Pengantar
Sampai saat ini, pendidikan khususnya pendidikan formal masih diyakini sebagai sarana yang efektif untuk membudayakan berbagai nilai, sikap dan keterampilan yang berguna bagi kelangsungan hidup manusia. Berbagai krisis manusia moderenpun seperti krisis moral, krisis nilai, krisis kepercayaan, krisis keteladanan, krisis ilmu pengetahuan dan yang paling krusial adalah krisis kreatifitas dalam melakukan inovasi-inovasi baru pada berbagai bidang kehidupanpun diyakini dapat diatasi melalui penyelenggaraan pendidikan yang memberikan ruang bagi peserta didik untuk mengembangkan kreatifitasnya. Keyakinan ini tentunya dilandaskan pada adogium bahwa setiap generasi tentunya ingin mewariskan sesuatu kepada generasi penerusnya. Sesuatu itu menurut Ali Imron (2008: 3) dapat berupa pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai. Keyakinan yang sama juga disampaikan oleh Durkheim sebagaimana dikutip oleh George Ritzer dalam bukunya Sociological Theory (2004: 115) yang menyatakan bahwa pendidikan akan memberi idividu berbagai disiplin ilmu yang ia butuhkan untuk menghadapi berbagai krisis dalam hidupnya dan mengendalikan nafsu yang mengancam mereka.
Sampai saat ini, pendidikan khususnya pendidikan formal masih diyakini sebagai sarana yang efektif untuk membudayakan berbagai nilai, sikap dan keterampilan yang berguna bagi kelangsungan hidup manusia. Berbagai krisis manusia moderenpun seperti krisis moral, krisis nilai, krisis kepercayaan, krisis keteladanan, krisis ilmu pengetahuan dan yang paling krusial adalah krisis kreatifitas dalam melakukan inovasi-inovasi baru pada berbagai bidang kehidupanpun diyakini dapat diatasi melalui penyelenggaraan pendidikan yang memberikan ruang bagi peserta didik untuk mengembangkan kreatifitasnya. Keyakinan ini tentunya dilandaskan pada adogium bahwa setiap generasi tentunya ingin mewariskan sesuatu kepada generasi penerusnya. Sesuatu itu menurut Ali Imron (2008: 3) dapat berupa pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai. Keyakinan yang sama juga disampaikan oleh Durkheim sebagaimana dikutip oleh George Ritzer dalam bukunya Sociological Theory (2004: 115) yang menyatakan bahwa pendidikan akan memberi idividu berbagai disiplin ilmu yang ia butuhkan untuk menghadapi berbagai krisis dalam hidupnya dan mengendalikan nafsu yang mengancam mereka.
Dengan demikian, pendidikan merupakan proyek kemanusiaan yang tersusun secara sistematis, terencana dan berkesinambungan. Istilah kemanusiaan disini secara leksikal bermakna sifat-sifat manusia berperilaku selayaknya manusia, atau bertindak dalam logika berpikir manusia (Sudarwan Danim, 2003: 2). Sebagai agenda proses kemanusiaan dan pemanusiaan, maka pendidikan yang baik adalah pendidikan yang mampu mencetak figur-figur yang memiliki dorongan ingin tahu (coriousity) yang kuat dalam kaitannya dengan perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, individu yang memiliki idealisme yang tinggi untuk menata bidang-bidang kehidupan kearah yang lebih baik, individu-individu yang konsen pada kebenaran, individu-individu yang memiliki sikap moral yang baik. Apakah tujuan ini dapat terwujud ? Durkheim menjawabnya dengan dialogis bahwa pendidikan akan menolong anak-anak mengembangkan sikap moral terhadap masyarakat. Bagi Durkheim, ruang kelas dalam pendidikan formal merupakan masyarakat kecil dan dia meyimpulkan bahwa kesadaran kolektif akan menciptakan kekuatan yang cukup untuk menanamkan sikap moral (George Ritzer, 2004: 115). Dengan demikian, hal ini akan memungkinkan pendidikan untuk hadir dan memproduksi semua elemen moralitas.
Berangkat dari pemikiran ini kemudian, maka pendidikan sejati adalah sebuah “Pedagogi Pengharapan” (Paolo Friere, 1994: 7). Dengan istilahnya Paulo Freire ini, tercermin bahwa esensi dari pendidikan adalah bagaimana mengembangkan dan sekaligus membantu individu-individu untuk mencapai harapan-harapan yang disemaikan dalam kehidupannya. Untuk kepentingan sebagaimana terurai di atas maka, pendidikan harus diselenggarakan secara terbuka. Terbuka dalam artian, melibatkan anak didik secara aktif dalam berbagai proses didalamnya. Proses yang dimaksud adalah proses pembelajaran. Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana dengan praksis pembelajaran kita saat ini ? apakah prinsip kebermaknaan, prinsip pelibatan dan prisnsip keterbukaan telah menjadi ciri khas dari pembelajaran yang dikelola dan diselenggarakan pada ruang-ruang kelas kita selama ini khususnya di tingkat Pendidikan Dasar ?
Pertanyaan-pertanyaan di atas, tentunya akan bermuara pada sebuah jawaban bahwa pembelajaran kita belum dikelola secara kompetitif dan inovatif. Lewat pembelajaran yang kompetitif, diyakini akan dapat melahirkan manusia-manusia yang memiliki kemampuan kompetisi pula. Pribadi yang kompetitif disini bukan berarti pribadi yang egoistik (Tilaar, 2000: 15). Pribadi yang kompetitif disini adalah pribadi yang inovatif melalui pembudayaan sikap kerja sama. Dengan kerja sama, dapat dikembangkan kompetisi yang sehat sehingga produk IPTEK yang dihasilkan berkualitas.
Disamping itu, kondisi ini kemudian semakin diperparah dengan pembelajaran yang tidak menyentuh aspek kontekstual masyarakat sekitar. Pembelajaran seolah menjadi materi tersendiri yang tidak berkesinambung dengan kehidupan keseharian. Materi yang diberikanpun tidak terintegrasi satu sama lain. Secara logika, bagaimana mungkin belajar ilmu bumi dengan memisahkan antara fisika, biologi, kimia dan matematika. Atau bagaimana berharap akan lahir elit politik yang beretika dan berkeadaban sementara dalam praktek pembelajarannya, anak didik tidak diajak terlibat dalam proses politik dan demokrasi ?. Contoh riil, ketika seorang anak belajar mengenai tumbuhan, harusnya dia belajar bagaimana proses menanam tanaman, juga mempelajari proses kapilarisasi, meneliti unsur kimia tanah / hara yang mempengaruhi perkembangan tanaman, mengamati proses fotosintesa, mengukur tiap inchi perkembangannya, mempelajari bentuknya, menghapal nama latin dari bagian-bagian tanaman, menggambar, membuat prakarya dari bagian tanaman, belajar cycle of life dari tanaman tersebut, dan sebagainya. Project akhirnya adalah membuat presentasi; entah berupa unsur tanaman yang dapat dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari, mendesain operet mengenai kehidupan imajinasi tanaman, atau sekedar menceritakan salah satu proses yang telah mereka pelajari. Menarik bukan? Dari satu tema semua materi dapat terintegrasi.
Contoh lain misalnya, ketika seorang anak belajar tentang hukum dan demokrasi pada mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan harusnya disamping dia belajar tentang teori “namun” dia seharusnya mengalami proses hukum dan demokratisasi dalam bentuk miniatur kehidupan yang dilandaskan oleh hukum dan demokrasi di kelas. Hal ini dapat diwujudkan melalui praktek “Role Playing” dan atau “demonstrasi” yang berkaitan dengan isu-isu hukum dan demokrasi. Di sisi lain, anak didik dapat dihadapkan dengan situasi nyata, melalui metode penugasan kepada anak didik untuk mereview proses hukum yang terjadi dilembaga-lembaga hukum yang ada seperti lembaga peradilan dan kepolisian. Dengan proses pembelajaran seperti tersebut, anak didik akan memiliki kekayaan teori dan praktek yang terkait dengan hukum dan demokrasi yang selanjutnya menjadi informasi penting bagi pembentukan pribadi yang sadar hukum dan demokratis.
Jika memang demikian, lantas bagaimana cara untuk mengembangkan pembelajaran sebagaimana yang dikehendaki seperti tersebut di atas ? Pertanyaan inilah yang kemudian menggiring penulis untuk mengupas lebih jauh persoalan “Filsafat Ilmu dan Agenda Pembaharuan Praksis Pembelajaran Pada Pendidikan Dasar” sebagai isu sentral yang akan penulis paparkan dalam masalah ini. Dari pembahasan ini kemudian penulis berharap dapat memberikan solusi alternatif dalam melakukan pembaharuan praksis pembelajaran di Pendidikan Dasar dengan berlandaskan pada kajian filsafat ilmu.
Filsafat Ilmu dan pendidikan
Sebagaimana diyakini bahwa esensi dari pendidikan salah satu diantaranya adalah melakukan transformasi nilai dan ilmu pengetahuan kepada anak didik. Proses transformasi tersebut tentunya membutuhkan media yang dijadikan sebagai landasan berpijak sehingga nilai dan ilmu pengetahuan tersebut dapat bermakna bagi dirinya dan orang lain. Oleh karena itu, filsafat ilmu lah yang menjadi fondasinya. Sebab, filsafat ilmu itu sendiri merupakan cabang filsafat yang membahas dasar-dasar ujud pengetahuan (UT, 1985: 11). Pertanyaan-pertanyaan seperti apa yang disebut ilmu ? Ciri-ciri apa yang membedakan ilmu dengan pengetahuan lainnya ? Bagaimana menarik kesimpulan ilmiah secara benar ? Sarana-sarana apa yang diperlukan dalam kegiatan berpikir ilmiah ? Semua pertanyaan semacam ini merupakan bagian dari bidang kajian filsafat ilmu.
Dengan substansi kajian sebagaimana tersebut di atas, maka tepat rasanya ketika pendidikan menjadikan filsafat ilmu sebagai media yang dapat digunakan sebagai alat untuk memfilter berbagai kemungkinan terjadinya erosi nilai dari berbagai produk pendidikan. Hal ini semakin menjadi sebuah keniscayaan ketika pendidikan dihadapkan pada berbagai perubahan yang terjadi secara gradual yang berkenaan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Filsafat ilmu akan dapat mengarahkan proses-proses pendidikan untuk menemukan dan mengeksplorasi kebenaran ilmu secara mendalam dan beretika. Sebab, filsafat ilmu tidak hanya berkepentingan untuk menemukan jawaban-jawaban tentang seperti apa yang disebut ilmu, namun lebih dari itu bagaimana dalam pendidikan dapat dihasilkan manusia-manusia yang memiliki kesadaran kritis dalam dirinya.
Jadi, tugas pendidikan dalam paradigma kritis dalam konteks kajian filsafat ilmu adalah bagaimana menciptakan ruang dan kesempatan agar peserta didik terlibat dalam suatu proses penciptaan struktur yang secara fundamental baru dan lebih baik. Implikasinya adalah dalam praktek pendidikan lewat praksis pembelajaran dikelas harus dikelola dan diselenggarakan dengan pendekatan pendidikan “andragogy”. Knowlis sebagaimana dikutip oleh Wiliam F. O’neil (2002: xviii) menjelaskan bahwa andragogy atau pendekatan pendidikan orang dewasa merupakan pendekatan yang menempatkan peserta didik sebagai orang dewasa. Di balik pengertian ini, Knowles ingin menempatkan murid sebagai subjek dari sistem pendidikan. Murid sebagai orang dewasa diasumsikan memiliki kemampuan aktif untuk merencanakan arah, memilih bahan dan materi yang dianggap bermanfaat, memikirkan cara terbaik untuk belajar, menganalisis dan menyipulkan serta mampu mengambil manfaat pendidikan. Fungsi guru adalah sebagai fasilitator dan bukan menggurui. Oleh karena itu, relasi antara guru dan murid bersifat “multicomunication” (Knowles, 1970).
Pada bagian lain, pendidikan dalam konteks kajian filsafat ilmu juga harus mampu membangun tradisi dan budaya ilmiah yang dapat memberikan ruang kebebebasan kepada anak didik untuk mengembangkan struktur berpikir rasional dan penalaran spekulatif dalam mencari dan menemukan kebenaran di alam semesta, tentunya tanpa menampikkan kebenaran obsolut yang bersumber dari sang maha pencipta. Dengan penalaran spekulatif, individu dapat membeda-bedakan hal-hal yang pasti secara metafisis (yang terbukti dengan sendirinya) dari hal-hal yang semata-mata hanya mungkin (probable), harus dibuktikan dulu sebelum dipastikan (Wiliam F. O’’neil, 2002: 633). Dengan sistem semacam ini, pendidikan akan menjadi pubrik besar dari berbagai ilmu pengetahuan sekaligus menjadi tempat lahirnya para ilmuan yang ilmiah dan ilmuan yang amaliah.
Selanjutnya, hal terpenting yang harus dikembangkan pula dan dibudayakan dalam praksis pendidikan adalah kesadaran bahwa ”non scolae sed vitae discimus” artinya kita belajar bukan untuk sekolah tetapi untuk kehidupan (Muchlas Samani, 2006:133). Hal ini penting, sebab menurut filasafat ilmu pada prinsipnya manusia menuntut ilmu bukan semata-mata untuk sekolah melainkan lebih dari itu, baaimana kemudian ilmu yang diperoleh tersebut mejadi bermakna baik bagi dirinya, keluarga, lingkungan, masyarakat, bangsa dan negaranya. Oleh karena itu, meminjam istilah yang dipergunakan oleh Peter Sange pendidikan selama ini dilandasi oleh suatu asumsi dasar yang kini perlu dipertanyakan kebenarannya. Beberapa asumsi yang kurang tepat tersebut itu adalah sebagai berikut.
Pertama, asumsi bahwa tujuan pendidikan adalah mempelajari ilmu pengetahuan. Asumsi ini bertolak belakang dari konsepsi filsafat ilmu yang menghendaki bahwa ilmu itu harus bermakna bagi para peserta didik. Ketika peserta didik mampu menemukan jawaban dibalik pertanyaan filosofis, seperti apakah ilmu, ciri-ciri ilmu yang baik, maka ia dapat mengkonstruksi ilmu tersebut menjadi sesuatu yang bermakna bagi dirinya dan lingkungannya. Oleh karena itu, asumsi ini perlu di review kembali demi kepentingan peserta didik. Untuk sampai kearah ini, maka dalam praktek pembelajaran harus bersifat konstruktifistik (Constructivism). Artinya memberikan kesempatan kepada siswa untuk membangun pengetahuan sedikit demi sedikit, yang hasilnya kemudian diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak sekonyong-konyong. Dengan dasar ini, pembelajaran harus dikemas menjadi proses mengkontruksi pengetahuan bukan menerima pengetahuan. Dalam proses pembelajaran, siswa membangun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif dalam pembelajaran, siswa menjadi pusat pembelajaran bukan guru (Depdiknas, 2003: 11).
Asumsi kedua, ilmu pengetahuan terbagi dalam berbagai bidang yang saling terpisah, misalnya matematika, fisika, ekonomi, PKn dan sebagainya. Dalam pendidikan siswa-siswa ditugaskan untuk mempelajari ilmu-ilmu tersebut secara terpisah. Mungkin memang benar ilmu pengetahuan terkotak-kotak atau mungkin kita yang memecah itu sekedar untuk memudahkan memahaminya, namun perlu diperhatikan bahwa hakikat ilmu pengetahuan merupakan suatu kesatuan yang saling terkait. Kemudian, problem kehidupan tidak dapat dipahami secara terkotak-kotak seperti ilmu pengetahuan yang selama ini ada. Fenomena alam selalu terkait dengan berbagai cabang ilmu pengetahuan. Hujan bukanlah semata-mata fenomena fisika, yaitu perubahan uap air menjadi butiran air akibat suhu yang dingin. Hujan terkait dengan bidang kimia, kesehatan, sosial ekonomi dan bahkan pengetahuan agama. Jika siswa SD belajar menanam bunga atau tumbuhan tertentu dikebun sekolah bukan hanya terkait dengan pelajaran IPA, tetapi berkenaan dengan pelajaran kesenian, agama, IPS, PKn dan mungkin juga berkenaan dengan pelajaran matematika. Untuk itu, sedianya dalam praksis pembelajaran harus dapat membangun keterkaitan dari berbagai disiplin ilmu tersebut dan membantu anak didik untuk dapat menemukan relevansi antara ilmu pengetahuan yang diperoleh dengan pengalaman praktis dalam kehidupannya, sehingga dengan proses tersebut maka akan dapat membimbing anak untuk berpikir holistik (menyeluruh) dalam memecahkan berbagai persoalan-persoalan yang timbul dalam kehidupannya dengan pendekatan interdisipliner tentunya. Atau dengan kata lain harus dibudayakan konsep belajar bermakna (meminjam istilah Jeremi S Bruner) dalam pembelajaran.
Asumsi ketiga, belajar itu berlangsung di ruang kelas dan bersumber dari buku pelajaran. Implikasi dari asumsi ini dalam praktek pendidikan dan pembelajaran adalah siswa dikurung di kelas selama jam pelajaran dan harus mencermati kalimat demi kalimat dalam buku pelajaran, sebagai satu-satunya sumber pengetahuan. Proses semacam ini lambat laun akan menghasilkan generasi robot yang hanya berpikir mekanistik tanpa mampu mengembangkan apa yang diperolehnya ke arah yang lebih luas. Disamping itu, yang paling parah adalah kreatifitas dan produktifitas anak didik yang diharapkan dapat berkembang setelah pembelajaran berlangsung menjadi tidak berkembang sebagaimana yang diharapkan. Pada hal mestinya, dari sudut filsafat ilmu ketika seseorang telah selesai mengalami proses pembelajaran maka dia akan cenderung produktif dan kreatif. Hal ini dimungkinkan karena ia memiliki kebebasan untuk menemukan dan mengembangkan pengetahuan dari berbagai sumber belajar, bukan hanya dari buku-buku pelajaran. Oleh karena itu, dalam pembelajaran perlu dikembangkan pendekatan pembelajaran kontekstual. Sehingga dengan pendekatan ini diharapkan, peserta didik akan memiliki kekayaan dalam hal sumber belajar.
Sebagaimana diyakini bahwa esensi dari pendidikan salah satu diantaranya adalah melakukan transformasi nilai dan ilmu pengetahuan kepada anak didik. Proses transformasi tersebut tentunya membutuhkan media yang dijadikan sebagai landasan berpijak sehingga nilai dan ilmu pengetahuan tersebut dapat bermakna bagi dirinya dan orang lain. Oleh karena itu, filsafat ilmu lah yang menjadi fondasinya. Sebab, filsafat ilmu itu sendiri merupakan cabang filsafat yang membahas dasar-dasar ujud pengetahuan (UT, 1985: 11). Pertanyaan-pertanyaan seperti apa yang disebut ilmu ? Ciri-ciri apa yang membedakan ilmu dengan pengetahuan lainnya ? Bagaimana menarik kesimpulan ilmiah secara benar ? Sarana-sarana apa yang diperlukan dalam kegiatan berpikir ilmiah ? Semua pertanyaan semacam ini merupakan bagian dari bidang kajian filsafat ilmu.
Dengan substansi kajian sebagaimana tersebut di atas, maka tepat rasanya ketika pendidikan menjadikan filsafat ilmu sebagai media yang dapat digunakan sebagai alat untuk memfilter berbagai kemungkinan terjadinya erosi nilai dari berbagai produk pendidikan. Hal ini semakin menjadi sebuah keniscayaan ketika pendidikan dihadapkan pada berbagai perubahan yang terjadi secara gradual yang berkenaan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Filsafat ilmu akan dapat mengarahkan proses-proses pendidikan untuk menemukan dan mengeksplorasi kebenaran ilmu secara mendalam dan beretika. Sebab, filsafat ilmu tidak hanya berkepentingan untuk menemukan jawaban-jawaban tentang seperti apa yang disebut ilmu, namun lebih dari itu bagaimana dalam pendidikan dapat dihasilkan manusia-manusia yang memiliki kesadaran kritis dalam dirinya.
Jadi, tugas pendidikan dalam paradigma kritis dalam konteks kajian filsafat ilmu adalah bagaimana menciptakan ruang dan kesempatan agar peserta didik terlibat dalam suatu proses penciptaan struktur yang secara fundamental baru dan lebih baik. Implikasinya adalah dalam praktek pendidikan lewat praksis pembelajaran dikelas harus dikelola dan diselenggarakan dengan pendekatan pendidikan “andragogy”. Knowlis sebagaimana dikutip oleh Wiliam F. O’neil (2002: xviii) menjelaskan bahwa andragogy atau pendekatan pendidikan orang dewasa merupakan pendekatan yang menempatkan peserta didik sebagai orang dewasa. Di balik pengertian ini, Knowles ingin menempatkan murid sebagai subjek dari sistem pendidikan. Murid sebagai orang dewasa diasumsikan memiliki kemampuan aktif untuk merencanakan arah, memilih bahan dan materi yang dianggap bermanfaat, memikirkan cara terbaik untuk belajar, menganalisis dan menyipulkan serta mampu mengambil manfaat pendidikan. Fungsi guru adalah sebagai fasilitator dan bukan menggurui. Oleh karena itu, relasi antara guru dan murid bersifat “multicomunication” (Knowles, 1970).
Pada bagian lain, pendidikan dalam konteks kajian filsafat ilmu juga harus mampu membangun tradisi dan budaya ilmiah yang dapat memberikan ruang kebebebasan kepada anak didik untuk mengembangkan struktur berpikir rasional dan penalaran spekulatif dalam mencari dan menemukan kebenaran di alam semesta, tentunya tanpa menampikkan kebenaran obsolut yang bersumber dari sang maha pencipta. Dengan penalaran spekulatif, individu dapat membeda-bedakan hal-hal yang pasti secara metafisis (yang terbukti dengan sendirinya) dari hal-hal yang semata-mata hanya mungkin (probable), harus dibuktikan dulu sebelum dipastikan (Wiliam F. O’’neil, 2002: 633). Dengan sistem semacam ini, pendidikan akan menjadi pubrik besar dari berbagai ilmu pengetahuan sekaligus menjadi tempat lahirnya para ilmuan yang ilmiah dan ilmuan yang amaliah.
Selanjutnya, hal terpenting yang harus dikembangkan pula dan dibudayakan dalam praksis pendidikan adalah kesadaran bahwa ”non scolae sed vitae discimus” artinya kita belajar bukan untuk sekolah tetapi untuk kehidupan (Muchlas Samani, 2006:133). Hal ini penting, sebab menurut filasafat ilmu pada prinsipnya manusia menuntut ilmu bukan semata-mata untuk sekolah melainkan lebih dari itu, baaimana kemudian ilmu yang diperoleh tersebut mejadi bermakna baik bagi dirinya, keluarga, lingkungan, masyarakat, bangsa dan negaranya. Oleh karena itu, meminjam istilah yang dipergunakan oleh Peter Sange pendidikan selama ini dilandasi oleh suatu asumsi dasar yang kini perlu dipertanyakan kebenarannya. Beberapa asumsi yang kurang tepat tersebut itu adalah sebagai berikut.
Pertama, asumsi bahwa tujuan pendidikan adalah mempelajari ilmu pengetahuan. Asumsi ini bertolak belakang dari konsepsi filsafat ilmu yang menghendaki bahwa ilmu itu harus bermakna bagi para peserta didik. Ketika peserta didik mampu menemukan jawaban dibalik pertanyaan filosofis, seperti apakah ilmu, ciri-ciri ilmu yang baik, maka ia dapat mengkonstruksi ilmu tersebut menjadi sesuatu yang bermakna bagi dirinya dan lingkungannya. Oleh karena itu, asumsi ini perlu di review kembali demi kepentingan peserta didik. Untuk sampai kearah ini, maka dalam praktek pembelajaran harus bersifat konstruktifistik (Constructivism). Artinya memberikan kesempatan kepada siswa untuk membangun pengetahuan sedikit demi sedikit, yang hasilnya kemudian diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak sekonyong-konyong. Dengan dasar ini, pembelajaran harus dikemas menjadi proses mengkontruksi pengetahuan bukan menerima pengetahuan. Dalam proses pembelajaran, siswa membangun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif dalam pembelajaran, siswa menjadi pusat pembelajaran bukan guru (Depdiknas, 2003: 11).
Asumsi kedua, ilmu pengetahuan terbagi dalam berbagai bidang yang saling terpisah, misalnya matematika, fisika, ekonomi, PKn dan sebagainya. Dalam pendidikan siswa-siswa ditugaskan untuk mempelajari ilmu-ilmu tersebut secara terpisah. Mungkin memang benar ilmu pengetahuan terkotak-kotak atau mungkin kita yang memecah itu sekedar untuk memudahkan memahaminya, namun perlu diperhatikan bahwa hakikat ilmu pengetahuan merupakan suatu kesatuan yang saling terkait. Kemudian, problem kehidupan tidak dapat dipahami secara terkotak-kotak seperti ilmu pengetahuan yang selama ini ada. Fenomena alam selalu terkait dengan berbagai cabang ilmu pengetahuan. Hujan bukanlah semata-mata fenomena fisika, yaitu perubahan uap air menjadi butiran air akibat suhu yang dingin. Hujan terkait dengan bidang kimia, kesehatan, sosial ekonomi dan bahkan pengetahuan agama. Jika siswa SD belajar menanam bunga atau tumbuhan tertentu dikebun sekolah bukan hanya terkait dengan pelajaran IPA, tetapi berkenaan dengan pelajaran kesenian, agama, IPS, PKn dan mungkin juga berkenaan dengan pelajaran matematika. Untuk itu, sedianya dalam praksis pembelajaran harus dapat membangun keterkaitan dari berbagai disiplin ilmu tersebut dan membantu anak didik untuk dapat menemukan relevansi antara ilmu pengetahuan yang diperoleh dengan pengalaman praktis dalam kehidupannya, sehingga dengan proses tersebut maka akan dapat membimbing anak untuk berpikir holistik (menyeluruh) dalam memecahkan berbagai persoalan-persoalan yang timbul dalam kehidupannya dengan pendekatan interdisipliner tentunya. Atau dengan kata lain harus dibudayakan konsep belajar bermakna (meminjam istilah Jeremi S Bruner) dalam pembelajaran.
Asumsi ketiga, belajar itu berlangsung di ruang kelas dan bersumber dari buku pelajaran. Implikasi dari asumsi ini dalam praktek pendidikan dan pembelajaran adalah siswa dikurung di kelas selama jam pelajaran dan harus mencermati kalimat demi kalimat dalam buku pelajaran, sebagai satu-satunya sumber pengetahuan. Proses semacam ini lambat laun akan menghasilkan generasi robot yang hanya berpikir mekanistik tanpa mampu mengembangkan apa yang diperolehnya ke arah yang lebih luas. Disamping itu, yang paling parah adalah kreatifitas dan produktifitas anak didik yang diharapkan dapat berkembang setelah pembelajaran berlangsung menjadi tidak berkembang sebagaimana yang diharapkan. Pada hal mestinya, dari sudut filsafat ilmu ketika seseorang telah selesai mengalami proses pembelajaran maka dia akan cenderung produktif dan kreatif. Hal ini dimungkinkan karena ia memiliki kebebasan untuk menemukan dan mengembangkan pengetahuan dari berbagai sumber belajar, bukan hanya dari buku-buku pelajaran. Oleh karena itu, dalam pembelajaran perlu dikembangkan pendekatan pembelajaran kontekstual. Sehingga dengan pendekatan ini diharapkan, peserta didik akan memiliki kekayaan dalam hal sumber belajar.
Filsafat ilmu dan pembaharuan praksis pembelajaran di pendidikan dasar.
Pengetahuan dimulai dengan rasa ingin tahu, kepastian dimulai dengan rasa ragu-ragu dan filsafat dimulai dengan kedua-duanya (J.S. Sumantri,2007:19). Berangkat dari kesadaran filsafat ini, maka seyogyanya pembelajaran harus didesain untuk menumbuh kembangkan pembelajaran yang mendorong adrenalin keingintahuan peserta didik, bukan sebaliknya. Sebab jika sebaliknya yang terjadi, ilmu bukan saja akan menimbulkan gejala dehumanisasi namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat kemanusiaan itu sendiri, atau dengan perkataan lain ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya sebagaimana esensi ilmu menurut kajian filsafat ilmu.
Jika memang kondisi pembelajaran kita selama ini dilandaskan pada asumsi-asumsi yang perlu direview dan direvisi sebagaimana yang telah penulis uraikan sebelumnya yaitu Pertama, asumsi bahwa tujuan pendidikan adalah mempelajari ilmu pengetahuan bukan mengkontruksi ilmu pengetahuan, kedua, ilmu pengetahuan terbagi dalam berbagai bidang yang saling terpisah, misalnya matematika, fisika, ekonomi, PKn dan sebagainya serta asumsi yang ketiga, belajar itu berlangsung di ruang kelas dan bersumber dari buku pelajaran yang berimplikasi memandulkan produktivitas dan kreativitas anak didik dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kondisi semacam ini perlu dilakukan perubahan melalui pembaharuan yang terencana, sistematis dan berkesinambungan.
Untuk kepentingan ini maka, praksis pembelajaran pada pendidikan dasar mmenjadi titik star dalam agenda pembaharuan dimaksud. Kenapa dimulai pada pendidikan dasar ? Logika yang digunakan cukup mendasar, yaitu dimana peletak dasar dari kemampuan dan perkembangan daya nalar anak didik pada kondisi awal, dimulai dari tingkat pendidikan dasar (Isjoni, 2006: 157). Pada tingkat ini, anak didik mulai terjadi suatu perubahan daya imajinasi, inspirasi dan daya cipta, karsa serta rasa mulai terbentuk untuk menjadikan dirinya sebagai individu berbudaya. Oleh karena itu, pembelajaran harus dikelola dan diselengggarakan secara terbuka dengan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengkontruksi berbagai aspek yang dibutuhkan bagi kepentingan perkembangannya pada fase tersebut. Maka peningkatan mutu pembelajaran oleh guru pada tingkat pendidikan dasar menjadi mutlak untuk dilakukan.
Selanjutnya, karena pendidikan dasar merupakan fondasi pendidikan persekolahan, pembaharuan pembelajaran pada pendidikan dasar harus dapat menumbuh kembangkan hal-hal yang menjadi fondasi untuk perkembangan siswa lebih lanjut (Muchlas Samani, 2006: 126). Untuk kepentingan ini, maka praktek-praktek pembelajaran yang monoton dan membudaya pada pendidikan dasar harus segera ditinggalkan. Para guru sebagai pengelola pembelajaran harus bersedia untuk meninggalkan kebiasaan mengajar yang hanya berpegang pada buku paket yang dibeli dari toko dan jarang memertanyakan apakah materi dalam buku tersebut relevan dengan kebutuhan belajar dan pengalaman anak didik, kebiasaan mengajar yang seakan dikejar oleh target kurikulum sehingga aspek dinamika siswa terabaikan, budaya mengajar “tuntas materi”, terserah apakah siswa paham atau tidak bukan menjadi ukuran. Kebiasaan-kebiasaan mengajar ini harus digantikan dengan praktek pembelajaran yang humanis, menghargai perbedaan peserta didik dari berbagai potensi yang dimilikinya. Inilah esensi pembelajaran yang sejalan dengan pembelajaran dalam kajian filsafat ilmu.
Dengan pembelajaran yang diselenggarakan sebagaimana yang dikehendaki di atas, maka bukan tidak mungkin kemudian akan lahir para ilmuan sejati yang senantiasa mendedikasikan ilmu yang diperoleh dalam pendidikan demi kemajuan peradaban. Seperti halnya, Newton dan Edison yang dapat mengubah wajah peradaban, maka demikianpun dalam pendidikan kita, jika dikelola dengan pembelajaran yang humanis bukan tidak mungkin pula akan lahir generasi ilmuwan yang disamping memiliki tanggung jawab keilmuan juga menyadari akan adanya tanggung jawab sosial yang melekat dibalik ilmu yang dimilikinya. J.S. Suriasumantri (2007: 237) menjelaskan secara historis bahwa fungsi sosial dari kaum ilmuan telah lama dikenal dan diakui. Sebagai contoh, dalam kehidupan masyarakat tentunya tidak lepas dari bberagai masalah yang tentunya membutuhkan penyelasaian secara cepat, tepat dan logis.
Dalam kontek inilah, peran ilmuan menjadi sesuatu yang imperatif. Dialah yang mempunyai latar belakang pengetahuan yang cukup untuk dapat menempatkan masalah tersebut pada proporsi yang sebenarnya. Oleh sebab itu dia mempunyai kewajiban sosial untuk menyampaikan hal itu pada masayarakat dalam bahasa yang dapat dicerna. Melihat peran sentral dari para ilmuan sebagai agen transformasi nilai dan peradaban ini maka sepatutnyalah, pendidikan ita harus dikelola secara kreatif, kompetitif dan humanis sehingga dalam rahimnya akan lahir para ilmuan yang kapabel, memiliki tanggung jawab keilmuan dan sekaligus tanggung jawab sosial. Maka, untuk kepentingan ini, guru sebagai pengelola praksis pembelajaran harus berani untuk melakukan perubahan, sebab bagaimanapun juga perubahan adalah sebuah keharusan jika menginginkan tercapainya harapan-harapan sebagaimana yang penulis sajikan di atas. Langkah awal yang perlu dilakukan adalah melawan rasa takut untuk berbuat salah dalam melakukan perubahan. Sebab, menurut Parker J. Palmer (2009: 4) bahwa rasa takut itu begitu mendasar pada manusia sehingga semua tradisi spritual yang hebat awalnya ditujukan sebagai usaha untuk mengatasi rasa takut itu dalam hidup kita. Penegasan ini mengisyarakatkan bahwa, ketika ingin melakukan perubahan khususnya dalam praksis pembelajaran maka para guru harus mengawalinya dengan upaya sungguh-sungguhh untuk melawan rasa takut yang melakat dalam dirinya, khususnya takut untuk mencoba sesuatu yang baru.
Pengetahuan dimulai dengan rasa ingin tahu, kepastian dimulai dengan rasa ragu-ragu dan filsafat dimulai dengan kedua-duanya (J.S. Sumantri,2007:19). Berangkat dari kesadaran filsafat ini, maka seyogyanya pembelajaran harus didesain untuk menumbuh kembangkan pembelajaran yang mendorong adrenalin keingintahuan peserta didik, bukan sebaliknya. Sebab jika sebaliknya yang terjadi, ilmu bukan saja akan menimbulkan gejala dehumanisasi namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat kemanusiaan itu sendiri, atau dengan perkataan lain ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya sebagaimana esensi ilmu menurut kajian filsafat ilmu.
Jika memang kondisi pembelajaran kita selama ini dilandaskan pada asumsi-asumsi yang perlu direview dan direvisi sebagaimana yang telah penulis uraikan sebelumnya yaitu Pertama, asumsi bahwa tujuan pendidikan adalah mempelajari ilmu pengetahuan bukan mengkontruksi ilmu pengetahuan, kedua, ilmu pengetahuan terbagi dalam berbagai bidang yang saling terpisah, misalnya matematika, fisika, ekonomi, PKn dan sebagainya serta asumsi yang ketiga, belajar itu berlangsung di ruang kelas dan bersumber dari buku pelajaran yang berimplikasi memandulkan produktivitas dan kreativitas anak didik dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kondisi semacam ini perlu dilakukan perubahan melalui pembaharuan yang terencana, sistematis dan berkesinambungan.
Untuk kepentingan ini maka, praksis pembelajaran pada pendidikan dasar mmenjadi titik star dalam agenda pembaharuan dimaksud. Kenapa dimulai pada pendidikan dasar ? Logika yang digunakan cukup mendasar, yaitu dimana peletak dasar dari kemampuan dan perkembangan daya nalar anak didik pada kondisi awal, dimulai dari tingkat pendidikan dasar (Isjoni, 2006: 157). Pada tingkat ini, anak didik mulai terjadi suatu perubahan daya imajinasi, inspirasi dan daya cipta, karsa serta rasa mulai terbentuk untuk menjadikan dirinya sebagai individu berbudaya. Oleh karena itu, pembelajaran harus dikelola dan diselengggarakan secara terbuka dengan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengkontruksi berbagai aspek yang dibutuhkan bagi kepentingan perkembangannya pada fase tersebut. Maka peningkatan mutu pembelajaran oleh guru pada tingkat pendidikan dasar menjadi mutlak untuk dilakukan.
Selanjutnya, karena pendidikan dasar merupakan fondasi pendidikan persekolahan, pembaharuan pembelajaran pada pendidikan dasar harus dapat menumbuh kembangkan hal-hal yang menjadi fondasi untuk perkembangan siswa lebih lanjut (Muchlas Samani, 2006: 126). Untuk kepentingan ini, maka praktek-praktek pembelajaran yang monoton dan membudaya pada pendidikan dasar harus segera ditinggalkan. Para guru sebagai pengelola pembelajaran harus bersedia untuk meninggalkan kebiasaan mengajar yang hanya berpegang pada buku paket yang dibeli dari toko dan jarang memertanyakan apakah materi dalam buku tersebut relevan dengan kebutuhan belajar dan pengalaman anak didik, kebiasaan mengajar yang seakan dikejar oleh target kurikulum sehingga aspek dinamika siswa terabaikan, budaya mengajar “tuntas materi”, terserah apakah siswa paham atau tidak bukan menjadi ukuran. Kebiasaan-kebiasaan mengajar ini harus digantikan dengan praktek pembelajaran yang humanis, menghargai perbedaan peserta didik dari berbagai potensi yang dimilikinya. Inilah esensi pembelajaran yang sejalan dengan pembelajaran dalam kajian filsafat ilmu.
Dengan pembelajaran yang diselenggarakan sebagaimana yang dikehendaki di atas, maka bukan tidak mungkin kemudian akan lahir para ilmuan sejati yang senantiasa mendedikasikan ilmu yang diperoleh dalam pendidikan demi kemajuan peradaban. Seperti halnya, Newton dan Edison yang dapat mengubah wajah peradaban, maka demikianpun dalam pendidikan kita, jika dikelola dengan pembelajaran yang humanis bukan tidak mungkin pula akan lahir generasi ilmuwan yang disamping memiliki tanggung jawab keilmuan juga menyadari akan adanya tanggung jawab sosial yang melekat dibalik ilmu yang dimilikinya. J.S. Suriasumantri (2007: 237) menjelaskan secara historis bahwa fungsi sosial dari kaum ilmuan telah lama dikenal dan diakui. Sebagai contoh, dalam kehidupan masyarakat tentunya tidak lepas dari bberagai masalah yang tentunya membutuhkan penyelasaian secara cepat, tepat dan logis.
Dalam kontek inilah, peran ilmuan menjadi sesuatu yang imperatif. Dialah yang mempunyai latar belakang pengetahuan yang cukup untuk dapat menempatkan masalah tersebut pada proporsi yang sebenarnya. Oleh sebab itu dia mempunyai kewajiban sosial untuk menyampaikan hal itu pada masayarakat dalam bahasa yang dapat dicerna. Melihat peran sentral dari para ilmuan sebagai agen transformasi nilai dan peradaban ini maka sepatutnyalah, pendidikan ita harus dikelola secara kreatif, kompetitif dan humanis sehingga dalam rahimnya akan lahir para ilmuan yang kapabel, memiliki tanggung jawab keilmuan dan sekaligus tanggung jawab sosial. Maka, untuk kepentingan ini, guru sebagai pengelola praksis pembelajaran harus berani untuk melakukan perubahan, sebab bagaimanapun juga perubahan adalah sebuah keharusan jika menginginkan tercapainya harapan-harapan sebagaimana yang penulis sajikan di atas. Langkah awal yang perlu dilakukan adalah melawan rasa takut untuk berbuat salah dalam melakukan perubahan. Sebab, menurut Parker J. Palmer (2009: 4) bahwa rasa takut itu begitu mendasar pada manusia sehingga semua tradisi spritual yang hebat awalnya ditujukan sebagai usaha untuk mengatasi rasa takut itu dalam hidup kita. Penegasan ini mengisyarakatkan bahwa, ketika ingin melakukan perubahan khususnya dalam praksis pembelajaran maka para guru harus mengawalinya dengan upaya sungguh-sungguhh untuk melawan rasa takut yang melakat dalam dirinya, khususnya takut untuk mencoba sesuatu yang baru.
Praksis pembelajaran yang ideal pada pendidikan dasar.
Sebagaimana yang telah dipaparkan pada bagian sebelumnya bahwa pembelajaran yang dikehendaki oleh filsafat ilmu adalah pembelajaran yang memberikan ruang kepada anak didik untuk dapat mengembangkan kemampuan yang dimilikinya secara holistik. Pembelajaran yang tidak menghasilkan sesuatu yang mekanistik semata –mata, namun pembelajaran yang dapat menggiring anak didik untuk menemukan makna dibalik proses belajar yang dilakukannya serta mampu mmenemukan relevansi antara berbagai materi yang diperoleh dengan pengalaman nyata. Di samping itu, pembelajaran yang dikehendaki oleh filsafat ilmu adalah pembelajaran yang dapat menghasilkan para ilmuan yang disamping memiliki tanggung jawab keilmuan juga menyadari akan adanya tanggung jawab sosial dibalik ilmu yang dimilikinya, pembelajaran yang dapat mengembangkan idealisme dan menggiring para peserta didik untuk senantiasa berpikir objektif dan rasional dalam menjalani hidup, serta pembelajaran yang tidak pula mengesampingkan aspek religius dari para peserta didik.
Oleh karena itu, berikut beberapa praksis pembelajaran yang ideal pada pendidikan dasar yang sejalan dengan praksis pembelajaran yang dikehendaki oleh filsafat ilmu sebagai sebuah kajian :
Sebagaimana yang telah dipaparkan pada bagian sebelumnya bahwa pembelajaran yang dikehendaki oleh filsafat ilmu adalah pembelajaran yang memberikan ruang kepada anak didik untuk dapat mengembangkan kemampuan yang dimilikinya secara holistik. Pembelajaran yang tidak menghasilkan sesuatu yang mekanistik semata –mata, namun pembelajaran yang dapat menggiring anak didik untuk menemukan makna dibalik proses belajar yang dilakukannya serta mampu mmenemukan relevansi antara berbagai materi yang diperoleh dengan pengalaman nyata. Di samping itu, pembelajaran yang dikehendaki oleh filsafat ilmu adalah pembelajaran yang dapat menghasilkan para ilmuan yang disamping memiliki tanggung jawab keilmuan juga menyadari akan adanya tanggung jawab sosial dibalik ilmu yang dimilikinya, pembelajaran yang dapat mengembangkan idealisme dan menggiring para peserta didik untuk senantiasa berpikir objektif dan rasional dalam menjalani hidup, serta pembelajaran yang tidak pula mengesampingkan aspek religius dari para peserta didik.
Oleh karena itu, berikut beberapa praksis pembelajaran yang ideal pada pendidikan dasar yang sejalan dengan praksis pembelajaran yang dikehendaki oleh filsafat ilmu sebagai sebuah kajian :
a. Pembelajaran model Jeromi S. Bruner.
Pembelajaran yang dikembangkan oleh J.S. Bruner menggunakan pendekatan psikologi kognitif. Menurut Bruner, individu bukan seperti mesin ((mekanistis) yakni mengasosiasikan respons khusus dengan stiimulus khusus. Individu cenderung melakukan peran untuk mentranformasi belajarnya kepada berbagai persoalan (Glenn E. Snelbecker, 1974: 412). Selanjutnya, dua hal yang menurutnya penting adalah (a) pengetahuan yang diperoleh manusia melalui prose aktif (b) manusia aktif membangun pengetahuannya melalui hubungan informasi yang diperoleh kedalam frame psikologinya (Nana Sudjana, 1991: 137).
Berangkat dari pandangannya ini kemudian J..S. Bruner mengembangakan ”Discovery Learning” sebagai model pendekatan dalam pembelajaran. Melalui model pembelajaran ini, proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif, guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan, atau pemahaman melalui contoh-contoh yang dijumpai sisiwa dalam kehidupannya. Adanya guru yang memberikan arahan agar siswa tidak melakukan banyak kesalahan dalam menggunakan kesempatannya untuk memperoleh pengetahuan dan pengalaman yang positif kemudian menjadi sisi lain dari model pembelajaran ini. Artinya, guru murni memfasilitasi siswa untuk belajar dan mengembangkan diri sesuai dengan kebutuhan belajarnya.
Pada bagian lain, melalui model pembelajaran ini anak diajak untuk berikir ilmiah serta memecahakan masalah melalui pendekatan ilmiah pula. Langkah ini dilakukan untuk memberikan pengalaman praktis kepada siswa bagaimana menempatkan masalah secara proporsional dan menyelesaikannya secara proporsional pula. Disamping itu, lewat pendekatan model ini juga maka akan terbangun sikap kritis dan kreatif dalam diri siswa dalam memandang berbagai permasalahan yang ada dan emandang masalah itu secara holistik. Pendekatan ini kemudian pada akhirnya akan dapat menggiring peserta didik untuk dapat memaknai ilmu pengetahuan secara proporsional pula sebagaimana yang menjadi substansi kajian pembelajaran dalam yang dikehendaki oleh filsafat ilmu.
Pembelajaran yang dikembangkan oleh J.S. Bruner menggunakan pendekatan psikologi kognitif. Menurut Bruner, individu bukan seperti mesin ((mekanistis) yakni mengasosiasikan respons khusus dengan stiimulus khusus. Individu cenderung melakukan peran untuk mentranformasi belajarnya kepada berbagai persoalan (Glenn E. Snelbecker, 1974: 412). Selanjutnya, dua hal yang menurutnya penting adalah (a) pengetahuan yang diperoleh manusia melalui prose aktif (b) manusia aktif membangun pengetahuannya melalui hubungan informasi yang diperoleh kedalam frame psikologinya (Nana Sudjana, 1991: 137).
Berangkat dari pandangannya ini kemudian J..S. Bruner mengembangakan ”Discovery Learning” sebagai model pendekatan dalam pembelajaran. Melalui model pembelajaran ini, proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif, guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan, atau pemahaman melalui contoh-contoh yang dijumpai sisiwa dalam kehidupannya. Adanya guru yang memberikan arahan agar siswa tidak melakukan banyak kesalahan dalam menggunakan kesempatannya untuk memperoleh pengetahuan dan pengalaman yang positif kemudian menjadi sisi lain dari model pembelajaran ini. Artinya, guru murni memfasilitasi siswa untuk belajar dan mengembangkan diri sesuai dengan kebutuhan belajarnya.
Pada bagian lain, melalui model pembelajaran ini anak diajak untuk berikir ilmiah serta memecahakan masalah melalui pendekatan ilmiah pula. Langkah ini dilakukan untuk memberikan pengalaman praktis kepada siswa bagaimana menempatkan masalah secara proporsional dan menyelesaikannya secara proporsional pula. Disamping itu, lewat pendekatan model ini juga maka akan terbangun sikap kritis dan kreatif dalam diri siswa dalam memandang berbagai permasalahan yang ada dan emandang masalah itu secara holistik. Pendekatan ini kemudian pada akhirnya akan dapat menggiring peserta didik untuk dapat memaknai ilmu pengetahuan secara proporsional pula sebagaimana yang menjadi substansi kajian pembelajaran dalam yang dikehendaki oleh filsafat ilmu.
B. Model Pembelajaran dengan Pendekatan “Open Schools”
Baharuddin, (2007: 144) menjelaskan bahwa dalam Open Schools, proses pembelajaran memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1. Peran guru dan murid. Dalam Open Schools guru berperan sebagai fasilitator yang membantu siswa untuk secara aktif membimbing diri mereka sendiri dalam belajar, dan siswa juga seccara aktif memilih materi, metode-metode dan langkah-lankah dalam belajar.
2. Evaluasi diagnostik. Evaluasi belajar siswa tidak hanya didasarkan pada tes yang dikerjakan oleh siswa, tapi juga pada pengamatan terhadap hasil karya dan performa siswa dalam belajar. Tujaun evaluasi dalam Open Schools ini sebagai bimbingan pengajaran untuk memberikan feedback terhadap kinerja siswa dalam belajar dan bukan hanya untuk menetapkan rangking siswa.
3. Materi. Pemberian materi yang berbeda-beda dignakan untuk memberikan stimulus bagi siswa agar dapat melakukan eksplorasi dalam belajar.
4. Pengajaran individual. Dalam Open Schools sistem pengajaran didasarkan pada kebutuhan-kebutuhan dan kemampuan individual siswa, sementara siswa belajar sesuai dengan kemampuan mereka sendiri.
5. Ruangan terbuka, Ruangan kelas tempat belajar dirancang sedemikian rupa sehingga ruangan dapat digunakan secara fleksibel untuk berbagai kegiatan belajar. Dalam program Open Schools ruangan belajar tidaklah ruangan yang selalu dibatasi oleh tembok dan berbagai perabotan, tapi juga ruangan terbuka di luar kelas.
Melalui beberapa pendekatan pembelajaran dengan model seperti di atas maka konsep penemuan kebenaran melalui pelibatan siswa dalam kegiatan berpikir secara holistik akan dapat diwujudkan secara maksimal. Implikasinya kemudian, akan lahir perserta didik yang kreatif, inovatif dan tentunya juga memiliki ketajaman analisis yang baik sebagai fondasi dalam melakukan kajian-kajian terhadap berbagai persoalan ditinjau dari disiplin ilmu yang dikuasainya. Inilah out put dari pembelajaran yang dikehendaki oleh filsafat ilmu, yang sejalan dengan substansi filsafat ilmu yang senantiasa mencoba menjawab pertanyaan hakikat dari ilmu, untuk apa ilmu dan apa gunanya ilmu.
Baharuddin, (2007: 144) menjelaskan bahwa dalam Open Schools, proses pembelajaran memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1. Peran guru dan murid. Dalam Open Schools guru berperan sebagai fasilitator yang membantu siswa untuk secara aktif membimbing diri mereka sendiri dalam belajar, dan siswa juga seccara aktif memilih materi, metode-metode dan langkah-lankah dalam belajar.
2. Evaluasi diagnostik. Evaluasi belajar siswa tidak hanya didasarkan pada tes yang dikerjakan oleh siswa, tapi juga pada pengamatan terhadap hasil karya dan performa siswa dalam belajar. Tujaun evaluasi dalam Open Schools ini sebagai bimbingan pengajaran untuk memberikan feedback terhadap kinerja siswa dalam belajar dan bukan hanya untuk menetapkan rangking siswa.
3. Materi. Pemberian materi yang berbeda-beda dignakan untuk memberikan stimulus bagi siswa agar dapat melakukan eksplorasi dalam belajar.
4. Pengajaran individual. Dalam Open Schools sistem pengajaran didasarkan pada kebutuhan-kebutuhan dan kemampuan individual siswa, sementara siswa belajar sesuai dengan kemampuan mereka sendiri.
5. Ruangan terbuka, Ruangan kelas tempat belajar dirancang sedemikian rupa sehingga ruangan dapat digunakan secara fleksibel untuk berbagai kegiatan belajar. Dalam program Open Schools ruangan belajar tidaklah ruangan yang selalu dibatasi oleh tembok dan berbagai perabotan, tapi juga ruangan terbuka di luar kelas.
Melalui beberapa pendekatan pembelajaran dengan model seperti di atas maka konsep penemuan kebenaran melalui pelibatan siswa dalam kegiatan berpikir secara holistik akan dapat diwujudkan secara maksimal. Implikasinya kemudian, akan lahir perserta didik yang kreatif, inovatif dan tentunya juga memiliki ketajaman analisis yang baik sebagai fondasi dalam melakukan kajian-kajian terhadap berbagai persoalan ditinjau dari disiplin ilmu yang dikuasainya. Inilah out put dari pembelajaran yang dikehendaki oleh filsafat ilmu, yang sejalan dengan substansi filsafat ilmu yang senantiasa mencoba menjawab pertanyaan hakikat dari ilmu, untuk apa ilmu dan apa gunanya ilmu.
Penutup
Dari paparan yang telah disajikan pada bagian pembahasan dalam makalah ini, terdapat beberapa hal yang patut penulis simpulkan yaitu :
1. Filsafat ilmu memiliki peran penting dalam pembaharuan praksis pembelajaran pada pendidikan dasar. Filsafat ilmu memberikan landasan kuat bagi elemen-elemn yang terkait khususnya guru dalam melakukan perubahan dan pembaharuan pembelajaran kearah yang lebih humanis dan berkeadaban.
2. Terdapat beberapa model ppendekatan pembelajaran yang telah dikembangkan oleh para ahli pendidikan yang dapat diterapkan oleh para guru dalam pemebelajaran pada pendidikan dasar. Model pembelajaran tersebut sejalan dengan tujuan filsafat ilmu yang menghendaki dalam pengembangan ilmu pengetahuan, anak didik harus mampu menemukan makna dibalik berbagai ilmu pengetahuan yang diperoleh, yang selanjutnya dia dapat menemukan relevansi antara ilmu yang diperoleh dengan pengalaman nyata yang dirasakan dan dialaminya dalam kehidupan. Sebagian besar model pembelajaran dimaksud, memberikan ruang kepada anak didik untuk mengkontruk pengetahuan berdasarkan pengalaman yang dimilikinya.
B. Saran
Demi kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan, bagi penulis lain yang tertarik untuk melakukan kajian mendalam mengenai pentingnya filsafat ilmu dalam pendidikan, penulis menyarankan untuk mengangkat persoalan yang berkaitan dengan filasafat ilmu dan kepemimpinan kepala sekolah. Sebab bagaimanapun juga, proses pembelajaran yang diselenggarakan oleh guru tidak terlepas dari gaya kepemimpinan seorang kepala sekolah. Kemudian, dalam rangka penyempurnaan tulisan ini pada masa-masa yang akan datang, penulis berharap masukan dan kritikan konstruktif dari berbagai pihak khusnya dosen pengampu mata kuliah Filsafat Ilmu.
Dari paparan yang telah disajikan pada bagian pembahasan dalam makalah ini, terdapat beberapa hal yang patut penulis simpulkan yaitu :
1. Filsafat ilmu memiliki peran penting dalam pembaharuan praksis pembelajaran pada pendidikan dasar. Filsafat ilmu memberikan landasan kuat bagi elemen-elemn yang terkait khususnya guru dalam melakukan perubahan dan pembaharuan pembelajaran kearah yang lebih humanis dan berkeadaban.
2. Terdapat beberapa model ppendekatan pembelajaran yang telah dikembangkan oleh para ahli pendidikan yang dapat diterapkan oleh para guru dalam pemebelajaran pada pendidikan dasar. Model pembelajaran tersebut sejalan dengan tujuan filsafat ilmu yang menghendaki dalam pengembangan ilmu pengetahuan, anak didik harus mampu menemukan makna dibalik berbagai ilmu pengetahuan yang diperoleh, yang selanjutnya dia dapat menemukan relevansi antara ilmu yang diperoleh dengan pengalaman nyata yang dirasakan dan dialaminya dalam kehidupan. Sebagian besar model pembelajaran dimaksud, memberikan ruang kepada anak didik untuk mengkontruk pengetahuan berdasarkan pengalaman yang dimilikinya.
B. Saran
Demi kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan, bagi penulis lain yang tertarik untuk melakukan kajian mendalam mengenai pentingnya filsafat ilmu dalam pendidikan, penulis menyarankan untuk mengangkat persoalan yang berkaitan dengan filasafat ilmu dan kepemimpinan kepala sekolah. Sebab bagaimanapun juga, proses pembelajaran yang diselenggarakan oleh guru tidak terlepas dari gaya kepemimpinan seorang kepala sekolah. Kemudian, dalam rangka penyempurnaan tulisan ini pada masa-masa yang akan datang, penulis berharap masukan dan kritikan konstruktif dari berbagai pihak khusnya dosen pengampu mata kuliah Filsafat Ilmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar