Salah satu ciri utama berpikir filsafat atau berfilsafat adalah bertanya
dan terus mempertanyakan dalam upaya mencapai hakikat (kesejatian)
sesuatu yang dipertanyakan dengan jawaban yang benar. Dalam filsafat
sebuah pertanyaan melahirkan jawaban yang kembali dipertanyakan.
Karena obyek filsafat adalah semua jenis materi yang ada di alam ini, maka lahirlah suatu cabang filsafat yang disebut filsafat ilmu yang
karakteristiknya terkait dengan logika dan metodologi. Kadang-kadang
filsafat ilmu dikembangkan pengertiannya dengan metodologi. Jadi
filsafat ilmu ialah penyelidikan filosofis tentang ciri-ciri pengetahuan
ilmiah dan cara-cara untuk memerolehnya. Dengan kata lain filsafat ilmu
adalah penyelidikan lainjutan. Akan tetapi, yang perlu untuk dipahami
adalah bahwa filsafat ilmu itu pada dasarnya science of science.
Salah satu obyek kajian filsafat ilmu adalah membahas tentang esensi ilmu sendiri dan hal-hal yang terkait dengan taqdir dan qadar
atau penentuan nasib. Pembahasan yang demikian itu, adalah termasuk
masalah-masalah filosofis yang amat pelik dan rumit di kalangan para
pemikir Muslim sejak abad pertama hijriah. Yang jelas, masing-masing
ketiga masalah tersebut memiliki sistem kerja yang saling terkait satu
dengan lainnya.
Untuk mengetahui esensi ilmu serta kaitannya dengan masalah taqdir dan qadar,
maka pengkajiannya perlu ditinjau dengan pendekatan filosofis.
Sehingga, masalah yang perlu dibahas di sini adalah apa yang dimaksud
dengan ilmu, taqdir dan qadar serta bagaimana kerelevansiannya satu dengan lain.
B. Pengertian Ilmu
Kata ilmu berasal dari bahasa Arab, yakni‘ilmun yang berakar kata dari kata ‘alima-ya’lamu-‘ilmun yang berarti pengetahuan. Ilmu juga berarti pengetahuan yang jelas tentang se-suatu. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ilmu adalah pengetahuan, suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang (pengetahuan) itu.
Kata ilmu berasal dari bahasa Arab, yakni‘ilmun yang berakar kata dari kata ‘alima-ya’lamu-‘ilmun yang berarti pengetahuan. Ilmu juga berarti pengetahuan yang jelas tentang se-suatu. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ilmu adalah pengetahuan, suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang (pengetahuan) itu.
Sedangkan menurut The Liang Gie, ilmu adalah rangkaian aktivitas manusia
yang rasional dan kognitif dengan berbagai metode berupa aneka prosedur
dan tata langkah sehingga menghasilkan kumpulan pengetahuan yang
sistematis mengenai gejala-gejala alam dan kemasyarakatan dengan tujuan
mencapai kebenaran, memperoleh pemahaman, memberikan penjelasan atau
memperoleh penerapan.
Berdasar dari pengertian di atas, maka yang dimaksud ilmu adalah suatu
hasil yang diperoleh dari pemikiran manusia untuk mencari hakikat suatu
kebenaran dengan cara sistematis, baik mengenai alam dan manusia itu
sendiri.
C. Pengertian Takdir
Kata takdir berasal dari bahasa Arab, yakni taqdîr yang berakar kata dari kata qaddara yang berarti ukuran terhadap sesuatu atau memberi kadar. Menurut istilah, takdir adalah suatu ukuran yang sudah ditentukan Tuhan sejak zaman azali baik atau buruknya sesuatu, tetapi bisa saja berubah jika ada usaha untuk merubahnya. Sehingga, jika Allah telah mentaqdirkan demikian, maka itu berarti bahwa Allah telah memberi kadar/ukuran/batas tertentu dalam diri, sifat atau kemampuan maksimal makhluk-Nya. Kemampuan pada diri manusia inilah yang boleh berubah, dan terkadang memang mengalami perubahan disebabkan oleh usaha manusia itu sendiri.
Kata takdir berasal dari bahasa Arab, yakni taqdîr yang berakar kata dari kata qaddara yang berarti ukuran terhadap sesuatu atau memberi kadar. Menurut istilah, takdir adalah suatu ukuran yang sudah ditentukan Tuhan sejak zaman azali baik atau buruknya sesuatu, tetapi bisa saja berubah jika ada usaha untuk merubahnya. Sehingga, jika Allah telah mentaqdirkan demikian, maka itu berarti bahwa Allah telah memberi kadar/ukuran/batas tertentu dalam diri, sifat atau kemampuan maksimal makhluk-Nya. Kemampuan pada diri manusia inilah yang boleh berubah, dan terkadang memang mengalami perubahan disebabkan oleh usaha manusia itu sendiri.
Manusia mempunyai kemampuan terbatas sesuai ukuran yang diberikan oleh
Allah kepadanya. Manusia misalnya, ditakdirkan untuk tidak dapat
menembus angkasa luar, tetapi dengan akalnya ia mampu merubah takdir
itu, yakni dengan cara menciptakan suatu alat untuk sampai ke sana.
Quraish Shihab menyatakan bahwa dengan adanya takdir tidak menghalangi
manusia untuk berusaha menentukan masa depannya sendiri, sambil memohon
bantuan Ilahi.
C. Pengertian Qadar
Kata qadar berasal dari bahasa Arab, yakni al-qadr yang berarti menetapkan. Pengertian ini disepadankan dengan kata al-hukm artinya; penetapan, sehingga dalam al-Quran ditemukan istilah yang disebut dengan malam qadr yaitu malam yang ditetapkan oleh Allah atas perjalanan hidup makhluk selama setahun.
Kata qadar berasal dari bahasa Arab, yakni al-qadr yang berarti menetapkan. Pengertian ini disepadankan dengan kata al-hukm artinya; penetapan, sehingga dalam al-Quran ditemukan istilah yang disebut dengan malam qadr yaitu malam yang ditetapkan oleh Allah atas perjalanan hidup makhluk selama setahun.
Menurut istilah, qadar adalah ketetapan atau ketentuan Tuhan sejak azali
dan tidak ada satu makhluk pun yang dapat merubahnya. Dengan kata lain
qadar merupakan undang-undang, di mana manusia tidak mampu merubahnya.
Dalam ilmu kalam, istilah qadar ini disamakan dengan qadha, yakni
penetapan Allah yang tidak berubah-ubah.
Karena qadar merupakan ketetapan Allah, maka apa yang telah
ditetapkan-Nya tiada kuasa bagi makhluk-Nya untuk mengadakan perubahan
atas ketetapan tersebut. Misalnya saja, Allah telah menetapkan bagi
bulan suatu manzilah untuk mengelingi matahari, maka walau
bagaimana pun usaha manusia untuk merubahnya, sungguh sia-sialah
usahanya, karena qadarnya memang sudah demikian.
D. Relevansi Antara Ilmu, Taqdir dan Qadar
Relevansi yang dimaksud dalam kajian ini adalah adanya hubungan erat antara satu dengan lain, yaitu ilmu, taqdir dan qadar saling terkait. Dalam hal ilmu lahir dari proses berpikir manusia; dan dengan ilmu itu manusia mampu mengetahui berbagai ukuran-ukuran yang disebut taqdir dan ia juga mampu mengetahui ketentuan Tuhan yang disebut qadar. Pengetahuan (ilmu) tersebut, tentu saja lahir dari asas berfikirnya yang dituntun oleh wahyu.
Relevansi yang dimaksud dalam kajian ini adalah adanya hubungan erat antara satu dengan lain, yaitu ilmu, taqdir dan qadar saling terkait. Dalam hal ilmu lahir dari proses berpikir manusia; dan dengan ilmu itu manusia mampu mengetahui berbagai ukuran-ukuran yang disebut taqdir dan ia juga mampu mengetahui ketentuan Tuhan yang disebut qadar. Pengetahuan (ilmu) tersebut, tentu saja lahir dari asas berfikirnya yang dituntun oleh wahyu.
Indikasi di atas memberikan landasan bagi perumusan pandangan mengenai
hal-hal mendasar dalam tinjauan filosofis. Dengan dasar itu, maka dapat
dikatakan bahwa antara ilmu, taqdir dan qadar dalam Filsafat Ilmu memang
memiliki keterkaitan yang sangat erat menurut pandangan Islam. Salah
satu ayat yang dapat dijadikan dasar perumusan mengenai hal tersebut
adalah firman Allah dalam QS. Ali Imran ayat 190-191 sebagai berikut:
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ
وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ(190)الَّذِينَ يَذْكُرُونَ
اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي
خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا
سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ(191
Terjemahnya:
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal (190); (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka" (191).
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal (190); (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka" (191).
Dari ayat tersebut diperoleh gambaran tentang orang yang disebut sebagai ulul al-bâb, yang cirinya dapat diidentifikasi sebagai berikut:
1. Memiliki pandangan bahwa seluruh realitas yang ditunjukkan oleh
fenomena alam semesta adalah tanda-tanda adanya Allah dengan segala
ke-Maha-an dalam sifat-sifat-Nya (seperti Maha Kuasa, Maha Mengetahui,
Maha Agung, dan lain-lain) yang menciptakan alam semesta ini.
Peristiwa-peristiwa di alam semesta ini kesemuanya berada dalam
pengetahuan Tuhan dan sebagian kecilnya berada dalam pegetahuan atau
ilmu manusia. Peristiwa-peristiwa yang itu sementara ulama
menyimpulkannya sebagai sunnatullah yang tidak sepenuhnya cenderung dipersamakan dengan takdir. Alasannya, karena sunnatullah yang
digunakan oleh Alquran adalah hukum-hukum Tuhan yang pada dasarnya
tidak akan mungkin berubah. Sedangkan taqdir mencakup hukum-hukum atau
undang-undang alamiah yang mungkin saja dapat berubah, jika manusia
mempergunakan ilmunya dengan sebaik-baiknya. Kalau pun manusia tidak
mampu merubahnya, maka tetaplah hukum Tuhan itu sebagai sunnatullah dan itulah disebut dengan qadar. Misalnya saja, telah menjadi sunnatullah
bahwa air itu sifatnya hangat, tetapi air itu boleh ditaqdirkan menjadi
dingin dan panas. Tetapi bila saja, air yang hangat itu dibiarkan
begitu, maka ia tetap hangat dan itulah qadar yang ditetapkan Allah
atasnya.
2. Berfikir dalam keaadaan senantiasa sadar (zikir) akan Allah. Dengan
filosofi berfikir yang demikian itu ia memikirkan segala kejadian di
alam semesta, termasuk di dalamnya; memikirkan taqdir yang ada
dalam penciptaan bumi, sehingga mendorong dirinya untuk berikhtiar dan
menhhasilkan sesuatu dari tindakan-tindakannya sendiri. Kemudian, dari
pikirannya tersebut menghasilkan pengetahuan bahwa dalam pergantian
siang dan malam merupakan suatu qadar atau ketentuan mutlak, sehingga; (1)kesadaran keTuhanannya senantiasa terawat (ditunjukkan oleh cetusan kata Rabbana); dan (2)menemukan kejelasan makna (ilmu) tentang ketidaksia-siaan ciptaan Allah.
3. Menjadikan pengetahuannya beresensi sebagai doa. Dengan kata lain,
ketika bentuk penggunaan pengetahuan tersebut sebagai alat untuk
melaksanakan berbagai kegiatan duniawi yang merupakan taqdir, maka
ia berupaya mencegah dirinya menemui azab neraka, yang pada pengertian
hakikinya merupakan perwujudan ibadah kepada Allah, sehingga Allah lah
yang menentukan diterimanya doanya dan itulah qadar-nya (diterima atau tidak).
Manusia dengan ilmu pengetahuannya menjadikan dirinya ber-qudrah atau memiliki kekuatan melaksanakan kehendaknya, dan bukan tunduk pada taqdir (ukuran)Tuhan, akan tetapi ia tunduk pada qadar (ketentuan) Tuhan. Dengan ilmu atau pengetahuan yang dimilikinya, manusia mampu mengelola alam ini sesuai dengan taqdir-nya, tetapi terkadang terjadi hal-hal yang di luar kehendak atau keinginan manusia itu sendiri yang merupakan qadar yang ditetapkan oleh Tuhan.
Dengan demikian, posisi ilmu dan taqdir serta qadar jika ditinjau dengan pendekatan filosofis, sungguh akan bermuara pada adanya kerelevansian yang utuh.
Dari tinjauan filosofis, ditemukan adanya suatu kerelevansian antara ilmu dan taqdir serta qadar. Dalam hal ini, ilmu merupakan suatu pengetahuan yang dimiliki oleh manusia dan nilai kebenarannya relatif. Sedangkan taqdir merupakan ukuran tertentu bagi manusia untuk berbuat dan nilai kebenarannya spekulatif. Sementara Qadar merupakan ketentuan yang tidak dapat diganggu gugat oleh manusia dan nilai kebenarannya absolut.
Kepustakaan:
Asmoro, Acmadi. 1997. Filsafat Umum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Conny, Semiawan R. Putrawan Made, dan Setiawan. 1999. Dimensi Kreatif Dalam Filsafat Ilmu. Bandung: Remaja Rosda Karya
Gie, The Liang. 1991. Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberti
Muthahhari, Murthada. 1998. Perpektif Al-Quran Tentang Manusia dan Agama. Mizan
Nasution, Harun. 1986. Teologi Islam; Aliran-aliran, Analisa, Sejarah dan Perbandingan. Jakarta: UI Press
Rauf, A. Ma’mun. et al. 1993. Aqidah dan Aliran Kepercayaan. Ujung pandang: LSI-UMI
Rumi, Fuad. 1997. Materi Kuliah Filsafat Ilmu. Ujung Pandang: PPS UMI
Shihab, M. Quraish. 1997. Tafsir Al-Qur’an al-Karim; Tafsir atas Surat-surat Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu. Bandung: Pustaka Hidaya
Suriasumantri, Jujun S. 1990. Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: PT. Gelora Pranata Aksara
Asmoro, Acmadi. 1997. Filsafat Umum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Conny, Semiawan R. Putrawan Made, dan Setiawan. 1999. Dimensi Kreatif Dalam Filsafat Ilmu. Bandung: Remaja Rosda Karya
Gie, The Liang. 1991. Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberti
Muthahhari, Murthada. 1998. Perpektif Al-Quran Tentang Manusia dan Agama. Mizan
Nasution, Harun. 1986. Teologi Islam; Aliran-aliran, Analisa, Sejarah dan Perbandingan. Jakarta: UI Press
Rauf, A. Ma’mun. et al. 1993. Aqidah dan Aliran Kepercayaan. Ujung pandang: LSI-UMI
Rumi, Fuad. 1997. Materi Kuliah Filsafat Ilmu. Ujung Pandang: PPS UMI
Shihab, M. Quraish. 1997. Tafsir Al-Qur’an al-Karim; Tafsir atas Surat-surat Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu. Bandung: Pustaka Hidaya
Suriasumantri, Jujun S. 1990. Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: PT. Gelora Pranata Aksara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar