleh Al Atsram, hal serupa juga diriwayatkan dari Abu Musa Al Asy’ari. Inilah yang dipilih oleh imam Ahmad dan imam Syafi’i juga syaikh Abdul Aziz bin Baz dan syaikh Muhammad bin  Shalih Al Utsaimin.
[52] . HR. Ibnu Majah dari Abi Hurairah dengan sanad yang shahih.
[53] . HR. Bukhari dari Sofyan At Tammar.
[54] . HR. Abu Daud dan Al Baihaqi dari shahabat Muthallibradhiyallahu anhu..
[55] . HR. Baihaqi, Abu Daud, dan Ahmad dari shahabat ‘Ustman bin Affan.

1 komentar: