Pengertian
Masail Fiqhiyah terurai dari kata mas’alahmasail
fiqihiyah ialah persoalan – persoalan yang muncul pada konteks kekinian
sebagai refleksi kompleksitas problematika pada suatu tempat, kondisi
dan waktu. Dan persoalan tersebut belum pernah terjadi pada waktu yang
lalu, karena adanya perbedaan situasi yang melingkupinya.[1]
dalam bentuk mufrad (singular) yang dijamakkan (plural) dan
dirangkaikan dengan kata fiqih. Masail fiqihiyah adalah masalah yang
terkait dengna fiqih, dan yang dimaksud masalah fiqih pada term
Ruang Lingkup
Dengan
lahirnya masail fiqihiyah atau persoalan-persoalan kontemporer, baik
yang sudah terjawab maupun sedang diselesaikan bahkan prediksi munculnya
persoalan baru mendorong kaum muslimin belajar dengan giat mentelaah
berbagai metodologi penyelesaian masalah mulai dari metode ulama aklasik
sampai ulama kontemporer.
Untuk itu
tujuan mempelajari masail fiqhiyah secara garis besar diorientasikan
kepada mengetahui jawaban dan mengetahiui proses penyelesaian masalah
melalui metodologi ilmiah, sistematis dan analisis. Dari sudut fiqh
penyelesaian suatu masalah dikembalikan kepada sumber pokok (Al-Qur’an
dan Al-Sunnah), ijma’, qiyas dan seterusnya. Sehingga nilai yang
dihasilkan senantiasa berada dalam koridor . penetapan hukum akan
difokuskan kepada tiga aspek :
- Memperbaiki manusia secara individu dan kolektif agar dapat menjadi sumber kebaikan bagi masyarakat.
- Menegakkan keadilan dalam masyarakat Islam.
- Hukum Islam terkandung didalamnya sasaran pasti yaitu mewujudkan kemaslahatan. Tidak ada hal yang sia-sia di dalam syari’at melalui Al-Qur’an dan al-Sunnah kecuali terdapat kemaslahatan hakiki di dalamnya.[2]
Langkah -Langkah Penyelesaian Masail Fiqhiyah[3]
Dasar –dasar penyelesaian masalah dalam bentuk beberapa kidah penting
1. Menghindari sifat taqlid dan fanatisme
Upaya
menghindarkan diri dari fanatisme mazhab tertentu dan taqlid buta
terhadap pendapat ulama klasik seperti pendapat Umar bin al-Khattab,
Zaid bin Tsabit atau pendapat ualama moderen, kecuali ia adalah seorang
yang bodoh dan telah melakukan kesalahan. Pelakunya disebut muqallid yang dilawankan dengn muttabi’. Yaitu muttabi’ dengan kriteria sebagai berikut :
- Menetapkan suatu pendapat yang dianutnya dengan dalil-dalil yang kuat, diakui dan tidak mengundang kontroversi.
- Memiliki kemampuan untuk mentarjih beberapa pendapat yang secara lahiriyah terjadi perbedaan melalui perbandingan dalil-dalil yang digunakan masing-masing.
- Diharapkan memiliki kemampuan untuk melakukan kegiatan berijtihad terhadap hukum persoalan tertentu yang tidak didapati jawabannya pada ulama terdahulu.
Kaedah ini
patut diperlakukan sepanjang tidak bertentangan dengan nash qath’i atau
kaidah syari’at yang bersifat pasti. Dengan dua pertimbangan sebagai
berkut:
- Bahwa keberadaan syari’at didasarkan kepada prinsip mempermudah dan menghindarkan kesulitan manusia seperti sakit, dalam perjalanan, lupa, tidak tahu dan tidak sempurna akal. Taklif Allah atas hambanya disesuaikan dengan kadar kemampuan yang dimiliki.
- Memahami situasi dan kondisi suatu zaman yang dialami pada saat munculnya persoalan. Adapun kriteria maslahat sebagaimana yang biasa dikenal adalah menrealisasikan lima kepentingan pokok dan disebut dengan darurat khomsa, yaitu memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara harta, memelihara keturunan.
3.Berdialog dengan masyarakat melalui bahasa kondisi masanya dan melalui pendekatan persuasif aktif serta komunikatif.
Ketentuan
hukum yang akan diputuskan harus disesuaikan masyarakat yang
diinginkannya dan menggunakan bahasa layak sebagaimana bahasa masyarakat
dimana persoalan itu muncul. Bahasa masyarakat yang ideal :
- bahasa yang dapat dipahami sebagai bahasa sehari-hari dan mampu menjangkau pemahaman umum.
- Menghindarkan istilah-istilah rumit yang mengundang pengertian kontroversi.
- Ketetapan hukum bersifat ilmiah karena didasarkan pertimbangan hikmah, illat, filisofis dan Islami.
Dalam
merespon persoalan baru yang muncul, ulama bersandar kepada al-nash
sesuai bunyi literal ayat tanpa menginterpretasi lebih lanjut diluar
teks itu. Dipihak lain, kelompok kontekstualis lebih berani
menginterprestasikan produk hukum al-nash dengan melihat kondisi zaman
dan lingkungan. Sementara kelompok ini dinilai terlalu berani bahkan
dianggap melampaui kewenangan ulama salaf yang tidak diragukan
kehandalannya dalam masalah ini. Menurut mereka perbedaan masa,
masyarakat, geografis, pemerintahan dan perkembangan teknologi moderen
patut dipertimbangkan serta layak mendapat perhatian.
5.Ketentuan hukum bersifat jelas tidak mengandung interpretasi.
Bahasa hukum
relatif tegas dan membutuhkan beberapa butir alternatif keterangan dan
diperlukan pengecualian-pengecualian pada bagian tersebut. Pengecualian
ini merupakan langkah elastis guna menjangkau kemungkinan lain diluar
jangkauan ketentuan yang ada. Misalnya ketentuan hukum potong tangan
terhadap pencuri sebuah barang yang telah mencapai nisab. Umar bin
Khatthab pernah tidak memberlakukan hukum ”had” atau potong tangan
terhadap pencuri barang tuannya, karena sang tuan pelit, dan tidak
membayar upah si pelayan, maka ia memcuri barang sang tuan demi
kebutuhan mendesak yaitu kelaparan.
Hukum Islam: Pacaran, Pergaulan Bebas, dan Biro Jodoh
Pacaran
Pada
Zaman-zaman sekarang ini anak muda sekarang sangatlah lumrah mereka
saling berpacaran dengan pasangan-pasangan mereka masing-masing. Akan
tetapi hendaknya mereka tahu apa alas an mereka melakukan pacaran,
bagaimana dinamakan pacaran yang baik atau bagaimana yang dinamakan
pacaran yang tidak baik. Dan apa dasar mereka melakukan pacaran atau
memilih pacar, apa yang perlu dipikir sebelum serius, bagaimana memahami
sifat pasangan , dan batasan-batasan tentang seks yang perlu dihormati
dari setiap pasangan
Pacaran Menurut Perspektif Islam
Dalam islam
sebelumnya tidak mengenal kata pacaran, namun seiring waktu dan
perkenbangan zaman yang di kuasai Barat maka Islam pun mendapatkan
pelajaran tersebut melalui beberapa media yang dengan gencarnya
memberikan praktek-praktek pacaran.
Suatu
kewajaran kalau antara laki-laki dan perempuan saling tertarik satu sama
lainnya. Hal ini karena memang Allah menciptakan mereka dari satu jiwa
lalu menciptakannya berpasang-pasangan dan kemudian mengembangkannya
menjadi laki-laki dan perempuan yang banyak. (QS. Annisa : 1) yang
artinya:
”Wahai
manusia Bertakwalah Kepada tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri
yang satu (Adam) dan Allah menciptakan pasangannya (Hawa) dari dirinya,
dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan
yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling
meminta, dan perihalah hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu
menjaga dan mengawasimu”.
Penciptaan
manusia secara berpasang-pasangan dan menjadikannya berkembang menjadi
bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, bertujuan untuk saling kenal-mengenal
dan berhubungna satu sama lain. Hubungan yang paling baik adalah yang
mampu memelihara diri dan hubungan dengan Allah dan Mahkluknya, dalam
konteks memelihara hubungan antar laki-laki dan perempuan, islam
menganjurkan perkawinan bagi yang sudah mampu dan melarang mendekati
segala perbuatan yang segala bentuk perzinaan.
Kesimpulan
saya bahwa pacaran memang sangat rawan dengan perzinaan, oleh karena itu
untuk apa kita mendekati pacaran apalagi mencobanya, padahal dengan
jalan khitbah saat nanti umur kita memcukupi dan siap lahir batin maka
semua itu akan berjalan lebih indah..
karena dalam Islam, hanya mengenal
hubungan antara pria dan wanita yang dibagi menjadi dua, yaitu hubungan
mahram dan hubungan nonmahram. Hubungan mahram adalah seperti yang
disebutkan dalam Surah An-Nisa: 23, yaitu mahram seorang laki-laki (atau
wanita yang tidak boleh dikawin oleh laki-laki) adalah ibu (termasuk
nenek), saudara perempuan (baik sekandung ataupun sebapak), bibi (dari
bapak ataupun ibu), keponakan (dari saudara sekandung atau sebapak),
anak perempuan (baik itu asli ataupun tiri dan termasuk di dalamnya
cucu), ibu susu, saudara sesusuan, ibu mertua, dan menantu perempuan.
Maka, yang tidak termasuk mahram adalah sepupu, istri paman, dan semua
wanita yang tidak disebutkan dalam ayat di atas.
Pergaulan Bebas
Seks adalah
proses m enjalani kehidupan bersama dengan suami-isteri. Seks merupakan
proses hubungan intim antara 2 orang yang berlainan jenis kelamin atau
jenis kelamin yang sama ( Homosexual ) serta melakukan hubungan seks.
Istilah seks lebih tepat untuk menunjukan alat kelamin. Namun,
seringkali masyarakat awam memiliki pengertian bahwa istilah seks adalah
lebih mengarah pada bagaimana hubungan seksual antara 2 oang yang
berlainan jenis kelamin. Dan tidak sepantasnya masalah seks dipandang
ebagai suatu permasalahan yang sepele, bakan mesti diatasi sesuai dengan
solusi yang diturunkan Allah SWT. Kerana Seks bukanlah masalah yang
sekunder, pergaulan bebas khususnya melakukan hubungan seks secara bebas
telah menghancurkan banyak peradaban yang pernah menguasai dunia.
Perspektif Hukum Islam Terhadap Seks
Pergaulan
bebas dan seks bebas merupakan fenomena yang sudah terjadi sejak lama
bertentangan dengan etika agama islam dan kesusialaan yang ada
dimasyarakat, yang pada akhirnya merusak pemuda-pemudi dikalangan kita.
Seks bebas adalah hubungan seksual yang tidak sah, islam telah melarang
segala bentuk hbungan seksual yang diluar pernikahan dan menetapkan
hukuman yang berat terhadap pelaggaran hukum yang telah ditentukan.
Dengan demikian perbuatan-perbuatan yang dapat menjerumuskan pada
perbuatan zina adalah haram. Dan diperkuat denga kaidah-kaidah yang
membawa pada hal haram maka hukumnya haram.
Allah Ta’ala berfirman, “Perempuan
yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang
dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada
keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu
beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan)
hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.
Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina,
atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini
melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang
demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin,” (an-Nuur: 2-3).
Allah Ta’ala juga berfirman, “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk,” (Qs. al-Israa’: 32)
Ulama Fiqih membagi zina menjadi 2 bagian
- Pezina Muhson yaitu: bagi wanita yang sudah bersuami atau pernah bersuami dan bagi laki-laki mereka yang sudah beristeri atau pernah beristeri.
- Pezina Ghoiru Muhson Yaitu: mereka yang belum pernah bersuami atau beristeri
Dan yang sering melakukan perzinaan adalah pezina Ghoiru Muhson, antara
remaja laki-laki dengan wanita yang belum menikah atau dengan wanita yang
sudah menikah ataupun sebaliknya.
Biro Jodoh
Biro jodoh
adalah tempat untuk membantu orang baik perempuan atau orang baik
laki-laki yang mengalami kesulitan dala mencari jodoh ( pasangan ),
sehingga adanya biro jodoh ini diharapkan dapat mengatasi hambatan dalam
pencarian dan pemilihan jodoh ( pasangan ) sesuai criteria yang
diinginkan. Biro jodoh ini dapat berupa badan ataupun orang yang akan
mencari jodoh.dan pada zaman ini kebanyakan biro jodoh sering dilakukan
dengan suasana hiburan saja sehingga antara laki-laki dan perempuan yang
bukan mahram bisa dapat berkumpul mungkin tanpa batasan.
Pandangan Islam Dalam Biro Jodoh
Penciptaan
manusia secara berpasangan dan menjadikan berkembang menjadi
bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, untuk saling kenal dan berhubungan
satu sama lain. Islam menganjurkan kepada umat islam agar saling
mengenal antara satu dengan yang lain. Sesuai dengan rambu-rambu
keislaman dan perspektif islam. Untuk sebatas mengenal dan mencintai
seseoran karena Allah dan tiak melanggar larangan.
Hukum Biro Jodoh
Hukum biro
jodoh ini sama dengan hukum peminangan, karena tidak terdapat dalam
Al-qur’an dan Hadist , oleh karena itu, hukumnya MUBAH. Hal ini
dikarenakan dari sudut mana kita memandang dan bagaimana cara teknis
dari biro jodoh itu sendiri serta niat dari yang mencari jodoh.
[1] Ahmad Sudirman Abbas, Dasar-Dasar Masail Fiqhiyyah, Jakarta: CV Bayu Kencana, 2003, h.1
[2] Ibid, h.30-31
[3] Dr. Yusuf Qardhawi, Hadyu al-Islam fatawa al-Muasshirah, juz 1, 1996. cet VI, h.10-26
Tidak ada komentar:
Posting Komentar