STIT AT-TAQWA CIPARAY BANDUNG

Senin, 14 November 2011

KETERARAHAN PENDIDIKAN MEWUJUD PRIBADI INTEGRAL

Pendidikan harus mengarahkan terdidik (c.q. anak) menjadi pribadi yang mengenal, mengetahui, memahami, bahkan mengarifi nilai (nilai kognisi), meresapi dan berkemauan untuk merealisasikan nilai; nilai telah menjadi miliknya (internalisasi nilai), berkemampuan menjelmakan nilai yang mempribadi (personifikasi nilai), dan merealisasikan nilai itu sendiri.

Perealisasian nilai itu karena kata hatinya, si terdidik tadi. Kata hari ialah suatu intasi yang dimiliki terdidik yang mengharuskannya untuk melaksanakannya, ia akan merasa dikejar-kejar oleh dirinya sendiri. Scheler menyebutnya :Suatu panggilan yang muncul dalam diri sendiri, namun diraskan seperti datang dari intansi yang lebih tinggi". Immanuel Kant menyebutnya "imperative Praktis, yang memerintah untuk melaksanakannya, saya --diri sendiri yang menjadi pengawasnya-- merasakan keberharusan melaksanakannya selaras dengan tuntutan dan tuntunan yang seharusnya".

Untuk itu, pendidikan pada dasarnya "komunikasi dan interkomunikasi --pergaulan sosial terkontrol yang dinamik-- yang terarah kepada perealisasian nilai. Dan harus diingat bahwa komunikasi tersut bukan untuk kepentingan diri sendiri, ia hanya merupakan alat; karenanya harus dilandasai kasih sayang sebagai dasar identifikasi, saling mempercayai (kepercayaan) sebagai dasar kewibawaan, dan bertanggungjawab yang menunjukkan bahwa pendidikan itu tidak dapat dilaksanakan oleh sembarang orang.

Ada beberapa term (istilah) yang bertautan dengan pendidikan. Bila uraian tersebut di atas ditinjau secara pola pikir parsial (molekuler, unsuriah), yang kadang-kadang satu sama lainnya diidentikkan, yaitu mendidik, mengajar, melatih, bahkan memelihara dan mengurus terdidik (c.q. anak).

Terma (istilah) memelihara dan mengurus terkadang dipertautkan dengan binatang ternak, seperti memelihara kera, mengurus kerbau dan sebagainya. Untuk itu, kurang selaras dipergunakan untuk manusia.

Terma (istilah) mengajar terlalu sempit, hanya menekankan pada bidang pengetahuan (pengajaran intelek). Lebih sempit lagi terma (istilah) melatih (latihan) hanya menekankan pada bidang keterampilan yang tidak selalu meminta upaya berpikir seperti halnya dalam mengajar, bahkan latihan dan belajar dapat pula diterapkan terhadap binatang, seperti melatih anjing pelacak bagi kepentingan para polisi, melatih harimau dan singa untuk pertunjukan sirkus, melatih ikan lumba-lumba, dan sebagainya; dan memang secara filosofis ia diangkat ke dalam dunia pendidikan atas dasar eksperimen terhadap binatang di laboratorium psikologi, yang hasil-hasil eksperimentasinya itu diaplikasikan terhadap pelaksanaan (proses) belajar mengajar (manusia seolah-olah dicetak atau dipolakan dengan menggunakan cetakan atau pol untuk mencetak, membentuk, atau mempolakan binatang?).

Ada sejumlah tokoh yang telah menghasilkan eksperimentasi tersebut di atas, yang pada mula telah dirintis oleh Aristoteles, ia tokoh pendiri paham filsafat realisme yang secara epistemologis dikembangkan oleh John Locke dengan empirismenya yang menekankan pada objek (korespondensi); secara pedagogis (khususnya teori belajar) dikembangkan oleh para psikolog behaviorisme, yang semuanya secara metafisis bermuara pada paham filsafat materialisme, yaitu Pavlov, Thorndike, Skinner, dan para ahli yang sedang trend (beken) sekarang.

Eksperimentasi mereka semula diilhami oleh Wundt dengan gagasan dan pendirian laboratorium psikologinya, yang hingga sekarang menghasilkan, dalam pendidika, Teknologi Pendidikan. Hewan-hewan yang pernah dieksperimentasikan oleh mereka itu di antaranya burung merpati, anjing, simpase (kera), dan paling banter manusia sakit.

Pendidikan (mendidik anak) meliput seluruh kepribadiaannya secara integratif dan komprehensif. Sedangkan pengajaran (mengajar) meliputi hanya sebagian dari kepribadian, yaitu segi inteleknya saja; dan latihan hanya menyangkut segi jasmani-jiwani atau psikomotoris kepribadian.

Karenanya tujuan mendidik (pendidikan) diarahkan pada pencapaian kepribadian yang terpadu, yang terintegrasi yang sering dirumuskan untuk mencapai kepribadian yang dewasa.

Para pedagog pada umumnya sejalan bahwa tujuan poendidikan (mendidik) adalah untuk mencapai kedewasaan; manusia normatif: tahu nilai, mau dan mampu (tersentuh dan tergugah kata hatinya, karena nilai telah terinternalisasi dan mempribadi --terpersonifikasi) merealisasikannya serta perealisasiannya itu selaras dengan tuntutan dan tuntunan yang seharusnya sebagai manusia bertanggungjawab (tanggungjawab merupakan ciri wanci --ciri khas-- bagi dan kemampuan dasar pribadi etis manusia sebagai manusia?).

Tujuan mengajar (pengajaran) hanya diarahkan dan ditekankan pada ranah kognitif (mengenal nilai, kehidupan atau kemampuan intelek, terdidik diarahkan supaya menjadi orang dewasa memiliki kemampuan berpikir ilmiah: Logico-hypothrtico-verificative, seperti mampu berpikir abstrak logis, objektif, kritis, sistematis, analisis, sintesis, integratif, dan innovatif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar