
Madrasah yang merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam, memiliki kiprah panjang dalam dunia pendidikan di Indonesia. Pendidikan madrasah merupakan bagian dari pendidikan nasional yang memiliki kontribusi tidak kecil dalam pembangunan pendidikan nasional atau kebijakan pendidikan nasional. Madrasah telah memberikan sumbangan yang sangat signifikan dalam proses pencerdasan masyarakat dan bangsa, khususnya dalam konteks perluasan akses dan pemerataan pendidikan. Dengan biaya yang relatif murah dan distribusi lembaga yang menjangkau daerah-daerah terpencil, madrasah membuka akses atau kesempatan yang lebih luas bagi masyarakat miskin dan marginal untuk mendapatkan pelayanan pendidikan.
Madrasah Berbasis Mayarakat
Dari sejarahnya, madrasah lahir pada awal abad ke 20 sebagai respons kalangan tokoh muslim di Indonesia terhadap kebijakan pendidikan Pemerintah Kolonial Belanda. Pemerintah Kolonial menolak eksistensi pondok pesantren dalam sistem pendidikan yang hendak dikembangkan di Hindia Belanda. Kurikulum maupun metode pembelajaran keagamaan yang dikembangkan di pondok pesantren bagi pemerintah kolonial, tidak kompatibel dengan kebijakan politik etis dan modernisasi di Hindia Belanda. Di balik itu, pemerintah kolonial mencurigai peran penting pondok pesantren dalam mendorong gerakan-gerakan nasionalisme dan prokemerdekaan di Hindia Belanda.
Menyikapi kebijakan tersebut, tokoh-tokoh muslim di Indonesia akhirnya mendirikan dan mengembangkan madrasah di Indonesia didasarkan pada tiga kepentingan utama, yaitu: 1) penyesuaian dengan politik pendidikan pemerintah kolonial; 2) menjembatani perbedaan sistem pendidikan keagamaan dengan sistem pendidikan modern; 3) agenda modernisasi Islam itu sendiri.
Namun begitu, sebagaimana pondok pesantren, kehadiran madrasah pun tidak mendapat tanggapan positif dari pemerintah kolonial. Meskipun tidak dilarang secara resmi, madrasah diawasi secara sangat ketat, didiskriminasikan, dan terus dihambat perkembangannya. Berbagai hambatan dari pemerintah kolonial inilah yang menjelaskan mengapa madrasah berkembang di daerah-daerah pelosok dan terpencil sebagai lembaga pendidikan yang pengelolaan maupun sumber pendanaannya berbasis masyarakat.
Karakteristik madrasah sebagai lembaga pendidikan berbasis masyarakat bahkan masih tampak sangat kuat hingga sekarang. Sekitar 91,2% dari jumlah seluruh madrasah pada semua jenjang kependidikan berstatus swasta, di mana masyarakat masih memainkan peran yang penting dalam pengelolaan dan pembiayaan madrasah. Sedangkan 8,8% itu berstatus negeri dari sekitar 39.000 jumlahnya. Kondisi ini bertolak belakang dari status sekolah yang dikelola Depdiknas dimana hanya sekitar 6% yang berstatus sebagai lembaga pendidikan swasta. Bisa dibayangkan, kalau sekolah negeri mungkin standar-standar digunakan karena bisa terkontrol oleh pemerintah, tetapi swasta menjadi sebuah tantangan. Standar yang delapan ini, ada standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan. Ini adalah masalah besar berkaitan dengan madrasah, karena statusnya swasta. Sebenarnya bukan hanya karena statusnya swasta, tetapi karena memang sumber daya manusia, terutama di kalangan madrasah memang masih belum sesuai dengan tuntutan-tuntutan yang distandarkan. Karena standar pendidik dan tenaga pendidik ini juga berkait dengan Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 yaitu tentang guru dan dosen, di mana setiap guru dari mulai TK/RA sampai SMA/MA itu harus lulusan S 1 dari perguruan tinggi yang terakreditasi. Guru madrasah ibtidaiyah berarti lulusan Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI) dari perguruan tinggi terakreditasi. Sedangkan untuk madrasah tsanawiyah dan madrasah aliyah itu tergantung bidang studinya. Kalau dia guru bidang studi Matematika, berarti lulusan S 1 dari pendidikan Matematika dari perguruan tinggi terkreditasi. Ini merupakan masalah dan tantangan yang perlu dipecahkan, karena di madrasah-madrasah swasta yang jumlahnya mencapai puluhan ribu, guru-gurunya masih di bawah S 1, bahkan yang S 1 pun untuk madrasah tsanawiyah dan madrasah aliyah itu tidak sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkannya (mismatch). Inilah tantangan di madrasah itu, tantangan lainnya berkaitan dengan standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, atau standar pembiayaan yang menunjukkan memprihatikan pada umumnya, karena yang biayanya memadai sebagian kecil saja. Standar lainnya adalah standar penilaian.
Dengan status kelembagaan yang sebagian besar swasta, dapat dipahami apabila sejauh ini madrasah memiliki banyak keterbatasan dalam meningkatkan mutu layanan pendidikannya. Meskipun demikian, sebagaimana tampak sangat jelas dalam ulasan di bawah, sedangkan segala keterbatasannya madrasah justeru memberikan sumbangan yang sangat besar dalam perluasan dan pemerataan akses pendidikan di Indonesia, khususnya bagi kelompok masyarakat miskin dan marginal.
Komitmen terhadap Perluasan Akses
Salah satu pilar pendidikan nasional adalah perluasan dan pemerataan akses pendidikan. Upaya perluasan dan pemerataan akses pendidikan yang ditujukan dalam upaya perluasan daya tampung satuan pendidikan dengan mengacu pada skala prioritas nasional yang memberikan kesempatan yang sama bagi seluruh peserta didik dari berbagai golongan masyarakat yang beraneka ragam baik secara sosial, ekonomi, gender, geografis, maupun tingkat kemampuan intelektual dan kondisi fisik. Perluasan dan pemerataan akses memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi penduduk Indonesia untuk dapat belajar sepanjang hayat dalam rangka peningkatan daya saing bangsa di era globalisasi.
Pendirian madrasah oleh para pemuka muslim di berbagai pelosok negeri memainkan peranan yang sangat penting dalam membuka akses bagi masyarakat miskin dan terpencil untuk memperoleh layanan pendidikan. Komitmen moral ini dalam kenyataan tidak pernah surut, sehingga secara kelembagaan madrasah terus mengalami perkembangan yang sangat pesat hingga sekarang. Berdasarkan statisik pendidikan Islam tahun 2007, laju pertumbuhan madrasah dalam lima tahun terakhir mencapai rata-rata kisaran 3% per tahun dan lebih dari 50% madrasah berada di luar Jawa yang terdistribusi di daerah pedesaan.
Sumbangan madrasah dalam konteks perluasan akses dan pemerataan pendidikan tergambar secara jelas dalam jumlah penduduk usia sekolah yang menjadi peserta didik madrasah. Pada tahun 2007, jumlah seluruh peserta madrasah pada semua jenjang pendidikan sebesar 6.075.210 peserta didik. Adapun Angka Partisipasi Kasar (APK) madrasah terhadap jumlah penduduk usia sekolah pada masing-masing tingkatan adalah 10,8% MI, 16,4% MTs, dan 6,0% MA. Kontribusi APK tersebut tersebar berasal dari madrasah swasta pada masing-masing tingkatan.
Sumbangan lain dari madrasah dalam pembangunan pendidikan nasional adalah dalam penuntasan wajib belajar pendidikan dasar (wajar dikdas) sembilan tahun. Program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun pada pendidikan madrasah dikembangkan melalui Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs). Jumlah MI sebanyak 22.610 buah dengan 3.050.555 peserta didik. Jumlah MTs sebanyak 12.498 buah dengan 2.531.656 peserta didik. Jumlah peserta didik dalam program wajib belajar pendidikan sembilan tahun terdiri dari 47,2% peserta didik MI dan 31,8 peserta didik MTs. Sisanya 21,0% peserta didik/santri pondok pesantren salafiah. Kontribusi madrasah terhadap penuntasan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun cukup lumayan besar mencapai 17%. Meskipun belum tercapai, namun diharapkan sampai tahun 2009 dapat dituntaskan. Kriteria tuntas adalah angka partisipasi kasar (APK) mengikuti pendidikan SMP atau Madrasah Tsanawiyah mencapai 95%. Sampai tahun 2008 baru mencapai sekitar 92,3%. Angka sisanya yaitu sekitar 2,7 % diharapkan pada tahun 2009 dapat dicapai angka partisipasi kasar pendidikan dasar sembilan tahun hingga 95%. Artinya wajib belajar pendidikan dasar pendidikan dasar sembilan tahun itu dianggap tuntas, meskipun 95% masih ada sisanya 5%. Angka 5% dari 50 juta anak usia sekolah bisa dikatakan lumayan banyak yang tercecer, tetapi bisa dianggap selesai. Sedangkan jika dilihat secara keseluruhan termasuk Madrasah Aliyah, kontribusi madrasah dari mulai MI sampai MA terhadap angka partisipasi mengikuti pendidikan di berbagai jenjang pendidikan secara agregat atau secara keseluruhan itu bisa mencapai 21%. Bukan angka sedikit 21% dari sekitar 60 juta penduduk. Artinya masyarakat terutama madrasah telah memberikan andil pada upaya-upaya pemerintah menyediakan lembaga-lembaga pendidikan yang cukup besar. Di samping kenaikan APK, indikator lain dari percepatan penuntasan program wajib belajar sembilan tahun adalah semakin menurunnya angka drop out pada tahun 2006 sebesar 0,6 % menjadi 0,4 % pada tahun 2007 untuk MI dan untuk MTs sebesar 1,06 % pada tahun 2006 menjadi 1,02 % pada tahun 2007. Pada tahun 2008 angka drop out pada MI dan MTs diperkirakan turun 1,04 % sedangkan APK pada MI dan MTs masing-masing mencapai 14,75 % dan 20,70 %.
Peran penting dalam rangka perluasan akses masyarakat dari kelompok marginal tampak secara jelas dari latar belakang keluarga peserta didiknya. Berdasarkan Statistik Pendidikan Islam Tahun 2007, lebih dari 92,7% orang tua peserta didik madrasah berpendidikan sederajat atau kurang dari SLTA dengan pekerjaan utama sebagai petani, nelayan, dan buruh (58,0%). Sejalan dengan kondisi ini, 85% berpenghasilan kurang dari Rp. 1 juta per bulan.
Gambaran kondisi orang tua peserta didik tersebut menunjukkan bahwa madrasah memiliki aksessibilitas yang tinggi terhadap peserta didik dengan latar belakang keluarga masyarakat yang miskin secara ekonomi.
Aksessibilitas madrasah bagi kelompok marginal juga tercermin pada aspek kultural, yaitu perannya yang penting dalam gender mainstreaming bidang pendidikan berkenaan dengan komposisi peserta didiknya yang sebagian besar kaum perempuan. Realitas ini adalah prakondisi yang baik bagi pengembangan pendidikan Islam berwawasan gender dan juga sekaligus menepis tudingan berbagai kalangan bahwa sikap dan pandangan keagamaan umat Islam cenderung diskriminatif terhadap perempuan.
Dari Pemerataan ke Peningkatan Mutu
Salah satu pilar pendidikan nasional adalah peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing. Kebijakan peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing pendidikan diarahkan pada peningkatan mutu pendidikan sehingga dapat memenuhi Standar Nasional Pendidikan (SNP). Peningkatan mutu difokuskan pada penganekaragamaan inovasi proses pembelajaran pada semua jenis, jenjang dan jalur pendidikan, sehingga terwujud proses pembelajaran yang efektif, efisien, menyenangkan dan mencerdaskan berdasarkan tahap-tahap perkembangan usia dan kematangan mental peserta didik. Untuk memenuhi pilar pendidikan tersebut harus diakui bahwa madrasah secara umum belum dapat dikatakan telah memberikan pelayanan pendidikan yang optimal dari aspek mutu dan daya siang pendidikan, walaupun dewasa ini sudah banyak bermunculan madrasah-madrasah dengan kualitas pelayanan pendidikan yang baik, bahkan berstandar internasional. Kenyataan memperlihatkan bahwa sampai sekarang sebagian besar madrasah masih dibelenggu sejumlah persoalan klasik seperti kualifikasi dan kompetensi pendidik yang secara rata-rata masih minim dan sarana dan prasarana yang belum memadai.
Statistik pendidikan Islam tahun 2007 memperlihatkan masih tingginya jumlah guru madrasah pada semua jenjang yang belum memenuhi kualifikasi berdasarkan Standar Nasional Pendidikan (SNP). Kondisi ini memberikan dampak yang tidak baik pada mutu pendidikan madrasah secara umum, mengingat guru merupakan ujung tombak proses pendidikan.
Sebagai satuan kerja di lingkungan organisasi Departemen Agama yang bertanggung jawab terhadap pembangunan pendidikan Islam, Ditjen Pendidikan Islam telah berkomitmen bahwa kebijakan pembangunan madrasah ke depan harus berorientasi tidak saja pada perluasan akses dan pemerataan pendidikan sebagaimana telah dilakukan selama ini, tetapi juga pada peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing. Sasaran dari seluruh kebijakan ini ialah tiga pelaku utama dalam proses pendidikan, yaitu pendidik/guru, peserta didik/peserta didik, dan lembaga pendidikan.
Kebijakan yang berfokus pada guru bertujuan meningkakan kapasitas profesional guru, baik dari aspek kapasitas akademik dan kompetensi sebagai pengajar maupun dari aspek kesejahteraannya.
Untuk itu dilakukan sejumlah kegiatan antara lain seperti beapeserta didik untuk meningkatkan kualifikasi akademik guru sehingga memenuhi SNP, sertifikasi untuk meningkatkan kompetensi dan pemberian tunjangan fungsional bagi guru non PNS dalam rangka penghargaan dan peningkatan kesejahteraan profesi guru.
Kebijakan yang berorientasi pada peserta didik bertujuan terutama untuk mengurangi angka putus sekolah dan sekaligus meningkatkan kualitas output pendidikan madrasah. Untuk itu, sejumlah upaya dilakukan antara lain penyaluran dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan BOS buku untuk seluruh peserta didik, beasiswa bagi peserta didik berprestasi, dan pengembangan budaya akademik yang didasarkan pada nilai-nilai Islam.
Sedangkan kebijakan yang berfokus pada lembaga pendidikan bertujuan meningkatkan kapasitas institusi madrasah. Selain melalui penyaluran berbagai bantuan (block grant) untuk keperluan rehabilitasi bangunan, Pengembangan sarana dan prasarana, dan peningkatan manajemen mutu pendidikan, penguatan kapasitas insitusi madrasah juga dilakukan melalui pembiayaan partisipasi masyarakat dalam proses dan tata kelola pendidikan.
Direktorat Jendral Pendidikan Islam juga menyadari bahwa salah satu akar persoalan yang terkait dengan belum optimalnya layanan pendidikan madrasah terletak pada kapasitas finansial madrasah yang masih sangat minim. Selain mengganggu kesinambungan (sustainability), keterbatasan financial ini juga mengakibatkan madrasah sulit meningkatkan mutu dan daya saingnya.
Sebagaimana sudah dikemukakan di depan, keterbatasan financial ini tidak lepas dari kontribusi pemerintah yang masih minim dalam pembiayaan madrasah, yang rata-rata masih berada pada kisaran 60%. Dalam perkataan lain, sekitar 40% pembiayaan madrasah ditanggung oleh orang tua peserta didik dan masyarakat sekitar madrasah, yang mayoritas merupakan masyarakat ekonomi menengah ke bawah.
Apabila disimak secara seksama, minimnya kontribusi pemerintah dalam pembiayaan madrasah berpangkal antara lain pada diskriminasi kebijakan pembangunan pendidikan yang belum sepenuhnya hilang, kendatipun secara de jure Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2003 tidak lagi mengenal dikotomi antara madrasah dan sekolah. Selain tampak pada alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), kontribusi pemerintah yang masih minim dalam pembiayaaan madrasah juga merupakan akses dari desentralisasi kewenangan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah yang mencakup berbagai urusan kecuali politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional serta agama. Dengan demikian, pendidikan adalah salah satu urusan yang didesentralisasikan dan karenanya, menjadikan Pemerintah Daerah sebagai pemegang tanggung jawab dalam pembangunan bidang pendidikan di wilayahnya, termasuk dalam aspek pembiayaan.
Dalam prakteknya, pemerintah daerah hanya menanggung pembiayaan untuk satuan-satuan pendidikan yang bernaung di bawah Departemen Pendidikan Nasional. Sementara madrasah sebagai satuan pendidikan di bawah Departemen Agama tidak mendapatkan pembiayaan dari pemerintah daerah, Karena Pemerintah daerah cenderung memandang madrasah sebagai bagian dari fungsi agama yang tidak didesentralisasikan. Akibatnya, kontribusi pemerintah dalam pembiayaan madrasah masih teratas pada alokasi anggaran dari Departemen Agama, yang bagaimanapun belum memadai.
Terkait dengan kendala financial tersebut, Direktorat Jendral Pendidikan Islam telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan alokasi pembiayaan bagi madrasah. Selain ada dari APBN (Pemerintah Pusat) dan bantuan dan pinjaman luar negeri, upaya peningkatan alokasi pembiayaan bagi madrasah juga dilaksanakan melalui pengembangan sistem dan mekanisme Perencanaan dan Penganggaran Pendidikan Islam yang teintegrasi dengan Sistem Perencanaan dan Penganggaran Pembanguan Daerah. Integrasi pada level perencanaan dan penganggaran tersebut diharapkan berdampak positif bukan saja pada kedudukan madrasah dalam kerangka desentralisasi pendidikan dan otonomi daerah, tetapi juga meningkatkan kontribusi madrasah dalam kegiatan pembangunan daerah.
Pada gilirannya harus dikatakan bahwa peningkatan kualitas pelayanan pendidikan madrasah membutuhkan kerja ekstra keras dari berbagai pihak. Seberapa jauh madrasah mampu menjadi lembaga pendidikan yang bermutu dan berdaya saing bergantung tidak saja pada partisipasi dan kerja sama stakeholder, tetapi juga seberapa jauh halangan internal madrasah sendiri memiliki komitmen untuk memaknai eksistensi dalam proses pembangunan masyarakat dan bangsa.
Madrasah Bertaraf Internasional
Madrasah bertaraf internasional yang biasa pula disebut madrasah modern atau madrasah terpadu merupakan satu kebijakan untuk mengembangkan kualitas madrasah. Madrasah ini memiliki visi terwujudnya pelayanan pendidikan yang mendukung perkembangan madrasah dan pendidikan agama Islam yang berkualitas, yang mampu mengantarkan peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa, berakhlak mulia, berkepribadian, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, serta mampu mengaktualisasikan diri dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Selanjutnya madrasah mampu menciptakan calon agamawan yang berilmu, menciptakan ilmuwan yang beragama, dan menciptakan calon tenaga terampil yang profesional dan agamis. Semua ini diarahkan untuk mencapai tujuan pendidikan madrasah yaitu mengantarkan peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa, berakhlak mulia, berkepribadian, menganalisa ilmu pengetahuan dan teknologi, serta mampu mengaktualisasikan diri dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Proses pembelajaran di madrasah bertaraf internasional ada yang berbasis matematika dan sains sistem dengan pembelajaran moving class system atau kelas bergerak. Dalam moving class ini bukan guru yang datang ke kelas tapi peserta didik yang datang ke kelas. Kalau dilengkapi dengan laboratorium fisika atau matematika, maka peserta didik yang datang ke laboratorium. Begitu pula kalau peserta didik mau mengaji harus datang ke gurunya dan langsung melakukan prakteknya tidak hanya belajar teori-teori saja. Dengan moving class system ini peserta didik tidak memiliki kelas tetap yang ada adalah ruang kelas berdasarkan mata pelajaran. Mereka akan bergerak atau berpindah-pindah kelas setiap pergantian mata pelajaran. Manfaatnya bagi peserta didik adalah tidak cepat merasa bosan atau jenuh, dan suasananya menyegarkan karena ada aktivitas fisik. Meskipun ada sedikit halangan ketika harus berdesak-desakan ketika semua kelas ke luar ruangan. Untuk itu diperlukan pengaturan jadwal belajar oleh sekolah agar waktu yang digunakan efektif dan tenaga peserta didik efisien. Manfaat lainnya bagi sekolah yang memiliki ruang kelas yang terbatas. Pada sistem ini guru pun dituntut untuk aktif tidak hanya menyampaikan materi pembelajaran atau memimpin diskusi, tetapi memberikan fasilitas belajar kepada peserta didik agar dapat belajar dengan optimal.
Di madrasah bertaraf internasional memungkinkan anak belajar Al Quran secukupnya tidak terbatas oleh waktu. Selain belajar Al Quran, peserta didik pun belajar mata pelajaran lainnya, sehingga dapat mengaitkan Al Quran dengan mata pelajaran tersebut. Ada beberapa kompetensi dasar yang harus mereka kuasai yaitu pertama, mampu berkomunikasi bahasa, minimal dua bahasa yaitu bahasa Inggris dan bahasa Arab. Dengan memahami bahasa Arab diharapkan akan mampu berkomunikasi dan membaca teks kitab atau teks berbahasa Arab. Kedua, mampu membaca dan memahami Al Quran, minimal mengerti terjemahannya. Ketiga, bisa menjalankan praktek ibadah dengan baik, Keempat, memanfaatkan information and communikation technology (ICT). Kelima, menguasai kemampuan matematika dan science sebagai bekal untuk bisa masuk ke perguruan tinggi.
Kalau kompetensi-kompetensi ini sudah dijalankan dengan baik, kita sudah memberikan bekal kepada peserta didik dengan bekal kemampuan dasar perilaku yang berkualitas, sehingga ke depan ketika melanjutkan ke perguruan tinggi yang tinggi diharapkan dari segi budaya dan akademis itu menjadi sarjana bermartabat dan optimal. Kontribusinya sangat besar, jika ada 1000 peserta didik dalam satu tahun, maka dalam satu tahun yang datang akan muncul sarjana yang memiliki sains bagus dan ilmu pengetahuan dan teknologinya bagus juga. Sehingga visi Indonesia tahun 2025 yang dicanangkan menjadi Indonesia yang mandiri dan makmur akan realistis. Departemen Agama secara teknis pada tahun 2010 menganggarkan 10 madrasah bertaraf internasional.
Selain madrasah bertaraf internasional, berkaitan dengan peningkatan akses memberikan kesempatan kepada warga negara Indonesia untuk mengikuti pendidikan, melalui kegiatan membangun dan membangunkan. Membangun dalam arti membangun madrasah-madrasah negeri berupa ruang kelas agar lebih banyak lagi yang bisa mengikuti pendidikan. Membangunkan dalam arti, lembaga swasta misalnya madrasah swasta ibtidaiyah atau diniyah, diberi bantuan untuk membangun madrasah. Misalnya, dibangunnya madarasah satu atap. Madarsah satu atap dibangun, khususnya madrasah tsanawiyah pada madrasah-madrasah ibtidaiyah di pesantren, yang ada madrasah ibtidaiyah di sekitarnya atau yang namnya madrasah feeder (MM feeder). Tetapi kebutuhan itu belum terpenuhi. Maka pesantren yang bersangkutan bisa mengajukan proposal dan akan dibangun madrasah. Sebetulnya bukan dibangunkan, akan tetapi diberi dana untuk membangun madrasah. Ada tipe M 1 diberikan dana mencapai 600 juta rupiah. Ada pula M 2 yang cukup lumayan besar dengan diberikan sebesar 1 milyar. M1 adalah tipe madrasah yang memiliki 6 ruang kelas. Sedangkan tipe M2 memiliki 10 ruang kelas.
DAFTAR PUSTAKA
An Nahlawi, Abdurrahman, (1996). Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat. Jakarta: Gema Insani Press.
Direktorat Jenderal Pendidikan Agama Islam. (2008). Kebijakan Departemen Agama dalam Peningkatan Mutu Madrasah di Indonesia. Jakarta: Ditjen Penais Departemen Agama.
Steenbrink, Karel. A., (1986). Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern. Jakarta: LP3ES
Tidak ada komentar:
Posting Komentar