Aam Amiruddin
“Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: ‘Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.’ Mereka berkata: ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal Kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?’ Tuhan berfirman: ‘Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.’”
Betapa ayat di atas mengandung banyak hikmah dan pelajaran yang dapat dipetik demi memotivasi diri untuk lebih banyak lagi melakukan fikir dan dzikir, menyeimbangkan rasa dan rasio, serta menyelaraskan akal dengan naql (dalil). Merupakan keniscayaan jika keduanya dilakukan secara beriringan sehingga refleksi keimanan dalam kehidupan sehari-hari tidak lagi berjalan timpang dan terjadi berbagai penyimpangan yang menyesatkan.
Inti dari kandungan ayat tersebut di atas adalah kata khalifah. Secara bahasa, kata ini bermakna pengganti atau keturunan, sebagaimana terkandung dalam ayat Al-Quran berikut ini. “Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan. (Q.S. Shad [38]: 26). Dalam ayat lain, Allah berfirman, “kemudian Kami jadikan kamu pengganti-pengganti (mereka) di muka bumi sesudah mereka, supaya Kami memperhatikan bagaimana kamu berbuat.” (Q.S. Yunus [10]: 14)
Bila kita amati, ayat ke-30 surat Al Baqarah di atas menyimpan beberapa persoalan penting yang mesti kita pahami.
1. Seolah-olah ada ”bocoran” yang Allah sampaikan kepada malaikat tentang akan diciptakan-Nya khalifah di muka bumi sampai akhirnya terjadi ”percakapan” di antara keduanya.
Untuk memahami lebih jauh persoalan ini, terlebih dahulu hendaknya kita siapkan jiwa dengan segala iman dan kerendahan hati untuk menerima dan mempercayai adanya yang ghaib yang niscaya tidak akan semuanya dapat dijangkau oleh akal dan indra manusia. Di tengah-tengah berkembangnya filsafat modern saat ini, hendaknya batasan-batasan yang telah digariskan tidak lantas dilanggar begitu saja demi mendewakan filsafat dan akal fikiran. Sebaiknya, kita harus mencontoh filosof-filosof mukmin seperti Ibnu Rusyd dan Imam Ghazali. Meski sedemikian majunya kedua tokoh besar tersebut dalam berfilsafat, namun bila berkenaan dengan soal-soal ghaib, mereka menjadi orang yang tetap teguh dengan iman dan pendiriannya.
Imam Ghazali yakin sekali bahwa api wajib menghangusi dan air membasahi. Sudah seharusnyalah memang demikian. Namun, ketika ditanyakan tentang Nabi Ibrahim As. yang tidak hangus dibakar api, dia menjawab bahwa hal itu bukanlah domain filsafat. Itu adalah domain iman. “Sebagai muslim saya percaya,” begitulah yang dikatakannya. Seorang pelopor filsafat modern, Emmanuel Kant, pernah berkata, “Betapapun kemajuan saya dalam berpikir, namun saya mengosongkan sesudut dari jiwa saya buat percaya.”
Kenyataan yang disebutkan dalam ayat di atas (Allah seolah-seolah melakukan ”percakapan” dengan malaikat), tidaklah patut untuk kemudian dipertanyakan kapan dan dimana semua itu terjadi. Apa keperluan Allah dengan memberitahukan kehendaknya untuk menciptakan manusia yang akan diserahi tugas menjadi khalifah di muka bumi ini? Itu semua sama sekali tidak menjadi urgensi ayat ini.
Dia-lah dengan dzat-Nya yang Maha Kuasa yang berkenan menceritakan itu semua melalui wahyu tentang suatu kejadian di alam ghaib dengan kata-kata yang dapat kita pahami meski pada akhirnya akal kita tidak mempunyai daya jangkau untuk masuk lebih jauh ke dalam arena ghaib tersebut. Sebab itu, kita terima semua itu dengan sepenuh iman.
Meski demikian, beberapa ulama Mazhab Shalaf mencoba mempersiapkan segala tanya yang muncul dari mereka yang penasaran dengan tetap memperhatikan rambu-rambu penafsiran. Menurut mereka, pertemuan Allah dengan malaikat-Nya tidak digambarkan sebagaimana layaknya manusia yang sudah pasti bertempat dan terikat waktu. Jika seperti itu, tentunya bertempatlah Allah Swt. dan terikatlah Dia oleh ruang hukum alam yang dibuat-Nya sendiri. Demikian pula halnya dengan malaikat yang tidak boleh kita anggap duduk berhadapan dan bertatap muka dengan Allah. Karena kalau demikian, tentulah Allah memiliki kedudukan yang sama dengan makhluk-Nya. Allah berfirman, “(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan-pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Q.S. Asy-Syuraa [42]: 11)
2. Jabatan kekhalifahan manusia di muka bumi.
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa secara bahasa khalifah berarti pengganti. Sebagian ahli tafsir mengatakan bahwa kehadiran manusia di muka bumi adalah sebagai pengganti dari makhluk sebelumnya yang telah musnah. Sebagian yang lain mengatakan bahwa khalifah yang dimaksud adalah kepercayaan Allah untuk mengatur bumi ini dan menemukan rahasia yang terpendam di dalamnya dan untuk hal ini Allah menganugrahi manusia dengan akal.
Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir mengatakan bahwa khalifah dalam ayat di atas menunjukkan bahwa manusia diciptakan dengan pergantian dari satu kaum ke kaum yang lain, dari waktu ke waktu yang lain, dan seterusnya. Dari satu keturunan ke keturunan yang lain, kemampuan manusia senantiasa bertambah sehingga mereka dapat menguasai dan mengarungi angkasa, berlayar di samudra nan luas, menembus gunung, menggali bumi, dan lain sebagainya.
Pada tafsir manapun, kita akan menemukan kecenderungan penafsiran ayat ini sebagai lanjutan dari ayat sebelumnya (Q.S. Al-Baqarah [2]: 28-29) dalam menyingkap tabir pemikiran yang lebih luas bagi manusia. Dalam ayat ini, kita diperintahkan untuk tidak kufur terhadap Allah. Ingatlah bahwa kedudukan khalifah bukanlah sembarang posisi yang sembarangan. Janganlah disia-siakan waktu pendek yang dipakai selama hidup di dunia ini. Allah berfirman, ”Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati (Nya).” (Q.S. An-Naml [27]: 62)
3. ”Pertanyaan” malaikat terhadap Allah atas pemberian wewenang khalifah kepada manusia di tengah sifat malaikat yang suci dan tidak membantah setiap perintah Allah.
Ayat di atas seolah memberi gambaran bahwasannya ada keinginan malaikat untuk melakukan bantahan setelah menerima pemberitahuan Allah akan diciptakannya makhluk baru bernama manusia dengan sifat mereka yang senang berbuat kerusakan dan menumpahkan darah. Padahal jelas sekali bahwa perkataan malaikat ini bukanlah sebagai bantahan kepada Allah sebagaimana diduga sebagian orang. Hal ini dikarenakan malaikat disifati oleh Allah sebagai makhluk yang tidak dapat menanyakan apapun yang tidak diizinkan-Nya.
Ibnu Juraij berkata bahwa sesungguhnya para malaikat itu berkata menurut apa yang telah diberitahukan Allah kepadanya ihwal keadaan penciptaan Adam. Maka ketika malaikat bertanya, “Mengapa Engkau hendak menjadikan di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya?” ditafsirkan oleh Ibnu Juraij sebagai, “Sebagian ulama mengatakan, ‘Sesungguhnya malaikat mengatakan hal seperti itu, karena Allah mengizinkan mereka untuk bertanya hal ihwal itu setelah diberitahukan kepada mereka bahwa khalifah itu terdiri atas keturunan Adam.” Ketika malaikat bertanya lagi, ”Mengapa Engkau hendak menjadikan orang yang akan membuat kerusakan padanya?” sesungguhnya mereka bermaksud mengatakan bahwa di antara keturunan Adam itu ada yang melakukan kerusakan. Pertanyaan tersebut bersifat meminta informasi dan mencari tahu suatu hikmah.
4. Sifat dan karakter manusia.
Dari uraian yang disampaikan di atas, sebenarnya kita dapat menarik kesimpulan tentang bagaimana karakter manusia yang diungkap oleh ayat ke-30 surat Al-Baqarah tersebut. Ada dua karakter yang muncul meski selintas kelihatan kontradiktif. Prediksi malaikat melalui pertanyaan “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah,” menunjukkan adanya karakter manusia yang akan dibawanya dalam kehidupan di muka bumi ini. Tentu saja, malaikat mengetahui hal itu semata setelah adanya pemberitahuan dari Allah.
Karakter manusia yang terungkap dari pernyataan malaikat tersebut adalah karakter yang buruk. Karena itu, secara tidak langsung seolah malaikat “mengherankannya”. Namun di sisi yang lain, kehendak Allah untuk mempercayakan kekhalifahan di muka bumi ini kepada manusia menunjukkan adanya keistimewaan tersendiri bagi makhluk bernama manusia tersebut. Dua sifat yang bertentangan namun ada pada satu pribadi makhluk semata untuk menunjukkan bahwa makhluk tersebut memiliki kesempurnaan dan tingkat kemuliaan tertinggi dibanding dengan makhluk lainnya, bahkan malaikat sekalipun. Karena itulah di ayat berikutnya Allah Swt. berfirman, “.....kemudian kami katakan kepada para Malaikat: ‘Bersujudlah kamu kepada Adam’; maka merekapun bersujud kecuali Iblis, dia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir” (Q.S Al-Baqarah [2]: 34)
Dalam Al-Quran, Allah menjelaskan betapa manusia memang memiliki kecenderungan untuk melanggar perintah-Nya, padahal Allah telah menjanjikannya kedudukan yang tinggi jika manusia mampu melaksanakan setiap perintahkan-Nya dan tanpa sedikitpun membantahnya. Allah berfirman, “Dan kalau Kami menghendaki sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah......” (Q.S. Al-A’raaf [7]: 176).
Dari ayat ini dapat dilihat bahwa sejak awal Allah menghendaki manusia untuk menjadi hamba-Nya yang paling baik. Tetapi dikarena sifat dasar alamiahnya, manusia mengabaikan hal itu. Ini memperlihatkan bahwa pada diri manusia terdapat potensi-potensi baik, namun karena tidak didayagunakan dengan baik, maka manusia terjerebab dalam lembah kenistaan hingga lebih rendah dari hewan. Untuk mewujudkan potensi baik tersebut, manusia harus benar-benar menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Tentu saja, manusia mampu menjalani ini, sebagaimana firman-Nya, “Allah tidak akan membebani seseorang melainkan dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikannya) dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.......” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 286). Wallahu a’lam.
“Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: ‘Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.’ Mereka berkata: ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal Kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?’ Tuhan berfirman: ‘Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.’”
Betapa ayat di atas mengandung banyak hikmah dan pelajaran yang dapat dipetik demi memotivasi diri untuk lebih banyak lagi melakukan fikir dan dzikir, menyeimbangkan rasa dan rasio, serta menyelaraskan akal dengan naql (dalil). Merupakan keniscayaan jika keduanya dilakukan secara beriringan sehingga refleksi keimanan dalam kehidupan sehari-hari tidak lagi berjalan timpang dan terjadi berbagai penyimpangan yang menyesatkan.
Inti dari kandungan ayat tersebut di atas adalah kata khalifah. Secara bahasa, kata ini bermakna pengganti atau keturunan, sebagaimana terkandung dalam ayat Al-Quran berikut ini. “Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan. (Q.S. Shad [38]: 26). Dalam ayat lain, Allah berfirman, “kemudian Kami jadikan kamu pengganti-pengganti (mereka) di muka bumi sesudah mereka, supaya Kami memperhatikan bagaimana kamu berbuat.” (Q.S. Yunus [10]: 14)
Bila kita amati, ayat ke-30 surat Al Baqarah di atas menyimpan beberapa persoalan penting yang mesti kita pahami.
1. Seolah-olah ada ”bocoran” yang Allah sampaikan kepada malaikat tentang akan diciptakan-Nya khalifah di muka bumi sampai akhirnya terjadi ”percakapan” di antara keduanya.
Untuk memahami lebih jauh persoalan ini, terlebih dahulu hendaknya kita siapkan jiwa dengan segala iman dan kerendahan hati untuk menerima dan mempercayai adanya yang ghaib yang niscaya tidak akan semuanya dapat dijangkau oleh akal dan indra manusia. Di tengah-tengah berkembangnya filsafat modern saat ini, hendaknya batasan-batasan yang telah digariskan tidak lantas dilanggar begitu saja demi mendewakan filsafat dan akal fikiran. Sebaiknya, kita harus mencontoh filosof-filosof mukmin seperti Ibnu Rusyd dan Imam Ghazali. Meski sedemikian majunya kedua tokoh besar tersebut dalam berfilsafat, namun bila berkenaan dengan soal-soal ghaib, mereka menjadi orang yang tetap teguh dengan iman dan pendiriannya.
Imam Ghazali yakin sekali bahwa api wajib menghangusi dan air membasahi. Sudah seharusnyalah memang demikian. Namun, ketika ditanyakan tentang Nabi Ibrahim As. yang tidak hangus dibakar api, dia menjawab bahwa hal itu bukanlah domain filsafat. Itu adalah domain iman. “Sebagai muslim saya percaya,” begitulah yang dikatakannya. Seorang pelopor filsafat modern, Emmanuel Kant, pernah berkata, “Betapapun kemajuan saya dalam berpikir, namun saya mengosongkan sesudut dari jiwa saya buat percaya.”
Kenyataan yang disebutkan dalam ayat di atas (Allah seolah-seolah melakukan ”percakapan” dengan malaikat), tidaklah patut untuk kemudian dipertanyakan kapan dan dimana semua itu terjadi. Apa keperluan Allah dengan memberitahukan kehendaknya untuk menciptakan manusia yang akan diserahi tugas menjadi khalifah di muka bumi ini? Itu semua sama sekali tidak menjadi urgensi ayat ini.
Dia-lah dengan dzat-Nya yang Maha Kuasa yang berkenan menceritakan itu semua melalui wahyu tentang suatu kejadian di alam ghaib dengan kata-kata yang dapat kita pahami meski pada akhirnya akal kita tidak mempunyai daya jangkau untuk masuk lebih jauh ke dalam arena ghaib tersebut. Sebab itu, kita terima semua itu dengan sepenuh iman.
Meski demikian, beberapa ulama Mazhab Shalaf mencoba mempersiapkan segala tanya yang muncul dari mereka yang penasaran dengan tetap memperhatikan rambu-rambu penafsiran. Menurut mereka, pertemuan Allah dengan malaikat-Nya tidak digambarkan sebagaimana layaknya manusia yang sudah pasti bertempat dan terikat waktu. Jika seperti itu, tentunya bertempatlah Allah Swt. dan terikatlah Dia oleh ruang hukum alam yang dibuat-Nya sendiri. Demikian pula halnya dengan malaikat yang tidak boleh kita anggap duduk berhadapan dan bertatap muka dengan Allah. Karena kalau demikian, tentulah Allah memiliki kedudukan yang sama dengan makhluk-Nya. Allah berfirman, “(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan-pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Q.S. Asy-Syuraa [42]: 11)
2. Jabatan kekhalifahan manusia di muka bumi.
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa secara bahasa khalifah berarti pengganti. Sebagian ahli tafsir mengatakan bahwa kehadiran manusia di muka bumi adalah sebagai pengganti dari makhluk sebelumnya yang telah musnah. Sebagian yang lain mengatakan bahwa khalifah yang dimaksud adalah kepercayaan Allah untuk mengatur bumi ini dan menemukan rahasia yang terpendam di dalamnya dan untuk hal ini Allah menganugrahi manusia dengan akal.
Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir mengatakan bahwa khalifah dalam ayat di atas menunjukkan bahwa manusia diciptakan dengan pergantian dari satu kaum ke kaum yang lain, dari waktu ke waktu yang lain, dan seterusnya. Dari satu keturunan ke keturunan yang lain, kemampuan manusia senantiasa bertambah sehingga mereka dapat menguasai dan mengarungi angkasa, berlayar di samudra nan luas, menembus gunung, menggali bumi, dan lain sebagainya.
Pada tafsir manapun, kita akan menemukan kecenderungan penafsiran ayat ini sebagai lanjutan dari ayat sebelumnya (Q.S. Al-Baqarah [2]: 28-29) dalam menyingkap tabir pemikiran yang lebih luas bagi manusia. Dalam ayat ini, kita diperintahkan untuk tidak kufur terhadap Allah. Ingatlah bahwa kedudukan khalifah bukanlah sembarang posisi yang sembarangan. Janganlah disia-siakan waktu pendek yang dipakai selama hidup di dunia ini. Allah berfirman, ”Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati (Nya).” (Q.S. An-Naml [27]: 62)
3. ”Pertanyaan” malaikat terhadap Allah atas pemberian wewenang khalifah kepada manusia di tengah sifat malaikat yang suci dan tidak membantah setiap perintah Allah.
Ayat di atas seolah memberi gambaran bahwasannya ada keinginan malaikat untuk melakukan bantahan setelah menerima pemberitahuan Allah akan diciptakannya makhluk baru bernama manusia dengan sifat mereka yang senang berbuat kerusakan dan menumpahkan darah. Padahal jelas sekali bahwa perkataan malaikat ini bukanlah sebagai bantahan kepada Allah sebagaimana diduga sebagian orang. Hal ini dikarenakan malaikat disifati oleh Allah sebagai makhluk yang tidak dapat menanyakan apapun yang tidak diizinkan-Nya.
Ibnu Juraij berkata bahwa sesungguhnya para malaikat itu berkata menurut apa yang telah diberitahukan Allah kepadanya ihwal keadaan penciptaan Adam. Maka ketika malaikat bertanya, “Mengapa Engkau hendak menjadikan di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya?” ditafsirkan oleh Ibnu Juraij sebagai, “Sebagian ulama mengatakan, ‘Sesungguhnya malaikat mengatakan hal seperti itu, karena Allah mengizinkan mereka untuk bertanya hal ihwal itu setelah diberitahukan kepada mereka bahwa khalifah itu terdiri atas keturunan Adam.” Ketika malaikat bertanya lagi, ”Mengapa Engkau hendak menjadikan orang yang akan membuat kerusakan padanya?” sesungguhnya mereka bermaksud mengatakan bahwa di antara keturunan Adam itu ada yang melakukan kerusakan. Pertanyaan tersebut bersifat meminta informasi dan mencari tahu suatu hikmah.
4. Sifat dan karakter manusia.
Dari uraian yang disampaikan di atas, sebenarnya kita dapat menarik kesimpulan tentang bagaimana karakter manusia yang diungkap oleh ayat ke-30 surat Al-Baqarah tersebut. Ada dua karakter yang muncul meski selintas kelihatan kontradiktif. Prediksi malaikat melalui pertanyaan “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah,” menunjukkan adanya karakter manusia yang akan dibawanya dalam kehidupan di muka bumi ini. Tentu saja, malaikat mengetahui hal itu semata setelah adanya pemberitahuan dari Allah.
Karakter manusia yang terungkap dari pernyataan malaikat tersebut adalah karakter yang buruk. Karena itu, secara tidak langsung seolah malaikat “mengherankannya”. Namun di sisi yang lain, kehendak Allah untuk mempercayakan kekhalifahan di muka bumi ini kepada manusia menunjukkan adanya keistimewaan tersendiri bagi makhluk bernama manusia tersebut. Dua sifat yang bertentangan namun ada pada satu pribadi makhluk semata untuk menunjukkan bahwa makhluk tersebut memiliki kesempurnaan dan tingkat kemuliaan tertinggi dibanding dengan makhluk lainnya, bahkan malaikat sekalipun. Karena itulah di ayat berikutnya Allah Swt. berfirman, “.....kemudian kami katakan kepada para Malaikat: ‘Bersujudlah kamu kepada Adam’; maka merekapun bersujud kecuali Iblis, dia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir” (Q.S Al-Baqarah [2]: 34)
Dalam Al-Quran, Allah menjelaskan betapa manusia memang memiliki kecenderungan untuk melanggar perintah-Nya, padahal Allah telah menjanjikannya kedudukan yang tinggi jika manusia mampu melaksanakan setiap perintahkan-Nya dan tanpa sedikitpun membantahnya. Allah berfirman, “Dan kalau Kami menghendaki sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah......” (Q.S. Al-A’raaf [7]: 176).
Dari ayat ini dapat dilihat bahwa sejak awal Allah menghendaki manusia untuk menjadi hamba-Nya yang paling baik. Tetapi dikarena sifat dasar alamiahnya, manusia mengabaikan hal itu. Ini memperlihatkan bahwa pada diri manusia terdapat potensi-potensi baik, namun karena tidak didayagunakan dengan baik, maka manusia terjerebab dalam lembah kenistaan hingga lebih rendah dari hewan. Untuk mewujudkan potensi baik tersebut, manusia harus benar-benar menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Tentu saja, manusia mampu menjalani ini, sebagaimana firman-Nya, “Allah tidak akan membebani seseorang melainkan dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikannya) dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.......” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 286). Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar