Dia adalah Esa yang sebenarnya, karena Dia Esa dengan sendirinya
dan Esa karena bilangan yang tidak bisa menerima berapa dan bagaimana, da
bersa-sama entitas-entitas yang lain, tidak masuk dalam klasifikasi genus atau
spesies. Dia adlah pengerak pertama yang tidak bergerak, sebab yang pertama
yang tidak bersebab dan bereksistensi yang sebenarnya yang ada, tidak akn tidak
ada untuk selamanya bahkan Dia akan selalu ada.[15]
Tuhan adalah pencipta yang maha kuasa dan pencipta yang maha
bijak. Al-Kindi menetapkan bahwa (al-Bary) yaitu Tuhan punya sifat Dzat dan
af’al dan negasi seperti yang disebutkan dalam asar dan apa yang dipegang oleh
Mu’tazilah, tetapi ia mengembalikan itu semua kepada Dzat untuk mengemakan ide
monoteisme, karena sifat-sifat itu bukan sesuatu yang bisa dibedakan dan
dipisahkan dari Dzat.
Dalam konsep ini bisa dilihat pengaruh aristotelian, namun begitu konsep ini tidak keluar dari ruh akidah Islam yang berlandaskan pada tauhid dan mengokohkan kekuatan mutlak dan penciptaan pada Allah.
Dalam konsep ini bisa dilihat pengaruh aristotelian, namun begitu konsep ini tidak keluar dari ruh akidah Islam yang berlandaskan pada tauhid dan mengokohkan kekuatan mutlak dan penciptaan pada Allah.
Hal yang sama adalah teori ibn Rusyd tentang alam, bahwa alm itu
adalh Qodim (eternal) materi dan bentuk alam azali, dan di dalam syara’ tidak
ada dalil yang menentang hal ini, bahkan dalil yang menyinggung hal ini bisa
dita’wil. Ibn rusyd berpendapat lebih jauh, ia menginggatkan bahwa perbedaan
kaum filosof dengan kaum Mutakallimin dalam aspek ini adalah perbedaan Lafazd[16].
Keqadiman alam tidak bertentangan dengan kenyataan bahwa ia adalah makhluk yang
diciptakan Allah secara adil melalui emanasi sebagaimana anggapan al-Farabi
dan ibn Sina, tetapi ia menghubungkan satu sama lain bagian alam itu sejak
azali dalam kepastian. Ia menggerakkanya tanpa terputus dimana bentuk bertumpu
dengan materi sehingga lahirlah “ada” atau terpisah darinya sehingga lahirlah
“tiada”,karena Dia adalah pencipta dan penggerak pertama perubahan alam.[17]
Dia menggerakkannya secara langsung atau melalui Uqul al-Mufariqah
dan semua akan kembali padanya[18] Dia mengatur alam secar kontinu, kalau bukan karena
pengaturan dan perhatiannya, maka mana mungkin ada matahari dan rembulan,
kenatian dan kehidupan,perhatian ini tidak bertentangan dengan kejelekan yang
ada di alam, karena kejelekan ini bersifat nisbi dan sam sekali tidak keluar dari
Iradah[19].
Kritik Suhrawardi Terhadap Filsafat Paripatetik (Masya’iyah
Aristoteles)
Dalam bukunya Hikmah al-Isyraq Suhrawardi mengkritik dengan tajam logika dan teori pengetahuan Aristoteles, pada Bab I dalam bukunya yang sekaligus merupakan landasan filsafat Isyraqiyah, ada jenis pengetahuan yang sangat tinggi yang dilupakan oleh penganut paham Masya’iyah Aristotelian yaitu pengetahuan yang tidak dapat dicapai melalui jalan akal, tetapi melalui jalan Zauq dan Ma’rifat.
Dalam mengkritik kerapuhan filsafat Aristo, tentang penyusunan Ta’rif atau definisi, Suhrawardi bertitik tolak dar logika dan hujjahnya diperkuat dengan tematik, menurutnya Ta’rif Aristo, tentang suatu obyek tidak memberi pengetahuan yang memadai tentang obyek yang dita’rif, hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa kebanyakan Ta’rif yang dibuat mengandung kelemahan asas, yakni ciri atau sifat yang dinisbatkan terhadap suatu obyek lain.
Dalam bukunya Hikmah al-Isyraq Suhrawardi mengkritik dengan tajam logika dan teori pengetahuan Aristoteles, pada Bab I dalam bukunya yang sekaligus merupakan landasan filsafat Isyraqiyah, ada jenis pengetahuan yang sangat tinggi yang dilupakan oleh penganut paham Masya’iyah Aristotelian yaitu pengetahuan yang tidak dapat dicapai melalui jalan akal, tetapi melalui jalan Zauq dan Ma’rifat.
Dalam mengkritik kerapuhan filsafat Aristo, tentang penyusunan Ta’rif atau definisi, Suhrawardi bertitik tolak dar logika dan hujjahnya diperkuat dengan tematik, menurutnya Ta’rif Aristo, tentang suatu obyek tidak memberi pengetahuan yang memadai tentang obyek yang dita’rif, hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa kebanyakan Ta’rif yang dibuat mengandung kelemahan asas, yakni ciri atau sifat yang dinisbatkan terhadap suatu obyek lain.
Penakrifan Aristo juga dianggap lemah karena membuat Ta’rif
berdasarkan esensi (Mahiyah) yang dikira hakikat suatu obyek, padahal hanya
keadaan suatu obyek secara dhahir, Aristoteles beranggapan bahwa Ta’rif penting
sebagai langkah awal menuju penyusunan ilmu pengtahuan. Ta’rif berdasar esensi
obyek tidak dapat tampak secara dhahir, sementara Aristo menandai esensi
sebagai sesuatu yang tampak secara dhahir, sehingga penyusunan ilmu pengetahuan
tidak mungkin dilakukan dengan mengunakan kaidah Aristo.
Lebih lanjut Suhrawardi mengatakan “ mereka membuat rumus yang
diharapkan berperan sebagai penanda esensi obyek yang dita’rif, kemudian
mengabung semua unsur yang dijumpai dalam obyek tersebut menjadi satu, dalam
kenyataannya yang dilakukan itu adalah membuat sintesis belaka melalui
generalisasi dan pembedaan” padahal menurut filsafat Isyraqiyah obyek tidak
dapat dita’rif sebab seluruh esensinya tidak mungkin diketahui.
Logika dan epistimologi diperlukan sebagai landasan utama
penyusunan ilmu pengetahuan atau pengetuhuan ilmiyah dan perlu pula asas
pilihan lain yang kokoh dan tepat. Dalam membina asas baru tersebut Suhrawardi
melibatkan istilah konseptual, seperti pemberian arti (Dalalah), Ma’na
pemaparan hal-hal yang dita’rif (al-Lafazd al- Asyya’).
Suhrawardi memberi contoh rumusan Aristo “ bahwa manusia adalah
binatang yang berakal” (Animal Rationale), rumusan seperti ini secara tersirat
menempatkan esensi binatang sangat penting bagi manusia dan jelas tidak memberi
pengetahuan yang bermakna tentang manusia, sebutan “binatang” dan tambahan
sifat “berakal” yang dinisbatkan kepada manusia hanya menunjukan suatu obyek
yang bergerak seperti binatang, dan gerakannya itu ditentukan semata oleh
akalnya. Ta’rif seperti ini tidak mampu menjelaskan martabat manusia berikut
semua sumber daya rohaninya.
Menurut Suhrawardi masih dalam kitabnya, banyak kerapuhan dalam asas penta’rifan versi Aristo atau filosof paripatetik. Hal ini bertentangan dengan kaum Isyraqiyah yang memulai sistemnya dengan keshahihan mutlak, unsur langgeng yang melekat pada semua obyek, filsuf Isyraqiyah juga mementingkan penglihatan batin subyek untuk mengetahui (al-Maudhu’ al-Mudrik) obyek. Dalam berhadapan dengan obyek tersebut, Subyek selalu menginsafi ke-Aku-annya (al-Ana’iyah) yang menerobos sifat obyek tersebut.
Menurut Suhrawardi masih dalam kitabnya, banyak kerapuhan dalam asas penta’rifan versi Aristo atau filosof paripatetik. Hal ini bertentangan dengan kaum Isyraqiyah yang memulai sistemnya dengan keshahihan mutlak, unsur langgeng yang melekat pada semua obyek, filsuf Isyraqiyah juga mementingkan penglihatan batin subyek untuk mengetahui (al-Maudhu’ al-Mudrik) obyek. Dalam berhadapan dengan obyek tersebut, Subyek selalu menginsafi ke-Aku-annya (al-Ana’iyah) yang menerobos sifat obyek tersebut.
Footnote
[14] Ibn Rusyd, Talkhis ma ba’da
al-Tabi’ah, Kairo Dar al-Fikr, hal. 148
[19] Suhrawardi, Hikmah al-Isyraq
Bab I, Kairo, Dar al Kutb,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar