1. Apakah Filsafat Itu?
Saudara-saudara, apakah filsafat itu? Saya awali kuliah ini dengan meminta anda menjawabnya.
“Bodoh,” mungkin anda pikir, “kami menempuh matakuliah ini karena tidak tahu apakah filsafat itu, jadi mengapa anda mengharap kami menjawab pertanyaan yang mendasar seperti itu pada menit-menit pertama kita?”
Percayalah! Sepuluh atau limabelas menit pertama yang kita sita untuk menjawab pertanyaan tersebut akan menjadi awal yang baik demi pemahaman kita tentang apakah filsafat itu. Sekarang, jika benak anda kosong, cobalah berpikir mengenai apa yang sedang kita lakukan saat ini. Apa yang sedang kita kerjakan pada detik ini yang berbeda dengan yang kita perbuat di matakuliah lain?
Mahasiswa, “Hmm.”
Ayo, siapa yang ingin menjadi orang pertama? Jangan malu! … Tahukah kalian, ketika pertama kali saya ajarkan kuliah ini, mahasiswa pertama yang mencoba menjawab pertanyaan tersebut akhirnya memperoleh nilai “A”! Kini, siapa yang suka menjadi orang pertama?
Mahasiswa A. “Berpikir. Kita sedang berpikir. Apakah filsafat itu tentang berpikir?”
Ya. Memang itulah tugas pokok filsuf. Omong-omong, ketika saya mengajar kuliah ini untuk kedua kalinya, mahasiswa pertama yang mencoba menjawab pertanyaan tersebut akhirnya mendapatkan nilai “D”. Jadi, jangan harap nilai “A” itu mudah! Sesungguhnya, kita sering berpikir dengan cara yang tidak “filosofis”. Jadi, apa perbedaan antara berpikir secara filosofis dan berpikir secara lain?
Mahasiswa B. “Filsafat itu abstrak. Tidak ada jawaban yang pasti. Setiap orang punya ide sendiri-sendiri tentang persoalan filosofis, dan tak seorang pun dapat mengklaim bahwa ia memiliki kebenaran yang mutlak.”
Itu pandangan yang sangat umum. Banyak argumen filosofis yang memang abstrak, namun bukankah benar pula bahwa filsafat kadang-kadang sangat konkret dan juga praktis? Bahkan, saya lebih cenderung mengatakan: jawaban yang terang terhadap sebagian besar pertanyaan filosofis terlalu banyak. Namun biarlah kami nyatakan sendiri, anda telah mendapatkan suatu ciri khas persoalan filosofis yang membedakannya dari kebanyakan perburuan intelektual lainnya. Tidak peduli berapa kali pertanyaan terjawab, kelihatannya selalu ada sesuatu yang masih misterius. Karenanya, pada pandang pertama, filsafat menjadi sangat berbeda dengan ilmu pengetahuan.
Namun demikian, mari kita amati terus apa yang kita lakukan saat ini, dan kita mencoba menangkap pertanda yang lebih jitu tentang alam filsafat. Beberapa filsuf mengutarakan bahwa dalam filsafat, sebagaimana dalam kehidupan kita sendiri, “kita membangun perahu di tempat kita mengapungkannya.” Lantas, apa yang — ya?
Mahasiswa C. “Pertanyaan dan jawaban. Apakah filsafat ada hubungannya dengan pertanyaan dan jawaban?”
Tentu saja. Pada kenyataannya, unsur-unsur filsafat dan bahkan aliran-aliran filsafat yang berlainan bisa dibedakan dengan memperhatikan perbedaan tipe pertanyaan yang diajukan. Akan tetapi, semua disiplin akademis pun menghajatkan pertanyaan dan jawaban. Jadi, apa yang membedakan pertanyaan filosofis dari tipe-tipe lainnya? Apa yang saya upayakan saat ini dengan meminta anda memikirkan pertanyaan “Apakah filsafat itu?”, dan mengapa saya tidak puas dengan jawaban yang sederhana, seperti “filsafat adalah berpikir”?
Mahasiswa D. “Karena anda berusaha membujuk kami untuk melihat hal-hal yang terdapat di bawah permukaan. Kita semua tahu bahwa para filsuf banyak berpikir, tetapi anda berupaya mendorong kami untuk menatap makna yang lebih dalam.”
Tepat. Alasan mengapa pertanyaan yang diajukan dalam kebanyakan disiplin akademis lain dapat dijawab dengan lebih pasti ialah karena jawaban non-filosofis biasanya hanya mempedulikan permukaan. Para filsuf, sekurang-kurangnya filsuf yang baik, tidak puas sampai mereka menggali sedalam-dalamnya persoalan yang mereka ajukan sendiri. Kadang-kadang, gagasan filosofis sulit dipahami bukan karena terlalu abstrak, terlampau melayang jauh dari kehidupan kita sehari-hari, melainkan justru karena teramat konkret! Filsafat ada kalanya menyentuh sedemikian-dalam hal-hal yang tak terpahami oleh kita karena obyek pembahasan itu terlalu dekat dengan kehidupan kita. Pernahkah anda mencoba melihat mata kanan anda dengan mata kiri anda?
Mahasiswa E. “Bisakah anda memberi kami satu contoh pertanyaan yang filosofis?”
Bisa, bahkan lebih dari satu. Saya akan mengemukakan empat contoh pertanyaan yang diajukan oleh filsuf-filsuf yang baik. Secara demikian, saya mengantarkan anda ke sesuatu yang saya yakini sebagai empat unsur utama dalam bidang filsafat. Dua unsur awal bersifat teoretis. Unsur pertama ialah metafisika; pertanyaan yang menetapkan tugas metafisika adalah “Apa yang pada hakikatnya nyata?”. Memeriksa jawaban atas pertanyaan ini merupakan kewajiban kita dalam Bagian Satu matakuliah ini. Bagian Dua berkenaan dengan unsur kedua, logika; penentuan persoalannya bisa diungkap sebagai “Bagaimana kita memahami makna kata-kata?”
Dua unsur akhir bersifat praktis. Unsur ketiga dapat disebut “filsafat terapan”. Nah, penerapan kata-kata bermakna itu mestinya menimbulkan pengetahuan; kata Inggris “science” berasal dari kata Latin sciens yang berarti “mengetahui”, sehingga kita bisa menamakan unsur ketiga ini science (ilmu),[i][1] asalkan kita ingat bahwa kita menggunakan kata ini bukan seperti yang biasanya dimengerti dalam bahasa sehari-hari. Pertanyaan filosofis mengenai ilmu adalah “Di manakah garis tapal batas yang tepat antara pengetahuan dan kebebalan?”. Unsur keempat ialah ontologi, yang mengajukan pertanyaan “Apa maksud keberadaannya?” Dengan menanyakan dan menjawab pertanyaan ontologis, kita berharap meningkatkan pahaman kita tentang sifat dasar berbagai benda (umpamanya, Tuhan, manusia, hewan), atau tipe pengalaman yang berlainan (contohnya, keindahan, cinta, kematian)
Pada matakuliah ini kita berkesempatan untuk mencari jawaban atas keempat pertanyaan tersebut, sehingga memperhatikan hubungan masing-masing sebagai satu keseluruhan bisa bermanfaat. Untuk mengungkap pandangan-pandangan dalam bentuk yang sederhana, namun sistematis, salah satu alat-bantu pengajaran kegemaran saya, seperti yang akan segera anda jumpai, adalah diagram-diagram—terutama salib, segitiga, dan lingkaran. Pada Pekan V, kita akan melihat bahwa semua diagram [di buku ini] dibangun menurut pola logis tertentu. Akan tetapi, untuk saat ini, kita hanya memperlakukannya sebagai seperangkat cara yang mudah untuk melihat pertalian antara rangkaian istilah-istilah tersebut. Mari kita manfaatkan sepotong salib sebagai sejenis “peta” untuk matakuliah kita dengan menempatkan keempat unsur filsafat pada keempat ujungnya, sebagaimana tergambar di bawah ini:
IV. ontologi: Apa maksud keberadaannya? filsafat praktis III. ilmu: I. metafisika Di mana garis Apa yang pada batas pengetahuan? hakikatnya nyata? filsafat teoretis II. logika: Bagaimana kita memahami makna kata-kata? |
Gambar I.1: Empat Unsur Filsafat
Tentu saja, kita akan mengajukan banyak pertanyaan filosofis lain pada kuliah-kuliah [di buku] ini, tetapi sifat fundamental keempat persoalan tersebut perlu diakui.
Mahasiswa F. “Hari ini anda beberapa kali mengacu pada ‘filsuf yang baik‘. Kedengarannya agak gegabah. Apakah anda menyiratkan bahwa ada ‘filsuf yang buruk‘? Apakah anda berhak menghakimi pendapat orang lain sebagai baik atau buruk? Betapapun juga, setiap orang memiliki hak atas pendapat mereka sendiri!”
Ya, memang benar. Akan tetapi, perbedaan antara filsuf yang baik dan yang buruk tidak berkaitan dengan “opini”. Ini mengenai penalaran. Nalar memungkinkan kita untuk membedakan yang baik dari yang buruk, tetapi tanpa perlu menghujat. Maka, saya berujar: memang ada filsuf yang buruk. Pada kenyataannya, tampaknya sayangnya seakan-akan filsuf yang buruk lebih banyak daripada yang baik. Jadi, jangan terkejut bila anda menyimak saya mengucapkan kata-kata sedemikian itu pada kuliah-kuliah kita ini. Namun demikian, saya harap anda tidak merasa terhina. Kata “baik” dan “buruk” di sini tidak dimaksudkan sebagai penilaian moral. Bahkan, bagi saya istilah-istilah ini mengacu pada filsuf-filsuf yang menyandang tugas filsafat dengan cara yang seimbang, yang berlawanan dengan mereka yang percaya bahwa bidang perhatian filsafat yang sebenarnya itu sangat sempit atau sangat luas. Biar saya perjelas lagi, apa yang saya maksud dengan pembedaan ini.
Ada tiga arah pemahaman tugas filsafat. Yang pertama memandang tugas filsafat sebagai penggunaan pemikiran logis untuk memecahkan masalah-masalah yang sukar, melalui penjernihan konsep-konsep kita. Pada filsafat Barat abad keduapuluh, pandangan ini diangkat sebagai ciri khas aliran “filsafat analitik”, yang dalam berbagai wujudnya selama seabad ini mendominasi wacana yang berbahasa Inggris. Para filsuf analitik cenderung menganggap filsuf sebagai sejenis profesi ilmiah yang istimewa; mereka setiap-waktu menolak terang-terangan gagasan bahwa filsafat itu berkaitan erat dengan kehidupan kita sehari-hari.
Arah filsafat yang kedua menempati ancangan yang berlawanan, dengan memandang filsafat sebagai jalan hidup, sehingga tugas filsafat berkisar pada pemahaman hakikat dan tujuan keberadaan manusia beserta segala kerumitannya. Pada filsafat Barat abad keduapuluh, pandangan ini diangkat sebagai ciri khas aliran “eksistensialisme”, yang dalam berbagai wujudnya selama seabad ini mendominasi wacana yang berbahasa non-Inggris. Para filsuf eksistensialis cenderung menganggap filsafat sebagai disiplin-studi biasa yang meliputi hampir segala hal yang dapat membantu kita menjalani hidup dengan lebih benar atau lebih “otentik”; namun dalam prosesnya, tulisan-tulisan yang mereka susun tentang kehidupan semacam itu acapkali gelap sekali, sehingga pembaca awam amat kesulitan dalam memahaminya.
Arah filsafat yang ketiga mengakui bahwa kedua pendapat tadi diperlukan untuk menggagas tugas filosofik dengan tepat. Filsuf yang baik mengikuti arah yang ketiga ini, dengan meyakini bahwa tujuan penjernihan konsep-konsep mengarah ke jalan hidup tertentu, dan bahwa penjelasan jalan hidup ini harus diungkap dengan gamblang dan jangan sampai terjerembab ke jurang kegelapan. Filsafat yang tidak ditatap sebagai jalan hidup kelihatannya lebih menyerupai ilmu yang bersifat teknis, sedangkan filsafat yang tidak menghajatkan upaya keras untuk menjernihkan konsep-konsep tampaknya lebih menyerupai agama yang bersifat mistis. Padahal, filsafat, sekurang-kurangnya filsafat yang baik, bukanlah ilmu dan juga bukan agama, melainkan disiplin unik yang tegak di atas tapal batas antara keduanya. Karenanya, kita dapat menggambarkan hubungan antara tiga tipe filsafat tersebut dengan memetakannya pada sepotong segitiga sederhana sebagai berikut:
filsafat analitik:
penjernihan konsep
filsafat “yang baik”
sintesis keduanya
eksistensialisme:
jalan hidup
Gambar I.2: Tiga Tipe Filsafat
By the way (Omong-omong), barangkali filsuf analitik “yang baik” sama banyaknya (atau sama sedikitnya!) dengan filsuf eksistensial “yang baik”. Filsuf analitik yang baik ialah yang bisa berbahasa dengan gamblang tanpa kehilangan wawasan terhadap bidikan-puncak pembelajaran, yakni untuk hidup dengan lebih baik. Sebaliknya, filsuf eksistensialis yang baik ialah yang dapat mengarahkan perhatian kita ke bidikan-puncak itu tanpa penggunaan bahasa yang ruwet atau menyesatkan, yang hanya mengaburkan kebenaran. Maksud saya, bolehjadi pendekatan terbaik untuk memandang filsafat adalah tidak sekedar berakar pada salah satu dari kedua tipe tersebut, tetapi justru berdiri di atas keduanya secara seimbang.
Nah, jam pertama ini hampir habis, namun masih ada waktu untuk satu saran lagi tentang bagaimana kita bisa menjawab pertanyaan utama kita tadi. Saya penasaran, kalau-kalau ada di antara kalian yang mempunyai sepenggal jawaban yang berbeda dengan jawaban-jawaban yang telah diutarakan sejauh ini. Kita pada dasarnya baru membahas secuil kemungkinan jawaban, padahal filsafat itu mengenai banyak hal.
Mahasiswa G. “Saya pikir selalu, filsafat itu berkenaan dengan sikap takjub (wonder).”
Ketakjuban macam apa? Apakah maksud anda hanya bengong dan melamun? Ataukah terbersit dalam benak anda sesuatu seperti Alice di Negeri Ajaib?
Mahasiswa G. “Saya rasa tidak. Saya pikir, sikap takjub itu semacam semangat belajar untuk menuju kebenaran. Bukankah para filsuf tertarik pada upaya untuk menyelidiki mengapa benda-benda berada sedemikian rupa?”
Memang begitulah! Sebenarnya, kata “filsafat” itu sendiri berasal dari dua kata Yunani “philos” (mencintai) dan “sophos” (kealiman).[ii][2] Jadi, secara harfiah, filsafat itu merujuk pada pencarian secara tak jemu-jemu kebenaran dan penerapannya yang pas pada kehidupan kita. Pencarian ini pasti berkobar dengan semangat “ketakjuban”. Oh ya, saya tidak bergurau kala mengacu pada Alice in Wonderland. Ceriteranya penuh dengan gagasan filosofis yang menarik!
Oh ya, tentu saja kita belum selesai menjawab pertanyaan kita. Pertanyaan “Apakah filsafat itu?” memang akan selalu ada di benak kita di sepanjang matakuliah ini. Jika kita mampu menjawab tuntas hari ini, maka sampai di sini saja kuliah kita, dan tigapuluh-lima kuliah sisanya tidak kita perlukan. Akan tetapi, ternyata kita masih jauh dari hal itu. Alih-alih, saya ingin sekali menimbulkan kesan kepada anda bahwa hingga perkuliahan Pengantar Filsafat ini berakhir (mudah-mudahan) anda kurang tahu akan filsafat daripada sebelum anda memasuki kelas hari ini!
Saya mengatakannya karena, seperti yang akan kita ulas, pada aktualnya filsafat berawal dengan pengakuan kebebalan. Alasan mengawali kuliah pengantar [filsafat] dengan menelaah metafisika tepatnya adalah bahwa metafisika dapat mengajarkan kita perbedaan antara hal-hal yang bisa kita ketahui dan yang tidak bisa kita ketahui. Hanya bila kita telah mempelajarinya, maka kita siap belajar dari logika tentang bagaimana memperoleh pemahaman kata-kata. Logika terutama mengajarkan kita perbedaan antara makna kata kala mengacu pada sesuatu yang dapat kita ketahui dan makna kata kala mengacu pada sesuatu yang tidak kita ketahui sama sekali. Segera seusai kita miliki pondasi teoretis ini, kita bisa menerapkan pahaman baru kita dengan cara-cara yang praktis. Kita melakukannya dengan menggapai kebenaran dan pengetahuan yang relevan dengan kehidupan manusia; mencari “ilmu” sejati inilah yang disebut cinta kealiman. Dengan mencintai kealiman, kita dapat memasuki tahap-keempat tugas filsafat tanpa menjadi “tersesat di kawasan yang menakjubkan kita”, begitulah perumpamaannya. Hal itu karena tugas terakhirnya adalah sungguh-sungguh menghargai sikap takjub berkeheningan. Dalam pengertian tertentu, semua filsafat berpangkal pada sikap takjub berkeheningan. Sekalipun begitu, filsafat berujung pada sikap takjub berkeheningan juga, sebagaimana yang akan kita saksikan pada Bagian Empat matakuliah ini.
Hal itu akan banyak mendorong kita untuk memikirkan pelajaran pertama kita. Jadi, saya simpulkan saja dengan menambahkan bahwa keempat tugas filsafat yang baru saja saya paparkan tadi bersesuaian secara pas dengan empat “unsur” filsafat yang terlukis pada Gambar 1.1, dan dapat dipetakan pada salib yang sama sebagai berikut:
takjub berkeheningan
cinta kealiman pengakuan kebebalan
pemahaman kata-kata
Gambar I.3: Empat Tujuan Berfilsafat
Masing-masing itu sebaiknya dipandang sebagai tugas yang tiada henti, bukan persyaratan yang harus dipenuhi dengan lengkap sebelum melangkah ke tahap berikutnya. Karena alasan ini, kita bisa memandangnya sebagai sasaran-sasaran yang kita tetapkan untuk kita sendiri pada setiap tahap berfilsafat.
2. Beberapa Pedoman Penulisan Lembar Mawas
Wawasan adalah batu pondasi semua pandangan filosofis. Tanpa wawasan, kita akan tiada kreativitas, sedikit-banyak selalu tetap sama, di suatu alam yang relatif tidak berakal, tidak berbeda dengan binatang. Bila hewan mempunyai [dorongan hati atau] naluri (instinct), manusia memiliki potensi [dorongan akal atau] wawasan (insight). Oleh sebab itu, salah satu pelajaran terpenting yang harus dipelajari di segala studi filsafat adalah apakah wawasan itu dan bagaimana cara mengembangkan kemampuan diri untuk berwawasan. Beberapa sifat wawasan akan kita bahas dalam matakuliah ini. Bahasan terpentingnya disinggung di Kuliah 12 [tentang Gambar IV.6], 15, 18 [tentang Gambar VI.5], 20 [paragraf kedua], 24 [satu paragraf sebelum dua paragraf terakhir], dan 28 [tentang Gambar X.1]. Itu semua sebaiknya sudah dibaca sebelum anda memulai penulisan lembar pertama anda. Namun keterampilan berwawasan hanya dapat muncul melalui praktek. Karena alasan ini, tanggung jawab anda selaku mahasiswa pada matakuliah ini terutama berpusat pada tugas penulisan serangkaian “lembar mawas” (insight papers). Entah anda membaca buku ini sebagai buku-ajar matakuliah yang sedang anda tempuh entah hanya karena minat anda, saya harap anda sungguh-sungguh mementingkan tindak lanjut dari hal-hal yang anda baca di sini dengan jalan menulis sesuatu untuk anda sendiri. Hal ini akan memberi anda peluang untuk berfilsafat melalui pencatatan hasil renungan anda sendiri terhadap persoalan filosofis tertentu. Pedoman yang hendak saya sarankan pada jam kuliah ini dimaksudkan untuk membantu anda dalam memilih topik yang tepat dan menulis lembar mawas yang baik.
Pada akhir setiap bab atau “pekan” (yakni setiap tiga serangkai kuliah yang direkam di buku ini), saya menyediakan empat pasang “Pertanyaan Perambah”, dengan beberapa baris kosong di bawah masing-masing, tempat anda mencatat sepatah dua patah kata percikan pemikiran anda mengenai pertanyaan yang bersangkutan. Anda bisa memanfaatkan itu sebagai topik lembar mawas anda, kendati topik apa saja bisa diterima, asalkan anda memperlakukannya dengan cara filosofis. Anda pun jangan mencari “serangkaian” solusi di buku ini terhadap masalah pilihan anda yang akan anda renungkan dan anda tuliskan. Lembar mawas adalah arsip wawasan-anda-sendiri, bukan wawasan saya—walau tentu saja, akan anda dapati faedah penggunaan isi kuliah-kuliah saya sebagai batu loncatan untuk mengembangkan cara pikir khas anda sendiri.
Sejauh ini, lembar mawas merupakan aspek terpenting matakuliah ini karena lembar mawas menggenapi tatapmuka perkuliahan dan bacaan-bacaannya dengan pengalaman pribadi berfilsafat yang nyata. Karena itu, lembar mawas yang relevan bisa digunakan sebagai basis diskusi kelas. Tugas pembahasan implikasi persoalan yang diangkat di berbagai lembar mawas acapkali cukup menarik untuk mengisi jam kuliah yang tersedia. Waktu sisanya dicurahkan untuk pembahasan pertanyaan yang muncul dari buku-ajar dan bacaan anjuran yang relevan. Ini berarti bahwa sejak jam kuliah kedua ini setiap mahasiswa diharap untuk membaca [bahan] kuliah yang relevan di buku ini sebelum memasuki kelas. Akan ada banyak gunanya pula bila anda membaca sekurang-kurangnya sebagian dari pustaka yang didaftar di seksi “Bacaan Anjuran” per pekan. Bacaan-bacaan itu biasanya disusun urut, yang berawal dengan bacaan-bacaan yang lebih singkat atau spesifik yang dikutip di dalam teks kuliah, dan berakhir dengan pustaka-pustaka yang lebih panjang dan/atau umum yang akan membantu anda dalam merambah secara lebih mendalam implikasi-implikasi dari topik-topik yang dibahas di kuliah-kuliah pekan yang bersangkutan. Bacaan-bacaan ini juga dapat digunakan untuk merangsang wawasan dan memberi topik yang baik untuk lembar mawas.
Dengan mengingat-ingat kiat-kiat berikut ini, anda akan terbantu dalam membaca secara lebih mawas:
- Jangan khawatir kalau-kalau tidak setiap kata dan tidak setiap kalimat anda pahami!
- Alih-alih, fokuskan pada [pencarian] lokasi gagasan-gagasan utama dan upaya pemahamannya!
- Garis bawahilah kata-kata kuncinya, dan cobalah untuk menangkap alur umum argumentasinya!
- Garis bawah yang berlebihan akan mematahkan niat tersebut dan terlalu menyulitkan pengulasan.
- Untuk definisi singkat istilah-istilah kunci, mengaculah pada Daftar Definisi Istilah yang tercatat di halaman belakang buku-ajar ini![iii][3]
- Berinteraksilah dengan buku ini! Jika anda menolak [suatu gagasan di dalamnya], tulislah alasan anda di tepi halaman; kalau anda menerima, tulislah sesuatu seperti “ya!”. Jika itu mengingatkan sesuatu yang lain, buatlah catatan tentang hal itu; bila anda bingung, tulislah “?”, lalu tanyakan penjelasannya di kelas!
- Apabila anda mendapati pasal yang menarik di buku-ajar ini, luangkanlah lebih banyak waktu pada pasal tersebut, kemudian burulah Bacaan Anjuran atau mintalah acuan lebih lanjut kepada dosen anda!
- Jika suatu pasal membosankan anda, cobalah untuk membaca dengan lebih cepat atau sepintas-lalu sampai anda mencapai bagian yang lebih menarik! Anda dapat memandang isinya dengan cepat melalui membaca beberapa paragraf awal dan akhir dan kalimat pertama setiap paragraf sisanya. (Gunakan kiat ini terhadap Bacaan Anjuran, bukan terhadap buku ini!)
- Yang terpenting, percayalah kepada daya-paham anda sendiri! Ambillah semboyan Pencerahan untuk anda sendiri: Beranilah menggunakan akal anda sendiri!
Filsafat harus dipelajari dengan bebas dan dengan desakan luar yang sesedikit mungkin, sehingga matakuliah ini praktis tidak menuntut anda membaca sebanyak-banyaknya karya-karya klasik. Akan tetapi, kuliah-kuliah kita nanti akan sering mengacu pada banyak teks klasik, sehingga diasumsikan bahwa siapa saja yang, atau mulai, termotivasi dari dalam untuk berfilsafat akan berupaya untuk mengakrabi bacaan-bacaan tambahan itu sebanyak mungkin.
Nah, berikut ini jawaban singkat atas pertanyaan-pertanyaan paling dasar yang biasanya ditanyakan oleh mahasiswa-mahasiswa ketika mereka berusaha memahami hakikat dan maksud penulisan wawasan mereka:
Apa? Lembar mawas adalah karya tulis singkat tentang pemikiran, pandangan, dan penalaran anda sendiri tentang topik apa saja, dengan ketentuan bahwa anda memperlakukannya secara filosofis. Penyiapan dan penulisan makalah semacam itu merupakan salah satu aspek terpenting kelas ini. Karena itu, anda seyogyanya menulis lembar mawas setelah beberapa saat seusai memikirkan dengan penuh konsentrasi atau merenungkan sesuatu yang filosofis, sekurang-kurangnya selama limabelas menit. Di samping pertanyaan-pertanyaan di akhir setiap pekan, inilah beberapa contoh jenis pokok bahasan yang bisa anda pilih untuk anda renungkan: segala pertanyaan atau persoalan yang diangkat di kuliah-kuliah di buku ini atau dibahas di kelas; pertanyaan tentang makna atau hakikat sesuatu; teori atau argumen yang diajukan oleh beberapa filsuf yang telah anda baca; obyek atau pandangan yang anda pikir indah atau aneh; pengalaman yang menurut anda sangat filosofis; dan sebagainya.
Bagaimana? Padatkan! Jangan mengira bahwa makalah yang panjang akan selalu mencapai hasil yang baik. Itu tidak benar. Kadang-kadang beberapa kalimat sudah cukup untuk menunjukkan bahwa anda memiliki wawasan filosofis yang signifikan. Segala hal yang tidak langsung berkaitan dengan wawasan itu sendiri sebaiknya diringkas atau disingkirkan. Makalah anda mesti menyediakan tempat yang sesempit mungkin bagi pemerian informasi latar belakang, semisal ide-ide orang lain. Sebagian besar dari tempat itu harus dicurahkan untuk pemikiran, kritikan, analisis, dan ide-ide anda sendiri mengenai jawaban dan hal-hal lain yang masuk akal. Sebagai aturan umum, mestinya satu halaman kertas standar sudah cukup panjang. Kalau anda perlu menggunakan dua halaman, tolong lestarikan pepohonan dengan menulis kedua sisi (bolak-balik) satu lembar kertas.
Berapa banyak? Tulislah lembar mawas sebanyak-banyaknya! Jika anda memakai buku ini sebagai buku-ajar perkuliahan, periksalah rincian jumlah lembar mawas yang disyaratkan, tanggal penyerahan, dan pedoman khusus lainnya.
Mengapa? Maksud lembar mawas adalah melatih keterampilan berfilsafat anda, dengan membolehkan anda merambah ide-ide filosofis sedalam-dalamnya. Jadi, ingat-ingatlah hal ini ketika anda menulis lembar mawas. Ajukanlah pertanyaan-pertanyaan yang menggerakkan pemikiran anda yang melampaui kulitnya, seperti “mengapa?”, “apa maksudnya?”, “bagaimana saya tahu?”, “apakah ini?”, dan lain-lain. Jangan cuma mengulang pandangan orang lain. Anda dapat menyebut gagasan orang lain (umpamanya teori-teori dari beberapa filsuf yang telah anda kaji), namun cobalah melakukannya dengan sesingkat mungkin. Sebagian besar isi makalah harus dicurahkan untuk penjelasan dan analisis terhadap gagasan anda sendiri. Baik kreativitas maupun argumentasi yang berhati-hati akan sangat bernilai, di samping kejelasan dan keteraturan. Pernyataan opini anda sendiri belaka, tanpa alasan pendukungnya, tidak memadai. Opini dapat dicantumkan sebagai titik pangkal untuk penyelidikan lebih lanjut, tetapi wawasan asli lebih bernilai daripada opini yang tanpa dasar.
Apa berikutnya? (Pembaca yang bukan mahasiswa [saya] silakan melompati jawaban atas pertanyaan ini dan dua paragraf di bawahnya.) Lembar mawas mesti dipakai sebagai basis diskusi, baik di dalam maupun di luar kelas. Untuk diskusi di dalam kelas, beberapa makalah akan dibacakan (secara anonim) di depan kelas. (Jika anda tidak ingin tulisan anda dibacakan di depan kelas, anda harus menulis di lembar anda sesuatu seperti “Harap lembar ini tidak dibacakan di kelas karena …” dan jelaskan alasannya.) Normalnya, makalah-makalah itu akan dikembalikan pada akhir tatap-muka berikutnya; kata-kata pentingnya akan digarisbawahi dan beberapa pertanyaan atau komentar yang relevan akan dituliskan di lembar makalah anda. Catatan itu tidak selalu mencerminkan sudut pandang dosen-anda sendiri, namun dimaksudkan untuk membantu anda dalam memikirkan dengan lebih mendalam persoalan yang diangkat di dalamnya.
Pertanyaan yang barangkali sekarang ada di benak kebanyakan pembaca dari kalangan mahasiswa adalah: bagaimana lembar mawas akan dinilai? Tentu saja, dosen-dosen tak pelak lagi akan mempunyai kriteria yang berlainan untuk menilai kelayakan-relatif tugas semacam itu. Tindakan saya sendiri adalah mencari keseimbangan antara kreativitas, kejelasan, dan ketegasan kritis (yakni mempertimbangkan seluk-beluk berbagai kemungkinan sudut pandang). Berikut ini skala penilaian kasar yang didasarkan langsung pada tiga kriteria itu. Lembar “A” adalah yang kuat di ketiga bidang. Lembar “B” harus kuat di dua bidang, walau agak lemah di bidang lainnya, atau kuat di satu bidang dan sedang-sedang saja di dua bidang lainnya. Berikutnya, lembar “C” bisa kuat di salah satu area dan lemah di dua area lainnya, atau sedang-sedang saja di ketiga area. Lembar “D” adalah yang tidak kuat di ketiga bidang dan benar-benar lemah di satu atau dua bidang. Adapun lembar mawas yang gagal ialah yang lemah di ketiga area; hal ini biasanya lantaran kebanyakan atau seluruh isinya cuma menyalin dari sumber lain, atau kandungannya tidak lain kecuali paparan cerita, peristiwa, dan sebagainya, tanpa upaya sama sekali untuk memikirkan implikasinya.
Sewaktu mengajar Pengantar Filsafat, saya beberapa kali menggunakan metode “lulus-gagal” untuk menilai lembar mawas: lembar-lembar dibubuhi tanda v jika mengandung isi filosofis yang cukup untuk mendapatkan sekurang-kurangnya nilai “C” dan diberi tanda minus jika di bawah level itu. (Dalam kasus itu, saya juga memberi tanda plus untuk menghargai makalah istimewa yang berstandar tinggi.) Kelebihan metode penilaian itu adalah bahwa, dengan melunakkan tekanan sebagian mahasiswa yang mungkin merasa menulis sesuatu hanya untuk mengesankan dosen, metode itu cenderung memberi rasa kebebasan yang lebih banyak untuk memilih topik-topik yang sesuai dengan minat mereka. Kelemahannya, tentu saja, adalah bahwa sebagian mahasiswa mungkin tidak berupaya keras untuk berlatih sebagai akibat dari mengetahui bahwa makalah yang sedang-sedang saja akan menerima nilai yang sama dengan makalah yang hebat.
Berlandaskan asumsi bahwa kebanyakan mahasiswa akan tertarik untuk belajar menulis lembar mawas dengan lebih baik, tak peduli apakah (atau bagaimanakah) lembar itu dinilai, saya hendak menghabiskan jam kuliah ini dengan serangkaian saran untuk meningkatkan keterampilan anda di bidang ini. Pertama, anda jangan memilih topik sebelum anda memiliki wawasan dengan merenungkan topik yang tersedia. Kalau anda belum memilikinya, curahkanlah lebih banyak waktu untuk perenungan anda: pengembangan dayatangkap wawasan adalah disiplin yang memakan waktu! Pokoknya, anda harus melawan godaan untuk memperlakukan lembar mawas sebagai esai belaka, dengan memilih topik secara serampangan dan kemudian mencoba mereka-reka “wawasan” hanya untuk menjadikan makalah anda terlihat bagus. Apabila benak anda senantiasa terbuka dan merenungkan persoalan-persoalan yang anda cermati, maka akhirnya wawasan akan muncul; menyeleksi salah satu dari persoalan-persoalan itu untuk topik makalah anda akan memastikan bahwa anda mempunyai topik yang lebih menarik anda daripada kalau anda cuma memilih pertanyaan atau persoalan filosofis secara serampangan yang anda peroleh secara kebetulan.
Segera seusai anda mempunyai wawasan dan memilih topik berdasarkan wawasan ini, anda harus melakukan lebih daripada sekadar menyatakan wawasan anda. Dengan kata lain, anda jangan cuma mengajukan pertanyaan dan kemudian memberi jawaban yang “benar”. Alih-alih, anda harus menganalisis kesahihan wawasan anda dengan mempertimbangkan kemungkinan penolakan orang lain dan menyediakan alasan untuk menopang pandangan anda. Pendekatan semacam ini akan menghindarkan wawasan anda dari penampilan yang hanya menyerupai ungkapan opini anda. Karena alasan yang sama, anda harus mempertimbangkan berbagai kemungkinan pandangan—bahkan barangkali semua kemungkinan pandangan, kalau bisa. Artinya, anda harus memikirkan persoalan dari berbagai perspektif sebanyak mungkin.
Istilah “perspektif” itu akan menjadi salah satu istilah teknis terpenting pada keseluruhan matakuliah ini. Perspektif adalah cara pandang terhadap sesuatu, atau konteks umum untuk menafsirkan persoalan, dan sangat menentukan jenis jawaban yang akan diberikan. Salah satu pelajaran penting yang harus dipelajari seawal mungkin dalam pendidikan filsafat anda adalah bahwa pertanyaan yang sama dapat memiliki jawaban-jawaban benar yang berlainan, jika diambil perspektif yang berbeda. Hal ini akan banyak dibicarakan pada waktu kita menjalani matakuliah ini.
Komentar-komentar yang saya tuliskan di lembar mawas mahasiswa biasanya dimaksudkan untuk membantu dalam proses tersebut, proses melihat persoalan dari berbagai perspektif. Akibatnya, yang saya tulis di lembar mawas mahasiswa tidak selalu mencerminkan pandangan saya sendiri; saya lebih sering mengajukan pertanyaan yang saya rasa terlupakan dan karenanya sebaiknya dipertimbangkan jika dilakukan perenungan lebih lanjut terhadap topik itu. Jika anda membaca buku ini bukan sebagai buku-ajar kuliah, maka saya sarankan anda mencari teman yang berpikiran-filosofis yang bisa anda ajak bertukar lembar mawas. Bacalah dan berilah komentar makalah teman anda itu secara teratur, dengan tujuan saling membantu memperdalam pemikiran persoalan yang dibicarakan.
Saya banyak memusatkan perhatian pada pemerolehan keinsafan akan perspektif yang berlainan, karena inilah yang saya yakini paling signifikan, di antara segala keterampilan filosofis, dalam menyiapkan kita untuk mengarungi kehidupan dengan baik. Pernyataan Sokrates bahwa “kehidupan yang tak terperiksa bukan kehidupan yang berharga” (lihat Kuliah 5) itu benar hanya jika kita memiliki cara yang efektif untuk memeriksa kehidupan kita. Pemeriksaan-diri semacam itu memiliki dua segi yang berbeda, yang berhubungan dengan aspek kesadaran dan ketidaksadaran alam. Matakuliah ini hanya berkenaan dengan wawasan dan perspektif yang berhubungan dengan aspek pertama. Saya mengajar matakuliah lain tentang penakwilan mimpi dan pengembangan kepribadian yang terutama berkenaan dengan aspek kedua (lihat DW). Di matakuliah ini sebagaimana rangkaiannya, kesadaran akan perspektif merupakan kunci metode pemeriksaan-diri yang efektif. Tanpa itu, bagi kita wawasan kita tak akan lebih dari serangkaian prakonsepsi berat sebelah yang kita percayai tanpa tahu mengapa nyatanya kita mempercayainya, atau tanpa tahu apa pilihan-pilihannya. Namun dengan kesadaran semacam itu, kita pun dapat belajar menerima sahnya prakonsepsi tertentu, bila perspektif yang didukung oleh prakonsepsi itu terlihat lebih unggul daripada pilihan-pilihan lain. Pada faktanya, persoalan prakonsepsi itu amat mendasar untuk memahami hakikat dan fungsi filsafat. Oleh sebab itu, saya akan mencurahkan semua kuliah mendatang untuk memeriksa topik tersebut dengan lebih rinci.
3. Filsafat Laksana Mitos
Pernah ada pohon; namanya “Filsafat”. …
Di keseluruhan matakuliah ini, saya ingin kita semua memperlakukan cerita pendek tersebut seolah-olah sebagai kunci pintu alam filsafat. Gagasan serupa bisa kita ungkap dalam bentuk analogi yang lebih filosofis dengan mengatakan, “filsafat itu laksana pohon”. Dengan kata lain, kita asumsikan saja–sebagai titik tolak yang mapan untuk segala pemeriksaan kita–bahwa hakikat dan unsur-unsur pohon menunjukkan gelagat mengenai hakikat dan unsur-unsur filsafat. Akan tetapi, seperti halnya prakiraan tulus apa pun, kita tidak akan mati-matian mempertahankan titik tolak itu dengan bukti-bukti yang tak terbantah; yang bisa kita lakukan hanyalah meyakini nilai dan kebenarannya, dan kemudian merambah berbagai implikasinya. Andaikan hasil akhirnya kurang memuaskan, kita buang saja prakiraan itu, lalu kita bertolak lagi dengan hipotesis-hipotesis baru. Namun sementara ini, saya akan mengacu pada analogi tersebut berulang kali pada matakuliah ini dengan harapan memperoleh wawasan yang lebih luas dan lebih jelas dalam disiplin yang kita sebut “filsafat”.
Maksudnya, asumsi bahwa pernah ada pohon yang bernama “filsafat” itu akan berlaku sebagai mitos yang memandu dan menjaga kesatuan berbagai ide yang kita bahas di sini. Makna kata “mitos”, bila digunakan dengan cara itu, bukan “cerita khayalan atau takhayul” yang lazim terpakai dalam bahasa sehari-hari. Di sini, saya justru memanfaatkan arti spesialnya, yang digunakan oleh antropolog-antropolog dalam paparan mereka tentang primitifnya asal-usul agama. Sekarang saya hendak merambah pengertian baru kata “mitos”, bukan hanya supaya kita bisa memahami lebih jelas maksud ungkapan bahwa “pohon filsafat” itu akan berlaku sebagai mitos kita [sekurang-kurangnya pada matakuliah ini], melainkan juga karena, seperti yang akan kita bahas, filsafat itu sendiri banyak berasal dari pola pikir mitologis spesial tersebut.
Tentang bagaimana mitos berfungsi dalam masyarakat primitif, seperangkat penjelasan yang elok disodorkan pada Bab Pertama dalam Myth and Reality, karya Mircea Eliade, salah seorang cendekiawan abad keduapuluh yang paling berpengaruh dalam studi agama secara ilmiah. Karena makna yang ia rujuk pada kata “mitos” sangat mirip dengan asumsi yang saya maksud pada alinea di atas, saya hendak menyoroti beberapa hal penting yang ia catat. Yang paling berharga, ia mendefinisikan mitos sebagai suatu cerita lama tentang asal-usul dunia atau benda-benda di dunia, yang dengan berbagai jalan menjelaskan mengapa keberadaan manusia begitu adanya, atau mengapa norma-norma budaya masyarakat berkembang sedemikian rupa. Mitos Prometheus, misalnya, memberi tahu kita tentang asal-usul api di samping hal-hal lainnya. Subyek-subyek mitos yang paling umum di antaranya adalah kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan seksualitas, hubungan keluarga, dan kematian.
Pelaku dalam mitos-mitos itu biasanya dewa, sesuatu yang adikodrati, atau pahlawan dengan kekuatan yang adikodrati. Sayangnya, para penyimak modern cenderung kurang menyadari fakta bahwa cerita-cerita itu terutama berfungsi sebagai model perilaku manusia. Namun bagaimanapun, dalam seabad ini sudah ada upaya untuk memperlihatkan bahwa mitos-mitos kuno itu mengisahkan riwayat, berbicara tentang manusia. Psikolog Sigmund Freud, misalnya, berpendapat bahwa mitos Oedipus, orang yang ditakdirkan untuk membunuh ayahnya dan menikahi ibunya, mengemukakan riwayat tentang pengalaman kanak-kanak semua lelaki, bukan hanya anak yang hidup pada masa Yunani Kuno. (Untuk rincian lebih lanjut, lihat DW, Kuliah 8.) Secara demikian, alangkah baiknya bila dalam menyimak suatu mitos kuno, kita menganggap semua tokoh itu dalam hal tertentu menuturkan cerita tentang siapakah kita. Ketika saya membaca mitos sebagai riwayat hidup saya sendiri, maka sesuatu yang dulu tampak aneh dan tidak relevan tiba-tiba mengilhami makna baru.
Menurut Eliade, anggota-anggota suku menilai mitos mereka sebagai kisah yang paling sejati di antara semua kisah nyata. Kesejatiannya ditonjolkan berkali-kali oleh fakta bahwa mengaktifkan mitos dalam bentuk ritual memungkinkan mereka untuk berkuasa terhadap alam. Di samping itu, repetisi ritual kisah itu senantiasa menghidupkan mitos dalam jiwa dan benak orang-orang tersebut. Bahkan, tampaknya mereka memiliki dua jenis kisah yang berbeda. Pertama, cerita yang berhubungan dengan peristiwa yang berlangsung dalam kehidupan mereka sehari-hari; kedua, cerita yang berkaitan dengan kejadian yang berlangsung pada “masa mitologis” istimewa (yang terkadang diacu sebagai “masa impian”). Dalam bahasa Jerman, ada perbedaan di antara dua macam kisah ini. Untuk memaparkan cerita-cerita biasa, dipakai kata historie, sedangkan untuk memaparkan cerita-cerita dengan makna spesial yang lebih mendalam, digunakan kata geschichte. Jadi, kata heilsgeschichte mengacu pada “sejarah suci” istimewa yang eksis, sebagaimana adanya, pada tingkat yang beda dari sejarah biasa.
Walaupun laporan Eliade itu sangat cermat sebagai paparan tentang mitos yang terdapat pada kebudayaan primitif, saya ingin menanamkan kesan bahwa, dengan sedikit revisi, kita bisa mendapati unsur mitologis dalam setiap kebudayaan, yang mana pun, termasuk kebudayaan kita sendiri. Mula-mula, alih-alih, saya sarankan agar pengertian mitos tidak kita batasi pada “cerita lama”, tetapi kita perluas sehingga mencakup segala keyakinan, riwayat, dan rancangan yang diperlakukan sebagaimana fungsi legenda bagi orang-orang primitif. Dengan kata lain, segala hal yang kita manfaatkan untuk menjelaskan mengapa hal-hal sedemikian adanya, atau segala sesuatu yang kita gunakan sebagai model untuk perilaku kita, bisa kita anggap sebagai mitos. Dengan cara ini, kita sisihkan tuntutan bahwa tokoh-tokoh di dalam mitos sangat jauh dari diri kita dan bahwa unsur-unsur ceritanya terlalu aneh bagi indera modern.
Tentu saja, tidak semua penjelasan tentang realitas bersifat mitologis, sehingga kriteria Eliade mengenai nilai kebenaran mitos perlu kita ingat. Akan tetapi, saya pikir kita harus menolak kesaksiannya bahwa mitos melambangkan kebenaran yang paling sejati di antara yang benar. Alih-alih, saya percaya corak penentu keyakinan mitologis, selama mengenai nilai kebenarannya, adalah bahwa maknanya menjadikan mitos melampaui pertanyaan.[iv][4] Dengan kata lain, bagi orang yang “hidup dengan bermitos”, pertanyaan tentang tepat atau sesatnya cerita atau keyakinan atau pandangan itu tidak relevan. Begitulah mitos. Dengan kata lain, pada tingkat sedalam itu bisa dimengerti bahwa mempertanyakannya pun tak terpikir sama sekali. (Revisi pandangan tentang nilai kebenaran mitos digambarkan oleh diagram yang terlihat di Gambar I.4.) Itu bukan berarti bahwa orang-orang yang hidup dengan bermitos tidak mampu mengajukan pertanyaan tentang makna mitos mereka, melainkan justru sebaliknya. Pembahasan pertanyaan-pertanyaan semacam itu acapkali memainkan peranan penting dalam masyarakat-masyarakat yang diatur dengan mitos tertentu. Satu-satunya pertanyaan yang tidak pernah timbul adalah pertanyaan dasar tentang apakah mitos itu sendiri benar ataukah tidak.
sejarah:
riwayat, keyakinan, dan
lain-lain yang nyata
mitos:
riwayat, keyakinan, dan hal-hal mempertanyakan
maknawi lain yang tak dipersoalkan
dongeng:
riwayat, keyakinan, dan
lain-lain yang khayal
Gambar I.4: Nilai Kebenaran Mitos
Bilamana keyakinan akan mitos mereka dipersoalkan oleh orang lain, maka mereka sangat enggan untuk menanggapinya. Pernyataan Eliade bahwa mitos diyakini sebagai “yang paling sejati” di antara kisah-kisah nyata itu bersandar pada kesalahpahaman akan tanggapan itu. Orang-orang primitif itu secara naluriah mengetahui bahwa gagasan “kebenaran” tidak cocok sama sekali jika diterapkan pada mitos. Mempersoalkan “kebenaran” mitos berarti menyalahpahami makna mitos. Klaim Eliade tersebut lebih merupakan ide-ide prakiraan yang bersumberkan data dari bacaan antropolog-antropolog daripada niat aktual orang-orang primitif tersebut. Karena itu, demi tujuan kita, istilah “mitos” mengacu pada segala keyakinan yang maknanya sangat dekat dengan jalan hidup orang yang tak pernah mempertimbangkan pengajuan pertanyaan “Benar atau salahkah ini?”
Kini saya harap anda mengerti dengan lebih jelas apa yang saya maksud ketika saya mengatakan bahwa cerita tentang suatu pohon yang berjuluk “Filsafat” akan menjadi mitos kita yang memandu matakuliah ini. Maksudnya, saya ingin anda mengakui kebenaran analogi “filsafat itu seperti pohon” begitu saja tanpa mempertanyakannya. Selanjutnya, saya menghendaki, gambar pohon filsafat berlaku sebagai model untuk segala perenungan anda mengenai apakah filsafat itu. Dengan melakukannya, akan anda dapati bahwa anda mempunyai semacam daya untuk memahami wawasan-wawasan filosofis yang biasanya di luar jangkauan para pemula. Namun sebelum kita mulai merambah beberapa wawasan filosofis itu, saya berniat mengulas asal-usul mitologis filsafat itu sendiri.
Sebagian besar sejarah kebudayaan biasanya menoleh ke “zaman keemasan” yang kehidupan manusianya sangat berbeda dengan kehidupan masa sekarang. Kerinduan untuk kembali ke zaman keemasan ini (yang pada umumnya berkaitan erat dengan “masa impian” atau “masa mitologis” yang disebut di atas) merupakan penggerak perubahan-perubahan kebudayaan. Bagi orang-orang Yahudi terdahulu, zaman keemasannya adalah Taman Surga, yang di dalamnya Adam dan Hawa “berjalan-jalan dengan Allah di suatu sore hari yang sejuk”. Bagi orang Cina pada era Konfusius (551-479 S.M.), zaman keemasannya ialah periode “kaisar-kaisar bijaksana”, tatkala Cina diperintah dengan alim dan murah hati. Karena filsafat Barat, yang merupakan fokus utama kuliah ini, bermula di Yunani Kuno, perlu dicatat bahwa orang-orang Yunani itu juga mempercayai zaman keemasan. Oleh sebab itu, mari kita tengok secara ringkas sejarah Yunani Kuno supaya kita beroleh beberapa pahaman tentang bagaimana filsafat lahir dari mitos.
Beberapa cendekiawan yakin, impian zaman keemasan di Yunani Kuno mengacu pada kebudayaan Minos-Misena, yang pudar pada masa Perang Troya (kira-kira 1200 S.M.). Zaman itu merupakan inspirasi untuk perekaan mitos-mitos Yunani (lihat MM 87-89 dan BM 213-215, 278). Perkembangan yang paling signifikan berikutnya dalam sejarah Yunani adalah “penciptaan epos-epos Homer [kira-kira 900 S.M.], yang bahan-bahannya meluncur dari kompleks mitos ini” (MM 88, BM 464). Epos-epos ini mengalihkan pelbagai mitos yang tak teratur menjadi bentuk yang puitis, sehingga makna mitos menjadi lebih gamblang (BM 256 dst.). Akan tetapi, budi (consciousness) manusia belum mencapai wujud modern seperti yang kita kenal saat ini. Menurut Jaynes, baru “pada abad keenam S.M.” pola pikir primitif tergusur oleh “akal budi subyektif” modern kita (BM 259-260, 285-286)–pada sekitar waktu itulah tampil filsuf pertama di Yunani Kuno, yang bernama Thales (kira-kira 624-546 S.M.). Ini lalu diikuti dengan kegiatan filosofis yang mendalam selama tiga abad, yang memuncak dengan karya seorang filsuf yang bernama Aristoteles (384-322 S.M.). Karya Aristoteles itu signifikan karena, sebagaimana yang akan kita amati pada Kuliah 6, dialah filsuf utama Yunani yang mula pertama membangun suatu sudut pandang “ilmiah”, dalam pengertian yang modern. Jika kita tempatkan perkembangan-perkembangan besar tersebut pada suatu jalur waktu; sketsa kasar sejarah Yunani Kuno itu terlihat seperti ini:
1200 900 600 300 0
zaman mitos sastra filsafat ilmu
keemasan
Perang Epos Thales Aristoteles Yesus
Troya Homerik
Gambar I.5: Alur Sejarah di Yunani Kuno
Selang tigaratus tahun antara perubahan-perubahan utama yang dilambangkan dalam diagram itu tentu saja hanya perkiraan waktu kejadian perubahan yang sebenarnya. Namun bagaimanapun, adalah signifikan bahwa sejarah sendiri menyiratkan pola perkembangan yang teratur tersebut. Pola itu pada faktanya mengingatkan kita kepada rupa arloji, yang terdiri atas duabelas bagian (jam/abad) yang dikelompokkan dalam empat perempatan. (Di Pekan V kita akan memeriksa struktur logis pola ini, yang juga menyediakan basis untuk pengorganisasian bab-bab di buku ini.) Yang menarik, keseluruhan periode peradaban Yunani Kuno itu diakui oleh beberapa orang sebagai “zaman keemasan”–suatu fakta yang menyiratkan bahwa pola tersebut adalah sesuatu yang berulang sendiri secara terus-menerus. Jika demikian, maka cara baik lainnya untuk menggambarkan pertalian antara empat perkembangan itu adalah memetakannya ke dalam gambar rupa arloji (yakni sebuah lingkaran yang terbagi atas empat kuadran).
Jika sekarang kita ingat kembali fakta bahwa kalender modern (Masehi) kita berawal pada titik hentian Gambar I.5 (yaitu tahun kelahiran Yesus, sekalipun bukan di Yunani), maka kita bisa menyaksikan bahwa cara terbaik untuk memetakan jalur-waktu itu pada lingkaran ialah membalikkannya (dengan cara menukar posisi antara angka 9:00 dan angka 3:00), sebagaimana penghitungan tahun S.M. (Sebelum Masehi) kita yang berkebalikan dengan penghitungan tahun Masehi kita. Hal ini menghasilkan peta bentuk-bentuk pemikiran manusia yang saling berhubungan yang terlihat di Gambar I.6.
Perang Troya
ilmu mitos
Aristoteles Homer
filsafat sastra
Thales
Gambar I.6: Empat Bentuk Pemikiran di Yunani Kuno
Saya ingin mengakhiri jam kuliah ini dengan menanamkan sebuah cara lebih lanjut untuk bisa memahami bagaimana empat ide tersebut–mitos, sastra, filsafat, dan ilmu–saling berhubungan. Kelirulah perkiraan bahwa tiada hubungan historis selain kebetulan belaka antara keempat ide itu. Pada aktualnya, ada landasan logis bagi pertalian tersebut, seperti yang tergambar dalam diagram yang terdapat pada Gambar I.7. Hidup dengan bermitos adalah seperti tinggal di suatu lingkaran tanpa mengetahui hal-hal tentang keberadaan lingkaran itu sendiri. Ini karena pemikiran mitologis itu bebal perihal tapal batasnya. Para pujangga menarik diri dari lingkaran mitos secukupnya sehingga mengakui eksistensi tapal batas itu. Sastra merupakan upaya untuk melisankan makna mitos dengan cara sedemikian rupa sehingga maknanya bisa dipahami oleh orang-orang yang sepenuhnya tinggal di luar tapal batas. Karenanya pujangga tinggal di tapal batas itu.
Sebaliknya, para filsuf melangkah sepenuhnya di balik tapal batas. Akan tetapi, mereka masih cukup dekat dengan “lingkaran” mitos sehingga mereka mengakui realitas dan signifikansi “makna tersembunyi” yang terkandung di dalam ekspesi puitis mitos. Filsuf berupaya menjelaskan makna itu dengan cara yang lebih harfiah atau lebih obyektif: sementara pujangga bisa menulis karya sastra tanpa secara eksplisit mempertanyakan mitos, filsuf harus mempertanyakan mitos. Memang itulah salah satu dari tugas-tugas utama filsafat. Berbeda dengan para filsuf, para ilmuwan menarik diri mereka sendiri sejauh-jauhnya dari alam mitos sehingga mereka tidak bisa lagi mengamati adanya makna tersembunyinya sama sekali. Filsuf mempertanyakan nilai kebenaran mitos (yakni masih membuka kemungkinan untuk mencari kebenaran yang terungkap di dalamnya), sedangkan ilmuwan menolak mitos karena hanya merupakan “cerita bohong” (lihat Gambar I.4). Para ilmuwan tinggal sebegitu jauh dari mitos sehingga, jika mereka memandang lingkaran mitos sepenuhnya, mitos itu hanya tampak sebagai satu titik di kejauhan tanpa isi yang maknawi.
ilmu
sastra
filsafat
mitos
Gambar I.7: Peta Empat Bentuk Pemikiran Manusia
Jelas bahwa penggunaan sehari-hari istilah “mitos” itu kita dapatkan maknanya dari kecenderungan budaya modern kita yang menaruh kepercayaan mutlak kepada sains. Namun ironisnya, cara kita dalam memakai istilah kunci ini menyingkapkan bahwa ilmu itu sendiri mempunyai beberapa ciri seperti mitos, umpamanya kebebalan akan garis-garis tapal batasnya. Nah, ini menimbulkan pertanyaan apakah empat bentuk pemikiran dasar tersebut bisa berfungsi sebagai lingkaran, yang dengannya ilmu itu sendiri pada bentuknya yang paling ekstrim merupakan semacam mitos juga. Karenanya, salah satu tugas utama kita dalam matakuliah ini, bila kita hendak menjadi filsuf yang baik dalam suasana sekarang ini, adalah mempersoalkan hak eksklusif pandangan dunia ilmiah atas benak kita. Oleh sebab itu, pada pekan depan, kita akan bertolak dari pemeriksaan sifat melingkarnya empat bentuk pemikiran manusia itu dengan lebih rinci. Lalu kita akan menaruh perhatian khusus pada perkembangannya di Yunani kuno, yang di dalamnya dihasilkan dua sistem filsafat yang paling berpengaruh, yaitu sistem-sistem yang melambangkan dua cara utama berfilsafat (bandingkan dengan Gambar I.2) sedemikian efektif sehingga sistem-sistem itu terus mengandung buah wawasan hingga hari ini.
Pertanyaan Perambah
- A. Apakah filsafat itu?
B. Bagaimana filsafat menyerupai pohon?
…………………………
- A. Apakah pertanyaan itu, dan mengapa itu penting dalam filsafat?
B. Bagaimana pemeriksaan-diri yang filosofis berbeda dengan yang lainnya?
…………………………
…………………………
- A. Apakah memiliki ide-ide filosofis cukup untuk menjadikan anda filsuf?
B. Apakah wawasan (insight) itu?
…………………………
…………………………
- A. Mungkinkah sebelum ada filsafat, manusia telah berbudi (conscious), [yakni memiliki alat batin yang merupakan paduan akal dan perasaan sehingga mampu menimbang baik-buruk]?
B. Adakah mitos-mitos modern kita?
…………………………
…………………………
Bacaan Anjuran
- Shel Silverstein, The Giving Tree (New York: Harper & Row, 1964).
- Gary E. Kessler, Voices of Wisdom 3rd Edition (Belmont, Ca.: Wadsworth Publishing Company, 1998[1992]), Bab 1, “What Is Philosophy?”, pp. 1-11.
- Richard Osborne, Philosophy for Beginners (New York: Writers and Readers Publishing, Inc., 1992).[v][5]
- Robert Paul Wolff, About Philosophy 5th Edition (Englewood Cliffs, N.J.: Prentice Hall, 1992[1976]), Bab 1, “What Is Philosophy?”, dan Lampiran “How to Write a Philosophy Paper”, pp. 1-37, 452-472.
- Roger L. Dominowski dan Pamela Dallob, “Insight and Problem Solving”, Bab 2 dalam R.J. Sternberg dan J.E. Davidson (ed.), The Nature of Insight (Cambridge, Mass.: MIT Press, 1995), pp. 33-62.
- Mircea Eliade, Myth and Reality (London: George Allen & Unwin, 1964), Bab Satu, “The Structure of Myths”, pp. 1-20.
- Richard A. Underwood, “Living by Myth: Joseph Campbell, C.G. Jung, and the Religious Life-Journey”, Bab 2 dalam D.C. Noel (ed.), Paths to the Power of Myth (New York: Crossroad, 1990), pp. 13-28.
- Julian Jaynes, The Origins of Consciousness in the Breakdown of the Bicameral Mind, Bab I.3 dan II.3, “The Mind of Iliad” dan “The Causes of Consciousness”, (BM 67-83, 205-222).
Catatan Penerjemah
[i][1] Kata Indonesia “ilmu” berasal dari kata Arab ‘ilm yang berarti “pengetahuan”.
[ii][2] Pada teks aslinya, Palmquist menulis “phileo” dan “sophia”, tetapi ia menyetujui perubahan yang saya buat.
[iii][3] Sangat bolehjadi, istilah-istilah khas (baik Inggrisnya maupun Indonesianya) di dalam buku ini memiliki definisi yang berbeda dengan makna yang selama ini anda pahami. Mengingat akan besarnya kebolehjadian ini, Daftar Definisi Istilah akan sangat membantu anda dalam menghindari kesalahpahaman.
[iv][4] Apa maksudnya? Palmquist menjelaskannya sebagai berikut. Kebermaknaan (subyektif) mitos bagi orang yang mempercayainya menyebabkan orang itu secara total tidak tertarik dan/atau tidak berkehendak untuk menyerahkan kepercayaan itu kepada penyidikan rasional yang disarankan oleh orang yang mengajukan pertanyaan tentang keabsahannya. (Orang yang memiliki suatu keyakinan mitologis mungkin cukup terbuka lebar-lebar untuk mengajukan sejenis pertanyaan tertentu, semisal “apa yang saya maksudkan dengan keyakinan ini?”; jenis pertanyaan yang tidak dibolehkan ialah “apakah pada kenyataannya kepercayaan ini benar?”)
[v][5] Edisi Indonesianya, Filsafat untuk Pemula, diterbitkan oleh Kanisius, Yogyakarta.
Send comments (in English) to: StevePq@hkbu.edu.hk
Back to the Index of Pohon Filsafat.
Back to the English version of The Tree of Philosophy.
Back to the listing of Steve Palmquist’s published books.
Back to the main map of Steve Palmquist’s web site.
This page was first placed on the web on 27 April 2003.
(Dikutip dan diselaraskan dari http://www.media.isnet.org dengan beberapa modifikasi, untuk keperluan diskusi pada Mata Kuliah Metodologi Studi Islam di PUTM Yogyakarta)
[1][1] Kata Indonesia “ilmu” berasal dari kata Arab ‘ilm yang berarti “pengetahuan”.
[1][2] Pada teks aslinya, Palmquist menulis “phileo” dan “sophia”, tetapi ia menyetujui perubahan yang saya buat.
[1][3] Sangat bolehjadi, istilah-istilah khas (baik Inggrisnya maupun Indonesianya) di dalam buku ini memiliki definisi yang berbeda dengan makna yang selama ini anda pahami. Mengingat akan besarnya kebolehjadian ini, Daftar Definisi Istilah akan sangat membantu anda dalam menghindari kesalahpahaman.
[1][4] Apa maksudnya? Palmquist menjelaskannya sebagai berikut. Kebermaknaan (subyektif) mitos bagi orang yang mempercayainya menyebabkan orang itu secara total tidak tertarik dan/atau tidak berkehendak untuk menyerahkan kepercayaan itu kepada penyidikan rasional yang disarankan oleh orang yang mengajukan pertanyaan tentang keabsahannya. (Orang yang memiliki suatu keyakinan mitologis mungkin cukup terbuka lebar-lebar untuk mengajukan sejenis pertanyaan tertentu, semisal “apa yang saya maksudkan dengan keyakinan ini?”; jenis pertanyaan yang tidak dibolehkan ialah “apakah pada kenyataannya kepercayaan ini benar?”)
[1][5] Edisi Indonesianya, Filsafat untuk Pemula, diterbitkan oleh Kanisius, Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar