STIT AT-TAQWA CIPARAY BANDUNG

Selasa, 05 Juli 2011

PENGEMBANGAN ILMU, SAINS, DAN TEKNOLOGI MELALUI PERGURUAN TINGGI AGAMA ISLAM

Ilmu berasal dari bahasa Arab ‘ilm yang dalam bahasa asingnya sering disebut science atau knowledge. Jadi ada ilmu yang disebut dengan science dan ada yang disebut dengan knowledge. Knowledge itu segala pengetahuan manusia termasuk sains dan teknologi, tetapi bukan berarti ilmu itu pasti sains. Ilmu atau knowledge itu sifatnya luas sekali. Sedangkan sains itu di dalamnya ada teori-teori yang dibangun berdasarkan petunjuk empiric. Secara umum sains itu adalah ilmu pengetahuan yang proses serta pemahamannya dibangun berdasarkan bukti empiric. Tetapi bukti-bukti empiric ini bukan berarti sains. Sebagaimana pendapat filosuf yang mengatakan “sains itu dibangun berdasarkan bukti empiric atau fakta, sebagaimana sebuah bangunan dibangun oleh tumpukan batu”. Tapi tumpukan batu ini bukan berarti bangunan sebagaimana sains itu tumpukan fakta bukan berarti sains. Jadi ada suatu proses yang digunakan dalam membangun sebuah sains yang berdasarkan pada fakta. Bahkan ada seorang ahli sains berkata “nothing in the world as congcrete as sains”, tidak ada yang lebih konkrit dibandingkan dengan sains. Sains itu abstrak tapi dengan memahami sains seseorang bisa melihat sesuatu menjadi ainul yaqin, bisa melihat sesuatu dengan sangat yakin atau penuh dengan keyakinan. Karena sains itu dibangun berdasarkan suatu fakta dan bukti empiric dengan suatu proses melalui metode tertentu. Di dalamnya ada sejumlah teori, ada sejumlah paradigma, sejumlah dalil, sejumlah model. Itulah sains jadi ada susunannya. Jadi ada dalil ada generalisasi yang dibangun dari sejumlah penelitian. Kemudian dari generalisasi itu dibangun dalil. Jadi model-model adalah pesamaan matematik yang bersifat fungsional. Selanjutnya dari model-model inilah dibangun sebuah teori. Dari teori inilah yang dapat digunakan untuk menjelaskan sesuatu dan memprediksi sesuatu dan juga bisa mengontrol sesuatu.

Jadi antara ilmu dan sains itu berbeda. Ilmu itu bersifat umum  dan sains itu bagian dari ilmu yang dibangun berdasarkan ilmu. Ilmu pengetahuan yang fundamental (dasar) berkaitan dengan materi pembelajaran yang valid (sahih) dan signifikan (terpercaya atau teruji kebenarannya). Hal ini mencakup ide-ide pokok atau teori-teori kontemporer dari sesuatu cabang
ilmu pengetahuan tertentu. Jerome S. Bruner (1960) mengistilahkan ini dengan struktur dari suatu disiplin ilmu pengetahuan. Dengan mempelajari struktur ilmu pengetahuan, akan dicapai tingkat kemampuan yang lebih baik, karena hal ini mempunyai nilai transfer yang lebih luas. Selanjutnya Bruner mengungkapkan lebih terperinci konsep tentang bagaimana memperbaiki proses pendidikan atau pembelajaran berkaitan dengan struktur ilmu pengetahuan, bahwa apa yang dipelajari dalam upaya meningkatkan kemampuan intelektual banyak berkaitan dengan materi-materi pembelajaran yang menyangkut berbagai cabang ilmu pengetahuan (disiplin ilmu). Setiap cabang ilmu pengetahuan tersusun dari sejumlah ide-ide dasar, baik berupa hukum atau teori, yang menjadi kerangka dasar yang membentuk susunan disiplin ilmu tersebut. Ide-ide dasar itulah yang dimaksud dengan struktur disiplin ilmu.
Dewasa ini ilmu pengetahuan sudah berkembang dengan pesatnya. Jika semua perkembangan ilmu itu harus dipelajari, untuk satu cabang ilmu pengetahuan (disiplin) saja, membutuhkan waktu lama untuk mempelajarinya. Di samping itu, jika semua informasi ilmu pengetahuan itu dipelajari, maka kemungkinan untuk cepat melupakan apa yang sudah dipelajari itu sangat besar. Karena informasi semata-mata hanya berhubungan dengan fakta yang lepas-lepas, nilai transfernya pun rendah. Tetapi jika yang dipelajari itu prinsip umum atau ide pokok dari suatu cabang ilmu pengetahuan, hasil belajar dapat ditransfer secara lebih luas. Karena ide pokok dapat meliputi sejumlah fakta atau informasi yang berkaitan dengannya. Dengan menguasai ini dapat dilakukan transfer secara lebih luas.
Kemajuan yang pesat dalam berbagai cabang ilmu dan teknologi dewasa ini menjadikan banyaknya informasi dan fakta baru sebagai hasil berbagai penemuan, yang dewasa ini sudah menjadi bagian dari berbagai cabang ilmu. Untuk mempelajari suatu cabang saja dari ilmu yang ada dewasa ini menuntut waktu yang cukup lama, karena banyaknya materi pembelajaran yang terhimpun di dalamnya. Oleh karena itu, mempelajari seluruh materi pembelajaran yang ada dari suatu cabang ilmu, merupakan suatu pemborosan waktu; bahkan ada kemungkinan jika hal ini dilakukan, belum tuntas seluruh materi pembelajaran itu dipelajari, sudah bertambah hasil penemuan baru.
Penambahan materi pembelajaran dalam suatu cabang ilmu pada umumnya hanya menyangkut fakta atau konsep baru sebagai hasil penemuan. Ide dasar suatu cabang ilmu berkembang relatif lambat. Dengan demikian, menguasai ide-ide dari suatu cabang ilmu, berarti memegang kunci dari cabang ilmu itu sendiri. Oleh karena ide-ide dasar (struktur disiplin) suatu cabang ilmu itu relatif tidak banyak, maka kemungkinan untuk mempelajari secara tuntas sangat besar. Dengan penguasaan yang tuntas dari materi pembelajaran yang dipelajari, dapat menuntun peserta didik untuk melakukan proses belajar lebih lanjut. Di samping itu, dengan mempelajari ide-ide dasar, memungkinkan tumbuhnya kemampuan mentransfer (mengalihkan apa yang dipelajari ke dalam situasi baru) secara lebih baik. Hal ini terutama dapat dicapai, jika proses belajar yang dilakukan tidak semata-mata melalui proses penyampaian, tetapi dengan kegiatan belajar yang bersifat aktif, melalui metode penemuan. Atas dasar pandangan di atas, apa yang sepatutnya dipelajari peserta didik dipilihkan dari ide-ide dasar suatu cabang ilmu.
Ilmu itu sumbernya macam-macam ada yang bersumber dari wahyu, dari logika dan ratio, atau dari empiric. Ilmu keislaman sebagian besar bersumber pada wahyu yang juga berdasarkan logika dan ratio. Setiap sumber ilmu itu akan menjadi ilmu yang menggunakan disiplin tertentu. Jika melencang dari disiplinnya, maka akan melenceng dan menjadi ilmu yang tidak reliable. Dalam ilmu pengetahuan ada yang disebut empirical sains, natural sains, dan ada juga normative sains yang termasuk di dalamnya ilmu keislaman. Kalau mempelajari ilmu ekonomi pada koridor-koridor tertentu bisa berpikir bebas, tetapi kalau ilmu-ilmu yang berkaitan dengan agama termasuk Islam yang bersifat normatif tidak boleh berpikir bebas karena ada norma-norma yang harus diikuti. Sains itu dibangun dengan proses yang sirkuler dari empiric digunakan logika kemudian disimpulkan.
Sains dan teknologi merupakan dua pasangan yang mempunyai keterkaitan satu sama lain. Keterkaitan antara keduanya dapat kita telusuri, baik dari akar pengembangannya maupun dari bidang kajian dan penerapannya. Kedua pasangan ini merupakan produk pemikiran manusia di mana sains dikembangkan dari filsafat sedangkan pengembangan teknologi didasarkan pada teori-teori sains. Dalam perkembangan selanjutnya teknologi itu sendiri dapat menjadi penunjang dalam mempermudah dan mempercepat pengembangan sains sehingga dewasa ini sains dan teknologi hampir tidak dapat dipisahkan keterkaitannya satu sama lain.
Dalam konteks keislaman, dalam bahasa arab sains itu adalah ‘ilm dan teknologi merupakan aplikasi dari sains. Jadi tanpa sains tidak mungkin ada teknologi. Di dalam Al Quran kata ‘ilm dan tasrifnya ada 784. Artinya betapa Al Quran sangat mempromosikan kata ‘ilm baik yang berarti sains maupun knowledge. Di dalam Al Quran juga terdapat beberapa kalimat yang menantang kita untuk menggali sains dan teknologi yang jumlahnya mencapai 750 ayat. Jadi selama ini kita tidak sadar banyak hal yang seharusnya dapat kita manfaatkan malahan dipakai dan dimanfaatkan oleh orang lain. Misalnya, di dalam kejadian manusia, manusia dijadikan dari setetes air kemudian diadikan ‘alaqoh, qurdoh, lalu diberi tulang dan kemudian dijadikan bentuk yang sempurna. Hal ini merupakan sebuah tantangan yang harus dibuktikan secara ilmu. Hingga ada seorang ahli ginekologi (kandungan) yang masuk memeluk agama Islam karena tertarik dengan kata ‘alaqoh. Dalam sebuah penelitiannya dia mencari tahu mengapa titik darah disebut ‘alaqoh. Arti kata ‘alaqoh itu ternyata dari bahasa arab klasik yang artinya sebentuk cincin yang tidak bertemu ujungnya. Jadi ternyata titik darah itu sangat kecil sehingga hanya bisa dilihat melalui laboratorium dan ternyata bentuknya memang persis seperti cincin yang tidak bertemu ujungnya. Hal ini menunjukkan bahwa fakta yang ada di dalam Al Quran baru bisa dibuktikan pada abad ke 20. Jadi ke depannya kita punya tantangan dari kajian/penelitian yang sudah dikerjakan oleh para ilmuwan terdahulu walaupu dengan alat-alat yang terbatas. Dalam hadits pun ada banyak sekali tantangan tentang bagaimana kita harus menggali ilmu, seperti “tholabul ilmi faridlotun ‘alaa kulli muslimin wal muslimat”, mencari ilmu itu kewajiban kaum muslimin dan muslimat, atau “Uthlubul ‘ilmi minal mahdi ilallahdi”, mencari ilmu itu sejak dari buaian ibu sampai pada liang lahat (meninggal).
Setiap disiplin ilmu itu ada cara-cara untuk memahaminya. Kalau memahami Al Quran dengan cara ilmu kedokteran, maka ada kekhawatiran timbulnya jastifikasi terhadap kebenaran atau ketidak benaran. Misalnya, dalam bidang kedokteran mengenai cangkok jantung, boleh tidak cangkok jantung itu dilakukan. Kalau memahami masalah cangkok jantung itu dari sisi bahwa ini adalah menunjang kehidupan dan sebagainya, dan boleh jantung diambil dari mana saja, maka pemikiran kita sempit hanya mencari bahwa sesuatu yang bisa menolong itu adalah dengan cara mengambil jantung orang lain. Padahal dalam surat Yaasin dijelaskan bahwa pada hari kiamat nanti semua organ tubuh itu akan bersaksi tentang perbuatan yang dilakukannya. Kalau misalnya dalam tubuh seseorang ada jantung orang lain, maka apa yang akan dilakukan oleh jantung itu untuk bersaksi pada apa yang akan dilakukan oleh jantung yang ada dalam tubuh seseorang itu. Kalau melakukan hal seperti itu, maka nanti dokter-dokter dalam bidang kedokteran keislaman akan mencari cara lain bagaimana supaya cangkok jantung itu menghindari untuk mengambil jantung manusia yang lain. Kalau kita berpikir menurut pola pikir kita, itu namanya jastifikasi, sehingga kita harus tetap dalam koridor-koridor di mana kita berpikir, tetapi kita menggunakan cara-cara memahami dari ajaran-ajaran itu berdasarkan ajaran Al Quran.
Dalam sejarah peradaban Islam sebenarnya tradisi pengembangan sains dan teknologi telah ada di kalangan umat Islam sejak zaman dahulu, terutama pada masa keemasan Islam antara abad ke delapan hingga abad kesepuluh. Sebagai contoh, pada zaman keemasan Islam para cendekiawan Muslim seperti Abu Musa Jabir Ibnu Hayyan telah melakukan berbagai eksperimen dalam bidang Kimia dan Ibn Hasan dalam bidang optic. Beliau selain mengembangkan keilmuan dalam bidang-bidang tersebut juga menciptakan berbagai alat atau teknologi untuk membantu memudahkan pekerjaan yang dilakukannya. Pada masa pemerintahan khalifah Harun Al Rasyid, telah diciptakan alat untuk menentukan waktu secara canggih (untuk ukuran masa itu) yaitu dengan diciptakannya jam pasir. Demikian pula dalam cabang-cabang ilmu pengetahuan lain seperti kedokteran dan sosiologi ataupun sejarah kita mengenal berbagai nama besar seperti Ibnu Sina atau Aviecenna dan Ibnu Rusyd atau Averous. Bukankah kita juga mengenal cabang-cabang ilmu seperti al Jabar (Algebra) dan ilmu kimia (chemistry) yang ada pada hakekatnya dikaitkan dengan nama-nama besar ilmuwan muslim yang mengembangkan cabang-cabang ilmu itu. Ini semua adalah contoh-contoh yang menunjukkan bahwa sebenarnya tradisi mempelajari dan mengembangkan sains dan teknologi sejak dahulu telah ada di kalangan umat Islam. Ini semua juga menunjukkan betapa umat Islam pada masa lalu terus berupaya agar dapat memberi manfaat sebesar-besarnya kepada umat manusia melalui penguasaan kemampuan dan pengembangan sains dan teknologi sesuai dengan bidangnya masing-masing.
Imam Al Ghazali, sebagai salah seorang pemikir Islam yang membuat taksonomi ilmu pengetahuan, di dalam kitabnya yang sangat terkenal Ihyaa ‘Ulumuddien membuat kategori besar ilmu menjadi dua macam. Dua kategori ilmu itu adalah ilmu-ilmu yang terpuji dan ilmu-ilmu yang tercela. Semua ilmu yang memberi manfaat termasuk ke dalam kategori ilmu yang terpuji. Adapun ilmu-ilmu yang memberi mudarat termasuk kategori ilmu-ilmu tercela. Pada ilmu-ilmu yang termasuk kategori terpuji ada kategori lagi, yaitu ilmu-ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap orang Islam (fardlu ‘ain) dan ada yang termasuk kategori wajib dipelajari oleh masyarakat Muslim (fardlu kifayah). Ilmu-ilmu yang termasuk kategori fardlu ‘ain adalah ilmu-ilmu yang berkaitan dengan pelaksanaan kewajiban syariat Islam yang setiap orang wajib melaksanakannya. Adapun ilmu-ilmu yang termasuk kategori fardlu kifayah adalah ilmu-ilmu yang dibutuhkan oleh masyarakat Islam, yang apabila salah satu anggota masyarakat itu telah menguasainya, kebutuhan masyarakat telah dipenuhi.
Bila kita berpegang pada konsep yang dikemukakan oleh Al Ghazali seperti dikemukakan di atas, maka berbagai cabang sains dan teknologi dapat digolongkan ke dalam ilmu-ilmu termasuk kategori fardlu kifayah untuk mempelajarinya. Artinya, bila tidak ada sama sekali diantara umat Islam yang menguasai berbagi cabang sains dan teknologi maka seluruh umat Islam akan menanggung dosanya. Meskipun tidak semua ulama sependapat dengan pandangan Al Ghazali, namun sekurang-kurangnya kita memperoleh kesimpulan, bahwa Al Ghazali yang oleh sebagian ulama ‘ashriyah dianggap kurang memberikan dorongan terhadap perkembangan sains dan teknologi di dunia Islam pun demikian menghargainya ilmu-ilmu seperti digambarkan di atas. Jadi bila pandangan-pandangan di atas kita jadikan pegangan maka sebenarnya misi pendidikan dalam perspektif Islam adalah menjadikan setiap Muslim dapat memberi manfaat kepada manusia lain dengan jalan berupaya untuk memiliki kemampuan-kemampuan yang diperlukan dalam kehidupan atau bila memungkinkan agar dapat memberi manfaat lebih besar lagi adalah dengan jalan menguasai sains dan teknologi. Dengan demikian kehadiran Islam dan umat Islam dimanapun merupakan rahmat bukan hanya bagi umat Islam sendiri tetapi bagi semesta alam.
Pembidangan Ilmu-ilmu Keislaman Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI)
Pembidangan ilmu-ilmu keislaman berdasarkan pada Penyempurnaan Keputusan Menteri Agama Nomor 110 Tahun 1982 tentang Penetapan Pembidangan Ilmu Agama Islam dalam Lingkungan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI). Sebetulnya otonomi perguruan tinggi itu bisa mengembangkan ilmu-ilmu itu, tetapi untuk di Indonesia itu harus ada aturan-aturan yang memberlakukannya, termasuk diantaranya Direktorat Jenderal Pendidikan Agama Islam tentang bidang-bidang keilmuan. Pembidangan keilmuan di perguruan tinggi agama Islam perlu ditata sedemikian rupa. Oleh karena ada otonomi Perguruan Tinggi maka pihak lain tidak berhak memaksakan kehendak kepada Perguruan Tinggi. Rektor-rektor di perguruan tinggi inilah yang mempunyai otoritas untuk membidang-bidangkan ilmu-ilmu, tetapi seringkali kita ini masih ada tendensi kepada struktur.
Keputusan menteri agama tentang pembidangan keilmuan dari perguruan tinggi agama Islam khususnya Universitas Islam Negeri (UIN) adalah moment di mana kita harus menata program-program studi sesuai dengan konsep-konsep keilmuan dan pembidangannya dan sesuai juga dengan mengantisipasi kebutuhan-kebutuhan pasar. Contoh sederhananya, fakultas universal fakultas syariah terdiri dari beberapa jurusan atau program studi. Syariah kalau dikaitkan dengan ekonomi syariah, substansi ekonominya atau transaksinya. Kalau yang berkaitan dengan transaksi itu adalah hukum-hukum yang berlaku. Tetapi kalau berkaitan dengan substansi dan mengaitkannya kepada hukum-hukum tadi, maka ekonominya. Sebagai orang yang berkecimpung di bidang syariah pendalaman kita itu pada ilmu yang berkaitan dengan transaksi bisnisnya atau ilmu yang berkaitan dengan substansi ekonomi yang berbasis kepada syariah.
Di beberapa fakultas di UIN, di bawah instruksi Depdiknas sudah ada program studi ekonomi syariah pada fakultas ekonomi. Aspek-aspek perbankan itu sudah banyak berkaitan dengan hukum-hukun tansaksi-transaksi itu, baik hukum perdata, hukum pidana. Oleh karena itu posisi-posisi seperti itu juga diisi oleh sarjana-sarjana hukum, tapi kalau sudah menyangkut bisnis, transaksi dan menyangkut substansi ekonomi dan pengembangan ekonominya, menyangkut moneternya, maka diisinya oleh sarjana-sarjana ekonomi.
Bidang syariah itu terdiri dari berbagai program, diantaranya siyasyah dan jinayah. Pada keduanya ada hukumnya. Kemudian ada juga yang berkaitan dengan hukum bisnis syariah itu sendiri. Ini masuk ke dalam fakultas syariah tetapi kalau sudah ekonomi syariah maka itu masuknya kepada fakultas ekonomi. Sekarang yang menjadi persoalan adalah siapa yang memberi ijin, sehingga kita ambil kebijakan bahwa KMA menetapkan khusus untuk perguruan tinggi agama Islam. Sehingga ada pengakuan dari suatu lembaga dan adanya legalitas dari sebuah lembaga. Ini menjadi pertanyaan-pertanyaan di dalam pengembangan suatu lembaga. Semua ini diharapkan supaya nantinya lulusan-lulusan kita bukan hanya diterima di lingkup yang sempit sekali, karena di dalam KMA bukan hanya dilakukan kepada rektor, bahwa apakah lembaga-lembaga perguruan tinggi agama Islam ini hanya akan menghasilkan lulusan yang hanya diakui oleh lingkungan sendiri saja. Misalnya sarjana pendidikan, dia hanya bisa diterima untuk menjadi guru di lingkungan Departemen Agama, sedangkan rekrutmen di Departemen Agama sangat terbatas. Begitu juga hal yang berkaitan dengan ekonomi, misalnya ekonomi syariah itu ada di fakultas syariah yang isinya hanya hukum-hukum saja yang berkaitan dengan syariah yang hanya sedikit aspek ekonominya, sehingga muncul pertanyaan apakah pasar mau menerima dengan transkrip atau latar belakang seperti itu? Oleh karena itu maka diadakanlah pembelaan kalau dia hanya mempelajari hal-hal yang bersifat kaidah-kaidah transaksinya, maka dia masuk kepada fakultas hukum tetapi kalau substansi bisnisnya maka masuk kepada fakultas ekonomi.
Usaha untuk melakukan pembidangan ilmu-ilmu keislaman telah berlangsung dalam rentang waktu yang cukup panjang. Setelah lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melakukan pembidangan ilmu-ilmu keislaman, Departemen Agama sudah berulang kali melakukan pembidangan ilmu di lingkungan Perguruan Tinggi Agama Islam. Namun sampai saat ini pembidangan itu belum dapat terlaksana dengan sempurna, dalam dan masih perlu penyempurnaan. Oleh karena itu, diperlukan forum yang refresentatif untuk membahas pembidangan ilmu dimaksud dengan harapan akan dapat diperoleh pembidangan yang memiliki basis yang kuat, sehingga eksistensi pembidangan itu akan memiliki pengakuan dari kalangan akademisi. Kebutuhan untuk melakukan pembidangan ilmu sangat terkait dengan para dosen yang akan mengembangkan keilmuan mereka pada masa yang akan datang. Melalui pembidangan ilmu dimaksud akan diletakan konsepsi dasar tentang ilmu-ilmu yang harus dan akan dikembangkan oleh institusi pendidikan tinggi Islam dan akademisinya ke depan.
Ada berbagai dasar dan ragam pembidangan ilmu pengetahuan yang dijadikan sebagai patokan untuk menentukan bidang ilmu, disiplin, dan sub disiplinnya. Pembagian  itu antara lain adalah:
Pertama, dari aspek fungsi ilmu. Dasarnya dapat bersifat teoritis atau praktis, ilmu murni atau terapan. Pembagian ilmu berdasarkan fungsi ini mengandung kelemahan dan menyulitkan karena basis fungsi tersebut terkadang bercorak dualistik. Artinya di satu sisi mengandung ilmu-ilmu teoritik di sisi lain memiliki basis praktis. Hal ini memungkinkan terjadinya tumpang tindih dari fungsi ilmu tersebut.
Kedua, pembidangan ilmu berdasarkan sasaran kajian (objek studi, subject matter). Melalui sasaran kajian ini akan terdapat kejelasan tentang pengelompokan ilmu tertentu sesuai bidangnya. Dengan demikian, setiap ilmu yang memiliki obyek material yang sama akan dapat dikelompokan dalam satu bidang yang sama. Secara umum dikatakan bahwa perbedaan antara satu ilmu dengan lainnya selalu dilihat dari obyek formula ilmu yang bersangkutan. Ilmu-ilmu alam misalnya memiliki obyek material yang berupa gejala-gejala alam yang ajeg dan bercorak nomotetis, ilmu-ilmu sosial memiliki obyek material gejala kemasyarakatan dan ideografis, sedangkan ilmu budaya dan humaniora memiliki obyek materi gejala-gejala kemanusiaan. Obyek kajian tersebut kemudian memunculkan berbagai disiplin karena adanya obyek formal yang berbeda.
Ketiga, melalui pendekatan, yaitu upaya untuk memadukan berbagai disiplin keilmuan dengan memposisikan satu disiplin sebagai pendekatan dan lainnya sebagai sasaran kajian. Melalui pendekatan, maka ilmu pengetahuan akan berkembang dengan cepat karena dimungkinkan tumbuhnya disiplin-disiplin baru yang merupakan gabungan antara dua ilmu pengetahuan. Inilah yang disebut sebagai inter-diciplinarity (antar bidang) dan cross-diciplinarity (lintas bidang) atau yang secara umum disebut sebagai multi-diciplinarity (multy disiplin). Maka di dalam perkembangan ilmu kemudian muncul sosiologi agama (perpaduan antara sosiologi dalam bidang social science dan agama dalam bidang culture and humanity), yang selanjutnya disebut sebagai cross-diciplinarity. Demikian pula antropologi agama, psikologu agama, filsafat sosial, filsafat hukum, sejarah sosial dan sebagainya. Di sisi lain, misalnya sosiologi politik adalah inter-disipliner karena merupakan penggabungan sosiologi sebagai bagian dari bidang social science dan politik yang juga bagian dari social science. Demikian pula, misalnya sosiologi hukum, antropologi politik, psikologi sosial, dan sebagainya.
Pembidangan ilmu-ilmu keislaman juga diusahakan melalui pengkategorian apa yang menjadi sasaran kajiannya. Oleh karena itu kemudian ditemukanlah pembidangan seperti ilmu Al Quran yang sasaran kajiannya adalah Al Quran. Ilmu Hadits yang sasaran kajiannya adalah Hadits-Hadits Nabi. Ilmu Akidah yang memiliki sasaran kajian berupa dimensi-dimensi keyakinan terhadap Tuhan dan hal-hal yang terkait dengannya. Ilmu Dakwah memiliki sasaran kajian yang terkait dengan penyebaran ajaran Islam. Ilmu Tarbiyah memiliki sasaran kajian berupa pendidikan Islam. Ilmu Syariah memiliki sasaran kajian berupa Hukum Islam dan implikasinya. Ekonomi Islam memiliki sasaran kajian berupa praktek ekonomi dan implikasinya, ilmu filsafat mengkaji berbagai corak dan ragam pemikiran mendalam tentang gejala-gejala alam, sosial dan humaniora, Ilmu tasawuf mengkaji tentang dimensi mendalam (esoteric) memiliki sasaran kajian dari Islam. Ilmu sejarah mengkaji tentang rentang perjalanan manusia dan masyarakat dalam kaitannya dengan agama, sosial, budaya, politik, dan sebagainya. Ilmu Bahasa mengkaji tentang bahasa yang diekspresikan manusia dan masyarakat dalam rentang sejarah, waktu dan lokalitasnya. Dan sains Islam mengkaji tentang gejala-gejala alam dalam kaitannya dengan konsepsi Islam. Untuk membedakan suatu disiplin dengan lainnya adalah melalui pengalokasian obyek formal yang masing-masing memang berbeda. Misalnya sejarah peradaban Islam akan berbeda dari Sejarah Hukum Islam, Sosiologi Agama akan berbeda dari Psikologi Agama, Tafsir Tasawuf akan berbeda dari Tafsir Dakwah, Sejarah Hadits akan berbeda dari Filsafat Hadits dan seterusnya.
Hal yang penting adalah pengembangan ilmu-ilmu keislaman ke depan. Ini diperlukan mengingat bahwa ragam pengembangan ke depan dapat dijadikan sebagai wahana pengembangan keilmuan secara substansial di satu pihak dan juga pengembangan institusional di pihak lain. Pengembangan substansial terkait dengan pengembangan ilmu dan kepakaran dosen atau akademisi sehingga menghasilkan variasi-variasi keilmuan di Perguruan Tinggi Agama Islam. Sedangkan secara institusional akan menjadi wahana bagi pengembangan program studi atau sekurang-kurangnya konsentrasi studi yang dibutuhkan pada masa datang.
Arah pengembangan ilmu-ilmu keislaman ke depan diusahakan mengikuti jalur sasaran kajian dan pendekatan sekaligus. Artinya pengembangan tersebut diusahakan dengan menggunakan dua cara pembidangan ilmu-ilmu, yaitu melihat sasaran kajian dan pendekatan. Dengan demikian, akan ditemui pola pengembangan yang merupakan penggabungan ilmu, yang satu dijadikan sebagai sasaran kajian dan lainnya sebagai pendekatan. Misalnya, tafsir Al Quran dan hermeneutika, maka yang dikaji adalah Tafsir Al Quran tetapi menggunakan pendekatan hermeneutika dan mengkaji tentang hermeneutika. Demikian pula pada tafsir Al Quran dan fenomenologi, maka yang dikaji adalah ilmu Tafsir dengan menggunakan pendekatan fenomenologi. Dalam Tafsir Al Quran dan Strukturalisme, maka yang dikaji adalah Tafsir Al Quran tetapi menggunakan pendekatan Strukturalisme. Demikian pula ilmu Hadits ketika dipertemukan dengan pedekatan lainnya maka akan memunculkan Syarah Hadits dan budaya Lokal, Syarah Hadits dan Fenomenologi dan seterusnya. Ilmu tarbiyah yang dipertemukan dengan Sosiologi maka akan muncul Sosiologi Pendidikan Islam, Teknologi Pendidikan Islam, Politik Pendidikan Islam, dan sebagainya.
Ilmu dakwah yang dipertemukan dengan Sosiologi akan memunculkan Sosiologi pengembangan Masyaralat Islam. Bentuk penggabungan lainnya melahirkan Studi Pembangunan dan Pengembangan Ekonomi Kerakyatan, Manajemen Kelembagaan Islam, Bimbingan Penyuluhan Sosial, dan seterusnya. Ilmu Syariah ketika dipertemukan dengan pendekatan tertentu maka akan menghasilkan Pembaharuan Hukum-Hukum Islam, Bisnis dan Manajemen Islam, Hukum Bisnis Islam dan sebagainya. Ilmu Tasawuf ketika dipertemukan dengan pendekatan lain, maka akan didapatkan sub-disiplin baru yaitu Tarekat dan Fenomenologi, Tarekat dan Budaya Lokal, Tarekat dan modernitas dan seterusnya. Ilmu Sejarah ketika bertemu dengan pendekatan lainnya akan menghasilkan Arsitektur Islam, misalnya Arkeologi Islam. Ilmu-ilmu sosial keislaman yang bertemu dengan pendekatan lainnya akan memunculkan Islam dan Civil Religion, Islam dan Budaya lokal, Islam dan Politik Lokal, misalnya Perbandingan Politik Islam lokal. Ketika Sains (Ilmu-ilmu alam) bertemu dengan pendekatan lain akan melahirkan Islam dan Kesehatan Jiwa.
Pembidangan ilmu dengan demikian tidak hanya akan menghasilkan substansi keilmuan Islam, tetapi juga akan menghasilkan variasi-variasi akademisi yang menjadi pengembang ilmu-ilmu keislaman dimaksud. Jadi, melalui pembidangan ilmu akan didapatkan dua keuntungan, yaitu variasi ilmu-ilmu keislaman dan variasi pakar ilmu keislaman.
DAFTAR PUSTAKA
Penyempurnaan Keputusan Menteri Agama Nomor 110 Tahun 1982 tentang Penetapan Pembidangan Ilmu Agama Islam dalam Lingkungan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI).
Ali, M., (1998). Sains dan Upaya Menemukan Kebenaran. Bulletin Institut Pertanian Bogor, Vol. 7 Tahun XX. Bogor: IPB.
Kneller, G.F., (1971). Research Content and Method. In George F. Kneller (Editor): Foundations of Education. New York, NY.: John Wiley and Sons.
Mc Millan, J.H., and Schumacher, S., (2001). Research in Education: A Conceptual Introduvction. New York, NY.: Addison Wesley Longman, Inc.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar