STIT AT-TAQWA CIPARAY BANDUNG

Jumat, 15 Maret 2013

Sejarah dan Perkembangan ‘ulumul Quran

Ulumul Qur’an itu sendiri bermula dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tetapi saat itu Rasulullah tidak mengizinkan mereka menuliskan sesuatu dari dia selain Qur’an, karena ia khawatir Qur’an akan tercampur dengan yang lain. “ Muslim meriwayatkan dari Abu Sa’id al-khudri, bahwa Rasulullah berkata :
(( لاتكتبواعني ومن كتب عني غير القرآن فليمحه وحدثواعني ولاحرج ومن كذب علي متعمدا فليتبوأمقعده من النار )) 1
Janganlah kamu tulis dari aku; barang siapa yang menuliskan dari aku selain Qur’an, hendaklah dihapus. Dan ceritakan apa. yang dariku; dan itu tiada halangan baginya. Dan barang siapayang sengaja berdusta atas namaku, ia akan menempati tempatnyadi api neraka.”
Sekalipun sesudah itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam baru mengizinkan kepada sebagian sahabat untuk menulis hadist, tetapi hal yang berhubungan dengan Qur’an, para sahabat menulis tetap didasarkan pada riwayat yang melalui petunjuk di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dimasa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar radhiallahu ‘anhuma.
Kemudian datang masa kekhalifahan Usman radhiallahu ‘anhu dan keadaan menghendaki untuk menyatukan kaum muslimin pada satu mushaf. Dan hal itu pun terlaksana. Mushaf itu disebut mushaf imam. Salinan salinan mushaf itu juga dikirimkan ke beberapa provinsi. Penulisan mushaf tersebut dinamakan Rasmul ‘Usmani yaitu dinisbahkan kepada Usman radhiallahu ‘anhu. Dan ini dianggap sebagai permulaan dari ‘Ilmu Rasmil Qur’an.2
Kemudian datang masa kekhalifahan Ali radhiallahu ‘anhu. Dan atas perintahnya, Abul Aswad ad-Du’ali meletakkan kaidah kaidah Nahwu, cara pengucapan yang tepat, baku, dan memberikan ketentuan harakat pada Qur’an. Ini juga dianggap sebagai permulaan ‘Ilmu I’rabil Qur’an. Para sahabat senantiasa melanjutkan usaha mereka dalam menyampaikan makna-makna Al-Qur’an dan penafsiran ayat-ayatnya yang berbeda-beda dalam memahami serta karena adanya perbedaan lama dan tidaknya mereka hidup bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Hal yang demikian diteruskan oleh murid-murid mereka, yaitu para tabi’in.
Diantara para mufasir yang termasyhur dari para sahabat adalah empat orang khalifah, kemudian Ibn Mas’ud, Ibn ‘Abbas, Ubai bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa al- Asy’ari dan Abdullah bin Zubair.3
Banyak riwayat mengenai tafsir yang diambil dari Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud, dan Ubai bin Ka’ab. Dan apa yang diriwayatkan dari mereka tidak berarti sudah merupakan tafsir Al-Qur’an yang sempurna. Tetapi terbatas hanya pada makna beberapa ayat dengan penafsiran tentang apa yang masih samar dan penjelasan apa yang masih global. Mengenai para tabi’in, diantara mereka ada satu kelompok terkenal yang mengambil ilmu ini dari para sahabat disamping mereka sendiri bersungguh-sungguh atau melakukan ijtihad dalam menafsirkan ayat.
Diantara murid-murid Ibn Abbas di Mekkah yang terkenal ialah Sa’id bin jubair, Mujahid, ‘Ikrimah mantan sahaya (maula) Ibn Abbas, Tawus bin Kisan al-Yamani dan ‘Athaa’ bin Abi Rabaah. Dan terkenal pula diantara murid-murid Ubai bin Ka’b di madinah, Zaid bin Aslam, Abul ‘Aliyah dan Muhammad bin Ka’b al-Qurazi.
Dari murid-murid Abdullah bin Mas’ud di Irak yang terkenal ‘Alqamah bin Qais, Masruq, al-Aswad bin Yazid, ‘Amir asy-Sya’bi, Hasan al-Basri dan Qatadah bin Di’amah as-Sadusi. Ibnu Taimiyah berkata : “Adapun mengenai Ilmu tafsir, orang yang paling tahu adalah penduduk Mekkah, karena mereka sahabat Ibn Abbas, seperti Mujahid, ‘Athaa’ bin Abi Rabaah, ‘Ikrimah maula Ibn Abbas dan sahabat sahabat Ibn Abbas lainnya. Begitu juga penduduk Kufah dari sahabat Ibn Mas’ud dan mereka itu mempunyai kelebihan dari ahli tafsir yang lain. Ulama penduduk Madinah dalam ilmu tafsir diantaranya adalah Zubair bin Aslam, Malik dan anaknya Abdurrahman serta Abdullah bin Wahab.
Dan yang diriwayatkan dari mereka itu semua meliputi ilmu Tafsir, ilmu Gariibil Qur’an, ilmu Asbaabun Nuzuul, ilmu Makki Wal Madani, dan ilmu Nasikh dan Mansukh. Tetapi semua itu tetap didasarkan pada riwayat dengan cara didiktekan.
Pada abad kedua hijri tiba masa pembukuan (tadwiin)yang dimulai dengan pembukuan hadist dengan segala babnya yang bermacam-macam; dan itu juga menyangkut hal berhubungan dengan tafsir. Maka sebagian ulama membukukan tafsir al-Qur’an yang diriwayatkan dari Rasulullahshallallahu ‘alaihi wasallam , dari para sahabat atau dari para tabi’in.
Diantara mereka itu, yang terkenal adalah Yazid bin Harun as-Sulami (wafat 117H), Syu’bah bin Hajjaj (wafat 160H), Waki’ bin Jarraah (wafat 197H), Sufyan bin ‘Uyainah (wafat 198), dan ‘Abdurrazzaq bin hammam (wafat 112H).Mereka semua adalah para ahli hadist. Sedang tafsir yang mereka susun merupakan salah satu bagiannya. Namun tafsir mereka yang tertulis tidak ada yang sampai ke tangan kita.Kemudian langkah mereka diikuti oleh segolongan ulama. Mereka menyusun tafsir Qur’an yang lebih sempurna berdasarkan susunan ayat. Dan yang paling terkenal diantara mereka ada Ibn Jarir at-Tabari (wafat 310H).
Demikianlah tafsir pada mulanya dinukilkan (dipindahkan) melalui penerimaan (dari mulut ke mulut) dari riwayat, kemudian dibukukan sebagai salah satu bagian hadist, selanjutnya ditulis secara bebas dan mandiri. Maka berlangsunglah proses kelahiran at-Tafsir bil ma’sur (berdasarkan riwayat), lalu diikuti oleh at-tafsir bir ra’yi (berdasarkan penalaran).
Disamping ilmu tafsir, lahir pula karangan yang berdiri sendiri mengenai pokok-pokok pembahasan tertentu yang berhubungan dengan Qur’an, dan hal ini sangat diperlukan oleh seorang mufasir.Pada abad ketiga hijri, ada :
- Ali bin al-Madani (wafat 234H), guru Bukhari, menyusun karangannya mengenai asbaabun nuzuul.
- Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Salam (wafat 224H), menulis tentang Nasikh-Mansukh dan Qira’aat.
- Ibn Qutaibah (wafat 276H), menyusun tentang problematika Qur’an / Musykilatul Qur’an.

Pada abad keempat hijri, ada :
- Muhammad bin khalaf bin Marzaban (wafat 309H), menyusun al-Haawii faa ‘Uluumil Qur’an.
- Abu Muhammad bin Qasim al-Anbari (wafat 351H), juga menulis tentang ilmu-ilmu Qur’an.
- Abu Bakar as-Sijistani (wafat 330H), menyusun Ghariibil Qur’an.
- Muhammad bin Ali al-Adfawi (wafat 388H), menyusun al-Istignaa’fi ‘Uluumil Qur’an.

Kemudian kegiatan karang mengarang dalam hal ilmu ilmu Qur’an tetap berlangsung sesudah itu, seperti :
- Abu Bakar al-Baqalani (wafat 403H), menyusun I’jazul Qur’an.
- Ali bin Ibrahim bin Sa’id al-Hufi (wafat 430H), menulis mengenai I’raabul Qur’an.
- Al-Mawardi (wafat 450H), menyusun tentang tamsil-tamsil dalam Qur’an (Amsaalul Qur’an).
- Al-‘Izz bin ‘Abdus Salam (wafat 660H), menyusun tentang majaz dalam Qur’an.
- ‘Alamuddin as-Sakhawi (wafat 634H), menulis mengenai ilmu Qira’at (cara membaca Qur’an) dan Aqsaaul Qur’an.4
Setiap penulis dalam karangannya itu menulis bidang dan pembahasan tertentu yang berhubungan dengan ilmu-ilmu Qur’an.Sedang pengumpulan hasil pembahasan dan bidang-bidang tersebut mengenai ilmu-ilmu Qur’an, semuanya atau sebagian besarnya dalam satu karangan, maka Syaikh Muhammad ‘Abdul ‘Aziim az-Zarqaani menyebutkan didalam kitabnya Manaahilul ‘Irfan fi ‘Uluumil Qur’an bahwa ia telah menemukan didalam perpustakaan Mesir sebuah kitab yang ditulis oleh Ali bin Ibrahim bin Sa’id yang terkenal dengan al-Hufi, judulnya al-Burhaan fi ‘uluumil Qur’an yang terdiri atas tiga puluh jilid.

Pengarang membicarakan ayat-ayat Qur’an menurut tertib mushaf. Dia membicarakan ilmu-ilmu Qur’an yang dikandung ayat itu secara tersendiri, masing-masing diberi judul sendiri pula, dan judul yang umum disebut dengan al-Qaul fii Qaulihi ‘Azza wa jalla (pendapat mengenai firman Allah ‘Azza wa jalla). Kemudian dibawah judul ini dicantumkan:
- al-Qaul fil I’rab (pendapat mengenai morfologi)
- al-Qaul fil ma’naa wat Tafsir (pendapat mengenai makna dan tafsirnya)
- al-Qaul fil waqfi wat tamaam ( pendapat mengenai tanda berhenti dan tidak)
Sedangkan Qira’at diletakkan dalam judul tersendiri pula, yang disebut al-Qaul fil Qira’at (pendapat mengenai qira’at). Dan kadang ia berbicara tentang hukum-hukum dalam Qur’an. Dengan metode seperti ini, al-Hufi (wafat 330H) dianggap sebagai orang pertama yang membukukan ‘Ulumul Qur’an/ ilmu-ilmu Qur’an. Meskipun pembukuannya memakai cara tertentu seperti yang disebut diatas.5
Kemudian karang mengarang tentang ilmu-ilmu Qur’an terus berlanjut, seperti ada :
- Ibnul jauzi (wafat 597H), dengan menulis sebuah kitab berjudul Funuunul Afnaan fi ‘Aja’ibi ‘Uluumil Qur’an.
- Badruddin az-Zarkasyi (wafat 794H), menulis sebuah kitab lengkap dengan judul al-Burhaan fi ‘Uluumil Qur’an.6
- Jalaluddin al-Balqini (wafat 824H), memberikan tambahan atas kitab al-Burhan didalam kitabnya Mawaqi’ul ‘Uluum min Mawaaqi’in Nujuum.7
- Jalaluddin as-Suyuti (wafat 911H), menyusun kitab yang terkenal al-Itqaan fi Uluumil Qur’an. Kepustakaan ilmu-ilmu Qur’an pada masa kebangkitan modern tidaklah lebih kecil daripada nasib ilmu-ilmu yang lain. Orang-orang yang menghubungkan diri dengan gerakan pemikiran islam telah mengambil langkah yang positif dalam membahas kandungan Qur’an dengan metode baru pula, seperti :
- Kitab I’jaazul Qur’an, yang ditulis oleh Mustafa Sadiq ar-Rafi’i.
- Kitab Tarjamatul Qur’an, oleh Muhammad Mustafa al-Maragi.
- Kitab Mas’alatu Tarjamatil Qur’an, oleh Mustafa Sabri.
- Kitab an-Naba’ul ‘Aziim, oleh Dr. Muhammad ‘Abdullah Daraz.
- Kitab Mukaddimah tafsir Mahaasinut Ta’wil, oleh Jamaluddin al-Qasimi.
- Kitab at-Tibyaan fi ‘uluumil Qur’an, oleh Syaikh Tahir al-Jaza’iri.
- Kitab Muzakkiraat ‘Uluumil Qur’an, oleh Syaikh Ahmad ‘Ali.8
Dan akhirnya muncul Kitab Mabaahisu fi ‘Uluumil Qur’an oleh Dr. Subhi as-Salih. Juga diikuti oleh Ustadz Ahmad Muhammad Jaml yang menulis beberapa studi sekitar masalah “Maa’idah”. Dalam Al-Qur’an.Pembahasan-pembahasan tersebut diatas dikenal dengan sebutan ‘ULUUMUL QUR’AN, dan kata ini telah menjadi istilah atau nama khusus bagi ilmu-ilmu tersebut.
1 Ibid, 6.

2 T.M. Hasbi as-Shiddieqy, ‘uluumul Qur’an, (Jakarta, Bulan Bintang, 1967) 6.

3 Muhammad Abd al-‘Azim al-Zarqani, Manaahil al-irfan fi ‘uluum al-Qur’an (Beirut: Daar Alfikr, jilid 1, 1988), 30.

4 Ibid, 31.

5 T.M. Hasbi as-Shiddieqy, ‘uluumul Qur’an, (Jakarta, Bulan Bintang, 1967) 14.

6 Rif’at Syauqy Nawawi, M Ali Hasan, Pengantar ilmu Tafsir, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988) 221.

7 Muhammad Abd al-‘Azim al-Zarqani, Manaahil al-irfan fi ‘uluum al-Qur’an (Beirut: Daar Alfikr, jilid 1, 1988), 36.


8 Rif’at Syauqy Nawawi, M Ali Hasan, Pengantar ilmu Tafsir, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988) 222.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar